Nyanyian Galau, Nyanyian Harap

Workshop participants singing, Arfu, May 2011 (Photo: Adriana Sri Adhiati)

DTE 89-90, November 2011

…dan harapan untuk membangun penghidupan yang berkelanjutan.

Catatan dari lokakarya yang dikerjakan bersama oleh LP3BH, Yalhimo, Mnukwar, DTE dan PPP.

Nanoto tompan fo wojaro nanoto toman fo wojaro

Nanipun sorsoremo nanipun sorsoremo

 

Mari lihat bintang yang naik dari laut

Berdiri di puncak untuk disampaikan

Sesuatu yang terjadi di daerah Mpur

Sesuatu memang terjadi di Mpur. Lagu di atas dibuat dalam bahasa mereka, Amberbaken, oleh para peserta lokakarya perubahan iklim di Mubrani bulan Mei 2011. Kekuatiran mengenai kondisi alam yang berubah dan membawa ketidakpastian untuk kehidupan mereka menjadi warna utama lokakarya tersebut.

Amberbaken, wilayah orang Mpur, terletak di timur laut wilayah Kepala Burung, Papua Barat. Ahli linguistik, Malcolm Ross, mengatakan, hingga ditemukan bukti-bukti yang lebih kuat, bahasa Mpur/Amberbaken adalah salah satu dari tiga keluarga bahasa Papua Barat. Bahasa Mpur/Amberbaken juga pernah dicatat oleh Ethnologue[1] sebagai bahasa yang relatif independen.

Setidaknya, hingga kurang dari 10 tahun yang lalu, Amberbaken merupakan daerah yang cukup tertutup. Operasi militer terhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di kawasan tersebut cukup gencar sehingga membatasi akses ke sana.

Namun demikian, sejarah Amberbaken tidak mencerminkan ciri suatu kawasan yang tertutup sepenuhnya. Misalnya, ada cerita rakyat setempat mengenai asal usul beras masuk ke Amberbaken. Beras bukan bahan makanan asli Papua. Ceritanya begini:

Ketika wilayah Kepala Burung berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore ratusan tahun yang lalu, seorang lelaki Amberbaken berhasil melarikan diri dari penjara di Tidore. Ia membawa pulang oleh-oleh istimewa. Di dalam rambut keritingnya ia menyembunyikan bulir-bulir benih padi. Sejak saat itulah orang Mpur bertanam padi, selain sagu dan ubi sebagai bahan makanan pokok mereka.

Beras lokal yang menjadi kebanggaan masyarakat di sana rasanya jauh lebih enak dibandingkan raskin,[2] beras pembagian dari pemerintah yang disediakan untuk rakyat miskin.

Saat ini jalan Trans-Papua yang menghubungkan Manokwari dan Sorong sepanjang kurang lebih 568 km membelah Amberbaken. Trans-Papua membuat kawasan Amberbaken menjadi lebih mudah diakses, akan tetapi juga memberi jalan lebih terbuka bagi orang luar untuk datang dan mengambil kekayaan alamnya. Isolasi Amberbaken kembali dibuka seperti jaman dulu, tetapi kali ini dengan cara yang jauh lebih cepat dan lebih masif.

Raungan gergaji listrik dan bulldozer memangkas hutan perawan diimbangi oleh teriakan protes para aktivis lingkungan yang mengecam pembangunan jalan Trans-Papua yang melewati sebagian kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara.[3] Protes mereka menjadi cermin kekuatiran bahwa jalan baru akan membawa masuk investasi yang sekaligus akan mengisap darah masyarakat. Pendapatan daerah yang dihasilkan kemungkinan hanya akan mengisi kocek para pejabat setempat, padahal fasiltas jalan baru akan mempercepat kerusakan alam yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan sawit dan tambang.

JASOIL, jaringan ornop keadilan lingkungan dan sosial di Manokwari, melakukan studi khusus tentang rencana pembangunan di provinsi Papua Barat. Setelah mempelajari sejumlah peta, kelompok tersebut menyimpulkan bahwa antara tahun 2000 – 2010 percepatan laju deforestasi terpesat terjadi di beberapa kabupaten termasuk di Kabupaten Manokwari dan di Kabupaten Tambrauw yang baru diresmikan, di mana Amberbaken berada.

