Perang dan ketahanan pangan di Aceh

Down to Earth Nr 58  Agustus 2003

Penduduk sipil adalah pihak yang paling menderita dalam peperangan yang terjadi di Aceh sekarang ini. Bencana kelaparan menjadi ancaman nyata akibat konflik yang menghancurkan ketahanan pangan masyarakat.

Setelah menyatakan darurat perang di Aceh pada tanggal 9 Mei menyusul dilanggarnya inisiatif kesepakatan damai selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia melancarkan perang besar-besaran di Aceh. Dengan pengerahan sebanyak 50.000 pasukan, peperangan di Aceh menjadi operasi militer terbesar Indonesia, dan merupakan peperangan terbesar setelah invasi Indonesia ke Timor-Timur pada tahun 1974. Selang dua bulan pertempuran, pihak TNI mengklaim bahwa sekitar 432 anggota GAM dan 31 anggota TNI tewas terbunuh. Para pembela Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa penduduk sipil terpaksa memikul beban serangan tersebut. Label GAM seringkali digunakan semaunya kepada maysarakat sipil yang anti-kekerasan. Setiap penentang undang-undang darurat TNI, termasuk pembela Hak Asasi Manusia, ditangkap. Dengan demikian, ruang politik untuk menentang perang telah ditutup.

Sedikitnya, sekitar 170 penduduk sipil diperkirakan tewas dibunuh, namun jumlah yang pasti masih sulit dikaji ulang mengingat batasan ketat oleh pihak militer terhadap arus informasi selain juga suasana ketakutan untuk melumpuhkan masyarakat sipil. Menurut cabang Kontras di Aceh, selama bulan Juni saja tercatat sekitar 110 penduduk sipil dibunuh secara sewenang-wenang, 103 diperlakukan secara tidak manusiawi, 46 ditangkap secara sewenang-wenang dan 10 orang hilang.

 

Ketahanan Pangan 
Pengaruh peperangan di Aceh terhadap penanaman, panen, perdagangan dan pengangkutan tanaman pangan semakin memburuk. Banyak desa dan lahan pertanian sekitarnya yang dibiarkan terlantar karena penduduknya pergi menghindari pertempuran dan "penyapuan" militer. Berdasarkan data dari organisasi PBB, sekitar 46.000 orang telah kehilangan tempat tinggal. Jumlah ini akan terus bertambah apabila pihak militer tetap menerapkan rencana mereka untuk memindahkan sebanyak 200.000 orang dari desa-desa mereka ke wilayah kamp-kamp pengungsian.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jesuit Refugee Service, yang mendokumentasikan situasi pengungsi pada tahun 2002, diperkirakan 72% pengungsi Aceh yang tinggal di kamp pengungsian adalah petani. Setelah dipindahkan, mereka tidak lagi mampu mengolah lahan pertanian dan memanen tanaman. Di beberapa wilayah kamp, para pengungsi sekarang ini tengah menghadapi kekurangan pangan, selain juga menderita masalah-masalah kesehatan mental dan fisik.

Sedangkan orang-orang Aceh yang masing tinggal di desa-desa mereka menghadapi persoalan-persoalan berbeda. Para petani biasanya memiliki lahan sawah irigasi dan lahan pertanian lain yang ditanami tanaman seperti cabai dekat tempat tinggal mereka. Selain itu, mereka juga memiliki ladang-ladang yang ditanami buah-buahan dan coklat di tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Sekarang ini lahan-lahan pertanian itu sudah tak terurus lagi karena para petani tidak merasa aman untuk keluar rumah. Pekerjaan berkaitan dengan kegiatan pertanian lainnya yang biasa dilakukan penduduk desa di luar desa mereka, seperti mengawasi kompleks irigasi dari mata air yang mengalir dari pegunungan, sekarang ini sudah tidak dilakukan lagi. Sementara itu, meskipun mereka masih dapat memanen tanaman pertanian mereka dengan jumlah terbatas, namun para petani tidak bisa menjual atau membeli kebutuhan-kebutuhan sehari-hari karena terputusnya jalur transport dan berhentinya kegiatan pasar-pasar lokal.

