Membaca Perubahan Iklim Bersama Masyarakat Belu

Photo: dari presentasi YMTM

Down to Earth 87, Desember 2010 

Tulisan ini bersumber dari presentasi YMTM (Yayasan Mitra Tani Mandiri) yang disampaikan pada pertemuan mitra Caritas Australia, pada Oktober 2010.

Selain itu DTE melakukan wawancara langsung dengan perwakilan YMTM yang hadir saat itu, yaitu Yoseph Asa dan Hilaria Kou.

Masyarakat di tujuh desa di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) baru saja selesai melakukan kajian tentang perubahan iklim, dampak serta strategi adaptasi. Adapun desa yang dipilih adalah desa yang terletak di dataran rendah bagian selatan, yakni kecamatan Malaka Tengah dan di dataran tinggi bagian utara, yaitu di Kecamatan Lamaknen. Pos pemantauan diambil dari nama ibukota kecamatan, seperti Betun di kecamatan Malaka Tengah dan Weluli, ibu kota kecamatan Lamaknen. Metode kajian yang digunakan adalah pendekatan berbasis masyarakat (dengan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau participatory rural appraisal), sehingga hasil kajian ini merupakan kumpulan dari pendapat masyarakat mengenai perubahan iklim yang mereka rasakan.

Salah satu indikator yang digunakan dalam kajian ini didapatkan dengan menghitung curah hujan mulai tahun 1999 – 2009. Untuk memudahkan penghitungan digunakanlah kriteria yang diterbitkan oleh Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Indonesia, yaitu pengelompokan curah hujan harian per 10 hari atau dikenal dengan istilah dasarian, yang berarti data curah hujan tiap 10 hari dijumlahkan dan dirata-ratakan. Jadi, dapat diketahui bahwa dalam satu bulan ada tiga dasarian yang berarti dalam setahun ada 36 dasarian.

Dari penghitungan yang mereka lakukan ternyata terjadi pergeseran awal musim hujan dan musim kemarau. Untuk pos pengamatan Weluli misalnya, lama atau panjang hujan selama periode 20 tahun terakhir masih relatif tidak berubah yakni 15 dasarian (5 bulan) meski terjadi pergeseran awal musim penghujan dari dasarian 12 menjadi dasarian 11. Sementara di pos Betun lama hujan menurun dari 9 dasarian (3 bulan) menjadi 7 dasarian  (2 bulan 10 hari). Sementara menurut masyarakat, lama hujan  menurun dari 8 bulan menjadi  5 bulan di wilayah dataran tinggi (Maneikun, Lakanmau, Maudemu,  Faturika, Dubesi) dan di wilayah pantai selatan lama hujan menurun dari 9 bulan menjadi 5 bulan. Meskipun demikian, di wilayah selatan masih ada hujan musim ke-2 (udan lorofalin atau udan knau) yang terjadi sekitar bulan Juni/Juli. (lihat tabel)

  File 131

Menurut masyarakat, total curah hujan tahunan cenderung meningkat selama kurun waktu 30 tahun terakhir, tetapi distribusi hujan tidak merata sehingga menimbulkan masalah pemilihan komoditi yang tepat untuk ditanam sebagai bahan pangan maupun untuk dijual. Masyarakat mengeluhkan bahwa hujan sekarang berbeda dari yang dulu. Hujan sudah sulit untuk diramalkan dan indikator ramalan hujan tradisional masyarakat tidak lagi efektif.

 

Suhu udara dirasakan oleh masyarakat terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir. Suhu malam yang biasanya dingin pada saat ini tidak lagi terasa dingin termasuk pada bulan Juni-Agustus yang biasanya sangat dingin. Hal yang sama juga terjadi di wilayah-wilayah atas seperti Maudemu yang biasanya jauh lebih dingin, kini perbedaannya makin kecil. Angin pada umumnya tidak menentu, sehingga sulit diprediksi. Dulu, periode angin barat dan angin timur adalah tetap, tetapi saat ini arah angin dan kecepatan angin tak menentu.

 

Menurut masyarakat, beberapa hal penyebab perubahan iklim adalah, 1) menipisnya atau hilangnya makna kearifan-kearifan lokal berupa tradisi-tradisi seperti ‘memanggil atau menghentikan’ hujan,  larangan-larangan (ukun badu), aturan-aturan adat tentang penggembalaan, sistem kepemilikan lahan, apresiasi atau penghormatan yang lebih tinggi pada ritus atau hutan-hutan adat; 2) pembakaran hutan atau lahan,  perubahan pola konsumsi, sistem usaha tani dan peternakan serta pendidikan anak muda yang kurang memperhatikan kearifan-kearifan lokal dan lingkungan biofisik.

