- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Tema
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Kenapa jangan Wilmar?
DTE 96-97, Desember 2013
Nama Wilmar tampak besar dalam urusan bahan bakar nabati Eropa-Indonesia. Perusahaan yang berbasis di Singapura ini menjual biodiesel buatan Indonesia ke Eropa serta menjual bahan baku kelapa sawit untuk membuat biodiesel di Eropa. Wilmar adalah sebuah perusahaan yang terkait dengan serangkaian permasalahan HAM dan lingkungan paling tidak sejak 2005. [1] Yang paling akhir, empat orang penduduk desa dilukai oleh penjaga keamanan di salah satu konsesi Wilmar di Kalimantan Tengah, dalam sebuah konflik lahan yang berkepanjangan yang melibatkan perusahaan. Catatan buruk Wilmar menyoroti alasan mengapa Eropa seharusnya tidak bergantung pada minyak sawit Indonesia untuk memenuhi komitmen bahan bakar dan energi terbarukannya.
Wilmar Internasional adalah sebuah perusahaan global yang terlibat dalam penanaman, penggilingan, penyulingan dan perdagangan kelapa sawit dan berbagai jenis produknya.[2] Wilmar merupakan pedagang kelapa sawit terbesar dunia yang memasok sebanyak 45% dari minyak sawit yang diperdagangkan di dunia.[3] Perusahaan tersebut juga merupakan salah satu pemilik perkebunan terbesar di Indonesia dan Malaysia. Total wilayah yang ditanami kelapa sawit Wilmar adalah sekitar 255.648 hektare, di mana sekitar 73% terletak di Indonesia, 23% di Sabah dan Sarawak di Malaysia dan 4% di Afrika. Ditambah 41.407 ha perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola Wilmar berdasarkan skema ‘plasma’ Indonesia yang banyak menuai kritik.[4] Area ini akan bertambah luas: perusahaan tersebut dilaporkan telah memiliki simpanan lahan dengan luas lebih dari 600.000 hektare, khususnya di Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.[5]
Selain menjadi pemain yang dominan di sisi penawaran dari industri minyak sawit, perusahaan tersebut juga memainkan peran penting di bagian hilir usaha ini yakni dalam penyulingan dan pengolahannya. Di Eropa, perusahaan tersebut mengoperasikan penyulingan di Belanda dan Jerman, yang tercatat dalam laporan tahunan terakhirnya sebanyak empat pabrik penyulingan dan satu pabrik khusus lemak di Eropa.[6]
Wilmar dikuasai oleh pengusaha Indonesia dan Singapura, dengan perwakilan di dewan direksinya oleh Archer Daniels Midland (ADM) salah satu perusahaan perdagangan komoditas terbaik dunia, yang juga tercatat di antara duapuluh besar pemegang saham terbesar Wilmar. ADM dan Wilmar telah membentuk sebuah kerjasama strategis, termasuk penyulingan minyak tropis di Eropa (dijual dan dipasarkan melalui Olenex. C.V. yang berbasis di Swiss).[7]
Besar dalam biodiesel
Wilmar juga merupakan pembuat biodiesel terbesar di Indonesia dan produsen biodiesel terbesar dunia yang dibuat dari kelapa sawit. Pada 2012, kapasitas produksinya mencapai 2 juta ton per tahun, dari 7 penyulingan di Indonesia dan satu di Malaysia,[8] walaupun produksinya diperkirakan di bawah kapasitas.[9]
Dalam laporan publiknya Wilmar tidak menyatakan di mana biodieselnya dijual, tapi jelas dari langkah-langkah anti-dumping yang diambil Uni Eropa terhadap para pengekspor biodiesel Indonesia dan Argentina bahwa sejumlah besar produksi Wilmar dijual di Eropa. Dalam bulan Mei tahun ini, UE mengumumkan hukuman pajak akan dikenakan pada impor dari lima perusahaan Indonesia termasuk dua produsen biodiesel Wilmar, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi. Perusahaan-perusahaan tersebut dituduh menjual biodiesel yang disubsidi di pasar Eropa, dan Wilmar menerima kewajiban yang bersifat hukuman itu tertinggi di antara perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya, yakni 9.6%.[10]
Di Indonesia, tindakan anti-dumping UE disambut dengan cemas, khususnya karena itu berarti ketidakpastian lebih lanjut untuk para produsen biodiesel Indonesia (permintaan domestik terhadap biodiesel tetap kecil). UE adalah tujuan ekspor utama untuk biodiesel Indonesia – mencakup hampir 90% dari volume ekspor sejauh ini, menurut kepala asosiasi biodiesel Indonesia, Aprobi.[11] Industri dan para pejabat pemerintah sama-sama setuju bahwa permintaan terkait langsung dengan mandat-mandat energi terbarukan dan bahan bakar.[12]
Indonesia juga merupakan pemain besar dalam kaitan dengan jumlah impor biodiesel ke UE. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh UFP/Ecofys,[13] negara-negara UE secara keseluruhan mengimpor sekitar 2,27 juta ton biodiesel pada 2011 dimana 90% dari impor tersebut berasal hanya dari dua negara saja: Argentina dan Indonesia. Porsi Indonesia berjumlah 895.000 ton.[14]
Ketika angka-angka ini dibandingkan dengan angka produksi dan ekspor pemerintah Indonesia menjadi jelas juga bahwa kebanyakan biodiesel yang diproduksi Indonesia, apalagi sebagian besar produk untuk ekspor, dijual di Eropa. Pada 2011, misalnya, Indonesia memproduksi sedikit di bawah 1,6 juta ton (1.812.000 kl) biodiesel yang mana 80% atau 1,28 juta tonnya (1.453.000 kl) diekspor.[15] Porsi Indonesia dari impor UE – 895.000 ton – mewakili 70% dari ekspor, atau di atas setengah dari total produksi tahun itu.
