Perjuangan panjang petani memutar balik perampasan lahan sawit di Indonesia

Para pekerja PT HIP di salah satu kamp pekerja perusahaan di dalam perkebunan di Buol. (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)

Oleh GRAIN www.grain.org

DTE 98, Maret 2014

Sudarmin Paliba berdiri di sebuah lereng bukit, memandang ke bawah melalui baris demi baris kelapa sawit.“Di sinilah dahulu kami menanam buah-buahan, dan di bawah sana kami menanam padi,” katanya.

Suatu pagi di tahun 1994, Sudarmin dan petani-petani lain dari Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah, Indonesia, sedang berjalan ke lahan pertanian mereka ketika bertemu sekelompok pekerja, yang dijaga oleh tentara, tengah menebangi pepohonan di hutan-hutan sekelilingnya.

Mereka diberitahu bahwa sebuah jalan raya sedang dibangun. Tetapi tak lama mereka akhirnya paham bahwa ini hanyalah awal dari sebuah operasi yang jauh lebih besar. Seluruh tanah dan hutan adat mereka telah diserahterimakan tanpa sepengetahuan atau seizin mereka kepada salah satu keluarga terkaya dan terkuat di Indonesia untuk dibuat sebuah perkebunan kelapa sawit yang sangat luas sebesar 22.000 hektar.

Selama tiga tahun berikutnya lahan-lahan pertanian dan hutan-hutan yang digunakan oleh lebih dari 6.500 keluarga dihancurkan. Sudarmin dan para penduduk desa lainnya berdiri di depan truk-truk dan mengikatkan diri mereka di pepohonan, tapi karena militer mendukung operasi tersebut, tak banyak yang dapat mereka lakukan.

Saat ini, bekas lahan pertanian dan hutan mereka diselimuti oleh tanaman monokultur kelapa sawit sejauh mata memandang, dari perusahaan PT Hardaya Inti Plantation yang dimiliki pebisnis kaya serta berpengaruh dan orang dalam di bidang politik, Murdaya Widyawimarta, dan istrinya Siti Hartati Cakra Murdaya melalui perusahaan induk mereka, Cipta Cakra Murdaya Group.

File 592Pemandangan area konsesi PT Hardaya Inti Plantation di Buol, Sulawesi Tengah, Indonesia (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)

 

Gelombang perampasan tanah

Sulawesi adalah salah satu target utama perluasan perkebunan kelapa sawit yang menyesakkan dada di Indonesia. Sejak 2005, wilayah kebun kelapa sawit di seluruh negeri telah nyaris dua kali lipat, dan sekarang mencakup 8,2 juta hektar, sekitar sepertiga dari seluruh lahan subur Indonesia. Dengan sedikit lahan yang tersisa untuk perluasan di Sumatera, di mana produksi terkonsentrasi secara tradisional, perusahaan-perusahaan berpaling ke Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Beberapa produsen minyak sawit terbesar Indonesia bahkan memperluas usahanya ke Filipina dan Afrika Barat.

Perluasan ini digerakkan oleh permintaan global yang meningkat terhadap minyak nabati murah untuk pengolahan makanan dan bahan bakar hayati. Tetapi perluasan itu juga merupakan hasil dari ketidaksetaraan yang kejam. Para pemain utama dalam industri minyak sawit dalam negeri adalah kroni-kroni dari mantan Presiden Soeharto. Mereka sekarang menggunakan harta yang bertumpuk dan koneksi politik mereka untuk merampas lahan-lahan dari komunitas-komunitas yang paling terpinggirkan di negeri ini, dengan sering kali berkolusi dengan perusahaan agribisnis asing dan perbankan yang banyak di antaranya berbasis di Singapura dan Malaysia.

Perusahaan dengan kawan di tempat tinggi

PT Hardaya Inti Plantations mengambil alih lahan di Buol selama tahun-tahun terakhir dari masa kekuasaan Soeharto. Pemilik perusahaan tersebut, Murdaya Widyawimarta dan Siti Hartati Cakra Murdaya, memperoleh kekayaan mereka melalui kontrak pengadaan barang yang sangat menguntungkan dengan pemerintah Soeharto, sebelum melakukan diversifikasi usaha ke perhotelan, perkebunan, dan bahkan pabrik sepatu yang memasok perusahaan-perusahaan seperti Nike dan Lacoste.

