bahan bakar nabati dan perkebunan sawit

Kebijakan agrofuel Uni Eropa memperburuk perubahan iklim dan menjadi faktor-faktor pendorong utama dari kerusakan hutan dan kepunahan keanekaragaman hayati, pencaplokan tanah dan konflik, serta pelanggaran hak-hak asasi manusia di negara-negara produsen seperti di Indonesia. Semakin banyak tanah pertanian untuk tanaman pangan dialihkan untuk tanaman penghasil bahan bakar kendaraan ketimbang memberi makan mereka yang kelaparan. [Baca lebih lanjut]

DTE 99-100, Oktober 2014

Sebuah Pandangan dari Kampung Suskun, Papua

Oleh Yuliana Langowuyo, Direktris SKPKC Fransiskan Papua, yang mengunjungi buruh dan masyarakat di Kampung Suskun minimal satu kali dalam sebulan sejak 2011.

DTE 99-100, Oktober 2014

Wawancara dengan Helena Trie, Staf komunikasi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).[1]

DTE 98, Maret 2014

Keragu-raguan dan ketidakpastian terhadap kebijakan bahan bakar hayati Uni Eropa (UE) terus berlangsung, sementara masyarakat di Indonesia terus menderita akibat berbagai dampak dari ekspansi kelapa sawit.

Oleh GRAIN www.grain.org

DTE 98, Maret 2014

Sudarmin Paliba berdiri di sebuah lereng bukit, memandang ke bawah melalui baris demi baris kelapa sawit.“Di sinilah dahulu kami menanam buah-buahan, dan di bawah sana kami menanam padi,” katanya.

Suatu pagi di tahun 1994, Sudarmin dan petani-petani lain dari Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah, Indonesia, sedang berjalan ke lahan pertanian mereka ketika bertemu sekelompok pekerja, yang dijaga oleh tentara, tengah menebangi pepohonan di hutan-hutan sekelilingnya.

DTE 96-97, Desember 2013

Bahan bakar nabati: dampak di Indonesia, saatnya perubahan kebijakan di Eropa

Buletin DTE Edisi Khusus

Unduh versi PDF lengkap atau pilih artikel tertentu...

DTE 96-97, Desember 2013

Bahan bakar hayati – yang pernah digadang-gadang sebagai obat mujarab bagi perubahan iklim – ternyata terbukti sebagai salah satu kekeliruan kebijakan terbesar Uni Eropa

DTE 96-97, Desember 2013

Sebuah pemungutan suara yang menentukan tentang bahan bakar hayati di Parlemen Eropa pada 11 September 2013 telah gagal memperbaiki kebijakan yang cacat yang mendorong deforestasi, perampasan lahan dan pelecehan hak-hak asasi manusia, seraya menggerogoti kedaulatan pangan masyarakat di negara-negara produsen seperti Indonesia.