Kebijakan satu peta - 'One Map policy' - di Indonesia

Tangkapan layar sebuah laman BRWA menunjukkan wilayah adat di Sulawesi dan informasi tentang wilayah Anoi

DTE 93-94, Desember 2012

Wawancara dengan Kasmita Widodo, Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Q: Dr Heru Prasetyo Sekretaris Satgas REDD+ mengatakan kepada REDD-Monitor bahwa ‘gerakan' satu peta Indonesia berawal di tahun 2010 ketika UKP4 menunjukkan kepada Presiden SBY peta tutupan hutan dari KLH dan Dephut yang berbeda yang mendorong SBY memerintahkan penyusunan satu peta. Dapatkah Anda menjelaskan lebih lanjut mengenai gagasan di balik kebijakan ini serta maksud dan tujuannya?

A: Ini memang aneh, dua kementerian mengeluarkan peta yang berbeda padahal temanya sama yaitu tutupan hutan. Ini akan berimplikasi terhadap arahan kebijakan atau pengambilan keputusan yang berbeda terhadap tutupan lahan dan hutan di Indonesia. Lalu pertanyaannya, mana peta yang benar? Saya melihat arahan Presiden SBY dilatarbelakangi program perubahan iklim yang saat itu akan dijalankan Indonesia dengan dukungan negara-negara lain.

Q: Mengapa pemetaan kembali menjadi topik yang hangat di Indonesia saat ini? Apakah ini terkait dengan Moratorium Hutan 2011 atau ada hal lain yang lebih luas?

A: Benar. Peta menjadi sangat erat relevansinya dengan Moratorium Hutan tahun 2011. Namun, saya melihat peta moratorium ini sebagai titik masuk bagi UKP4 yang punya tugas mengawasi pembangunan dari sisi tata pemerintahan dan juga penegakan hukum. Jadi tidak hanya sektor kehutanan, tapi sektor-sektor yang lain juga perlu dibenahi dengan penyiapan data dan peta yang sama untuk setiap peta tematik, misalnya peta pertambangan, perkebunan dan sebagainya. Namun, kami juga sedang mencermati hubungannya dengan rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), karena dua agenda ini momentumnya hampir bersamaan.

Q: Bagaimana kira-kira yang akan ditampilkan oleh peta yang sedang dibuat oleh UKP4? Misalnya, apakah peta tersebut hanya akan mencakup data resmi dari berbagai kementerian/instansi terkait (kehutanan, perkebunan, pertanahan, tambang dan energi, dst) atau akankah peta itu juga memberikan informasi mengenai tanah-tanah ulayat yang dimiliki oleh komunitas adat di Indonesia?

A: Ini juga yang menjadi perhatian kami ketika melakukan beberapa kali dialog dengan UKP4 dalam forum khusus membicarakan one map dan juga pada forum-forum UKP4 lainnya. Bagaimana posisi sesungguhnya peta-peta wilayah adat dalam one map policy ini? Harapan kami peta wilayah adat juga menjadi bagian, sebagai referensi dalam kebijakan pengaturan sektor kehutanan dan sektor lainnya, temasuk dalam isu perubahan iklim (REDD+). Jadi peta tematik yang dibuat oleh kementerian dan lembaga pemerintah, misalnya peta perijinan, hak guna usaha dan peta wilayah adat dapat ditampilkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), sehingga bisa telihat oleh publik secara luas.

Q: Siapa yang memimpin penyusunan ‘one map' ini?  Apakah ada proses yang baik dalam pelibatan organisasi masyarakat sipil dan konsultasi publik? Bagaimana keterlibatan Anda dalam hal ini?

A: Saat ini yang memimpin proses one map ini adalah UKP4 dengan menugaskan BIG untuk menyiapkan infrastruktur berupa sistem dan standarisasi peta-peta yang ada, temasuk peta wilayah adat, sehingga semua peta tematik dari tiap sektor dan juga peta tematik wilayah adat bisa terintegrasi. Pelibatan masyarakat sipil sampai saat ini menurut saya cukup baik, ini dimulai dengan penerimaan secara resmi peta wilayah adat yang disampaikan oleh JKPP dan AMAN oleh UKP4 dan BIG pada tanggal 14 November 2012 yang lalu. Ada 265 peta wilayah adat dengan luas sekitar 2,4 juta hektare yang kami serahkan untuk diproses menjadi bagian dalam One Map Indonesia.  Saat ini, kami bersama BIG sedang menyiapkan panduan pemetaan partisipatif sehingga menjadi standar Data Spasial Masyarakat (DSM) yang akan berkontribusi bagi one map tersebut. Selain itu saat ini Satgas REDD+ sedang membuat proyek berkaitan dengan akuisisi peta-peta tematik dan perijinan yang ada di beberapa provinsi yang sudah ditetapkan sebagai provinsi contoh. Saya baru saja mengikuti agenda ini di Sumatera Selatan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melalui Bappeda Provinsi dan BIG bersama ornop yang tergabung dalam Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) sedang menyusun instrumen yang memungkinkan DSM berkontribusi dalam one map, dalam hal ini di Sumatera Selatan.

Q: Menurut ArcNews (lihat tautan di bawah[1]), JICA menyediakan pinjaman kepada Badan Informasi Geospasial untuk melaksanakan kerja ‘one map' ini, sedangkan NTT Data, sebuah perusahaan Jepang, bertindak sebagai pengawas pelaksanaannya. Menurut Anda, mengapa Jepang tertarik mendanai inisiatif ini?