Ketika masa kediktatoran Soeharto runtuh pada 1998, mereka berdua langsung pindah ke dunia politik, dengan mempererat koneksi yang terjalin selama itu hingga ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Para pemegang saham utama lainnya dari PT Hardaya Inti Plantations juga pemain politik besar, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Armalia Sari dan anak mantan kepala Badan Intelijen Nasional, Ronny Narpatisuta Hendropriono.

Janji yang diingkari

Meskipun kekuatan-kekuatan yang sangat berkuasa bergerak melawan mereka, penduduk desa di Kabupaten Buol bertekad untuk memperoleh kembali tanah mereka. Serangkaian aksi penutupan jalan dan aksi protes lainnya memaksa PT Hardaya untuk merundingkan sebuah perjanjian yang disetujui bersama pada Mei 2000, di mana perusahaan tersebut setuju untuk menyediakan 4.900 ha lahan untuk ganti rugi para penduduk desa yang tergusur dan untuk membangun program petani mandiri – yang dikenal di Indonesia sebagai pertanian plasma – di mana perusahaan akan menyiapkan dan menanam 2 ha kelapa sawit untuk setiap keluarga dan membeli hasil panennya dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya.

Tetapi hanya satu bulan kemudian perusahaan menyangkal telah membuat perjanjian tersebut dan sebaliknya menawarkan hanya akan melaksanakan program petani mandiri seluas 15.000 ha di luar wilayah konsesinya, di lahan yang nantinya harus ditetapkan oleh pemerintah provinsi.

Itu adalah sebuah kemunduran yang menyakitkan bagi para penduduk desa. Terkuras oleh bertahun-tahun lamanya perjuangan dan tanpa dukungan apapun terhadap gerakan mereka dari pemerintah, aksi protes mereka lambat-laun mereda dan perusahaan tersebut dapat bergerak maju dalam operasinya.

File 591Peta konsesi lahan yang diberikan kepada PT Hardaya Inti Plantations. Konsesi tersebut ditandai dengan garis merah. Wilayah yang berwarna biru adalah 4.900 ha yang dituntut para penduduk desa untuk dikembalikan kepada mereka. (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)

 

Dari jelek menjadi buruk

Situasi para penduduk desa memburuk pada tahun-tahun berikutnya. Pihak perusahaan mengetahui bahwa banyak lahan yang telah diperolehnya tidak produktif, dan kemudian mulai memperluas ke luar wilayah konsesi mereka. Peta-peta resmi menunjukkan bagaimana perusahaan tersebut mencaplok beberapa ribu hektar lahan, terutama di wilayah tanah yang dicadangkan untuk keluarga yang pindah ke daerah tersebut melalui program transmigrasi Soeharto untuk petani-petani tak bertanah dari daerah lainnya di Indonesia.

Deforestasi dan penanaman kelapa sawit di sepanjang tepi sungai dan di lereng bukit baik di dalam maupun di luar wilayah konsesi menyebabkan erosi tanah yang parah, dan sebagian besar lapisan tanah tersebut akhirnya menumpuk di sungai Buol yang mengalir deras.

"Dulu sawah kami mengalami banjir tiga kali per tahun," kata Yahyah, seorang petani yang pindah ke hilir dari perkebunan tersebut pada pertengahan 90an setelah desanya dihancurkan untuk memberi tempat bagi daerah konsesi tersebut.

"Sekarang kami mengalami banjir enam sampai delapan kali sebulan, dan banjir  telah menghancurkan produksi beras kami. "

Program petani mandiri yang telah dijanjikan pihak perusahaan nyaris tak berwujud. Sejauh ini baru 400 ha yang telah dialokasikan untuk program tersebut, dan sebagian besar lahan ini telah dimiliki oleh para politisi lokal yang mendukung perusahaan tersebut. Dan lagi, Paraman Yunus, seorang petani yang terlibat dalam program petani mandiri, mengatakan bahwa pembayaran bulanan dari perusahaan hanya berjumlah sekitar 40 USD (Rp. 480.000).

“Pihak perusahaan tidak memberitahu kami tentang penghitungan harga” kata Paraman. “Dan sebagian besar pendapatan digunakan untuk membayar hutang kami kepada perusahaan untuk biaya-biaya awal penyiapan lahan.”

