Sawit dan Perempuan di Wilayah Investasi

Hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit di Arso Timur, Papua (Dok SKPKC FP)

DTE 99-100, Oktober 2014

Sebuah Pandangan dari Kampung Suskun, Papua

Oleh Yuliana Langowuyo, Direktris SKPKC Fransiskan Papua, yang mengunjungi buruh dan masyarakat di Kampung Suskun minimal satu kali dalam sebulan sejak 2011. Kehadiran investasi di Kabupaten Keerom yang secara resmi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat asli Keerom, yaitu komunitas adat Walsa dan Fermanggam ternyata juga berdampak negatif terhadap kehidupan manusia dan keutuhan ciptaan[1] di Tanah Keerom. Mulai dari hilangnya hutan tempat masyarakat adat mencari makanan, obat-obatan dan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, berkurangnya binatang buruan yang biasanya diburu oleh masyarakat untuk memenuhi gizi keluarga, hilangnya tempat-tempat sakral yang mempunyai nilai budaya bagi orang asli Keerom, sampai dengan terkikisnya nilai-nilai adat yang baik yang menjunjung tinggi kekeluargaan dan gotong royong, karena zaman sekarang semua hal diukur dengan uang.

Hutan yang dilepas masyarakat bukan hutan yang sudah rusak, tetapi hutan produktif yang berisi pohon kayu besi, rotan, aneka jenis binatang, sayur-sayuran, obat-obatan herbal, tempat sakral masyarakat adat yang menjadi sumber hidup masyarakat adat, tempat perempuan asli mengambil segala kebutuhan hidup keluarganya.

 

Banyak hal berubah dalam tatanan hidup masyarakat adat, tetapi salah satu hal yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana posisi perempuan dalam menghadapi arus investasi yang masuk dan membawa banyak perubahan dalam hidup komunitasnya. Mereka adalah perempuan di Kampung Suskun, kampung masyarakat adat Papua, di Distrik Arso Timur, yang dimasuki oleh sebuah perusahaan sawit raksasa PT Tandan Sawita Papua, milik Rajawali Group, dan beroperasi sejak tahun 2008. 

PT Tandan Sawita Papua beroperasi di wilayah Distrik Arso Timur yang berbatasan langsung dengan Arso Kota dan Papua Nugini. Perusahaan sawit pertama yang masuk di Arso Kota adalah PTPN II yang sudah beroperasi sejak tahun 1983. Arso Timur adalah wilayah yang baru untuk perusahaan sawit, hutannya masih hutan produktif. Setelah perusahaan sawit PT Tandan Sawita Papua masuk baru dimulai semua penebangan kayu besi dan lain-lain.

Perusahaan memiliki amdal walaupun hanya formalitas belaka. Masyarakat tidak punya pilihan. Meskipun ada sebagian menolak perusahaan masuk, tetapi kepala-kepala suku sudah didekati lebih dulu oleh pihak perusahaan dan pemerintah daerah Kabupaten Keerom sudah mengeluarkan izin resmi untuk perusahaan melakukan eksploitasi.

Perempuan menjadi Buruh

Umumnya  perempuan yang ada di wilayah investasi tidak mengetahui proses jual-beli tanah dari kepala-kepala suku kepada pihak investor. Jual-beli tanah dilakukan oleh laki-laki. Perempuan tidak ingin tanah mereka dijual, karena mereka pikir kalau tanah mereka sudah habis anak-anak mereka besok akan hidup dimana.

Dari segi ekonomis perempuan tidak terlalu diuntungkan. Mereka kehilangan hutan (sudah habis ditebang, lihat foto) tempat mereka mengambil kebutuhan hidup sehari-hari dan sekarang mereka sangat bergantung pada perusahaan. Mereka harus bekerja sebagai buruh di perusahaan untuk bisa memperoleh uang yang akan digunakan untuk biaya hidup mereka, biaya sekolah anak-anak, makan-minum, kesehatan dan lain-lain.

Perempuan berada pada posisi tertekan dan tak berdaya, karena mereka tidak ingin tanah mereka dijual, tetapi hak atas tanah ada di tangan laki-laki. Mereka tidak ingin menjadi buruh, tetapi saat ini tidak ada pilihan lain sedangkan mereka masih harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi adanya konflik yang muncul di tempat kerja antara buruh dengan buruh, antara buruh dengan mandor/asisten manajer, antara sesama orang Papua dari suku berbeda, antara orang Papua dan pendatang, dan lainnya.

Setelah ada perusahaan, hampir semua masyarakat bekerja di perusahaan. Kaum laki-laki ada yang menjadi mandor, petugas keamanan dan buruh harian lepas. Para perempuan di kampung Suskun juga bekerja di perusahaan sebagai buruh harian lepas, hanya perempuan yang sudah tua saja yang tinggal di kampung.

