- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Kebutuhan akan keadilan gender
DTE 99-100, Oktober 2014
Bagaimana situasi keadilan gender di Indonesia? Bagaimana hal itu terkait dengan komunitas dan sistem pengelolaan sumber daya alam? Apa yang terjadi dengan keadilan gender ketika investor masuk? Bagaimana dengan perubahan iklim dan upaya untuk mitigasi dan adaptasi? Dalam artikel pengantar ini kami memaparkan sejumlah tantangan bagi keadilan gender di Indonesia hari ini.
Perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan lingkungan dan mengelola sumber daya alam secara berbeda. Pada beberapa komunitas perbedaan-perbedaan ini mungkin lebih menonjol dibandingkan pada komunitas lain. Penelitian yang terus berlangsung mengungkapkan pola kompleks pengelolaan sumber daya alam dan pengaruh-pengaruh dari gender.[1] Menurut Bank Dunia, bagi perempuan dalam komunitas hutan setengah dari pendapatan mereka berasal dari hutan, sedangkan laki-laki mendapatkan sekitar sepertiga pemasukan mereka dari hutan; sementara itu PEN dari CIFOR menemukan bahwa aktivitas laki-laki lebih memungkinkan untuk menghasilkan nafkah, sedangkan perempuan lebih terlibat dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar.[2]
Para perempuan di pedesaan Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh para kontributor newsletter ini, kerap kali diposisikan sebagai penyedia pangan oleh peran gender tradisional mereka, juga sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Laki-laki kerap kali dipandang atau digambarkan sebagai pencari nafkah utama (jika ada pekerjaan) dan umumnya mereka lebih mungkin memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya alam. Perempuan di wilayah pedesaan bisa bercocok tanaman pangan di tanah mereka[3], juga meramu berbagai bahan makanan, obat-obatan dan kebutuhan sehari-hari lainnya dari hutan (atau kombinasi keduanya dalam sistem wanatani). Mereka mungkin terlibat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar maupun kegiatan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan bagi keluarga ditambah pemasukan uang tambahan. Peran mereka mungkin juga menuntut mereka untuk menjaga pengetahuan budaya, memastikan keberlanjutan kehidupan komunitas dan mengambil keputusan mengenai urusan sosial dalam komunitas.[4]
Pembagian peran dan tanggung jawab yang sangat bervariasi ini seringkali cair dan terus berkembang di antara laki-laki dan perempuan tidak selalu mengisyaratkan adanya ketidakadilan gender. Seperti ditunjukkan oleh Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan dalam buku mereka mengenai perempuan dan perkebunan kelapa sawit, pembagian semacam itu bukan masalah “sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan”.
“Misalnya dalam pertanian Jawa tradisional, laki-laki mencangkul dan perempuan memanen dengan ani-ani[5]; di rumah perempuan menggunakan pisau untuk memasak dan laki-laki menggunakan parang untuk memotong kayu. Hal ini menjadi masalah ketika peran dan tanggung jawab membatasi hak perempuan terhadap akses dan kontrol. Misalnya, perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik dalam rumah tangga atau urusan desa, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan pertemuan-pertemuan desa hanya dihadiri oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga.”
[Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Melemahkan Posisi Perempuan, Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan untuk HAM, November 2010)
Memang pengambilan keputusan tentang kontrol atas tanah dan sumber daya alam kerap kali bukan cirri peran gender tradisional perempuan di pedesaan Indonesia. Hal ini berarti bahwa pentingnya peran dan sumber daya perempuan terhadap keberlanjutan kehidupan komunitas bisa diremehkan atau diabaikan sama sekali ketika tanah dan sumber daya alam milik komunitas diambil alih untuk produksi komersial. Sebagai akibatnya, perempuan malah bisa bernasib lebih buruk daripada laki-laki.[6]
“Dalam masyarakat, perempuan akar rumput adalah pihak yang paling sering diabaikan, tidak didengarkan bahkan tidak dianggap penting. Padahal perempuan akar rumput adalah pihak yang menghidupi kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam masyarakat.”
[Kongres Perempuan Poso, Siaran Pers 2014)
Data gender dasar Capaian kesetaraan gender di Indonesia tidak merata dan bervariasi yang sangat beragam secara budaya dan agama. |
Ketika investor datang…
Ada juga perbedaan gender dalam perusakan lingkungan ketika eksploitasi sumber daya alam skala besar berlangsung di daerah yang sebelumnya dikuasai atau dapat diakses oleh komunitas lokal. Hal ini terjadi di wilayah yang mengalami perluasan cepat tambang batu bara di Kalimantan, misalnya, dan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Pengalaman-pengalaman tersebut seputar hilangnya mata pencarian, air dan ketahanan pangan terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan. Dalam hal ini perempuan dalam peran mereka sebagai pengurus rumah tangga bisa merasakan kehilangan sumber daya alam lebih langsung dibandingkan laki-laki. Kehilangan-kehilangan ini ditambah dengan dampak-dampak negatif baru yaitu pencemaran terhadap air yang digunakan untuk memasak, mencuci dan minum, misalnya; pencemaran terhadap tanah pertanian yang tersisa; dan ancaman terhadap kesehatan dari pencemaran udara.