Dengan mempertimbangkan fakta bahwa
- UE merupakan tujuan utama bagi ekspor biodiesel Indonesia,
- Wilmar merupakan produsen biodiesel terbesar Indonesia,
- Wilmar, bersama tiga pengekspor utama Indonesia lainnya memasok hingga 95% ekspor biodiesel Indonesia,[16]
- Wilmar memiliki basis operasional di Eropa,
tampaknya cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa sejumlah besar biodiesel yang diproduksi oleh Wilmar dikonsumsi di negara-negara Eropa.
Bahan baku Biodiesel
Selain itu, Wilmar disebut-sebut dalam penelitian yang dilakukan oleh Proforest sebagai pemasok utama bahan mentah bagi pembuatan biodiesel berbasis minyak sawit di dalam UE.[17] Sekali lagi, tidak ada angka yang memerinci tingkat kontribusi Wilmar terhadap bahan baku kelapa sawit yang digunakan untuk membuat biodiesel oleh para produsen UE, tapi mengingat kemasyhuran Wilmar dalam perdagangan minyak kelapa sawit, dan kehadirannya di Eropa, dan fakta bahwa penelitian memperlihatkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap minyak impor minyak sawit untuk biodiesel secara umum di UE, adalah beralasan untuk mengasumsikan Wilmar memainkan sebuah peran sangat penting di Eropa juga.
Menurut penelitian dari Institut untuk Pembangunan yang Berkelanjutan (IISD) yang berbasis di Jenewa untuk Friends of the Earth Eropa, impor minyak sawit UE pada 2012 mencapai 5,6 juta – 6,3 juta ton.[18] Jumlah total yang digunakan untuk membuat biodiesel adalah 1,9 juta ton,[19] sementara 0,6 juta ton lainnya digunakan untuk pembangkit listrik dan pemanas.[20]
IISD menemukan bahwa impor minyak sawit untuk memproduksi biodiesel telah meningkat dengan tajam yakni 365% antara tahun 2006 sampai 2012, dari 240.000 ton pada 2006 menjadi 1,9 juta ton pada 2012. Dari total peningkatan impor minyak sawit selama periode itu (sekitar 1,9 juta ton) 80% dapat dikaitkan dengan pertumbuhan produksi biodiesel, sementara 10% selanjutnya tercakup dalam pertumbuhan impor minyak sawit untuk pemanas dan pembangkit listrik. Sisa 10% dicakup dalam sektor lain, terutama sektor pangan. Ini mengindikasikan bahwa insentif-insentif bahan bakar nabati Eropa, sebagaimana dikhawatirkan, mempromosikan peningkatan dalam pemakaian minyak sawit. Dan jalan meningkat ini boleh jadi akan berlanjut kecuali bila panduan-panduan bahan bakar hayati UE diamandemen secara efektif.[21]
Di Eropa Kemana biodiesel ini berlabuh? Dengan mencermati bisnis akhirnya di Eropa, penelitian IISD memperlihatkan bahwa di antara negara anggota UE, Belanda, Jerman, Italia, Spanyol, Finlandia dan Perancis semuanya merupakan konsumen besar dari produksi biodiesel pada 2012 (lihat tabel) dan ketiga negara pertama juga menggunakan minyak sawit untuk pembangkit listrik dan pemanas. Konsumsi Inggris, di sisi lain, sebenarnya telah berkurang menjadi 37% sejak 2006. Belanda merupakan pengimpor minyak sawit terbesar Eropa, memang sebagian besar impor UE terhadap semua jenis minyak yang dapat dimakan, lemak dan oleokimia memasuki Eropa melalui pelabuhan Rotterdam di Belanda,[22] di mana di sana juga terdapat beberapa penyulingan besar, termasuk penyulingan berkapasitas 750.000 ton/tahun yang dioperasikan oleh Wilmar.[23] |
Pemakaian akhir minyak sawit 2006-2012 (metrik ton)[24] | ||
Negara | Produksi biodiesel | Pembangkit listrik dan pemanas |
Belanda | 480.000 | 250.000 |
Jerman | 300.000 | 150.000 |
Italia | 220.000 | 190.000 |
Spanyol | 200.000 | - |
Finlandia | 200.000 | - |
Inggris | 38.000 | - |