Mereka bekerja tanpa kontrak yang jelas, - hanya beberapa laki-laki yang punya kedudukan dalam adat diberikan kontrak tertulis untuk menjadi tenaga keamanan yang menjaga areal perusahaan -, tidak ada jaminan kesehatan dan tunjangan hidup lainnya. Tidak ada jaminan perempuan akan mendapat pekerjaan: saat ini banyak dari mereka sudah tidak bekerja karena perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja. Menurut pihak perusahaan, memang sedang dilakukan pengurangan tenaga kerja karena biaya bayar tenaga kerja begitu besar sedangkan pemasukan belum ada karena sawit belum mulai produksi. Jumlah tenaga kerja lebih banyak dari pekerjaan yang ada.[2]

Anak balita biasanya dibawa ibu ke tempat kerja dan diasuh oleh anak lain yang lebih besar. Sedangkan anak-anak berumur enam tahun ke atas mendapat pekerjaan di perkebunan, di bagian pembibitan. Waktu luang setelah pulang dari tempat kerja biasanya dipakai oleh ibu untuk mengurus keluarga dan beristirahat dirumah. Setelah pulang dari perusahaan mereka masih melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian dan piring kotor, memandikan anak-anak mereka dan kemudian malam harinya baru mereka bisa tidur. Perempuan mendapat beban kerja yang lebih berat, karena mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan dari pagi jam 7 sampai sekitar jam 3 atau 4 sore dan setelah pulang mereka masih harus mengurus rumah tangga.

Mama Kasmira Pu Mau

Mama Kasmira Pu Mau adalah video berbahasa Indonesia tentang seorang perempuan Papua berbicara mengenai dampak kehadiran perkebunan kelapa sawit milik Rajawali Group di Arso Timur.

Video ini diarahkan oleh Yuliana Langowuyo dan dapat dilihat di

http://www.papuanvoices.net/2012/07/19/what-mama-kasmira-wants.html

Sebelum bekerja di perusahaan, kaum perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di kebun-kebun kecil mereka, yang ditanami ubi dan sayuran untuk konsumsi keluarga.  Sejak lahan mereka menjadi wilayah perusahaan, yang tersisa hanyalah terbatas pada pekarangan kecil di belakang atau di samping rumah mereka. Ada tanaman seperti pinang bisa dijual ke kota Arso, yang jaraknya dari Suskun sekitar 30 km. Perjalanan bisa ditempuh dalam 1 jam atau lebih dengan menggunakan motor karena jalannya masih jalan karang, bukan jalan aspal. Kalau ke Jayapura akan lebih jauh lagi dan ongkosnya lebih mahal. Menurut mama-mama biasanya mereka tidak bisa dapat untung. “Kalau ada pinang dari dusun (kebun) mama tong bawa jual di kota tapi uangnya habis hanya untuk ongkos saja, di sini tidak ada taksi penumpang yang masuk jadi mama tong harus pake ojek, pulang pergi bisa bayar sampai Rp100.000. Sedangkan hasil jualan pinang kadang tidak sampai jumlah itu juga, itu yang bikin mama tong pikir-pikir kalau mau turun ke kota untuk jualan,” kata mama Kasmira, salah satu perempuan yang sehari-hari juga bekerja sebagai buruh harian lepas di PT Tandan Sawita Papua.

Dulu masyarakat selalu mengambil bahan mentah untuk makan dari hutan, mulai dari sagu, sayur  genemo (melinjo),  - (tanaman ini cukup penting karena benihnya bisa dimakan pengganti kacang-kacangan, daunnya untuk sayur dan kulit pohonnya adalah bahan baku untuk membuat noken). Mereka juga berburu babi dan kusu (kuskus) tanah untuk bahan makan. Hasil kebun seperti pinang dijual ke kota yang pendapatannya juga tidak terlalu besar. Setelah perusahaan masuk mereka tidak bisa dapat bahan makan dari hutan karena hutan mereka sudah menjadi milik perusahaan dan sudah dibabat untuk membuka kebun kelapa sawit. Uang yang mereka hasilkan dari bekerja sebagai buruh di perusahaan digunakan untuk belanja bahan makan di Arso Kota berupa beras dan lauk-pauk. Untuk lauk mereka makan ikan, tahu, tempe dan daging ayam, walaupun jarang karena harga daging ayam lebih mahal. Orangtua lebih senang makan makanan tradisional jika ada, tetapi anak-anak kecil lebih suka makan nasi karena mereka sudah terbiasa makan nasi sejak bayi. Hanya ada satu kios kecil di Kampung Suskun tetapi tidak menjual kebutuhan dengan lengkap dan harganya juga lebih mahal. Selain itu, kios tersebut lebih sering ditutup karena tidak ada barang jualan.

