Timor-Timur: Peluang basi masa depan berkelanjutan

Down to Earth No. 42, Agustus 1999

Sepanjang periode pendudukan Indonesia,  hutan-hutan dan lahan-lahan pertanian di imor-Timur  telah mengalami kerusakan yang  sangat  parah. Oleh karena itu, perbaikan lingkungan dan pembangunan yang secara ekonomis yang dapat berjalan dengan  adil  dan berwawasan lingkungan menjadi tantangan utama pemerintahan Timor-Timur yang merdeka dan berdaulat.

 

(CATATAN UNTUK PEMBACA: ARTIKEL INI DITULIS SEBELUM RAKYAT TIMOR-TIMUR MENYATAKAN KEMERDEKAANNYA PADA JAJAK PENDAPAT BULAN AGUSTUS YANG LALU SERTA KRISIS YANG MENYUSUL KEMUDIAN).

Beberapa bulan terakhir ini perhatian dunia internasional  mengarah pada pelaksanaan pemungutan suara yang akan  menentukan masa depan politik Timor-Timur. Proses pemungutan suara tersebut  direncanakan  terselanggara pada bulan Agustus tahun ini.  Namun, menjelang hari-hari pelaksanaan pemungutan suara, keadaan di Timor-Timur semakin buruk  dan menyulitkan sebagian besar rakyat Timor-Timur.

Karena Angkatan bersenjata Indonesia dan  kelompok milisi bersenjata yang mereka dukung telah melancarkan serangan dan teror berdarah terhadap siapa saja yang mereka anggap pendukung pro-kemerdekaan. Aksi  mereka  jelas-jelas bertujuan untuk mengacaukan jalannya proses penentuan nasib sendiri dan mempersulit jalannya pemungutan suara yang  jujur dan adil serta berupaya keras mencegah Timor-Timur menjadi negeri yang merdeka.

Sementara itu, kelangkaan makanan semakin memburuk karena para petani dihalang-halangi untuk bekerja sehingga  gejala kekurangan gizi  pun terus meningkat.  Selain itu, serangan penyakit TBC dan malaria terus meluas di negeri yang kekurangan fasilitas obat-obatan dan tenaga dokter.

Paparan di atas adalah masalah utama yang yang harus dihadapi rakyat Timor-Timur. Dengan demikian, tidak salah  bila perhatian nasional dan internasional sekarang ini tertumpu pada agenda politik proses penentuan nasib sendiri yang tengah berjalan di Timor-Timur. Sementara itu, besarnya peluang Timor-Timur untuk merdeka menyebabkan upaya merumuskan strategi pembangunan masa depan tidak sekuat desakan untuk kemerdekaan. Dalam artikel ini, kami  akan memfokuskan diri dalam warisan yang tersisa  akibat  pendudukan Indonesia berkaitan dengan sumber daya alam Timor-Timur serta bahan-bahan mentah yang mereka miliki di mana pemerintahan baru yang merdeka dan berdaulat harus membangun masa depanya.

Keadaan Lingkungan
Kondisi seperti apakah yang tercipta di Timtim jika pemerintah Indonesia tidak berkuasa lagi? Sayangnya,  sampai sekarang masih sedikit sekali informasi yang tersedia  tentang kondisi lingkungan di Timtim. Satu penyebab utamanya adalah karena rejim penguasa Indonesia jarang sekali memberi ijin guna akvitis penelitian yang mandiri di Timor-Timur. Yang jelas, 24 tahun kekuasaan pemerintah Indonesia  telah menciptakan kerusakan besar-besaran bagi sumber daya alam  di wilayah tersebut. Menyusul masa-masa setelah penyerbuan oleh Indonesia, banyak hutan-hutan musnah dibakar guna menghancurkan tempat-tempat perlindungan kekuatan perlawanan bersenjata. Selain itu, tentara Indonesia juga menggunakan zat kimia untuk menggundulkan hutan.