Permintaan lebih banyak di Eropa akan bahan bakar terbarukan, jelas, berarti lebih banyak lagi impor minyak sawit dari Indonesia, yang pada akhirnya mendorong produksi biodiesel dan minyak sawit di Indonesia, dan mempromosikan ekspansi sektor kelapa sawit di Indonesia. Wilmar adalah salah satu dari perusahaan yang berekspansi dengan pesat tersebut — tahun lalu saja perusahaan itu memperluas area yang ditanami yang dikelola langsung oleh perusahaan tersebut sebesar 8.567 hektare dan menambah 3.386 hektare lagi untuk area perkebunan plasmanya, dengan sebagian besar ekspansi tersebut berada di Indonesia. Dan minyak sawit dari kebun perusahaan sendiri hanyalah berjumlah kecil dibandingkan volume yang dibeli Wilmar dari perusahaan-perusahaan lain. Bagian ini dari bisnis perusahaan tersebut (pembelian bahan dari perusahaan lain) telah berkembang dengan pesat sehingga sekarang mencakup hampir setengah dari seluruh minyak sawit yang diperdagangkan secara global. Jadi pertanyaannya, kenapa bukan Wilmar? Apa saja implikasi yang ditimbulkan dari perkebunan perusahaan ini yang meluas dengan pesat maupun pembelian minyak sawit terhadap masyarakat Indonesia dan lahan serta mata pencaharian mereka?
Wilmar dan para pemegang sahamnya Wilmar didirikan pada tahun 1991 dengan simpanan tanah seluas 7.100 hektare di Sumatera. Sejak itu Wilmar telah berkembang pesat menjadi pedagang kelapa sawit terbesar dunia. Sebagai pemain utama di bursa saham Singapura, perusahaan tersebut memasarkan dirinya sebagai grup agrobisnis Asia terdepan. Dewan direksi yang semuanya pria itu terdiri dari para pebisnis Singapura dan Indonesia, serta Juan Luciano dari ADM. Martua Sitorus, anggota dewan dari Indonesia, dan pemegang saham utama Wilmar, merupakan orang terkaya ketujuh Indonesia, dengan perkiraan kekayaan 2 milyar dolar AS. Dia juga berada di peringkat 736 dalam daftar orang terkaya dunia yang dikeluarkan Forbes.[25] Berdasarkan informasi di lamannya, www.wilmar-international.com, perusahaan itu sekarang adalah:
Bank-bank besar di antara para pendana Wilmar Penelitian oleh Friends of the Earth International telah menyoroti para pemberi dana Wilmar dari AS dan Eropa, termasuk para pemegang saham dan bank yang memberi pinjaman kepada perusahaan tersebut. Mereka ini di antaranya adalah bank-bank besar Inggris Barclays dan HSBC, PNB Parisbas dan Credit Agricole (Perancis), Deutsche Bank (Jerman), APB dan Rabobank (Belanda) dan Bank of America, J Morgan, Goldman Sachs, Citigroup dan lain-lain di AS, serta lembaga-lembaga Kanada, Swiss dan Belgia.[27] FoE juga mencatat bahwa Norwegian Pension Fund (GPFG) menarik kembali investasinya di Wilmar pada 2012, juga dari 22 perusahaan minyak sawit lainnya, karena mereka meyakini para perusahaan itu memproduksi minyak sawit secara tidak berkelanjutan dan secara serius menyebabkan dampak-dampak hak asasi manusia yang buruk.[28] |
Kinerja Wilmar
Pengoperasian Wilmar beserta dampak-dampak negatifnya yang meluas terhadap komunitas-komunitas lokal di Indonesia, sumber daya mereka dan lingkungan hidup di Indonesia telah menjadi subyek penyelidikan dan perlawanan yang terus-menerus dari para ornop Indonesia dan internasional selama bertahun-tahun. Berbagai komunitas dan OMS telah menyampaikan keprihatinan mereka ke Forum Meja Bundar tentang Kelapa Sawit Berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil, RSPO), di mana Wilmar adalah anggota terkemukanya. Tujuannya adalah memastikan bahwa perusahaan tersebut memikul tanggung jawab terhadap kegagalan mereka memenuhi komitmennya untuk memenuhi syarat sertifikasi rantai pasokan ‘minyak sawit berkelanjutan’ dari RSPO. Wilmar International memiliki 9 sertifikasi yang berlaku yang tercatat di laman RSPO, sementara 14 sertifikasi berikutnya tercatat sudah tidak berlaku (termasuk dua untuk PT Wilmar Bioenergi Indonesia).[29] Sementara itu, serangkaian pengaduan formal, yang diajukan oleh Forest Peoples Programme (FPP) dan Sawit Watch, ditujukan kepada sayap sektor swasta dari Bank Dunia, Korporasi Keuangan Internasional (International Finance Corporation - IFC), dari mana Wilmar menerima dukungan keuangan yang substansial.[30] Dalam hal ini, IFC dituduh melanggar prinsip-prinsip investasinya dengan memberikan pendanaan bagi Wilmar.