Mereka mendapat beras raskin bantuan pemerintah. Kalau tidak cukup untuk konsumsi keluarga baru mereka akan membeli sendiri beras tambahan.

Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kesehatan dan HIV/AIDS

Masalah lainnya yang juga cukup serius adalah penggunaan uang ganti rugi dari hasil penjualan tanah yang justru lebih banyak dihamburkan oleh para lelaki untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan dengan  minuman keras, dan bikin kacau di kampung - contohnya dalam keadaan mabuk mereka menghentikan kendaraan yang lewat, lalu dengan benda tajam mengancam pemilik atau penumpang kendaraan untuk memberikan uang. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga saat suami mereka sedang dibawah pengaruh minuman keras. Perempuan juga kesulitan karena anak-anak mereka yang duduk di SD, SMP dan SMA kadang tidak mau ke sekolah karena memilih ikut bekerja di perusahaan supaya bisa dapat uang sendiri (kadang-kadang anak yang lebih besar tinggal di rumah untuk menjaga adik sementara ibu pergi bekerja). Ini jadi masalah karena di satu sisi mereka senang anak-anak mereka juga ikut membantu dan menghasilkan uang, tetapi di sisi yang lain mereka kuatir akan masa depan anak mereka jika tidak bersekolah dengan baik.

Terkait kesehatan, ada masalah lain yang ditimbulkan oleh moda transportasi ke tempat kerja. Untuk pergi bekerja mereka menggunakan truk yang sama sekali tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan. Mereka berdiri di atas truk terbuka tanpa menggunakan masker sehingga mereka menghirup debu dari jalanan yang sangat merugikan kesehatan. Di perkebunan, baru belakangan ini saja buruh di bagian penyemprotan atau pemupukan mengenakan masker pada waktu bekerja, sebelumnya perusahaan tidak menyediakan perlengkapannya. Menjaga kesehatan adalah hal yang penting terutama bagi perempuan, karena beban berat di perkebunan dan di rumah membutuhkan stamina tambahan.

Para perempuan juga melaporkan adanya pelecehan seksual selama perjalanan dengan truk dan di perkebunan.

Minuman keras dan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang sudah ada sebelum perusahaan masuk, dan perempuan adalah korban kekerasannya. Hanya saja, dengan masuknya perusahaan dan  banyaknya uang yang beredar di kampung (uang dari pemerintah daerah, maupun dari hasil kompensasi perusahaan serta upah kerja di perkebunan), para laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang juga mengonsumsi minuman keras semakin merajalela. SKPKC belum mempunya data resminya, tetapi dari hasil wawancara mendalam dengan perempuan di kampung Suskun dan di Arso Kota, masalah kekerasan dalam rumah tangga selalu muncul. “Uang yang didapatkan oleh laki-laki dari upah bekerja di perusahaan, tidak diberikan kepada mama untuk diolah,  tetapi dipakai untuk beli minuman keras dan pergi dengan pelacur,” ungkap seorang narasumber yang tidak bersedia disebutkan namanya. Hal ini memicu konflik dalam rumah tangga yang berbuntut pada kekerasan yang dialami oleh banyak perempuan.

Banyaknya uang yang masuk tidak berimbang dengan kemampuan manajemen keuangan bahkan yang sangat sederhana. Masyarakat lebih khusus laki-laki, justru menggunakan uang mereka untuk hal-hal yang bertentangan dengan moralitas dan terlebih lagi merugikan kaum perempuan di kampung. Dari hasil wawancara mendalam terhadap mama-mama, SKPKC mendapat informasi bahwa pada hari pembayaran upah biasanya  sudah ada “perempuan-perempuan” yang datang dari luar dan “parkir” menunggu para lelaki yang sedang terima upah (perdagangan seks yang terselubung). Yang terjadi ketika hari pembayaran upah adalah, suami mereka hanya mengirimkan beras yang mereka beli ke rumah, tetapi suami tidak muncul karena sudah jalan dengan “perempuan-perempuan” tadi.

Perilaku seks bebas seperti di atas meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Di kampung Suskun HIV/AIDS  bukan sesuatu yang biasa didengar, mungkin cuma beberapa orang saja yang tahu. Hal ini sangat berisiko karena masyarakat tidak punya pengetahuan yang cukup. Kondisi yang  memprihatinkan ini  perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah daerah (dinas kesehatan), gereja, LSM dan lain sebagainya. Pencegahan akan lebih baik daripada mengobati.

Setelah dilihat dari segala sisi, perempuan tidak mendapat keuntungan sama sekali dari hadirnya perusahaan, justru perempuan mendapat banyak masalah seperti yang sudah diuraikan di atas.