Aktivitas perkebunan  kopi  skala kecil dan menengah juga dimusnahkan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan Indonesia milik keluarga Soeharto atau elit militer, telah mendapat hak berdagang secara khusus berupa sumber daya alam yang menguntungkan seperti kopi, pualam dan kayu cendana. Mereka menjalankan usahanya tanpa mempedulikan hak-hak kepemilikan rakyat Timtim atau terhadap dampak lingkungan yang terjadi.

Pada pertengahan tahun 1990-an, efek gabungan dari operasi militer, kebijakan pemukiman penduduk dan eksploitasi komersial terlihat dengan gamblang. Menurut salah satu sumber,  hanya 10% dari lahan yang ada dapat dianggap  layak sebagai lahan pertanian. Sementara itu, data lainnya menyebutkan bahwa 78% total lahan tergolong dalam kondisi kritis. Selain itu, sebagai akibat akibat penebangan dan perusakan, luas hutan di Timtim telah berkurang hingga 15% saja dari luas daratan, yang berarti kurang dari setengah angka perhitungan luas wilayah hutan satu dekade sebelumnya.

Pada pertengahan tahun 80-an,  proyek Reppprot yang didanai Inggris melakukan pemetaan lahan untuk kepentingan Kementrian Transmigrasi. Hasil penelitian mereka  menunjukkan bahwa luas wilayah hutan pada saat itu diperkirakan meliputi 37% dari luas daratan ditambah dengan luas semak dan belukar yang luasnya  sekitar 26% dari   total luas daratan  yang mencapai angka 14.878 km2.

Dengan demikian, meskipun cukup banyak  dana  dikeluarkan  untuk membangun infrastruktur dan proyek-proyek bergengsi di tahun 80-an dan 90-an, pemerintah Indonesia  gagal menyelesaikan masalah mendasar ini, sekalipun untuk melakukan suatu kajian guna melakukan penilaian terhadap seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Bahayanya  sekarang,  pengurasan sumber daya alam akan semakin tinggi  karena perusahaan-perusahaan Indonesia ingin segera memaksimalkan keuntungan mereka dalam waktu singkat sebelum Timtim merdeka. Perusahaan-perusahaan ini (khususnya yang memiliki hubungan dekat dengan pihak militer) mendukung upaya kekuatan pro-Indonesia  untuk memperlambat proses pemungutan suara agar mereka memiliki kesempatan guna melakukan perampokan besar-besaran pada saat-saat terakhir.

Pemukiman Kembali  Secara Massal
Program kependudukan yang diterapkan pemerintah Indonesia di Timor-Timur pada dasarnya ditujukan untuk menguasai wilayah tersebut secara teritorial dan politik. Termasuk dalam kebijakan kependudukan ini adalah program pemukiman kembali secara paksa yang merengut puluhan ribu jiwa rakyat Timor-Timur serta berpengaruh besar terhadap kondisi lahan pertanian dan hutan-hutan.

Segera setelah penyerbuan militer Indonesia pada tahun 1975, penduduk dari berbagai desa dipaksa pindah dari wilayah pedalaman yang subur. Mereka digiring ke kamp-kamp penampungan sementara dan ditempatkan sebagai tawanan di wilayah sepanjang pantai utara yang kurang subur. Cara ini digunakan sebagai bagian strategi tentara Indonesia menghancurkan perlawanan FALINTIL. Lebih dari 300.000 jiwa terkena program ini sampai akhir tahun 1970-an. Dalam perhitungan statistik, jumlah tersebut mencapai setengah  jumlah penduduk sebelum periode pendudukan.

Pemukiman baru itu sesungguhnya lebih layak disebut sebagai kamp kerja  paksa bagi para tahanan dibanding sebagai desa biasa. Para "tawanan" itu, terpaksa menggarap lahan di wilayah yang labil dan marjinal karena karena  aksesnya untuk mendapatkan  lahan pertanian yang layak dihambat Namun jelas bahwa lahan yang mereka garap tidak mampu menopang sistem pertanian intensif dan juga tingkat kepadatan penduduk sehingga mendorong terjadinya kelaparan massal.  Bencana tersebut diyakini sebagai pendorong meningkatnya jumlah korban tewas akibat perang  yang dilakukan oleh Indonesia terhadap rakyat Timtim yang mencapai angka sekitar 200.000 atau sepertiga  jumlah penduduk yang ada. Selain itu, nampaknya lahan di mana kamp itu berada telah menjadi tidak subur akibat penggarapan paksa secara intensif di wilayah itu.