Pengaduan-pengaduan yang ditujukan pada CAO/IFC mencakup kasus-kasus tertentu berikut:
Tiga anak perusahaan Wilmar di Kalimantan Barat dan satu Sumatera Barat (pengaduan bertanggal 18 Juli 2007).[31] Perusahaan tersebut ditemukan terlibat dalam
- melakukan pembakaran secara ilegal untuk membersihkan lahan,
- pembabatan hutan primer,
- pembabatan wilayah dengan nilai konservasi tinggi,
- pengambilalihan tanah adat dari masyarakat adat tanpa proses yang adil,
- kegagalan untuk melaksanakan konsultasi atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan dengan masyarakat adat,
- kegagalan untuk bernegosiasi dengan komunitas atau mematuhi perjanjian yang telah dirundingkan,
- kegagalan untuk membentuk wilayah-wilayah plasma yang telah disetujui,
- konflik-konflik sosial yang memicu aksi-aksi represif oleh perusahaan dan pasukan keamanan
- kegagalan untuk melaksanakan atau menunggu persetujuan dari dampak lingkungan hidup yang diwajibkan secara hukum
- Pembabatan gambut dan hutan tropis tanpa izin yang diwajibkan secara hukum.
Anak-anak perusahaan di Kalimantan Barat, PT Wilmar Sambas Plantation (WSP), Buluh Cawang Plantation (BCP) dan Agro Nusa Investama (ANI) melanggar kebijakan tanggung jawab sosial korporat dari Wilmar sendiri, hukum Indonesia dan Prinsip-prinsip dan Kriteria dari RSPO, di mana Wilmar sudah menjadi anggotanya sejak 2005. Komunitas lokal yang terkena dampak dari perkebunan Wilmar menuntut agar perusahaan menghentikan operasi di lapangan sementara dilakukan AMDAL yang sesuai dan menyeluruh dan agar ada proses konsultasi yang transparan untuk memperoleh persetujuan dari komunitas tersebut untuk memperoleh lahan.
Meskipun ada keluhan yang diangkat oleh para ornop mengenai operasi Wilmar, IFC melakukan tiga investasi pada kelompok tersebut dan membantunya memperoleh dana melalui Fasilitas Lingkungan Hidup Global (Global Environmental Facility). Tindakan tersebut menunjukkan bahwa IFC tidak melaksanakan uji tuntas (due diligence) dan tidak mempedulikan Standar Kinerja IFC sambil dengan keliru menyatakan bahwa Wilmar memenuhi standar-standar RSPO. Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan instruksi pada April 2007 kepada PT WSP dan BCP untuk menghentikan seluruh operasi hingga AMDAL tuntas dilakukan dan disetujui, tetapi hal ini diabaikan. PT ANI terus mengoperasikan pabrik pemrosesan dan memperluas perkebunannya tanpa adanya AMDAL.[32]
Berdasarkan pengaduan itu, dilakukan prosedur penyelesaian sengketa dengan hanya dua dari komunitas-komunitas yang terkena dampaknya, Senujuh dan Saginang Kecil di Sambas, dengan mediasi oleh CAO, yang menetapkan beberapa preseden yang baik, meskipun beberapa masalah masih ditangani di lapangan.[33]
Riau dan Jambi: pengaduan kedua disampaikan pada 19 December 2008 ketika para ornop mengetahui bahwa IFC memberikan dukungan lebih lanjut untuk Wilmar tanpa uji tuntas. Pengaduan itu mencatat 19 operasi Wilmar lainnya yang bermasalah dan mendesak CAO/IFC mengatasi masalah-masalah sistemik dalam rantai pasokan Wilmar. Namun CAO/IFC sebaliknya memilih untuk menangani hanya beberapa kasus tertentu. Ada kemajuan dalam satu dari dua kasus yang diangkat, di mana CAO menetapkan proses mediasi, yakni PT Citra Riau, terkait dengan masyarakat Pangean di Riau. Sayangnya, dalam kasus yang lain, PT Asiatic Persada, di Jambi, masalah yang serius tetap ada antara masyarakat Batin Sembilan dan perusahaan. Perusahaan tersebut, yang dulu dimiliki oleh sayap investasi sektor swasta dari lembaga bantuan luar negeri Inggris (CDC),[34] diidentifikasi telah menyebabkan konflik yang paling lama terjadi pada perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di provinsi Jambi.