Kantor PBB untuk Masalah Koordinasi Kemanusiaan, (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs atau OCHA), melaporkan pada bulan Juni bahwa ketersediaan makanan sangat rendah di kecamatan-kecamatan di kabupaten Pidie. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kekurangan bahan bakar dan memburuknya situasi keamanan sepanjang jalan raya. Pada bulan Mei, Jakarta Post melaporkan bahwa bencana kelaparan menjadi ancaman nyata dengan semakin habisnya makanan sehari-hari di beberapa bagian di Aceh. Dikatakan oleh penduduk yang berasal dari kecamatan Jeumpa, Bireuen, bahwa mereka sudah tidak lagi makan siang karena makanan menjadi semakin langka. Ia kecewa bahwa pasukan TNI gagal melindungi pasukan pangan. Seorang wartawan juga menyaksikan bahwa saluran-saluran irigasi rusak sepanjang jalur yang menghubungkan Bireuen dan ibu kota propinsi, Banda Aceh.

Di wilayah-wilayah sekitar pantai, komunitas nelayan terkena pengaruh buruk oleh ketentuan undang-undang darurat yang mengharuskan mereka melapor ke pos angkatan laut setempat sebelum berlayar. Hal ini menyebabkan banyak para nelayan untuk memutuskan tidak melaut, mengingat keharusan melapor kepada pihak angkatan laut juga berarti keharusan membayar sejumlah uang sogokan. Pada saat yang sama, apabila mereka tidak melapor, maka akan menjadi sasaran tuduhan sebagai penyelundup senjata atau pendukung GAM. Di perkotaan, makanan juga semakin langka. Situasinya bahkan lebih buruk dibanding wilayah pedesaan dimana masih terdapat sumber pangan lokal yang tersedia. Di pusat-pusat kota, harga makanan pokok telah melonjak seiring dengan merosotnya pasokan pangan dari Sumatra Utara, propinsi tetangga Aceh. Pasokan bahan bakar juga semakin berkurang di mana polisi dan tentara menjaga pompa-pompa bensin di Banda Aceh.

Persoalan ini menjadi semakin diperparah dengan adanya ketentuan pemerintah Indonesia yang melarang badan-badan bantuan internasional untuk mendistribusikan makanan dan pasokan kemanusiaan lainnya.

Menurut seorang aktivis Aceh, mengacaukan ketahanan pangan mungkin juga merupakan suatu kebijakan yang disengaja sebagai bagian dari rencana TNI. Kekurangan pangan akan semakin mempermudah mereka untuk merekrut milisi-milisi di kamp-kamp pengungsi atau tempat lainnya. Dengan bergabung menjadi anggota milisi, maka para anggota akan mendapat imbalan pangan yang cukup –sebuah godaan yang sangat besar saat persediaan makanan merosot.

 
"Undang-Undang Darurat telah mempengaruhi ekonomi komunitas-komunitas di akar rumput. Secara umum, penduduk tinggal di wilayah pedesaan. Sebagian besar dari mereka adalh petani dan nelayan. Dengan meningkatnya operasi-operasi militer, maka aktivitas-aktivitas umum di pedesaan menjadi semakin sulit dilakukan ..."

(Kontras Aceh, 2003-2003 report, 4/Jul/04)


Hutan dan Banjir
Pengaruh selanjutnya yang berkait dengan masalah mata pencaharian penduduk lokal dan ketahanan pangan mereka adalah rusaknya hutan-hutan di Aceh, yang bertahun-tahun sebelumnya telah dirusak oleh penebangan liar. Selama beberapa tahun, penggundulan hutan telah menyebabkan munculnya banjir dan bencana longsor di Aceh. Kalangan LSM meramalkan bahwa peningkatan besar-besaran keberadaan militer di Aceh akan membuat situasi ini menjadi semakin buruk.