Setelah dipindahkan secara paksa, para penduduk desa yang masih bertahan pada akhirnya tidak dapat kembali ke tanah pertanian mereka. Sebagai gantinya, tanah-tanah mereka diberikan kepada para petani yang datang berdasarkan program transmigrasi yang disponsori oleh negara. Sejak tahun 1982, program tersebut telah menempatkan sekitar 25.000 para petani asal Jawa dan Bali ke Timtim. Para pendatang asal Indonesia ini pun memasuki wilayah perkotaan. Pada tahun 80-an dan 90-an, penduduk perkotaan membengkak dengan kedatangan orang-orang yang tertarik datang untuk bekerja di birokrasi atau pusat-pusat perdagangan. Secara keseluruhan, lebih dari 200.000 orang Indonesia telah bermukim di Timtim. Angka ini tidak termasuk 20.000 pasukan yang juga disertai oleh keluarga mereka.

Menurut seorang peneliti asal Timtim, Rui Gomes, di Dili, pertumbuhan penduduk terjadi dengan amat cepat sehingga tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 mencapai angka lebih dari 8000 orang per-km2 nya, lebih tinggi dibandingkan Singapura dan HongKong pada tahun 1990. Pertumbuhan populasi ini telah menyebabkan menipis dan tercemarnya sumber air. Lahan di sekitar perkotaan pun mengalami tekanan peningkatan pendudukan.

Bagi keluarga-keluarga miskin yang tinggal di pemukiman padat di wilayah utara, mereka tidak mempunyai pilihan lagi selain mempraktekan suatu bentuk berladang yang tidak berkelanjutan. Pegunungan yang gundul mengitari kota Dili membentuk wilayah lahan kritis seluas 15.000 ha.

Pemerintahan Indonesia senantiasa mengabaikan dan tidak memberi ruang bagi proses pembangunan yang dilakukan dari bawah. Sebagai penguasa kolonial, mereka memaksakan apa yang mereka pikir sebagai metode yang lebih unggul (berdasarkan pertanian model Jawa ) di Timtim. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa lahan dan iklim di Timtim -dan sejumlah pulau di Timur Indonesia lainnya -sangat berbeda dengan lahan dan pertanian di pulau Jawa. Di sini, kondisinya jauh lebih kering dibandingkan dengan di Jawa. Menurut Gomes, sikap ini terbukti dengan jelas dinyatakan oleh kalangan birokrasi dan seringkali disuarakan oleh pejabat Indonesia di hadapan rekan kerjanya yang orang Timtim:

"Penduduk Jawa menyatakan dirinya sebagai lebih unggul dan merasa paling penting dalam proses pembangunan ekonomi di Timor-Timur. Sebagai contoh, para pimpinan departemen pemerintahan serta para pejabat tinggi lainya yang sebagian besar berasal dari Jawa, seringkali menyatakan bahwa penduduk setempat tidak mungkin dapat membawa kemajuan bagi Timor-Timur. Para pejabat tersebut menyatakan bahwa etika kerja orang Jawa lebih unggul, khususnya dalam metode pertanian sehingga layak untuk ditiru oleh orang Timtim."

Sikap seperti ini dapat ditemukan juga di berbagai wilayah di Indonesia sebagaimana sering ditunjukkan para pejabat pemerintahan. Sistem dan metode pertanian orang Jawa dinyatakan sebagi suatu contoh yang patut ditiru masyarakat adat setempat yang menerapkan metode pertanian tradisional mereka. Di Timtim, banyak desa-desa yang mempraktekkan sistem bertani tradisional, yang berkembang sesuai dengan kondisi setempat, telah musnah tersapu perang. Oleh karena itu, saat ini menjadi sangat penting dilakukan suatu penelitian dan penilaian terhadap metode bertani tradisional di mana sistem itu mungkin merupakan sistem yang lebih baik dalam membangun kembali sistem pertanian di negeri tersebut.

