Kekerasan terhadap Perempuan Papua – keterkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam

Sampul laporan ‘Enough is Enough!’

DTE 91-92, Mei 2012

Sebuah laporan terbaru menegaskan adanya keterkaitan antara pengerukan sumber daya alam dan kekerasan terhadap perempuan Papua. Enough is Enough! atau Stop Sudah! adalah sebuah gagasan yang dimulai sejak tahun 2009, untuk merekam kejadian-kejadian kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia  terhadap perempuan di Papua selama 4 dekade terakhir.

Berdasarkan wawancara dengan para  korban kekerasan,  temuan-temuan dapat dikelompokkan dalam kasus-kasus kekerasan oleh negara,  kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan berlapis, yaitu korban kekerasan oleh negara  juga menjadi  korban kekerasan dalam rumah tangga. Kesaksian dari para  perempuan korban aksi operasi militer yang diluncurkan untuk menghadapi para  lawan politik pemerintah Indonesia dimasukkan dalam laporan, dan hubungan antara konflik sumber daya alam dan kekerasan, termasuk pertambangan dan  perkebunan kelapa sawit, juga diteliti.

Proyek pengerukan sumber daya alam terbesar pertama di Papua yang melibatkan investasi asing adalah pertambangan Freeport. Penulis mengingatkan kita bahwa kontrak kerja antara Pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran (USA) ditandatangani pada tahun 1967, atau dua tahun sebelum  status politik Papua ditentukan.[1] Pertambangan ini, dengan bantuan investasi dari perusahaan pertambangan berbasis di Inggris, Rio Tinto, menjadi operasi tembaga dan emas besar yang dibebani oleh konflik besar yang masih menjadi berita utama hingga saat ini.

Pos-pos keamanan militer yang ditugaskan untuk menjaga pertambangan sudah beroperasi sejak tahun 1977[2] dan kehadiran pasukan keamanan ini telah mengakibatkan banyak anak perempuan mengalami kekerasan, demikian yang dikatakan penulis laporan. Sebuah kasus pemerkosaan berulang kali terhadap seorang anak perempuan berumur 11 tahun oleh pasukan Batalion  753/pasukan Nabire pada tahun 2005 didokumentasikan secara rinci: anak perempuan tersebut mengalami gangguan psikologis dan fisik, dan akhirnya meninggal karena luka-luka yang tidak diobati. Orang tua anak perempuan  ini tidak berani melaporkan karena takut ditembak.

Situasi di kota pertambangan Timika, menurut laporan tersebut, adalah satu contoh kebijakan negara yang  berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam dan perilaku perusahaan yang akhirnya menyebabkan keadaan “kekerasan merajalela, termasuk perang antar-suku dan kekerasan seksual terhadap perempuan”. Freeport berusaha meredam amarah yang makin besar terhadap jalannya operasi pertambangan mereka dengan menawarkan 1% keuntungan tahunannya kepada para masyarakat adat, yang justru memperluas konflik akibat penyalahgunaan dana dan pembagian yang tidak merata. Hasil diskusi dengan kaum perempuan di dua desa oleh tim dokumentasi menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak memperoleh manfaat apa pun dari dana ini. Para perempuan di desa-desa ini secara mengkhawatirkan berada dalam keadaan kesehatan yang buruk. Mereka  miskin dan hanya memiliki akses minimal saja terhadap  pendidikan dan  ekonomi, serta rentan terhadap berbagai bentuk tindakan kekerasan. Konflik antar-suku pada tahun 1996, 2003, dan 2006 di sebuah desa dekat Timika menyebabkan jatuhnya banyak korban dan seorang perempuan  yang diwawancarai menceritakan bagaimana ia  diculik dan diperkosa oleh suku pihak lawan.[3]

Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Papua juga mencatat adanya pelanggaran hak asasi manusia. Sebuah kesaksian menceritakan bagaimana  pada awal tahun 1980-an, seorang kepala suku menandatangani persetujuan alih lahan di Arso, wilayah Keerom, di bawah todongan pistol. Lahan itu diambil oleh perusahaan perkebunan negara untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terkenal buruk. Kesepakatan awal yang meliputi  500 hektare berkembang menjadi 5.000 hektare. Para perempuan yang paling merasakan dampaknya karena sumber pangan tradisional mereka, sagu, dibabat bersih beserta sumber daya hutan lainnya. Saat masyarakat menjadi  semakin miskin, perempuan acap kali mengalami  kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang diceritakan seorang perempuan Keerom.