Di wilayah hutan, yang kontrol resmi dan kepemilikannya dipegang oleh negara, hilangnya kuasa atas tanah, pohon dan aset lainnya menghancurkan laki-laki, perempuan dan seluruh komunitas sewaktu investasi masuk. Seperti dinyatakan oleh CIFOR dalam analisis gender pada riset kehutanan internasionalnya, bilamana aset yang dimaksud dimiliki oleh perempuan, posisi perempuan diperkuat dalam rumah tangga dan komunitas, yang memberi motivasi bagi mereka untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. “Namun, fokus sempit pada kepemilikan melupakan adanya kepemilikan oleh perempuan terhadap akses dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Walaupun memahami hukum adat dan hak-hak de facto adalah penting, jauh lebih banyak perhatian perlu diberikan pada ruang-ruang ‘antara’ yang dapat diakses perempuan; ruang -ruang di sela-sela tanaman dan pepohonan milik laki-laki, atau pada lahan kritis dimana perempuan dapat mengumpulkan kayu bakar atau bahan pangan liar.”[9] CIFOR mencatat bahwa ada “manfaat besar” dalam pelibatan baik laki-laki maupun perempuan di dalam kebijakan pengelolaan hutan, dan bahwa pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait hutan di tingkat komunitas sudah menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan dalam sejumlah persoalan pengelolaan hutan, termasuk kapasitas kelompok-kelompok komunitas untuk mengelola konflik.
“Di banyak hutan dan negara …kesetaraan gender yang lebih tinggi adalah salah satu kunci pengelolaan hutan yang berkelanjutan.” [Lembar fakta CIFOR CGIAR, Analisis gender dalam penelitian kehutanan]
Di Indonesia, Mia Siscawati dan Avi Mahaningtyas peneliti-peneliti Sayogyo Institute menyerukan agar prinsip-prinsip dan aksi terkait keadilan gender dimasukkan dalam perumusan ulang kerangka hukum bagi tanah hutan dan sumber daya alam serta pembangunan kapasitas yang sistematik mengenai keadilan gender dan tenurial dan tata kelola hutan bagi lembaga-lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga donor.[10]
Perempuan Indonesia dan perkebunan kelapa sawit
|
Pekerjaan-pekerjaan berbasis gender
Barangkali ada konsekuensi lebih buruk bagi perempuan dibandingkan bagi laki-laki ketika perusahaan merekrut pekerja, karena adanya investasi yang masuk akan membuat rumit dan mengaburkan pembagian kerja berdasarkan gender yang sudah ada sebelumnya. Dalam proyek tambang dan industri pengerukan lainnya, jarang ada pekerjaan langsung bagi perempuan, sedangkan di perkebunan, jikapun ada pekerjaan untuk perempuan, kecenderungannya pekerjaan tersebut berupah rendah, kurang terjamin dan lebih berbahaya. (Perusahaan kerap membanggakan diri bahwa mereka menciptakan lapangan kerja bagi komunitas dengan menyebutkan jumlahnya, tetapi mereka tidak mengungkapkan, itupun jika mereka menghitung, berapa banyak pekerjaan yang ada baik yang berupah maupun tidak yang dihancurkan atau dihilangkan oleh perubahan yang mereka bawa).
Sementara itu, peran gender tradisiional masih terus ada sehingga perempuan masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang.
‘Perempuan, yang secara tradisional bertanggungjawab mengumpulkan makanan untuk keluarga, kini harus meninggalkan anak-anak dan suami sejak subuh hingga petang untuk mencari hutan yang masih ada umbi-umbian, sagu dan sayuran untuk persediaan beberapa hari. “Hal ini menimbulkan persoalan di dalam keluarga. Laki-laki marah dan anak-anak sendirian sepanjang hari” kata seorang perempuan setempat.’