[35] Pada Agustus 2011, upaya-upaya untuk menggusur masyarakat lokal dari wilayah mereka di Sungai Beruang membuat 80 rumah dihancurkan oleh Brimob dan satu orang lokal ditembak dengan peluru karet.[36] Ini adalah subyek dari pengaduan ketiga kepada CAO.[37] Pada Oktober 2013, sejumlah masyarakat adat Batin Sembilan yang terkena dampak dari operasi Asiatic Persada meminta Gubernur provinsi Jambi untuk segera mencabut HGU (hak guna usaha) perusahaan tersebut karena kesulitan terus-menerus yang mereka alami dan tidak adanya manfaat sama sekali dari kehadiran perusahaan tersebut. Upaya-upaya mediasi yang difasilitasi oleh CAO telah macet menyusul penjualan Asiatic Persada oleh Wilmar kepada PT Agro Mandiri Semesta dari Ganda Group, tanpa konsultasi sebelumnya dengan masyarakat yang terkena dampaknya, dan pada saat mediasi sedang berlangsung.[38]
Jumlah konflik dengan masyarakat dan rutinitas munculnya masalah tersebut menunjukkan adanya masalah sistemik yang terkait pada operasi Wilmar, sebagaimana disoroti dalam sebuah surat kepada Ombudsman Penasihat Ketaatan (CAO) dari IFC pada bulan Maret tahun lalu yang ditandatangani oleh FPP, Sawit Watch dan delapan OMS Indonesia dan internasional lainnya. Surat itu mencatat laporan-laporan dengan masalah serius pada banyak operasi Wilmar – sebagai tambahan terhadap kasus-kasus tertentu yang mulai dikaitkan dengan daftar CAO di bawah ini. Ini mencakup sengketa lahan atau keluhan masyarakat lokal lainnya di seluruh anak perusahaan Wilmar yang tercatat sejak 2007. Surat itu mencatat permohonan sebelumnya, pada 2011, yang mendesak CAO untuk melaksanakan peninjauan kembali yang lebih luas terhadap operasi Wilmar karena berkaitan dengan perolehan lahan dan penyelesaian sengketa, dan untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut mengadopsi langkah-langkah yang efektif untuk menangani secara sistematis konflik-konflik lahan di wilayah konsesinya sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional, Standar Kinerja IFC dan Prinsip-prinsip dan Kriteria RSPO.
Surat pada 2012 itu juga mencatat bahwa Wilmar diwajibkan menerapkan standar IFC terhadap rantai pasokan keseluruhannya, termasuk para pemasok yang bukan anak perusahaan Wilmar, yang merupakan sumber dari setidaknya 70% dan kemungkinan sebanyak 90% dari minyak sawitnya.[39]
FPP mencatat bahwa serangkaian pengaduan terhadap Wilmar memicu dilakukannya audit oleh CAO yang mengindikasikan adanya kesalahan terhadap pendanaan Wilmar oleh IFC, yang menegaskan masalah-masalah yang diangkat dalam pengaduan para OMS pada 2007. Audit CAO itu lalu menyebabkan Presiden Bank Dunia menangguhkan seluruh pendanaan Kelompok Bank Dunia terhadap kelapa sawit di seluruh dunia selama hampir dua tahun sementara Bank Dunia melakukan konsultasi dan mengadopsi suatu kerangka strategi investasi di sektor minyak sawit. “Sejak 2011, investasi IFC di perusahaan minyak sawit besar telah nyaris berhenti (meskipun IFC sedang mempertimbangkan tiga permohonan)” lapor FPP pada April tahun ini, “dan upaya-upaya IFC telah difokuskan pada bagaimana menyalurkan dana ke sektor tersebut melalui perantara finansial sambil memastikan penyediaan yang adil bagi plasma.”[40]
“Sementara itu, di lapangan, kebanyakan sengketa antara anak perusahaan Wilmar dan masyarakat tetap tidak terselesaikan dan memang terus bertambah banyak, baik di Indonesia dan sekarang di Nigeria.”[41]
Kasus-kasus pengaduan lainnya terhadap Wilmar yang dibawa di Indonesia serta di Nigeria dan Uganda dicatat oleh Friends of the Earth.[42]