Di Suskun, selama ini belum ada tempat perlindungan dan lembaga pemberi bantuan hukum yang menolong perempuan, selain keluarga mereka sendiri yang berada di kampung lain atau pihak gereja, yang kemudian akan menghubungi lembaga lain yang bisa menolong. Mereka tidak memilih ke polisi karena tidak banyak menolong. Biasanya mereka justru disuruh pulang saja dan urus secara keluarga.

Keprihatinan mengenai tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan seperti yang dialami para perempuan di Suskun telah diangkat oleh Komnas Perempuan dan telah menyulut kampanye yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lokal. Selain kekerasan rumah tangga, perempuan Papua juga mengalami kekerasan oleh petugas keamanan di wilayah yang sangat dikuasai militer ini – sebagaimana telah didokumentasikan oleh para perempuan Papua sendiri (lihat juga artikel terpisah).

Kompensasi yang rendah

Tanah yang telah diberikan kepada PT Tandan Sawita Papua untuk investasi sawit adalah tanah milik 2 kereth atau marga di kampung ini yaitu kereth Bugovkir dengan luas tanah 1.104 ha dan kereth Konondroy 1.231 ha. Kampung Suskun dihuni oleh hampir 152  kepala keluarga. Masyarakat di kampung ini tersebar di tiga tempat: Wambes, Kampung Tua dan Kampung Suskun. Kompensasi yang diterima oleh masyarakat adat nilainya sangat kecil: tanah seluas satu meter persegi dibayar dengan harga hanya sebesar 38 rupiah. Bisa digambarkan, untuk dapat membeli satu potong pisang goreng seharga Rp1.000, masyarakat harus melepaskan tanahnya seluas 30 meter persegi, tanah yang di atasnya ada tanaman kayu besi, rotan, sayur genemo dan tempat marga satwa lainnya hidup.

Secara keseluruhan, tanah yang diambil oleh perusahaan PT Tandan Sawita Papua dari beberapa kampung di Distrik Arso Timur mencakup luas 18.337,90  hektare. Kompensasi yang dibayarkan untuk hak ulayat dari 8 kereth tersebut sebesar kurang lebih Rp348.000 per hektare atau hanya sekitar 38 rupiah saja per meter perseginya. Delapan kereth yang menyerahkan tanahnya kepada pihak perusahaan adalah kereth Putuy, Kera, Jombori dan Itunggir dari kampung Yetti, kereth Bugovkir dan Konondroy dari kampung Suskun, serta kereth Bewangkir dan Enef dari kampung Kriku. (Ada satu kereth/marga di kampung Suskun yang tidak memberikan tanahnya kepada perusahaan sawit PT Tandan Sawita Papua, tetapi di tahun 2012 tanah tersebut sudah dilepaskan oleh kepada perusahaan lain). Nilai kompensasi yang mereka terima  adalah sebesar  Rp7.040.000.000 untuk dibagikan kepada masing-masing kereth sesuai dengan luas tanah yang mereka lepaskan.

Proses ganti rugi tidak dibayarkan satu kali melainkan dalam 4 tahap pembayaran selama 4 tahun. Masyarakat adat dan perusahaan menyebutnya “Tali Asih”. Pembayaran “tali asih” tahap pertama sudah dilakukan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat adat pada bulan Februari tahun 2010, tahap kedua pada 25 Maret 2011, tahap ketiga pada tanggal 15 Juli 2012 dan tahap terakhir sudah diterimakan pada tanggal 27 Maret 2013. Jumlah uang yang diterima masing-masing kereth berbeda-beda tergantung luas lahan yang dilepaskan ke pihak perusahaan. Uang yang mereka terima ini lalu dibagi-bagikan lagi kepada setiap kepala keluarga dari masing-masing kereth/pemilik hak ulayat, sehingga setiap kepala keluarga menerima kompensasi paling banyak sekitar 2-5 juta rupiah untuk ribuan hektare tanah yang telah dilepaskan kepada pihak perusahaan.

Ketika hak guna usaha PT Tandan Sawita Papua berakhir, tanah tidak akan dikembalikan kepada komunitas melainkan kepada pemerintah. Walaupun keputusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu menetapkan landasan hukum yang jelas atas kepemilikan masyarakat adat akan hutannya, praktiknya diragukan apakah akan berpihak kepada masyarakat karena pemerintah daerah cenderung mendahulukan perusahaan ketimbang masyarakat setempat. Maka dari itu, kelompok masyarakat sipil Papua menentang investor dan pemerintah daerah mereka sendiri terkait kebijakan yang merugikan masyarakat adat Papua.

 


[1] Bukan hanya implikasi dari agama Kristen tetapi dari pandangan masyarakat adat itu sendiri yang menyebut bahwa hutan itu adalah “mama” yang memberikan kehidupan, sehingga harus dirawat dengan baik

[2] Informasi diperoleh dari Pak Danang dari bagian HRD dalam pertemuan tanggal 19 Maret 2014 d di kantor PT. Tandan Sawita Papua.