[Konflik di Papua bagian Indonesia, GOHONG 28/Mar/2014 (IRIN)]
Dalam hal pekerja perkebunan, ada ekspektasi bahwa perempuan pekerja sebaiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil bekerja sepanjang hari di perkebunan. Penelitian menemukan bahwa keterbatasan peluang dari mata pencarian berbasis lahan dapat mengurangi status perempuan dalam keluarga dan masyarakat, sementara pada saat yang sama meningkatkan beban kerja mereka. Dalam beberapa contoh, perubahan cepat yang ditimbulkan oleh proyek investasi baru memiliki kaitan dengan adanya peningkatan pelecehan seksual dan/atau kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan pedesaan dan kepemilikan tanah Lebih dari duapuluh dua juta rumah tangga terlibat dalam pertanian di Indonesia pada tahun 2003, 20% di antaranya dikepalai oleh perempuan.[18] Di pedesaan, perempuan berperan penting dalam perkebunan, pembangunan pedesaan dan pemanfaatan/pengelolaan hutan, namun hanya sedikit terlibat dalam pengambilan keputusan. Pola kepemilikan tanah juga cenderung merugikan perempuan: Pasal 35 undang-undang perkawinan (1974) memungkinkan kepemilikan bersama atas properti, tetapi kenyataannya banyak harta masih terdaftar atas nama suami. Sejak tahun 2000 kebijakan pertanian pemerintah memasukkan perspektif gender, dan Kementrian Pertanian adalah salah satu lembaga yang mengujicobakan anggaran gender. Namun, secara umum dipandang bahwa komitmen pemerintah untuk meningkatkan perempuan pedesaan berkurang antara rencana pembangunan 2004-2009 dan 2010-2014. Program legislasi nasional 2012 memasukkan rancangan undang-undang terkait dengan perempuan pedesaan, tetapi Kementriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak terlibat dalam pembahasannya. |
Padiatapa peka gender Padiatapa (FPIC) peka gender memastikan baik laki-laki dan perempuan mendapatkan informasi lengkap mengenai proyek, atau program yang mempengaruhi mereka; bahwa pertemuan-pertemuan konsultasi diatur agar sesuai dengan jadwal waktu perempuan, menggunakan peristilahan yang sesuai dan memberikan cukup waktu dan peluang untuk diskusi. Adalah penting bahwa perempuan seharusnya memiliki hak untuk tidak memberikan restu atau izin bagi proyek atau program yang mempengaruhi komunitas mereka.[19] |
Perubahan iklim
“Perubahan iklim tidak hanya akan membahayakan kehidupan dan merusak mata pencarian, tetapi juga akan memperburuk kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin serta memperkuat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki” [Women and the climate change’, Lynda K.Wardhani, Jakarta Post, 5 Januari 2010[20]]
Dampak perubahan iklim mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda begitu pula penanganan seputar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Secara global, perempuan adalah penghasil utama tanaman pangan pokok, maka ketika produksi pangan terganggu akibat perubahan iklim, kerja mereka, waktu kerja, dan kapasitas untuk memberi makan keluarga akan terganggu. Jika perempuan pedesaan lebih tergantung pada hutan untuk pendapatannya dibandingkan dengan laki-laki di komunitas, maka setiap dampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya hutan terkait dengan perubahan iklim juga akan lebih mempengaruhi perempuan.
Seperti yang dipaparkan Lynda Wardhani pada tahun 2010, perempuan juga lebih rentan terhadap perubahan iklim, karena peluang mereka lebih kecil dibandingkan laki-laki dalam mencari pendapatan. Mereka mengelola rumah tangga dan mengurus keluarga, yang dapat membatasi mobilitas mereka dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam mendadak terkait cuaca.
“Kemarau dan curah hujan yang tidak menentu memaksa perempuan utk bekerja lebih keras untuk mendapatkan makanan, air dan energi bagi rumah tangga. Anak-anak perempuan meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka dengan tugas-tugas rumah tangga. Siklus kekurangan, kemiskinan dan ketidaksetaraan merusak modal sosial yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim secara efektif.”[21]
Lebih jauh lagi, karena perubahan iklim mengakibatkan lebih banyak cuaca ekstrim dan bencana yang terkait seperti banjir, longsor dan kekeringan, ada kemungkinan bahwa perempuan juga akan menanggung beban yang tidak proporsional: beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyaraka yang saat inipun sudah tidak setara. Hal ini terbukti dalam hal angka kematian perempuan yang tidak berimbang dibandingkan laki-laki dalam bencana, namun juga dalam hal kondisi ruang hidup dan kerentanan pasca bencana.[22]
Keterlibatan aktif perempuan dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya berarti mereka seharusnya dipandang sebagai pelaku utama dalam upaya mitigasi dan adaptasi[23] termasuk pengelolaan dan penggunaan dana mitigasi dan adaptasi.
