Keadilan gender di perkebunan?

Pekerja perempuan perkebunan hanya diberi sedikit perlindungan pada waktu menyemprot bahan kimia (Sawit Watch)

DTE 99-100, Oktober 2014

Wawancara dengan Helena Trie, Staf komunikasi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).[1]

DTE: Bisakah Anda menjelaskan sedikit mengenai SPKS? Apakah SPKS mewakili petani perempuan sebagaimana halnya petani laki-laki? Jika ya, bagaimana perempuan dan laki-laki diwakili oleh SPKS?

Helena Trie: SPKS memiliki 9 cabang di Indonesia: Sekadau, Sanggau dan Sintang di Kalimantan Barat, Paser di Kalimantan Timur, Labuan Batu Utara di Sumatera Utara, Rokan Hulu dan Kuantan Singingi di Riau, dan Tanjung Jabung Barat di Jambi. Melalui 9 SPKS yang ada di daerah, kami mendampingi kelompok petani dan pekerja kebun kelapa sawit di perusahaan-perusahaan sawit daerah tersebut.

Para pekerja kelapa sawit yang ada tidak hanya terdiri dari laki-laki tetapi juga perempuan. Pada buruh harian lepas perkebunan yang menggunakan sistem borongan, keterlibatan perempuan (istri) dan anak-anak dapat membantu mencapai jumlah pendapatan yang diperoleh dari perusahaan. Maka dari itu, pendampingan yang dilakukan oleh SPKS tidak semata-mata diperuntukkan untuk kaum laki-laki tetapi juga untuk pekerja perempuan.

Dalam beberapa pertemuan SPKS melibatkan kelompok perempuan, ini dilakukan juga pada pertemuan di Labuan Batu Utara, Sumatera Utara 29 Agustus yang lalu yang membahas tentang road map petani mandiri.

DTE: Jika ada perbedaan jumlah antara perempuan dan laki-laki yang diwakili oleh SPKS, menurut anda mengapa demikian?

HT: Sebenarnya perbedaan jumlah anggota laki-laki dan perempuan berbeda-beda antara daerah satu dan lainnya. Di beberapa daerah anggota perempuan bisa mencapai 40% karena di kampung-kampung sana banyak petani perempuan.

DTE: Apakah menurut anda pembangunan kelapa sawit berdampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan? Jika ya, bagaimana?

HT: Ya, ada perbedaan. Hukum di Indonesia sebagian besar masih menganut sistem patriarkat, istri ikut suami dan laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga perempuan dianggap tidak memiliki hak atas lahannya, kecuali jika suaminya meninggal.

Sebagai pekerja kebun, perempuan seringkali mendapatkan upah lebih rendah daripada laki-laki. Ada beban ganda bagi perempuan, karena dalam sistem buruh harian lepas dengan sistem borongan, biasanya perempuan dilibatkan padahal tanggung jawab perempuan sebagai istri dan ibu di rumah juga tidak boleh ditinggalkan.

Selain itu tergantung juga pada perusahaan tempat mereka bekerja. Ada sejumlah perkebunan sawit yang memberikan pekerjaan yang sama kepada perempuan dan laki-laki: membersihkan lahan, memupuk, menyemprot dan pekerjaan merawat kebun. Perusahaan perkebunan yang lain hanya mempekerjakan perempuan untuk memupuk dan menyemprot.

DTE: Apakah SPKS menjalankan program-program yang secara khusus menyikapi hal perbedaan dan isu gender akhir-akhir ini?

HT: Tahun 2013, SKPS Labuan Batu Utara Sumatera Utara mendirikan perserikatan untuk mendorong adanya perlindungan bagi pekerja perempuan.   Mereka mengadakan pertemuan untuk meminta pemerintah agar lebih memperhatikan kepentingan perempuan, khususnya terkait dampak pestisida terhadap organ reproduksi yang dapat menyebabkan kanker serviks.  

DTE: Selain bekerja di perkebunan, apa pilihan pekerjaan lain yang tersedia bagi perempuan ketika perusahaan perkebunan memasuki sebuah area?

HT: Mereka tidak punya pilihan lain. Pada dasarnya, semua pekerja yang dipekerjakan oleh perusahaan adalah masyarakat setempat. Perusahaan bersikeras agar masyarakat melepaskan lahan mereka dan membangun perkebunan sawit di atasnya. Sebelumnya, lahan digunakan untuk menanam tanaman lain. Namun, ketika perusahaan mengambil alih, tidak ada pilihan selain bekerja di perkebunan.



[1] Lihat situs web SPKS: http://www.spks.or.id/