 

Untuk strategi adaptasi dan mitigasi, dalam pertemuan diskusi kelompok terfokus diungkapkan bahwa masyarakat berencana untuk melakukan beberapa hal seperti perlindungan kawasan hutan dan penghijauan di sekitar sumber mata air.

Sumber: Presentasi YMTM, 2010

  (Gambar: Lokasi penghijauan: YMTM)

  

 

Pengalaman Hilaria, pendamping lapangan YMTM

Hilaria sudah menjadi pendamping lapangan sejak tahun 1997 dan sekarang bertugas di salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Ketika mulai membuat kelompok-kelompok tani di masyarakat yang pertama kali dilakukan adalah mendorong pemerintah desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) desa. Tujuannya adalah untuk memastikan agar program masyarakat masuk menjadi program desa. Jika pemerintah desa tidak siap maka kami akan meminta izin untuk membuat kelompok yang terdiri dari 5 – 6 orang dulu untuk melakukan penataan kebun. Dalam satu desa biasanya terdiri dari 6 – 10 kelompok. Biasanya tukar menukar cerita antara petani yang sudah berhasil dengan masyarakat yang belum mau bergabung dirasa sangat efektif dalam mempercepat proses penataan kebun desa.

Ketika kami memperkenalkan metode terasering pada masyarakat (lihat gambar kebun masyarakat), mereka merasa lucu. Padahal, tanaman pohon-pohon tersebut memiliki banyak fungsi bagi tanah. Misalnya, tanaman gamal bisa memperkuat tanah dan menangkap karbon yang bisa diubah menjadi nitrogen yang diperlukan oleh tanah. Gamal juga bisa digunakan sebagai pupuk hijau bagi tanah. Daun pohon legum mengandung nitrogen, dan kayunya bisa digunakan untuk membuat kandang ternak sedangkan akarnya mampu menangkap unsur hara sehingga tidak diperlukan lagi pupuk urea.

Kami selalu mencoba sesuatu dalam skala kecil bersama petani, kalau berhasil baru kami sebarkan. Ini ada cerita, dulu pernah ada PPL (Petugas Penyuluh Lapangan dari dinas Pertanian) melatih masyarakat desa untuk membuat pupuk cair. Ketika masyarakat sudah membuat pupuk cair petugas lapangan tersebut tidak pernah datang lagi sehingga masyarakat tidak tahu cara menggunakannya. Lalu ada seorang ibu yang bertanam sayuran wortel, tomat dan cabe mencoba untuk menggunakan pupuk cair tersebut langsung ke tanaman dan tanaman tersebut mati. Sejak itu mereka tidak mau lagi menggunakan pupuk cair.

Waktu saya datang dan coba ajarkan cara membuat pupuk cair, mereka menolak dengan alasan tersebut. Kemudian saya meminta mereka mencoba dalam skala kecil membuat pupuk cair yang terbuat dari kotoran ternak yang masih basah, daun legum yang dicincang dan rumput gajah yang berfungsi untuk membasmi hama dan menyuburkan tanaman. Cara penggunaan pupuk cair ini adalah dengan mencampurkannya lagi dengan air. Hasilnya ternyata memuaskan dan sekarang mereka mau menggunakannya.

Model pendekatan yang kami lakukan di tiap desa berbeda-beda. Di desa Humusu kami mendekati kepala suku, karena masyarakat sangat tergantung padanya. Di beberapa tempat kami masuk lewat kepada desa atau kepala dusun.

Untuk perluasan desa dampingan kami melakukan survei dengan memperhatikan beberapa aspek, seperti: 1) apakah desa itu kurang mendapat perhatian; 2) siapa yang pernah membantu desa/dusun tersebut; 3) siapa yang memiliki pengaruh pada masyarakat; 4) bagaimana kondisi pertaniannya, dsb. Pada umumnya desa yang kami dampingi adalah desa yang jauh, kering dan punya masalah besar.

 

Menghijaukan lahan kering

Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) adalah salah satu organisasi masyarakat sipil yang beraktivitas di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka berhasil mengembangkan program wanatani dan mengubah lahan kering di tiga kabupaten, yaitu Flores, Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu menjadi lahan perkebunan yang menghasilkan bagi masyarakat setempat. Beberapa penghargaan telah diraih oleh YMTM, diantaranya adalah Community Based Forest Management (CBFM) Award (2006) dan Equator Prize dari United Nations Development Programme (UNDP) pada 2010 atas keberhasilan mereka menerapkan teknologi pertanian. Berikut adalah cuplikan wawancara dengan Yoseph Asa.