Laporan-laporan konflik yang terkait dengan Wilmar terus mencapai media, yang paling akhir di Kalimantan Tengah. Di sini, empat penduduk desa terluka oleh para satpam di perkebunan PT Bumi Sawit Kencana milik Wilmar di kabupaten Kotawaringin Timur pada Juli 2013. Satpam-satpam tersebut diduga memukul beberapa penduduk desa Pantap dan merusak motor mereka. Para penduduk desa telah memprotes penggalian parit oleh perusahaan di lahan yang diklaim oleh para penduduk desa tersebut. Mongabay Indonesia melaporkan bahwa setelah insiden ini para pemrotes menyelamatkan diri ke desa mereka, mengadu ke para penduduk dan kemudian kembali ke lokasi tersebut, di mana mereka menemukan para satpam yang mempersenjatai diri mereka dengan senapan rakitan. Para penduduk membakar dua pos keamanan perusahaan dan merusak dua truk dan satu mobil milik perusahaan. Empat orang terluka dalam bentrokan ini dan sebuah motor milik seorang penduduk desa hancur. Laporan itu menyatakan bahwa kedua pihak sejak itu telah menyetujui perjanjian damai, tapi masih ada rasa takut bahwa konflik itu akan terus berlanjut jika akar masalah yang telah lama ada itu tidak diselesaikan. Menurut WALHI Kalimantan Tengah, konflik itu hanyalah satu dari banyaknya kasus di wilayah itu yang terkait dengan lahan masyarakat yang diambil alih untuk konsesi, di mana tak satu pun kasus itu yang telah terselesaikan.[43]
Mongabay Indonesia telah mencatat daftar nama delapan belas anak perusahaan Wilmar di provinsi Kalimantan Tengah, yang mencakup total wilayah 276.920 hektare, termasuk daerah yang ditanami serta daerah simpanan lahan yang belum ditanami.[44]
Proses perolehan lahan yang diikuti oleh anak perusahaan Wilmar lainnya, PT Mustika Sembuluh, telah diinvestigasi secara detail oleh sebuah konsorsium OMS. Konsesi ini di Kalimantan Tengah adalah salah satu yang pertama menerima sertifikasi RSPO setelah sebuah penilaian oleh PT TUV Rheinland pada 2009. Kajian pada 2012 oleh OMS tentang Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan dalam konsesi PT Mustika Sembuluh, berupaya menentukan apakah beberapa dari masalah-masalah yang diangkat dalam penilaian tersebut telah ditangani oleh perusahaan tersebut. Ini termasuk sengketa lahan yang sedang berlangsung terhadap pemakaman yang hancur, kurangnya identifikasi dan perjanjian yang terdokumentasi antara perusahaan dan masyarakat lokal menyangkut hak-hak tradisional mereka dan penggunaan lahan tersebut, kurangnya pemonitoran dan pengawasan wilayah yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value, HCV), dan kurangnya pemonitoran berkala dan manajemen dampak-dampak sosial; yang semuanya diwajibkan berdasarkan kriteria sertifikasi RSPO. Kajian itu menemukan bahwa banyak dari masalah yang dihadapi masyarakat berlangsung lebih dari dua tahun setelah perkebunan itu disertifikasi sebagai berkelanjutan dan tanpa terpengaruh oleh penutupan PT TUV terhadap masalah-masalah ketidaktaatan utama setelah diverifikasi pada Desember 2009. Ini berkaitan dengan lahan kantong, polusi dari sungai-sungai lokal, nilai konservasi tinggi dan penyelesaian konflik dan mediasi. Ada pula masalah-masalah dengan masyarakat yang dijanjikan lahan kebun ‘plasma’ dan tidak menerima apapun seperti pembagian lahan minimum yang diwajibkan secara hukum, ditambah penanaman sawit secara ilegal di dekat sungai, danau dan anak sungai, yang menghambat akses masyarakat ke sumber daya ini.[45]