(Sumber: 'The Environmental Impact of Indonesia's Occupation of East Timor', Rui A.Gomes, April 1999. Lihat juga J.G. Taylor, Indonesia's forgotten War, The Hidden History of East Timor, Zed Books 1991)

Menyoal Potensi Masa Depan
Di masa lalu, alasan bahwa Timtim tidak akan bertahan secara ekonomi telah menjadi dasar pembenar oleh Jakarta untuk melanjutkan pendudukan mereka di Timor-Timur. Logika yang digunakan adalah Timtim miskin sumber daya alam dan juga sumber daya manusia untuk membangun wilayahnya sendiri.

Satu hal yang luput dalam pernyataan itu dan perlu dinyatakan di sini adalah Indonesia bertanggungjawab terhadap terjadinya pemiskinan sumber daya alam tersebut dengan perusakan hutan secara sistematis, perampasan sumber daya alam lainnya oleh perusahaan-perusahaan indonesia dan merekayasa suatu bencana ekologi dan kemanusiaan dalam praktek program pemukiman secara paksa.

Ironisnya, kemiskinan sumber daya telah menjadi alasan bagi Jakarta untuk menarik diri dari Timtim. Pada bulan Februari tahun ini, presiden RI menyatakan bahwa Jakarta telah mengeluarkan terlalu banyak untuk Timor-Timur, tetapi ternyata yang diperoleh hanyalah batu. Presiden mengatakan, "Apa yang telah mereka berikan pada kita? Sumber daya alam? Tidak. Sumber daya manusia? Tidak. Teknologi? Tidak. Setumpuk emas? Tidak. Batu? Ya!"

Hal ini sekali lagi mengingkari kenyataan keuntungan besar yang diperoleh dari sumber daya alam Timtim yang diambil oleh perusahaan Indonesia. Kegiatian bisnis ini telah diteliti oleh George Aditjondro, seorang akademisi pembangkang yang berdiri "di luar sistem". Bertentangan dengan Habibie, George Aditjondro menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh dari Timtim menjadi alasan mengapa pihak-pihak yang berkuasa, termasuk di dalamnya mantan presiden dan perwira militer, merasa enggan melepaskan Timor-Timur. Menurut Aditjondro, pertikaian yang terjadi di Timor-Timur sekarang ini "tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhitungkan seberapa besar perusahaan-perusahaan yang dimiliki mantan presiden beserta keluarganya di Timor-timur."

Keluarga Soeharto menguasai tanah seluas 564.867 hektar yang membentang dari batas sebelah barat sampai ujung timur wilayah Timtim. Termasuk di dalamnya adalah lahan seluas 40.000 hektar yang diserahkan pengelolaanya kepada Bob Hasan, serta puluhan ribu lahan tanaman tebu di pantai selatan yang dikuasai oleh anak-anak Soeharto. Putri sulung Soeharto, Tutut, masih memiliki cadangan cadangan marmer yang terbaik di Manatuto, Timtim. Keluarga Soeharto juga menguasai tiga sumur minyak di Timtim dan mempersiapkan diri dalam kancah "Celah Timor" dengan membentuk perusahaan bernama PT Genindo Western Petroleum Propriety Ltd sebagaimana halnya juga pemilikan bersama suatu perusahaan yang terlibat dalam pembangunan kamp-base.

Semua bisnis tersebut sangat berhubungan dengan salah satu konglomerat yang didukung oleh militer, PT Batara Indra, yang menguasai tanaman kayu cendana serta bisnis memproduksi dan mengekspor minyak cendana. Menurut suatu laporan yang dilansir pada bulan januari, militer bersama dengan beberapa pengusaha keturunan cina setempat, masih mengekspor sekitar 10-20 ton cendana dari kecamatan Fatalulik setiap bulannya.