Masyarakat Mpur belajar dari pengalaman masyarakat transmigran yang mengelola kebun sawit dan menghadapi permasalahannya. Kampung transmigrasi terdekat hanya berjarak sekitar 60km dari Amberbaken. Kelompok transmigran juga memperkenalkan bentuk ekonomi baru seperti berjualan hasil kebun. Sebagian besar sayuran dan buah-buahan di Manokwari berasal dari kebun transmigran. Namun para transmigran juga melihat sendiri bagaimana kualitas tanah di kampung baru mereka menurun setelah ditanami kelapa sawit.

Masalah terkait berpindahtangannya penguasaan tanah karena program transmigrasi masih berlanjut hingga hari ini, seperti api dalam sekam yang dapat berkobar kapanpun. Tuntutan pengembalian tanah oleh pemilik sebelumnya, orang Papua, tak jarang berujung dalam pertikaian yang kadang-kadang menimbulkan korban tewas. Tidak ada seorangpun yang dapat tidur nyenyak sebelum masalah ini diselesaikan.

Isok ifo burodaiimo

bahabimo burodaiimo

bahabimo mugouwaoroh

monuh mogetew

 

Orang ini kejar kita

Bunuh kita

Bunuh darah

Pakai bayar tanah ini

 

(lagu dalam bahasa Meyakh, disusun pada waktu lokakarya)

 

Papua tanah yang kaya, yang tidak akan kekal selamanya karena banyak tangan yang ingin menikmati ‘kue’ tersebut. Mereka, yang ikut berebut kue, termasuk orang Papua yang ingin meraup keuntungan selagi berkuasa. Perebutan kekuasaan politik, termasuk pemekaran,  telah memecah belah keluarga dan marga. Sejumlah orang di Amberbaken kuatir dengan gagasan untuk memecah Kabupaten Manokwari untuk menciptakan kabupaten baru Tambrauw atas nama pemekaran. Tambrauw adalah nama pegunungan di wilayah tersebut. Mereka berpendapat bahwa pemekaran hanya akan menguntungkan segelintir orang saja ketimbang meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Menurut mereka pemekaran akan memperpendek rangkaian proses negosiasi dan pengambilan keputusan antara investor dan pejabat setempat yang ingin memperkaya diri sendiri. Mereka tidak selalu dapat dipercaya.

 

Mencari jalan keluar yang lestari

Inta nek Papua

nek mafuno

war disiyo

soro bundake

 

ilmu bwano jasa bwano

inun mbe intar waro dokone

dokone

 

 

Tanahku Papua

Tanah yang indah

Air yang sejuk

Gunung yang ditutupi awan

 

Oleh karena ilmu dan jasa menuntut

Akhirnya saya merantau

Tinggalkan tanah airku, Papua

 

(lagu dalam bahasa Kebar, disusun dalam lokakarya)

 

Orang Mpur adalah masyarakat yang berpandangan ke depan. Jika ada kesempatan mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka pergi dari rumah untuk mengecap pendidikan tinggi, kalau perlu hingga ke seberang lautan. Fasilitas pendidikan masih terbatas di wilayah mereka. Walaupun kedatangan perkebunan kelapa sawit tampaknya tidak bisa dicegah,[4] selama lokakarya para peserta mengungkapkan minat mereka untuk mencari alternatif yang positif dari kebun sawit demi memajukan perekonomian setempat. Mereka berpikir seperti ini: jika kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka akan lebih mampu menolak godaan untuk menjual tanah mereka. Mereka tahu, seringkali yang terjadi adalah masyarakat akan jatuh miskin setelah mereka melepas atau menjual sumber daya alam mereka. Tidak saja mereka akan kehilangan sumber daya alam yang menjadi dasar penghidupan, mereka juga akan kehilangan hubungan budaya dan psikologis terhadap hutan mereka.

Nek te eyen

Tanah adalah ibu kami

(ungkapan dalam bahasa Mpur)

 

Menyadari bahwa konflik antar anggota masyarakat dapat terjadi jika mereka menyerah terhadap tekanan dari luar, mereka mulai mencari upaya penyelesaian di dalam diri sendiri. Mereka berupaya menguatkan dan memperbaiki aturan-aturan adat. Adat sudah teruji selama ratusan tahun. Upaya memperkuat diri dari dalam untuk menghadapi perubahan baru saja dimulai.

 

Kisah seorang perempuan Papua

 

Selviana Anari adalah seorang perempuan muda guru jemaat yang menjadi salah seorang peserta lokakarya. Tanggung jawab utamanya adalah mengajar injil, memimpin ibadah dan mengurus umat. Pekerjaan Selviana tidak banyak diemban oleh perempuan Papua. Sebagian besar perempuan di masyarakatnya adalah ibu rumah tangga yang mengurus rumah, kebun dan anak. Dalam percakapannya dengan Adriana Sri Adhiati dari DTE Selviana menguraikan sejumlah hal yang dihadapi perempuan di sana.

