Bahan bakar nabati dan perkebunan kelapa sawit

Kebijakan agrofuel Uni Eropa: mendorong kerusakan dan memperburuk perubahan iklim

Promosi agrofuel sebagai salah satu bentuk energi terbarukan terbukti merupakan salah satu kesalahan kebijakan Uni Eropa yang terbesar.

Tahun 2003 yang silam, ketika Uni Eropa mulai mengembangkan kebijakan energi terbarukan agrofuel diunggulkan sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon yang bersih dan ramah lingkungan. Sepuluh tahun kemudian, agrofuel memperburuk perubahan iklim ketimbang memperbaikinya. Lebih parah lagi, agrofuel menjadi faktor kunci pendorong kerusakan hutan dan punahnya keanekaragaman hayati, pencaplokan tanah dan konflik, serta pelanggaran atas hak-hak asasi manusia di negara-negara penghasil seperti di Indonesia. Semakin banyak tanah pertanian untuk tanaman pangan dialihkan untuk tanaman penghasil bahan bakar kendaraan ketimbang memberi makan mereka yang kelaparan.

Permintaan akan agrofuel diperkirakan akan melonjak tajam dalam 7 tahun ke depan. Pemerintah negara-negara Uni Eropa akan mengandalkan hampir sepenuhnya kepada agrofuel untuk memenuhi target transportasi dengan energi terbarukan pada tahun 2020, serta untuk memasok pembangkit tenaga listrik. Walaupun ada bukti-bukti jelas akan dampak permintaan yang melambung, para pengambil keputusan di Eropa hampir tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya.

DTE dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak Uni Eropa untuk segera bertindak mereformasi kebijakan-kebijakan mengenai energi terbarukan dan membangun jalan untuk melepaskan ketergantungan dari agrofuel ke arah energi terbarukan yang sejati. [1] Secara khusus Uni Eropa perlu:

  1. Menerapkan kriteria keberlanjutan lingkungan yang kuat, yang menjamin Eropa bertanggunggugat terhadap emisi CO2 dan dampak-dampak terhadap lingkungan lokal dari produksi agrofuel. Kriteria-kriteria ini harus: 
  • Memasukkan faktor-faktor perubahan penggunaan tanah secara tak langsung[2] (ILUC) dalam semua perhitungan karbon untuk agrofuel. Hal ini untuk menjamin agar pemerintah negara-negara dan pemasok bahan bakar bertanggunggugat atas emisi ‘sepanjang hidup’ (yaitu emisi karbon yang dihasilkan pada semua tahap siklus produksi dan penggunaan agrofuel – dari bibit hingga jadi bahan bakar) dari setiap bahan baku[3] yang digunakan dalam produksi agrofuel yang dikonsumsi dan diproduksi di Eropa.
  • Bertanggunggugat terhadap dampak-dampak perubahan penggunaan tanah secara tak langsung (ILUC) terhadap lingkungan setempat dan sumber daya alam di negara produsen
  • Menetapkan, untuk diberlakukan segera, agar semua agrofuel yang diproduksi atau dikonsumsi di Eropa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 60% dibandingkan emisi GRK yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.
  1. Memberlakukan kriteria keberlanjutan sosial yang kuat untuk agrofuel yang dikonsumsi atau diproduksi di Eropa, agar Eropa bertanggunggugat  terhadap dampak-dampak agrofuel terhadap masyarakat di negara-negara produsen. Kriteria tersebut perlu:
  • Memastikan adanya perlindungan atas hak-hak asasi semua komunitas yang terkena dampak pembangunan agrofuel. Hal ini mencakup hak atas pangan, hak atas tanah, dan hak masyarakat adat untuk memberikan atau menolak memberikan persetujuan awal tanpa paksaan (padiatapa) atas pembangunan yang berdampak terhadap kehidupan mereka, termasuk hak atas harga diri dan rasa aman.[4]
  • Menjamin bahwa ekonomi lokal, mata pencaharian masyarakat dan sumber daya alam yang mendukung ini semua tidak dirugikan oleh pembangunan agrofuel
  • Memastikan adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, hak-hak pekerja dan kesehatan pekerja dalam proyek-proyek agrofuel.
  • Melarang penggunaan bahan baku agrofuel yang menimbulkan persaingan dengan produksi pangan global
  1.  Mencabut subsidi dan insentif keuangan dari investasi agrofuel untuk pembangkit tenaga listrik


[1] Lihat Laporan CE Delft (ditugaskan oleh Greenpeace dan BirdLife Eropa dengan dukungan dari Transport & Environment, European Environmental Bureau) untuk informasi mengenai berbagai alternatif terhadap agrofuel yang tumbuh di tanah http://www.greenpeace.org/eu-unit/Global/eu-unit/reports-briefings/2013/CE_Delft_Sustainable_alternatives_land_based_biofuels.pdf

[2]  Faktor ILUC adalah nilai yang dilekatkan pada setiap bahan baku yang digunakan dalam produksi agrofuel, yang menunjukkan emisi akibat perubahan penggunaan tanah secara tak langsung untuk menghasilkan bahan baku tersebut. Misalnya, pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menyebabkan adanya pembukaan hutan dan pengeringan lahan gambut di Indonesia. Tindakan ini menghasilkan emisi karbon yang tinggi sehingga faktor ILUC dari minyak sawit semestinya tinggi juga.

[3] Bahan baku (feedstock) adalah bahan awal yang digunakan untuk memproduksi agrofuel, misalnya tanaman seperti kelapa sawit