Di Papua: Wilmar juga terlibat dalam proyek MIFEE yang banyak dikritik di Papua.[46] Walau tidak di sektor kelapa sawit,[47] investasi ini telah mengangkat keprihatinan yang sama tentang proses perolehan lahan dan potensi dampaknya pada masyarakat. Anak perusahaan Wilmar PT Anugrah Rejeki Nusantara (ARN) berupaya memperoleh lahan untuk perkebunan tebu di desa Baad, Merauke. Di sini masyarakat lokal menghadapi tekanan untuk menyerahkan tanah adat mereka dengan ganti rugi minimal dan prospek yang sangat buruk untuk memperoleh keuntungan. Setelah melihat dampak yang merusak dari MIFEE di desa tetangga, Zanegi, di mana kelaparan dan kemiskinan terjadi akibat perolehan lahan oleh Medco Group untuk perkebunan kayu industri, para penduduk desa di Baad sedang berpikir dua kali untuk melepaskan tanah mereka. Hal ini didokumentasikan oleh staf ornop FPP dan Pusaka yang mengunjungi wilayah ini awal tahun ini.[48]
Tanggung gugat gabungan
Sebagaimana diperlihatkan dalam konflik terakhir di Kalimantan Tengah, sistem pengaman yang ada untuk mencegah perlakuan buruk korporasi terhadap masyarakat di Indonesia tidak berjalan. Uni Eropa juga tidak dapat meyakinkan warga negaranya bahwa biodiesel yang menjadi bahan bakar transportasi, atau menghasilkan panas dan listrik di negara mereka betul-betul dihasilkan dengan cara yang berkelanjutan secara lingkungan hidup dan sosial. Perusahaan seperti Wilmar mengambil laba dari kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon Eropa dengan mengorbankan masyarakat dan iklim. Ilmu pengetahuan telah menginformasikan kita bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyerukan UE untuk menolak biodiesel dari minyak sawit. Semakin tinggi batas atas terhadap penggunaan minyak sawit, semakin besar masalah di lapangan di Indonesia, kata mereka.[49] UE perlu mengambil tanggung jawab terhadap kerusakan yang terjadi, dan memotong minyak sawit, bersama dengan seluruh bahan baku bahan bakar hayati berbasis lahan yang merusak lainnya dari bahan bakar transportasi dan campuran energi.
Ketiga produsen biodiesel lainnya yang mengekspor ke Eropa
Ketiga produsen biodiesel selain Wilmar yang muncul dalam investigasi anti-dumping UE.
Produsen Biodiesel | Kelompok/ perusahaan induk | Biodiesel | Lokasi & perkebunan | Sertifikasi RSPO & informasi lainnya |
PT Ciliandra Perkasa | Anak perusahaan First Resources Ltd, Singapura. | Kapasitas: 250.000 ton/tahun. Kelompok tersebut memiliki pabrik penyulingan dan fraksionasi yang berlokasi di Dumai, provinsi Riau, dekat pelabuhan Dumai dan dengan mudah dapat diakses dari kilang minyak sawit yang ada. Pabrik biodiesel itu memungkinkan kelompok tersebut memproduksi biodiesel berbasis sawit, dengan menggunakan Stearin sebagai bahan baku.
| Seluruh perkebunan berbasis di provinsi Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Dengan lebih dari 146.000 hektare yang ditanami dan “simpanan tanah yang cukup luas untuk penanaman baru yang sedang berlangsung”, kelompok itu mengklaim menempati posisi memimpin dalam industri kelapa sawit Indonesia. Dua belas kilang yang ada memiliki kapasitas pemrosesan total sebesar 4.050.000 ton tandan buah segar (TBS) per tahun. Pada TA2012, perusahaan tersebut memproduksi 525.831 ton CPO. | Di laporan keberlanjutan 2011, perusahaan tersebut secara khusus menyebut Panduan RED dari UE sebagai sebuah kesempatan untuk menjual biodiesel. “Melalui Panduan Energi Terbarukan, Uni Eropa mensyaratkan 10 persen solar dan bensin diperoleh dari sumber-sumber terbarukan pada 2020. Untuk First Resources, ini adalah sebuah kesempatan untuk memproduksi biodiesel bersertifikasi berkelanjutan untuk memenuhi permintaan global yang berkembang terhadap energi ramah lingkungan.