Bagaimana kriteria pemilihan desa?

Kami memilih desa yang wilayahnya sangat kering. Kami berprinsip bahwa kalau kita berhasil memperbaiki daerah kering maka akan lebih mudah masuk ke daerah yang lebih baik. Dasar program yang kami jalankan adalah bagaimana memperbaiki kesuburan tanah. Jadi tiga tahun pertama kami mencoba untuk memperbaiki kesuburan tanah

Secara tradisional masyarakat melakukan pemulihan lahan dengan cara memotong dahan-dahan pohon tertentu untuk ditanam dalam tanah agar kesuburan tanah meningkat. Lamtoro, gamal, kaliandra, flamenia, desminiu, turi (Sesbania grandiflora, juga dikenal sebagai gala-gala) adalah pohon-pohon yang multifungsi. Selain sebagai penyubur tanah mereka juga merupakan penahan erosi, pemasok kayu bakar, pelindung tanaman, sumber benih dan sumber pakan ternak. Misalnya, turi dan lamtoro adalah untuk pakan sapi.

Tanaman-tanaman tersebut terbukti mampu menciptakan iklim mikro untuk pertanian masyarakat. Misalnya ketika musim penghujan, dahan dan daun dari pohon-pohon tersebut dipangkas dan hasil pangkasannya dijadikan pupuk organik. Tujuan pemangkasan adalah agar tanaman pertanian tetap mendapat sinar matahari yang cukup. Di musim kemarau, pohon-pohon tersebut dibiarkan tumbuh tinggi agar kelembapan tanah pertanian tetap terjaga.

Teknologi ini terbukti mampu untuk meningkatkan produksi pertanian organik yang berkelanjutan. Harus disadari bahwa petani-petani miskin di daerah yang susah ditanami tidak punya uang yang cukup untuk membeli pupuk kimia dan benih, karena itu kami berusaha untuk memaksimalkan bibit-bibit lokal yang ada. Kami tidak pernah mengajarkan penggunaan bahan kimia kecuali ada desa yang sudah melakukannya, tapi biasanya kami akan menganjurkan mereka untuk beralih ke organik. Sangat riskan bagi lahan kering menggunakan pupuk kimia karena memerlukan air yang banyak.

Apa manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat?

Sekarang ini masyarakat sebagian besar sudah bisa menjual benih pohon ke kantor Dinas Kehutanan setempat, juga menjual kayu untuk bangunan ke pihak luar desa. Keanekaragaman hayati terjaga dengan penanaman pohon. Sumber-sumber air mulai muncul dan burung-burung mulai banyak.

Menurut bapak kenapa program wanatani ini bisa berhasil?

Karena kami melibatkan masyarakat dari awal dan masyarakat bisa swadaya. Misalnya, ada benih pohon yang mereka temukan di hutan mereka bawa dan tanam di kebun mereka sendiri.

Kami memulai perencanaan mulai dari kebun di tingkat keluarga. Hampir setiap keluarga petani pasti punya gambar perencanaan kebun. Masyarakat harus tahu dan bisa menggambarkan bentuk kebunnya untuk memudahkan perencanaan kebun.

Di setiap gambar kebun keluarga harus memuat tiga hal sebagai berikut: untuk tanaman jangka pendek (± 1 tahun) adalah tanaman untuk kebutuhan pangan, tanaman jangka menengah (3 – 5 tahun) dan untuk jangka panjang seperti kayu-kayu bangunan.

Meskipun di sana kering tapi tidak semua teknologi lahan kering bisa digunakan sama di semua tempat. Mereka harus disesuaikan dengan topografi, semakin tinggi letak desanya semakin kering dan semakin rendah berarti semakin basah.

Hal yang kami lakukan ketika datang ke desa adalah mendengarkan kebiasaan petani bertanam. Jangan memaksakan konsep yang kita tahu. Jangan meniru pemerintah yang pernah melakukan mentenisasi (penanaman bibit mente) yang akhirnya gagal karena tidak semua daerah di NTT cocok untuk tanaman mente.

Sifat pengembangan teknologi kami adalah untuk menghindari kegagalan karena petani sudah trauma dengan kegagalan. Kami selalu melakukan uji coba yang sederhana, murah dan bahan-bahannya tersedia di situ.

Apa harapan bapak ke depan?

Ke depan kami mau scalling up program dari petani ke petani, dari desa ke desa. Kami mau membantu dunia pendidikan, seperti sekolah-sekolah pertanian dan kampus pertanian dengan pengalaman yang sudah kami miliki.