A: Informasi yang saya dapatkan dari Kepala BIG dalam satu forum bahwa BIG bekerjasama dengan ESRI dalam mengembangkan portal BIG karena ESRI memiliki pengalaman dan kapasitas yang baik. Mengenai dana dari Pemerintah Jepang untuk mengembangkan portal Geospasial Indonesia memang perlu dicermati seperti kekhawatiran banyak pihak bahwa informasi strategis Indonesia akan diakses oleh pihak luar. Saat ini juga sudah ada inisiatif yang dari Amerika melalui pendanaan hibahnya Millenium Challenge Corporation (MCC) juga akan mendukung pemetaan batas desa bekerjasama dengan pemerintah kabupaten dan provinsi.

Q: Sejauh ini apa isu yang paling menimbulkan perdebatan terkait dengan pembuatan peta ini?

A: Ini isu yang sensitif berkaitan dengan ego sektoral.  Tiap sektor memiliki peta tematik yang menjadi acuan terutama dalam hal perijinan. Kementerian dan lembaga yang memiliki kewenangan mengeluarkan ijin sangat menikmati situasi yang tidak jelas atau belum adanya peta rujukan bersama karena membuka peluang praktik korupsi. Jadi ini pasti bukan pekerjaan yang mudah untuk menyatukan kementerian dan lembaga yang memproduksi peta-peta tematik per sektor. Selain itu peta partisipatif atau peta wilayah adat yang ada saat ini juga masih perlu "standarisasi", seperti aspek geometrisnya.

Q: Jika tujuan utama ‘one map' ini adalah untuk membuka jalan bagi investasi lebih banyak, kebijakan ini bisa mempercepat proses landgrabbing/pencaplokan tanah, bukan begitu? Tetapi, jika publik bisa mengakses peta tersebut secara terbuka, masyarakat setempat akan bisa melihat apa yang direncanakan di wilayah bersangkutan dan dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk menentang pembangunan yang akan membawa dampak negatif terhadap mereka. Bagaimana pandangan Anda mengenai kemungkinan dampak positif dan/atau negatif dari penyusunan ‘one map' ini? Apakah bahayanya (dampak negatif) melebihi manfaatnya atau sebaliknya?

A: Saya berpendapat ini peluang untuk menghadirkan peta-peta masyarakat adat dalam kancah informasi geospasial resmi pemerintah. Situasi ketidakjelasan dan tidak adanya peta-peta tematik sebagai rujukan yang sama di pemerintah dan juga masyarakat seperti saat ini telah menimbulkan carut marut pengelolaan sumber daya alam dan konflik agraria yang luas. Jika peta wilayah adat menjadi salah satu peta tematik yang memiliki kedudukan yang sama dengan peta tematik lainnya, maka akan terlihat tumpang tindih penguasaannya. Artinya ada pengakuan dari pemerintah bahwa ada persoalan tenurial agar menjadi perhatian para pemerintah dan para pihak.

Landgrabbing itu sudah lama terjadi di Indonesia, salah satu sebabnya adalah adanya peta rujukan sektoral dan tidak diakuinya wilayah adat. Jadi one map ini bukan obat yang serta merta menyembuhkan ketidakadilan pengelolaan dan konflik agraria. Peta hanya salah satu dasar pengambilan keputusan pemerintah yang tentu saja dipengaruhi faktor-faktor lain diluar kekuatan peta itu sendiri, seperti faktor politik, kebijakan dan kepemimpinan dalam pengurusan negara ini. Sebagai sebuah inisiatif untuk memperjelas data spasial rujukan dalam pengambilan keputusan menurut saya perlu dihargai dengan tetap kritis dan menyiapkan sungguh-sungguh data spasial dari masyarakat.

Q: Portal untuk peta geospasial Indonesia ada di http://maps.ina-sdi.or.id/home/. Apakah menurut Anda ini tempat yang paling baik untuk menemukan informasi mengenai penggunaan tanah di Indonesia? Apakah ada situs dan sumber rujukan lain yang Anda rekomendasikan?

A: Ini adalah portal yang sedang dikembangkan oleh BIG. Di portal inilah peta wilayah adat akan ditampilkan di laman khusus peta wilayah adat. Terlepas dari kelengkapan informasi dan data yang tersedia di portal ini, menurut saya akan sangat baik jika semua informasi peta dasar dan peta tematik sudah mulai diarahkan ditampilkan dalam satu portal. Saat ini Kementerian Kehutanan juga mempunyai WebGis tentang kehutanan.

Q: Bagaimana kebijakan ‘one map' ini berkaitan dengan atau mempengaruhi kerja JKPP atau BRWA?

A: One map policy ini momentum yang penting buat JKPP dan BRWA untuk mengkomunikasikan keberadaan peta partisipatif dan wilayah adat kepada pemerintah. Artinya, peta masyarakat muncul dan diperlukan tidak hanya ketika ada konflik, tapi juga ketika ada pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakaat yang berada di dalam wilayah yang dipetakan.

Q: Apa yang Anda harapkan selanjutnya dari kebijakan ‘one map' ini?

A: Saya berharap proses standarisasi peta partisipatif oleh BIG memperhatikan kekhasan peta partisipatif sehingga tidak terjebak aspek teknis saja. Untuk mengantisipasi perubahan politik dan keberadaan UKP4 yang secara hukum hanya ada sampai tahun 2013, maka perlu disiapkan kebijakan yang melindungi hak-hak wilayah dan tanah-tanah masyarakat adat.

1. http://www.esri.com/news/arcnews/spring12articles/indonesia-nsdi-one-map-for-the-nation.html

Situs web JKPP: http://www.jkpp.org/

Situs web BRWA: http://brwa.or.id/