Selviana berasal dari keluarga religius. Ayah dan suaminya juga guru jemaat. Walaupun jarang perempuan menjadi guru jemaat, pilihan Selviana menjadi guru jemaat dipandang sebagai hal yang wajar mengingat latar belakang keluarganya. Untuk menjadi guru jemaat ia harus menempuh pendidikan khusus teologi setingkat SMA. Dengan pendidikan seperti itu, Selviana termasuk perempuan dengan pendidikan tertinggi di kampungnya.

Gereja tempat Selviana mengabdi menyelenggarakan ibadah khusus untuk perempuan serta sejumlah kegiatan lain. Para perempuan juga mendapat pelatihan ketrampilan kerumahtanggaan seperti menjahit dan memasak.

Selviana mengungkapkan bahwa salah satu tantangan yang ia hadapi dalam pekerjaannya adalah pemekaran wilayah. Menjaga umat adalah salah satu tugas utama guru jemaat, setidaknya agar jumlah umat tidak menyusut. Munculnya pemekaran menimbulkan perubahan batas wilayah, termasuk wilayah di mana ia bekerja. Perubahan ini membuatnya kuatir bahwa umat akan pindah ke gereja lain yang lebih dekat dalam wilayah administrasi yang baru.

Pemekaran dan pembukaan wilayah baru oleh pembangunan jalan Trans-Papua secara tidak langsung juga mempengaruhi keputusan keluarga Selviana untuk pindah rumah. Rumah yang sekarang mereka huni dulunya adalah pondok ladang mereka. Mereka pindah untuk mendekati sarana jalan baru. Saat ini sekitar 25 keluarga bermukim di desa yang baru terbentuk bernama Wasanggon. Terbentuknya desa baru menguatkan alasan dilakukannya pemekaran yang membutuhkan jumlah minimal desa dalam wilayah kabupaten baru.

Persoalan terkait pemekaran (baik di tingkat kabupaten maupun provinsi) tidak banyak mendapat perhatian walaupun memiliki dampak yang berarti terhadap masyarakat dan ekosistem Papua. Pemekaran membutuhkan dukungan personil tentara, pembukaan jalan untuk lebih banyak pengerukan sumber daya alam dan penetapan struktur pemerintahan yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat.

Lain daripada itu, Selviana juga mengungkapkan tingginya angka kematian ibu dan anak, akibat terbatasnya fasilitas kesehatan, masih merupakan masalah di sana. Pengamatannya menegaskan laporan bahwa Papua merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kematian ibu yang tertinggi di Indonesia, padahal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya prestasi Indonesia sudah tergolong buruk.[5]

Masalah lain di masyarakatnya yang diamati dan coba diatasi oleh Selviana adalah kekerasan rumah tangga terhadap perempuan, terutama dipicu oleh alkoholisme di kalangan lelaki. LP3BH, sebuah ornop di Manokwari sejak beberapa tahun terakhir berupaya menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga dalam kaitan kerja mereka membangun kesadaran akan masalah hak asasi manusia.[6

 

 


 

[1] Sebuah publikasi SIL International tentang bahasa-bahasa yang kurang dikenal, dengan tujuan utama menerjemahkan Injil ke bahasa-bahasa tersebut.

[2] raskin = beras (untuk orang) miskin

[3] Jubi, 7 Jan 2010, ‘Jalan Trans Papua Barat,Serobot Kawasan Cagar Alam TambrauwUtara’ http://www.tabloidjubi.com/dailynews/seputar-tanah-papua/4530-jalantrans-papua-barat-serobot-kawasan-cagaralam-tambrauw-utara.html

[4] “Medco Buka Kebun Sawit” http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=82 – berita tentang peresmian kebun kelapa sawit baru seluas 15.500 ha di Sidey, dimiliki oleh anak perusahaan Medco Group. Sidey bertetangga dengan daerah Amberbaken.

[5] Situs WHO - Profil Kesehatan Indonesia – Indikator Dasar MDG http://www.searo.who.int/en/Section313/Section1520_13441.htm

[6] “LP3BH Bekerjasama Dengan PPP Canada Melaksanakan Program Pengorganisasian Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender di Kabupaten Manokwari <http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=190Š>