Kondisi kerja di perkebunan tersebut sangatlah buruk. Lebih dari 3.000 orang bekerja di perkebunan, kebanyakan adalah yang kehilangan tanah mereka kepada perusahaan. Mereka tinggal di dalam kamp yang reyot dan dibayar sesuai dengan jumlah yang mereka panen.

Hamsi adalah salah satu dari pekerja ini yang tinggal dengan istri dan anak-anaknya dalam sebuah kamar sempit di salah satu kamp pekerja di perkebunan tersebut. Dia dan istrinya telah bekerja keras sepanjang pekan di sini selama 13 tahun terakhir.

 “Tak peduli seberapa kerasnya kami bekerja, kami selalu dililit hutang,”

kata Hamsi

Tak hanya gaji kecil yang dibayarkan pihak perusahaan yang membuat para pekerjanya tetap miskin. Perusahaan tersebut terus menerus memotong gaji untuk berbagai macam biaya – dari listrik dan air yang mereka gunakan di rumah mereka, sampai alat dan perlengkapan keselamatan yang mereka butuhkan untuk bekerja. Pada setiap akhir bulan, kata Hamsi, tak ada lagi uang yang tersisa.

Istri Hamsi, seperti halnya pekerja perempuan lainnya di perkebunan itu, bertanggung jawab menyemprotkan pestisida. Salah satu pestisida yang digunakan secara luas di perkebunan adalah Gramaxone (paraquat), suatu herbisida yang dilarang di lebih dari 30 negara karena dampaknya yang sangat buruk terhadap kesehatan manusia. Dia mengatakan tidak diberikan pelatihan atau perlengkapan pelindung oleh perusahaan, dan bahwa ia menyemprot pestisida sepanjang masa kehamilan sampai kelahiran anaknya, karena ia tak dapat mengambil cuti hamil tanpa kehilangan upah, sebagaimana diatur oleh perusahaan tersebut. Padahal pasal 84 undang-undang Ketenagakerjaan menyebutkan setiap buruh perempuan berhak mendapatkan upah secara penuh selama cuti hamil sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.

File 593Abdulah Rahman, pemimpin serikat pekerja di perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Buol, Sulawesi Tengah. Rahman langsung dipecat oleh perusahaan setelah membawa suatu delegasi para pekerja dan petani ke Komisi Nasional HAM di Jakarta pada 2012. (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)


Perlawanan baru

Pada tahun 2012, para pemimpin dari tiga desa yang dihancurkan oleh perkebunan tersebut menjalin kontak dengan gerakan petani nasional AGRA. Saat itu, para pekerja perkebunan juga telah membentuk serikat pekerja dan mulai menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Bersama-sama mereka memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap perusahaan tersebut sekali lagi di bawah bendera Forum Tani Buol.

Pada Oktober 2012 mereka mengirim h delegasi para pemimpin ke Jakarta untuk bertemu dengan Komisi Nasional HAM dan bernegosiasi dengan perusahaan tersebut di kantor pusatnya. Mereka juga melakukan penutupan jalan dan menduduki kantor walikota. Dalam setiap peristiwa tersebut, para pejabat pemerintah dan perusahaan merespons dengan janji-janji untuk mencari sebuah penyelesaian atas konflik lahan berdasarkan kesepakatan awal pada Mei 2000. Tapi tidak ada yang terwujud.

Merasa frustrasi dengan minimnya tindakan, para petani dan pekerja mengambil alih pabrik pengolahan milik perusahaan pada bulan Maret 2013. Pemerintah mengirim militer untuk mengeluarkan mereka, tapi mereka sempat berhasil memaksa pemerintah berjanji lagi untuk membuat sebuah penyelesaian.

Meskipun bertahun-tahun berbagai janji tak terpenuhi, para penduduk optimis bahwa sebentar lagi akan memperoleh tanah mereka kembali. Mereka mengatakan bahwa pemerintah daerah akhirnya memihak mereka, dan sekarang mereka memiliki satuan tugas bentukan pemerintah dan Komisi Nasional HAM mendukung tuntutan mereka. Para pemilik perusahaan juga berada dalam posisi yang melemah. Siti Hartati Cakra Murdaya saat ini sedang menjalani hukuman penjara selama 2,5 tahun karena menyuap Bupati Buol untuk izin perluasan perkebunan di luar wilayah konsesi mereka.