Laporan ini menggarisbawahi fakta bahwa dalam teori para perempuan  dilindungi dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus Papua, misalnya, menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengangkat, memberdayakan, serta melindungi perempuan dan juga  pria sehingga ada kesetaraan gender. Namun masih terus ada jurang lebar antara apa yang dinyatakan hukum dan apa yang terjadi.

Stop Sudah! juga menyertakan bagian-bagian tentang perkembangan organisasi-organisasi perempuan di Papua, tentang kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan dalam konteks lembaga-lembaga masyarakat adat Papua. Penulis laporan ini bertanya: bagaimana hal ini bisa terjadi di masa pasca-reformasi Indonesia? Mereka menunjuk adanya lima temuan utama yang menciptakan  kondisi yang memungkinkan dan mendorong kekerasan terhadap perempuan di Papua: 1) pendekatan keamanan negara dalam menghadapi oposisi politik dan  konflik sumber daya alam; 2) diskriminasi terhadap perempuan dalam  adat-istiadat dan budaya Papua menyebabkan dimungkinkannya kekerasan terhadap perempuan; 3) konflik sumber daya alam dan politik, ditambah pergolakan perebutan kekuasaan, mendorong situasi meningkatnya kekerasan oleh negara dan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan; 4) kurangnya kemauan politik dari pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua secara umum, atau masalah kekerasan terhadap perempuan pada khususnya; dan 5) lapisan trauma dan ketidakberdayaan masyarakat yang  menumpuk  tidaklah ditangani sehingga meningkatkan siklus viktimisasi.

Di antara rekomendasi terperincinya untuk  pihak militer Indonesia, polisi, berbagai lapisan pemerintahan, berbagai instansi pemerintah yang terkait, lembaga-lembaga keagamaan dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, penulis menyerukan agar pemerintah di Jakarta mengurangi jumlah pasukan keamanan, menghukum dan memecat para pelaku pelanggaran hak asasi manusia, serta mengadakan dialog dengan rakyat  Papua, dengan menjamin bahwa  setidaknya 30% peserta dialog adalah kaum perempuan.

Rekomendasi untuk perusahaan swasta dan investor adalah:

  • Mematuhi semua peraturan daerah yang berlaku untuk operasi perusahaan mereka
  • Menghentikan eksploitasi atas sumber daya  alam dan penduduk Papua terutama perempuan dan anak-anak
  • Menerapkan sanksi tegas terhadap anggota staf  atau pekerja yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan tidak mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan
  • Mengesahkan  prinsip-prinsip kerja yang sesuai dengan  nilai-nilai hak asasi manusia, terutama dalam penggunaan pasukan keamanan untuk menjaga aset dan produksi perusahaan.

Laporan lengkapnya, yang dibuat atas kerja sama dengan Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan, Kelompok Kerja Majelis Rakyat Papua dan Pusat Internasional untuk Keadilan Transisi  (ICTJ) Indonesia, dapat dilihat di http://ictj.org/publication/enough-enough-testimonies-papuan-women-victims-violence-and-human-rights-violations



[2] Pengeluaran militer dan polisi didanai oleh Freeport-Rio Tinto selama bertahun-tahun, meskipun perusahaan tidak mau mengungkapkannya sampai kemudian diwajibkan untuk mengungkapkan oleh para pemegang saham yang protes. Telusuri  DTE 68 : http://www.downtoearth-indonesia.org/story/illegal-military-payments-freeportrio-tinto untuk keterangan lebih lanjut.

[3] Laporan ini juga menyebutkan penyiksaan terhadap Yosepha Alomang dan Yulia Magal, di dekat pertambangan Freeport.  Kisah Yosepha Alomang diterbitkan dengan judul Yosepha Alomang, the struggle of a Papuan woman challenging oppression (Yosepha Alomang, pergulatan seorang perempuan Papua melawan penindasan). Lihat DTE No 63, November 2004 untuk keterangan lebih lanjut  http://www.downtoearth-indonesia.org/story/yosepha-alomang-papuan-woman-fighting-human-and-environmental-rights.