Standar aturan perlindungan untuk menghentikan marginalisasi lebih jauh dibutuhkan dalam semua kebijakan, program dan inisiatif, termasuk pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui mekanisme pendanaan speerti Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund), namun pendiriannya berlangsung lamban selama bertahun-tahun negosiasi perubahan iklim. Hal-hal tersebut baru mendapat perhatian serius pada Kesepakatan Cancun di UNFCCC COP 16 tahun 2010. Kesepakatan tersebut mengakui perempuan dan kesetaraan gender sebagai aksi efektif yang integral untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kesemuanya tercakup dalam delapan rujukan terhadap perempuan dan gender pada tujuh bagian teks.[24]
REDD+
Perempuan lebih mungkin terdampak secara tidak proporsional oleh kebijakan-kebijakan dan inisiatif REDD+ karena peran gender mereka yang membuat mereka kerap kali lebih tergantung terhadap akses ke hutan dan sumber daya alam sebagai mata pencarian dan kebutuhan dasar mereka dibandingkan laki-laki.[25] Risiko-risiko potensial bagi perempuan termasuk pembatasan aktivitas mata pencarian atau akses ke hutan, yang dapat mengarah pada meningkatnya beban kerja atau hilangnya pendapatan, serta dikeluarkan dari mekanisme bagi hasil.[26]
Sejauh ini Inisiatif REDD+ di Indonesia gagal untuk melibatkan (jika memang terjadi) perempuan secara memadai dan perempuan memiliki akses terbatas dalam pengambilan keputusan mengenai proyek-proyek yang direncanakan dalam kawasan mereka, atau mengenai pengambilan keputusan atas REDD di tingkat nasional atau regional. Dalam sebuah studi gender dan REDD+, Program UNREDD, misalnya, mengakui bahwa Program Indonesia disusun tanpa konsultasi dengan kelompok perempuan dan ahli gender, dan bahwa Dokumen Program Nasional gagal memasukkan perspektif gender atau aktivitas-aktivitas yang menargetkan perempuan – sebuah kekurangan yang baru disikapi tiga tahun kemudian. Sejak 2012, program mulai melibatkan ‘perempuan unggulan’ dalam implementasi program dan untuk menjadi inspirasi bagi perempuan lain untuk lebih aktif terlibat, serta memasukkan gender dalam topik pelatihan bagi Padiatapa (FPIC) yang tanggap gender, dan melibatkan organisasi perempuan di tingkat lokal. Namun, seperti yang dinyatakan oleh dokumen itu sendiri, “inisiatif-inisiatf ini sendiri tidak cukup. Upaya untuk mengarusutamakan gender seharusnya lebih komprehensif dan terlembagakan.”[27] Studi UNREDD menyatakan bahwa gender harus diintegrasikan ke dalam REDD+ berdasarkan dua alasan utama: hak (yaitu CEDAW, UNDRIP, Kesepakatan Cancun) dan efisiensi – karena pelibatan perempuan dalam REDD+ berpeluang meningkatkan efisiensi program dan kelangsungannya dalam jangka panjang.[28]
Strategi REDD+ Nasional dan PRISAI (Prinsip, Kriteria dan Indikator Perlindungan) memuat sejumlah rujukan terhadap gender dan perempuan, antara lain berkat masukan dari kelompok masyarakat sipil (lihat juga artikel terpisah). Namun, menurut penelitian UNREDD, dua unsur penting tidak dimasukan dalam standar perlindungan: kontrol perempuan yang pasti atas hutan dan sumber daya alam; dan implementasi Padiatapa peka gender (lihat kotak).
Representasi politik di Indonesia Soal representasi disikapi dalam sistem legal oleh penetapan kuota 30% bagi perempuan dalam partai politik yang ikut pemilihan umum di UU No.10/2008 mengenai pemilihan legislatif. Menurut Komisi Pemilihan Umum, dari 6.607 calon yang memperebutkan 560 kursi DPR tahun ini, 37% atau 2.467 di antaranya adalah perempuan. Namun, jika dibandingkan dengan persentase calon legislatif, hanya sedikit jumlah perempuan yang pada akhirnya duduk di parlemen. Perempuan hanya mengisi 94 dari 560 kursi di DPR yang baru. Artinya, keterwakilan perempuan hanya 16,8% - kurang dari separuh persentase calon yang bertarung. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi ke-90 dari daftar negara yang disusun oleh Inter-Parliamentary Union.[29] Jumlah perempuan berkurang di parlemen yang baru dibandingkan periode sebelumnya. Pemilihan umum tahun 2009 mencatat persentase tertinggi perempuan duduk di DPR dalam sejarah Indonesia, yaitu 18 persen dari 560 kursi. |
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
Saat ini ada RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender sedang menunggu di parlemen, namun tertunda pembahasannya karena pemilihan umum tahun ini. Terjebak dalam kontroversi mengenai beberapa klausul yang dipandang oleh beberapa kelompok agama sebagai bertentangan dengan agama Islam dan budaya Indonesia, sebagai akibatnya RUU tersebut kemungkinan menjadi lebih lemah, itupun jika jadi disahkan. Jika tidak, penyusunan rancangan yang baru akan dimulai pada parlemen berikutnya. RUU tersebut mencakup 12 hal antara lain mengenai kewarganegaraan, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan dan perkawinan. Pasal-pasal mencakup hak kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki untuk bekerja di semua sektor, kesetaraan upah /gaji untuk pekerjaan yang sama, hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak, kewenangan untuk memilih suami dan istri tanpa paksaan, dan perlakuan yang adil di muka hukum. Klausul tentang perkawinan adalah yang terutama menjadi masalah bagi beberapa kelompok Islam.[30]