Para penduduk bahkan mulai mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan lahan mereka jika mendapatkannya kembali. Mereka sepakat bahwa lahan tersebut harus dikelola secara bersama-sama dan tidak melalui kepemilikan perseorangan dan mereka menyadari bahwa mereka hanya memiliki sedikit pilihan kecuali tetap memproduksi minyak sawit sampai pohon-pohon yang ada matang sepenuhnya dan dapat diganti dengan tanaman lainnya.

Namun, masalahnya pihak perusahaan tidak menyepakatinya. Tahun lalu, pihak perusahaan tidak menghadiri sebuah pertemuan dengan para penduduk yang diadakan oleh pemerintah daerah, dan ada ketakutan yang dapat dipahami bahwa pihak perusahaan mungkin menggunakan koneksi tingkat tingginya dengan pemerintah dan tentara untuk sekali lagi mengubah arah penyelesaian kasus tersebut.

Pelajaran tentang perampasan lahan untuk minyak sawit

Pengalaman dari masyarakat di Buol memperlihatkan bagaimana dampak-dampak perkebunan kelapa sawit yang sangat besar terhadap masyarakat lokal semakin buruk dengan bertambahnya waktu. Berbagai manfaat kecil yang diberikan perkebunan, entah berupa pekerjaan atau melalui program petani mandiri, tidak ada artinya dibandingkan dengan kehilangan akses dan kontrol terhadap lahan dan air yang digunakan masyarakat untuk memastikan kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka.

“Dulu kami memenuhi semua kebutuhan pangan kami dari satu musim panen,” kata Samisar Abu, seorang ibu beranak tiga yang kehilangan lahan pertanian keluarganya kepada PT Hardaya Inti Plantation.

“Orang tua saya dapat membiayai sekolah kami dengan bertani, tapi sekarang saya tidak dapat melakukan hal tersebut untuk anak-anak saya”.

Selama lebih dari 20 tahun berjuang untuk memperoleh kembali lahan mereka dan memperbaiki kondisi kerja di perkebunan, tak banyak yang disaksikan penduduk desa Buol kecuali janji-janji kosong dari perusahaan dan pemerintah. Satu-satunya keberhasilan nyata yang mereka dapatkan dalam perjuangan mereka berasal dari aksi-aksi langsung. Mereka dapat memaksakan adanya kemajuan dalam berbagai negosiasi hanya melalui penutupan jalan dan pendudukan lahan. Sayangnya, risiko dari aksi-aksi itu adalah represi dengan kekerasan. Jika rangkaian aksi terakhir ini gagal mengembalikan lahan untuk para penduduk desa tersebut, konflik tampaknya akan meningkat.

Dalam konteks inilah solidaritas internasional dan pemonitoran situasi menjadi sangat diperlukan. Para penduduk bersemangat membawa lebih banyak perhatian internasional pada kasus mereka. Mereka mengatakan salah satu cara yang dapat dilakukan orang untuk memberi dukungan adalah dengan menandatangani sebuah petisi yang akan mereka kirimkan kepada PT Hardaya Inti Plantation.

Mereka juga meyakini bahwa sangat penting sekali bagi mereka untuk memiliki peta wilayah yang lebih terperinci yang dapat menjelaskan pemanfaatan lahan sebelum dan sesudah adanya perkebunan tersebut, dan mereka sedang mencari dukungan untuk membantu mendanai pekerjaan ini.

Bagi mereka yang ingin menghubungi para penduduk desa tersebut dapat melakukannya melalui AGRA:

agra indonesia <agraindonesia12@gmail.com>

GRAIN adalah organisasi non pemerintah internasional kecil yang bekerja untuk mendukung para petani kecil dan gerakan sosial dalam perjuangan mereka demi mencapai sistem pangan yang dikontrol masyarakat dan berbasis keanekaragaman hayati. Against the grain adalah serangkaian opini pendek tentang tren dan perkembangan terakhir dalam isu-isu yang dikerjakan GRAIN. Setiap seri berfokus pada topik dan waktu tertentu.

Kumpulan lengkap Against the grain dapat diperoleh di laman kami di:

www.grain.org/article/categories/13-against-the-grain