Setelah diberlakukannya undang-undang darurat pada bulan Mei, WALHI Aceh mengatakan kepada Jakarta Post bahwa kekuasaan militer akan menyebabkan kerusakan hutan yang lebih besar karena hal itu menjadi picu bertambahnya korupsi di antara perwira." Selain itu, pihak militer juga memiliki akses untuk kendaraan truk dan bahan bakar yang digunakan untuk membawa kayu-kayu tebangan liar.

Karena sekitar 70-75% pendapatan TNI diperoleh dari perusahaan-perusahaan mereka sendiri, sangat kecil peluang bagi perwira militer yang ditempatkan dekat wilayah hutan untuk tidak memanfaatkan kesempatan mengeruk untung dari bisnis penebangan liar. Nampaknya, para aktivis lokal percaya bahwa peperangan melawan GAM adalah suatu cara terbaik untuk menutupi perampokan-perampokan kekayaan alam Aceh. Perang akan terus berlanjut sepanjang masih ada keuntungan yang didapat darinya. Kekayaan alam itu termasuk kayu-kayu tebangan dari wilayah hutan lindung Ekosistem Leuser, yang terletak di bagian selatan wilayah Aceh dan berbatasan dengan Sumatra Utara. Wilayah seluas 2,6 juta hektar ini adalah salah satu hutan hujan terkaya di dunia dan memiliki "cadangan ekologis" senilai 200 juta dollar setiap tahunnya dengan melindungi aliran air serta penyediaan air bersih dan segar untuk perikanan. Jaringan jalan yang direncanakan untuk dibangun –yang disebut Ladia Galaska-untuk menghubungkan Aceh Barat dan Timur akan melintasi wilayah yang dilindungi ini dan akan mempermudah pihak militer untuk menembus wilayah-wilayah hutan pedalaman, selain juga memperbesar peluang bagi usaha penebangan kayu yang dilindungi militer.

Hasjrul Junaid dari Ornop lingkungan yang berbasis di Jakarta, SKEPHI, mengatakan bahwa "Kami khawatir bahwa pihak angkatan darat akan bergerak di wilayah-wilayah hutan, mencuri kayu dan membahayakan spesies-spesies seperti yang telah mereka lakukan di Papua." Ia meramalkan bahwa gubernur Aceh, Abdullah Puteh, akan terus melanjutkan proyek jalan tersebut, meskipun ada tentangan dari departemen kehutanan dan lingkungan di Jakarta, karena hal itu merupakan "satu-satunya cara untuk merampok kas negara."

(Lihat DTE 55 untuk informasi lebih lengkap tentang masalah Ladia Galaska).


Pengaruh Berantai di Papua Barat dan lainnya
Perang di Aceh merupakan pertanda yang tegas menunjukkan bahwa TNI semakin mendapat dukungan kuat dalam politik Indonesia. Para petinggi militer senantiasa menentang proses damai dengan cara sipil di Aceh. Mereka lebih memilih opsi yang menempatkan militer di jantung aktivitas yang membuat mereka sebagai 'penjaga' negara kesatuan republik Indonesia melawan 'ancaman separatisme.'

Pengaruh berantai dari gejala itu cukup mencemaskan, baik di Papua Barat yang menjadi tempat lahirnya gerakan kemerdekaan yang kuat dan juga komunitas-komunitas lainnya di Indonesia yang perjuangannya untuk kehidupan memaksa mereka untuk berhadapan dengan kepentingan-kepentingan militer.

Di Papua Barat, beredar isu bahwa militer akan melancarkan operasi militer gaya Aceh untuk mematahkan gerakan kemerdekaan, dengan terus mengirimkan sejumlah besar pasukan ke wilayah itu.