CEDAW Indonesia menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1984 dan meratifikasinya melalui UU No.7 tahun 1984. Namun demikian, implementasinya masih sepotong-sepotong dan lemah. Indonesia menyampaikan laporan terakhir ke CEDAW pada tahun 2012 lalu Komisi bertemu dengan delegasi pemerintah Indonesia untuk membahasnya. Dalam pertemuan tersebut delegasi Indonesia menggarisbawahi, salah satunya, Rencana Aksi Nasional mengenai HAM untuk tahun 2011-2014 yang menyediakan fasilitas bagi perempuan untuk menyampaikan keluhan atas kekerasan dan diskriminasi; RUU tentang kesetaraan gender; dan pengarusutamaan gender di tingkat nasional dan lokal bagi para legislator dan pembuat kebijakan. Kesemuanya, delegasi menyampaikan, Indonesia menunjukkan kemajuan berarti dalam hak-hak perempuan. Namun, pertanyaan-pertanyaan komisi kepada Indonesia adalah mengenai kurangnya perkembangan, terutama dalam hal representasi dan kuota perempuan, perdagangan manusia (trafficking) dan pekerja migran, undang-undang terdesentralisasi yang melanggar konvensi HAM, kekerasan terhadap perempuan dan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) yang masih legal di Indonesia.[31] Sejumlah laporan tandingan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil disampaikan kepada Komisi, termasuk dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berfokus pada hak perempuan pedesaan,[32]juga sebuah laporan gabungan oleh beberapa organisasi perempuan yang terkemuka di Indonesia.[33] Keprihatinan-keprihatinan dalam laporan itu mencakup perihal perempuan di pedesaan, wilayah pesisir, tambang, perkebunan sawit, dan perubahan iklim. Tahun 2014 ini pemerintah memberi isyarat akan niatnya untuk meratifikasi protokol opsional CEDAW, namun pada saat artikel ini dicetak niat tersebut belum dilaksanakan. |
Kekerasan berbasis gender
Kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi masalah di Indonesia dan menyerap banyak perhatian media. Sejumlah total 54.425 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan kepada Komnas Perempuan pada tahun 2008. Sembilan puluh persen mengenai hubungan pribadi atau melibatkan suami.
Poligami dan perkawinan dini masih menjadi masalah di Indonesia, dan di beberapa bagian negeri kekerasan terhadap perempuan dilembagakan. Di beberapa wilayah ada juga pelanggaran terang-terangan atas hak perempuan terkait warisan, cara berpakaian dan partisipasi publik. Walaupun sebuah undang-undang tahun 2007 dibuat untuk mengatasinya, perdagangan manusia (trafficking) masih menjadi masalah, begitu pula kekerasan terhadap tenaga kerja perempuan (terutama pekerja rumah tangga) (lihat kotak dalam artikel SP).
Kekerasan terhadap perempuan (dan anak-anak) di Papua telah menimbulkan keprihatinan mendalam akibat tingginya insiden yang dilaporkan. Pada tahun 2011 Komisi HAM Asia (AHRC) mengatakan bahwa perempuan asli Papua melaporkan tingginya angka kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suami dan pasangan yang hanya sedikit sekali mendapat perlindungan dari polisi atau badan negara.[34] Menurut Komnas Perempuan, provinsi Papua mencatat 1.360 kasus kekerasan berbasis gender per 10.000 perempuan pada tahun 2012, walaupun tingkat pelaporan tergolong rendah di Papua. Secara umum alkohol dipandang sebagai faktor yang berperan dalam kekerasan rumah tangga (lihat juga artikel dari Arso Timur.)
Tanah Papua (mencakup provinsi Papua dan Papua Barat) merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun puluhan tahunan terjajah secara politik dan budaya disertai perampasan sumber daya alam dan kekerasan yang dilakukan oleh militer dan polisi terhadap orang asli Papua di wilayah mereka telah berperan dalam menempatkan Papua pada tingkat terendah dalam pembangunan manusia. Tingkat literasi orang dewasa di sana hanya 64%, dan secara rata-rata anak-anak hanya menempuh pendidikan kurang dari enam tahun.[35] Aparat keamanan negara juga bertanggungjawab atas tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan di provinsi ini. Kasus-kasus kekerasan telah terdokumentasi dalam publikasi seperti Cukup Sudah! berdasarkan kesaksian-kesaksian para perempuan korban sendiri, [36] begitu juga aktivis pengkampanye Papua seperti Yosepha Alomang.
Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua, Angelbertha Kotorok, menggambarkan kekerasan berbasis gender dan penjajahan ekonomi yang dialami oleh perempuan yang mencoba menghidupi keluarga mereka di Mimika, lokasi tambang tembaga dan emas dari perusahaan raksasa Rio Tinto/Freeport sebagai berikut:
“Selain bekerja sehari-hari di kebun dan menapis emas, para perempuan harus menghadapi kekerasan yang dilakukan suami mereka, begitu pula tindak kekerasan dari anggota penjaga keamanan… Mereka juga menghadapi tekanan dari penjaga keamanan yang menuntut uang dari menapis emas. Lebih jauh lagi, mereka dipaksa menjual hasil menapis emas kepada oknum penjaga keamanan dengan harga sangat rendah.” (Bintang Papua, 3 Januari 2012)
Hukum dan Peraturan Nasional tentang Gender di Indonesia – sebuah daftar pilihan Negara memiliki kebijakan pengarusutamaan gender dalam beberapa kementrian dan sebuah RUU mengenai kesetaraan gender sedang dibahas. Namun hanya sedikit undang-undang nasional dan lebih sedikit lagi peraturan daerah yang sudah diharmonisasikan dengan CEDAW. Pelaksanaan undang-undang dan kebijakan untuk meningkatkan kesetaraan perempuan tidak merata dan di beberapa wilayah nusantara, terutama di daerah-daerah yang menerapkan hukum sharia, perempuan mengalami semakin banyak, bukannya berkurang, pembatasan kebebasan.
Aparatus Nasional
|
Laki-laki berganti peran gender
Perubahan ekonomi dan sosial pada masyarakat Indonesia dalam tiga hingga empat dekade terakhir telah mendorong perubahan pada peran gender tradisional laki-laki. Bukan sekedar bahwa kekuasaan laki-laki dalam pengambilan keputusan berkurang secara seimbang seiring dengan meningkatnya kekuasaan perempuan. Kadang-kadang peran setiap orang bermutasi ketika ada perubahan dramatik dalam ekonomi dan produksi agraria. Dan sebaiknya kita tidak berasumsi mengenai sikap mereka terhadap perubahan, yang juga bervariasi.
Menantang asumsi Penelitian baru oleh Jaringan tentang Kemiskinan dan Lingkungan (PEN) yang dipimpin oleh CIFOR, mempertanyakan asumsi mengenai peran relatif laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan. Sebuah penelitian gobal menemukan bahwa, bertentangan dengan ekspektasi, laki-laki memainkan peran dasar penting dalam keluarga-keluarga yang diteliti. Penelitian menemukan bahwa di Afrika, sebagaimana yang diasumsikan sebelumnya, perempuan cenderung memainkan peran penyedia kebutuhan dasar iyang lebih kuat, tetapi di Asia Tenggara laki-laki dan perempuan cenderung lebih banyak berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan hutan dan produksi pertanian. “Untuk gambaran lengkap mengenai ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap sumber daya alam, tidaklah cukup dengan menimbang peran laki-laki atau perempuan. Kita membutuhkan keduanya,” kata Victoria Reyes-Garcia, penulis laporan.[39] |
Bagaimana organisasi masyarakat sipil Indonesia menyikapi perihal laki-laki dan keadilan gender? Pertimbangan gender sering kali dapat mengesankan sebagai paksaan dari luar, atau dalam hal inisiatif pembangunan dengan dana luar negeri, sebagai praktik memenuhi persyaratan saja ketimbang sebagai sebuah proyek untuk transformasi. Hal ini bisa diamati terutama pada ornop yang tidak berurusan langsung dengan hal gender, namun mungkin kurang-lebih secara sukarela mengadopsi kebijakan gender/memasukkan perspektif gender ke dalam kerja mereka. Hal ini yang misalnya telah Solidaritas Perempuan saksikan dalam kerja mengenai gender dan sumber daya alam. Dalam menyiapkan newsletter ini DTE hanya menemukan beberapa rujukan saja tentang laki-laki yang terlibat dalam program keadilan gender. Salah satu antaranya adalah Feminist School (Sekolah Feminis) yang diselenggarakan oleh Jaringan Nasional Pembebasan Perempuan sejak tahun 2008. Perempuan pergi ke sekolah tersebut, namun juga laki-laki (pada sekolah yang pertama ada 67 laki-laki, 101 perempuan dan 1 transgender). Sekolah itu memiliki 6 anggota laki-laki dari 149 anggota keseluruhan.[40] Ada juga anggota laki-laki aktif dalam Solidaritas Perempuan dan Jurnal Perempuan.