Bisnis Batara Indra juga meluas sampai di beberapa kota di Timtim di mana, menurut Aditjondro, kebanyakan hotel dan bioskop di Dili dimiliki perusahaan tersebut. Di lain pihak, di beberapa keluarga elit di Timtim, mempunyai hubungan bisnis pula dengan keluarga Soeharto dan militer, seperti Gubernur Abilio Soares.

Keuntungan komersial seperti itu menjadi bukti yang menggugurkan argumentasi yang menyatakan bahwa peluang ekonomi di Timtim tidaklah besar. Contoh lain menunjukkan bagaimana pencabutan monopoli ekonomi Indonesia di suatu wilayah memberikan kesempatan bagi orang-orang Timtim untuk meraih keuntungan yang lumayan besar dari usaha mereka.

Kenyataan ini bisa dilihat dalam kasus PT Denok yang didukung kalangan militer. Perusahaan ini selama bertahun-tahun menguasai produksi dan ekspor kopi di Timtim. Tetapi, setelah adanya tekanan dari pemerintah Amerika Serikat, praktek monopoli ini dihentikan pada tahun 1995. Sejak saat itu, menurut laporan Far Eastern Economic Review, peningkatan pendapatan yang berasal dari perdagangan kopi berhasil "menarik ribuan rakyat Timor-Timur keluar dari bawah garis kemiskinan." Di masa depan, produksi dan perdagangan kopi diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan ekonomi yang penting setelah Timor-Timur merdeka nantinya. (Straits Times 25/2/99; Sydney Morning Herald 8/5/99; Far Eastern Economic Review 18/2/99)

Celah Timor
Argumentasi "miskinnya sumber daya" sama sekali melupakan keberadaan Celah Timor yang membentang di bawah laut antara Timor dan Australia dengan simpanan cadangan minyak dan gas yang amat kaya.

Perjanjian Celah Timor untuk memulai eksplorasi minyak beserta pembagian keuntungan di dalamnya telah ditandatangani pemerintah Australia dan Indonesia pada tahun 1989. Sebagai tanggapan terhadap pernjanjian tersebut, rakyat seluruh dunia dengan keras menyatakan perjanjian tersebut sebagai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional karena PBBtidak pernah mengakui keberadaan Indonesia di Timtim sampai sekarang.

Sampai saat-saat terakhir ini, pemerintah Australia yang mengakui aneksasi Indonesia di Timor-Timur, masih bersikeras menolak desakan perundingan kembali perjanjian Celah Timor. Baru setelah terjadi perubahan besar sekarang ini, pemerintah Australia mulai memberikan dukungan terhadap rakyat Timor-Timur untuk menentukan nasib sendiri serta mengatakan mereka akan bekerja sama dengan pemerintah Timor-Timur yang merdeka guna menjamin kelangsungan Perjanjian Celah Timor.

Guna melindungi kepentingannya, industri minyak Australia juga mulai merubah cara pandang mereka dan mengatakan bersedia bekerja sama secara konstruktif dengan siapa saja sesuai hasil pemungutan suara pada bulan Agustus ini. Asosiasi Eksplorasi dan Produksi Minyak Bumi Australia telah menghimbau pemerintah mereka untuk menyediakan bantuan yang penting bagi Timor-Timur jika negeri itu memutuskan untuk merdeka. Dengan demikian, aturan-aturan penanaman modal yang jelas dan transparan, perpajakan dan sistem penyelesaian sengketa dapat dibentuk kemudian.