Beberapa tindakan telah dilakukan untuk menghalangi gerak aktivis-aktivis kemerdekaan dan para pembela HAM beberapa bulan lalu. Sejak bulan April, operasi militer militer yang brutal telah dilakukan di desa-desa pegunungan sekitar Wamena yang menyebabkan 18 orang tewas. Pada bulan Juli, seorang pengibar bendera terluka parah di Wamena. Para pembela HAM juga mendapat tekanan keras, yang mana organisasi terkemuka di tempat itu, ELSHAM, menjadi terdakwa di pengadilan militer atas laporan mereka tentang keterlibatan militer pada bulan Agustus 2002 berkaitan dengan pembunuhan tiga pekerja di pertambangan Freeport/Rio Tinto.

Semuanya memberi pertanda tentang meningkatnya kepercayaan diri pihak militer bahwa mereka bisa bertindak semena-mena dengan mengabaikan tuntutan masyarakat sipil. Ketegangan semakin memuncak dengan kegagalan pemerintah menerapkan Otonomi Khusus untuk Papua Barat. Sebaliknya, pemerintah lebih memilih untuk memberlakukan kembali undang-undang tahun 1999 yang memecah Papua Barat menjadi tiga propinsi, sebuah langkah yang telah ditolak oleh orang-orang Papua.

Meningkatnya dominasi militer membuat peluang untuk menerapkan "praktek terbaik" (best practice) perlindungan HAM di sektor industri sumber daya alam-seperti yang dijanjikan oleh BP dalam proyek Tangguh mereka-menjadi semakin sulit untuk direalisasikan. (Lihat DTE 57 untuk informasi mengenai Tangguh).

Untuk laporan lengkap tentang Aceh, lihat Tapol Bulletin 171/172, Juni/Juli 2003. Untuk informasi lebih mendalam tentang isu-isu kekayaan sumber daya alam di Aceh, lihat DTE 47).

(Sumber: Deutsche Presse-Agentur 22/May/03; Anywhere but War, Internal Displacement and Armed Conflict in Aceh, Cynthia Buiza & Gary Risser, JRS. Jakarta Post 25/May/03; 7/Jul/03; Amnesty International: Indonesia: Protecting the protectors:human rights defenders and humanitarian workers in Nanggroe Aceh Darussalam3/Jun/03 and Indonesia: protecting rights in Nanggroe Aceh Darussalam during the military emergency, 23/May/03; UN office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) May, June and July updates; Call for international military sanctions against Indonesia, Tapol, June 2003; Informasi tambahan dari Kontras Aceh.)


Kampanye Embargo Senjata 
Tapol, lembaga kampanye HAM di Indonesia yang berbasis di Inggris, telah melancarkan kampanye internasional untuk melakukan embargo senjata terhadap Indonesia. Tapol dan lembaga Kampanye Menentang Perdagangan Senjata di Inggris, (Campaign Against Arms Trade atau CAAT), telah berupaya untuk menarik perhatian publik Inggris tentang penggunaan pasokan senjata Inggris oleh tentara Indonesia di Aceh. Senjata-senjata itu adalah pesawat jet Hawk dan tank Scorpion. Ketika pihak Indonesia membeli senjata-senjata itu dari pemerintah Inggris, mereka memberikan jaminan bahwa senjata-senjata itu tidak akan digunakan untuk penindasan di dalam negeri. Namun, penggunaan senjata-senjata tersebut di Aceh merupakan pelanggaran yang nyata terhadap kesepakatan serta pelecehan terhadap jaminan yang telah diberikan. Tapol mengatakan, "Perlengkapan militer yang dipasok oleh negara-negara lain, seperti AS, Inggris, Jerman dan Prancis, sekarang ini digunakan oleh TNI di Aceh dan telah digunakan secara meluas di Papua dan Timor Timur di masa lalu. Kami memandang negara-negara tersebut menyetujui penggunaan senjata-senjata itu terhadap pihak sipil. Dengan demikian, mereka mengambil bagian dalam proses pelanggaran HAM dan hukum kemanusiaan internasional."

Untuk informasi lebih lanjut tentang kegiatan kampanye ini, lihat situs web Tapol.