Pada akhirnya, keadilan gender perlu ditampilkan dan dipahami sebagai perangkat yang kuat bagi seluruh komunitas. Ketika perempuan dikuatkan, seluruh komunitas mendapat manfaat. Laki-laki yang mengakui dan bertindak untuk menyikapi ketidakadilan gender mengetahui bahwa mereka, keluarga dan komunitas akan mendapat manfaat dari perempuan yang membagikan kebijakan dan wawasan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Memperjuangkan keadilan gender berarti mendukung semua anggota komunitas – tanpa melihat apakah mereka laki-laki atau perempuan – untuk mengembangkan potensi secara penuh menurut ketrampilan dan bakat, di dalam dan di luar peran gender tradisional. Hal itu membebaskan potensi individu, keluarga dan komunitas untuk menghadapi banyak tantangan sosial, ekonomi dan lingkungan yang ada di depan kita dengan lebih baik.
Instrumen internasional
|
[1] Lihat misalnya, tantangan-tantangan terbaru terhadap asumsi-asumsi peran gender dalam pengelolaan hutan, oleh Poverty and Environment Network (Jaringan Kemiskinan dan Lingkungan), CIFOR. ‘Study paints nuanced picture of gender roles in forestry’, 28 April 2014.
[2] Lembar fakta CIFOR CGIAR, Gender analysis in forestry research
[3] Perempuan jarang memiliki hak resmi atas tanah, walaupun hukum Indonesia memungkinkan hal tersebut. Selain itu, tanah adat masyarakat adat di kawasan hutan yang diklaim oleh pemerintah sebagai zona hutan negara telah menghalangi jutaan pengakuan resmi akan hak orang akan tanah/tenurial-nya, baik hak tenurial tersebut dimiliki secara komunal atau secara perseorangan oleh laki-laki maupun perempuan. Hal ini semestinya berubah setelah Mahkamah Konstitusi pada bulan Mei 2013 memutuskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, tetapi proses pengakuan tanah adat kemungkinan berlangsung lambat. Lihat ‘Kementrian Kehutanan enggan melepaskan kendali atas hutan,’ DTE 98, Maret 2014. http://www.downtoearth-indonesia.org/story/forestry-ministry-reluctant-relinquish-control-over-forests
[4] Lihat ‘Indigenous Women’s workshop at AMAN Congress’, DTE 74, Agustus 2007. http://www.downtoearth-indonesia.org/story/indigenous-womens-workshop-aman-congress
[5] alat khusus untuk memanen padi
[6] Penelitian menemukan bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam kelompok pengambilan keputusan di lembaga kehutanan komunitas telah menunjukkan adanya peningkatan tata kelola hutan dan keberlanjutan sumber daya alam. Lihat Lembar fakta CIFOR CGIAR, Gender analysis in forestry research.
[7] UNDP. 2011. Human Development Report 2011: Sustainability and Equity: a better future for all. UNDP: New York, dikutip dalam Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia, Program UNREDD, November 2012.
[8] ADB. 2006. Indonesia Country Gender Assessment, dikutip dalam Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia, Program UNREDD, November 2012.
[9] Lembar fakta CIFOR CGIAR, Gender analysis in forestry research
[10] Lihat newsletter DTE ‘The Struggle for Land’, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/dte-newsletter-93-94-full-edition-download. Lihat juga kontribusi Mia Siscawati untuk newsletter ini
[12] Lihat Edisi khusus DTE tentang agrofuel http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/buletin-dte-96-97-edisi-lengkap-tentang-bahan-bakar-nabati-untuk-diunduh.
[13] Kementrian Pemberdayaan Perempuan, disarikan oleh FPP, CIRAD dan ILC, dan dikutip dari ‘Policies and practice: favouring big business over communities’, DTE 93-94, Desember 2012, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/policies-and-practice-favouring-big-business-over-communities
[14] The Oil Palm Plantation System Weakens the Position of Women, Sawit Watch and Women’s Solidarity for Human Rights, November 2010. Informasi lebih lanjut mengenai program transmigrasi ada di laporan DTE, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/indonesia-s-transmigration-programme-update.
[15] The gendered politics of dispossession: oil palm expansion in a Dayak Hibun community in West Kalimantan, Indonesia, oleh Julia and Ben White. Makalah disampaikan dalam Konferensi internasional tentang Global Land Grabbing, 6-8 April 2011.