Belakangan Celah Timor dikenal juga sebagai wilayah yang kaya dengan kandungan gas seperti halnya minyak bumi. Sekarang ini, operasi penambangan yang utama dijalankan oleh perusahaan asal Amerika bernama Philips Petroleum Co. setelah mereka membeli saham PT BHP untuk wilayah pertambangan Elang/Kakatua. Pada bulan Agustus tahun lalu, proyek ini menjadi proyek pertama dari seluruh ladang minyak di celah Timor yang berproduksi dan menghasilkan keuntungan sebesar 2,5 juta dolar. Keuntungan ini kemudian dibagi antara Australia dan Indonesia. Beberapa perusahaan lain yang terlibat dalam proyek-proyek lainnya adalah Royal Dutch/Shell group (Belanda Inggris) dan Woodside Petroleum (Australia). Pendatang paling akhir dalam proyek tersebut adalah Mobil Oil, sebuah perusahaan yang aktivitasnya terkait dengan pelanggaran HAM di Aceh.

Indikasi belakangan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Timor-Timur yang merdeka nantinya juga ingin mendapatkan keuntungan hasil produksi minyak dan gas di Celah Timor. Tetapi aktivitas industri ini dan perusahaan-perusahaan yang mendominasi proyek tersebut telah dikenal sebagai penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM di seluruh dunia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Timor-Timur yang berdaulat nanti untuk memperhitungkan berbagai biaya tersembuyi atas pendapatan yang mereka terima dari minyak dan gas saat menetapkan strategi pengelolaan Celah Timor. (Dow Jones 21/6/99, G. Aditjondro dalam Sydney Morning Herald, 8/5/99)

Strategi CNRT
Pada bulan April tahun ini, Dewan Nasional Perlawanan Rakyat Timor-Timur atau CNRT (Conselho Nacional da Resistencia Timor-Leste) mengadakan konferensi tentang Rencana Pembangunan Strategis di Melbourne, Australia. Konferensi ini merupakan tahapan kedua CNRT untuk mempersiapkan pemerintahan yang merdeka nantinya dan "cetak biru" yang mereka buat didasarkan pada "Prinsip dasar Timor-Timur yang bebas, merdeka, damai dan demokratis". Dalam konferensi tersebut telah dikembangkan suatu rencana strategis pembangunan Timor-Timur yang mencakup 8 sektor utama, seperti pertanian, ekonomi dan infrastruktur/lingkungan.

Jelas sekali bahwa pendapatan dari Celah Timor akan menjadi sumber pemasukan dana yang penting bagi pemerintahan yang merdeka nantinya. Meskipun demikian, CNRT juga memperhatikan kebutuhan minyak bumi non-fosil untuk keperluan konsumsi dalam negeri. Pendapatan lainnya selain ekspor pertanian dan kiriman uang masyarakat timtim yang tinggal di luar negeri, adalah ekoturisme yang mulai dipertimbangkan sebagai sumber pendapatan yang penting. Dalam terbitan mendatang, DTE berharap dapat menerbitkan rencana-rencana pembangunan CNRT lebih mendalam.
(Sumber: Publico [terjemahan] 4/5/99;)

Bantuan Nyata
Apa yang dibutuhkan Timor-Timur pada tahap awal setelah mereka merdeka adalah bantuan keuangan dari negara-negara kaya. Jika memang nantinya Timor-Timur membutuhkan bantuan keuangan negara-negara utara, maka baik peminjam maupun penghutang harus dapat menjamin bahwa Timor-Timur tidak akan terjebak pada ketergantungan hutang jangka panjang yang menjerat negara-negara penghutang di selatan.

Malahan, pengalaman Timor-Timur diharapkan akan menjadi kesempatan yang baik untuk mengembangkan suatu program bantuan yang benar-benar dapat menempatkan Timor-Timur dalam jalur pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Program itu diharapkan dapat menghindarkan strategi pembangunan usang dan tidak adil rejim Suharto di Indonesia, yang mendorong penjarahan besar-besaran sumber daya alam demi kemajuan bisnis segelintir elit dengan mengorbankan kepentingan banyak orang dan generasi mendatang. Program ini diharapkan dapat menjadi peluang bagi negara-negara maju di utara --sebagai penyalur senjata bagi militer Indonesia dalam menindas rakyat Timor-Timur-- untuk memulai cara baru dan meminta maaf terhadap apa yang telah mereka lakukan di masa lalu.