[16] Sawit Watch, 14/Mei/2014, Deklarasi Makasar, Meneguhkan Keadilan dan Kearifan Posisi Perempuan dalam Pengelolaan Kekayaan Alam. http://sawitwatch.or.id/2014/05/deklarasi-makasar-meneguhakn-keadilan-dan-kearifan-posisi-perempuan-dalam-pengelolaan-kekayaan-alam/
[17] Prinsip-prinsip dan Kriteria RSPO bagi produksi minyak sawit yang berkelanjutan 2013. http://www.rspo.org/file/RSPO%20P&C2013_with%20Major%20Indicators_Endorsed%20by%20BOG_FINAL_A5_25thApril2014.pdf
[18] JICA Indonesia Country Gender Profile 2011 - halaman 25
[19] Lihat: Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia Program UNREDD, November 2102
[20] http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/05/women-and-climate-change.html diakses 13 Agustus 2014
[21] ‘Women and climate change’,’ Lynda K.Wardhani, Jakarta Post, 5 Januari 2010
[22] ‘Women and climate change’, Lynda K.Wardhani, Jakarta Post, 5 Januari 2010. Artikel ini menyebutkan mengenai perkosaan dan perdagangan perempuan penyintas tsunami Aceh, dan kerentanan untuk diperdagangkan pada perempuan yang tergusur akibat bencana lumpur Lapindo. Lihat juga DTE 64, Maret 2005 untuk informasi lebih lanjut mengenai dimensi gender dari tsunami Aceh.
[23] Lihat juga ‘Pertemuan perempuan adat – dari sudut pandang pribadi’ DTE 91-92, Mei 2012. http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/pertemuan-perempuan-adat-dari-sudut-pandang-pribadi
[24] Lihat http://www.wedo.org/library/cancun-climate-agreements-taking-great-strides-for-women%E2%80%99s-rights-and-gender-equality.
[25] Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia, Program UNREDD, November 2102. Dokumen ini menyampaikan bahwa REDD+ berpotensi mengurangi kesenjangan gender dengan memberikan cara-cara yang dapat membuat perempuan mendapat akses lebih besar terhadap hutan dan sumber daya alam, namun juga menunjukkan potensi dampak-dampak negatif yang tidak proporsional terhadap perempuan.
[26] Lembar fakta CIFOR CGIAR, Gender analysis in forestry research
[27] Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia, Program UNREDD, November 2102.
[28] Integrating gender into REDD+ safeguards implementation in Indonesia, Program UNREDD, November 2102
[29] Lihat http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm accessed 12 August 2014. Sebagai pembanding, persentase perempuan Anggota Parlemen Eropa (MEP) setelah pemilihan tahun 2014 adalah 36,7%; di Inggris persentase perempuan anggota parlemen adalah 22% sedangkan di Jerman 33%. Sumber-sumber: : Left parties win gender parity contest in new EU Parliament, Euractiv, http://www.euractiv.com/sections/future-eu/left-parties-win-gender-parity-contest-new-eu-parliament-302608, diakses 12/08/2014, dan ‘First MEP for a feminist party likely to win seat in European elections, The Guardian 21/Mei/2014.
[30] Keragaman organisasi dan komunitas Islam Indonesia dan sikap mereka terhadap relasi gender dibahas dalam ‘Islam and Gender Relations in Indonesia, with a Special Focus on Eastern Indonesia’ oleh Kathryn Robinson dalam Intersection: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 30, November 2012.
[31] CEDAW/C/SR.1043, 5 Desember 2012
[32]Lihat Report of Independent NGO Implementation of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) In Indonesia, Fulfilment of the Rights of Rural Women, Article 14, CEDAW, http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ngos/KoalisiPerempuanIndonesia_for_the_session.pdf, diakses pada 19 Agustus 2014
[33] CEDAW Working Group of Indonesia, Independent Report of Non-Government Organizations Concerning the Implementation of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women in Indonesia, 2012
[34] Tackling domestic violence in Indonesia’s Papua Province’, IRIN, 13/Desember/2013
[35] Tackling domestic violence in Indonesia’s Papua Province’, IRIN, 13/Desember/2013
[36] Untuk dokumen lengkap lihat ‘Kekerasan terhadap perempuan Papua – keterkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam di DTE 91-92, Mei 2012. http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kekerasan-terhadap-perempuan-papua-keterkaitan-dengan-ekstraksi-sumber-daya-alam, dan Cukup Sudah!, ICTJ, Komnas Perempuan, dan Pokja Perempuan MRP http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Laporan-Independen-Komnas-Perempuan_UPR.pdf.
[37] Lihat ‘Time running out for Indonesia’s stalled gender equality bill’, 8 April 2014, Thomson Reuters Foundation, http://protectionline.org/2014/04/08/time-running-out-for-indonesias-stalled-gender-equality-bill/, diakses 19 Agustus 2014.
[38] Komnas Perempuan: Ada 342 Perda Diskriminatif di Indonesia, Voice of America Bahasa Indonesia, http://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-ada-342-perda-diskriminatif-di-indonesia/1736465.html, diakses 19 Agustus 2014
[39] Poverty and Environment Network, CIFOR. ‘Study paints nuanced picture of gender roles in forestry, 28/April/2014.
[40] Feminist School for Young People and Developing New Facilitator of Feminism 2013-2015, https://hivos.org/activity/feminist-school-young-people-and-developing-new-facilitator-feminism-2013-2015 diakses 13/Agustus/2014