First Resources adalah anggota RSPO tetapi tak ada satupun operasinya yang sudah bersertifikasi. Detail lebih lanjut tentang operasi perusahaan tersebut ada di dalam laporannya ke RSPO. |
PT Musim Mas Medan | Laman perusahaan terlihat belum diperbarui sejak 2006.[50] | Kapasitas 420.000 ton/thn, menurut ESDM. Menurut Profundo, 2009,[51] pada 2007 Musim Mas membuka pabrik biodiesel pertamanya di Medan, dengan kapasitas tahunan sebesar 200.000 ton. Pabrik kedua di pulau Bangka, dengan kapasitas tahunan sebesar 350.000 ton, masih dalam pembangunan. Pembukaan direncanakan pada kuartal pertama 2009. | Menurut laporan terakhir ke RSPO, perkebunan perusahaan ada di Riau dan Kalimantan Barat, dengan 24.011 ha ditanami, plus 1.683 ha kebun plasma. | Semua perkebunan bersertifikasi |
PT Pelita Agung Agrindustri | Permata Hijau Group[52], berbasis di Medan, Sumatera Utara. | Pabrik biodiesel di Dumai, Riau. Kapasitas 200.000 ton/tahun. | Terdaftar sebagai pemroses dan pedagang oleh RSPO (perusahaan tersebut adalah anggotanya). | Laporan RSPO terakhir: belum ada produk yang bersertifikasi, tetapi bertujuan mencapai 100% sertifikasi. |
Penyingkapan baru Greenpeace ‘Licence to Kill' ('Izin untuk Membunuh’) mengaitkan Wilmar dengan hilangnya habitat harimau, perkebunan ilegal Para pembuat produk-produk konsumsi terkenal seperti biskuit Oreo, produk cukur Gillette dan Clearasil yang memperoleh minyak sawit mereka melalui Wilmar menjadikan para konsumen sebagai kaki tangan yang tak disengaja dalam perusakan hutan Indonesia, dan mendorong spesies yang amat sangat langka seperti harimau Sumatera ke jurang kepunahan, menurut Greenpeace. Laporan organisasi tersebut, Izin untuk Membunuh, yang dipublikasikan di bulan Oktober, melaporkan hasil-hasil investigasi pada perkebunan-perkebunan yang terkait dengan Wilmar di Sumatera, yang menemukan perusahaan tersebut terkait dengan kebakaran lahan gambut di konsesi-konsesi kelapa sawit; perusakan hutan hujan secara besar-besaran dan pembuatan kebun-kebun kelapa sawit ilegal di dalam wilayah Taman Nasional Tesso Nilo; dan pembabatan secara luas habitat harimau maupun orangutan. Greenpeace menyatakan Wilmar yang diketahui memiliki, mempunyai porsi yang signifikan, atau berdagang dengan sebagian besar produsen yang telah didokumentasikannya terlibat dalam kegiatan-kegiatan tak bertanggung jawab atau ilegal. Laporan itu dapat diperoleh dari Greenpeace di: |
[1] Rujukan buletin pertama DTE terhadap Wilmar adalah pada tahun 2005 ketika Wilmar disebut-sebut di antara perusahaan yang konsesinya telah diidentifikasi sebagai tuan rumah ‘titik panas’, atau kebakaran hutan. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/story/forest-fires-Sumatera. DTE juga telah mempublikasikan informasi tentang Wilmar dan anak perusahaannya, mulai dari pengalaman seorang perempuan sebagai pekerja kebun yang terkait dengan penyemprotan zat kimia (lihat DTE 78, Agustus 2008 http://www.downtoearth-indonesia.org/story/working-oil-palm-plantation-snapshot-one-womans-life) hingga kemunculan Wilmar dalam penelitian dana pensiun oleh Grain, lihat DTE 93-94: http://www.downtoearth-indonesia.org/story/international-landgrabbing-picture-update
[2] Perusahaan itu memperdagangkan minyak sawit dari anak-anak perusahaannya sendiri, tetapi lebih dari dua pertiga dari jumlah minyak sawit yang dijualnya, bersumber dari perusahaan lain. Lihat 'Addressing systemic problems with Wilmar International' (Mengatasi masalah-masalah sistemik dengan Wilmar International), surat yang ditandatangani oleh FPP, Sawit Watch dan 8 OMS lainnya, dialamatkan kepada Meg Taylor, CAO/IFC, Washington DC, AS, 7 Maret 2012
[3] Hurowitz, Glenn, 2012, Reducing Deforestation and Peatland Conversion from Palm Oil Expansion, cited in Conflict or Consent?Oil palm expansion and community rights, (Mengurangi Deforestasi dan Konversi Lahan Gambut dari Ekspansi Minyak Sawit, dikutip dalam Konflik atau Persetujuan? Ekspansi kelapa sawit dan hak-hak masyarakat), Marcus Colchester, Norman Jiwan dan Sophie Chao, Forest Peoples Programme, Konferensi Tahunan Bank Dunia tentang Tanah dan Kemiskinan 2013, http://www.conftool.com/landandpoverty2013/index.php?page=browseSessions&form_session=36&presentations=show
[4] Angka-angka tersebut dikutip dari laman Wilmar pada bulan Desember 2012 http://www.wilmar-international.com/our-business/plantations-palm-oil-mills/. Skema plasma juga dikenal sebagai skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sudah ada sejak tahun 1980an, yang menjadi bagian dari program transmigrasi. Skema tersebut melibatkan petani kecil – termasuk pemilik tanah yang menyerahkan tanah untuk skema tersebut – yang digusur dari tanah mereka yang kemudian dijadikan kebun (dalam hal ini kelapa sawit) yang hasilnya kemudian dijual ke perusahaan. Skema yang dipromosikan sebagai kemitraan tersebut kerapkali berarti pengadaan buruh murah bagi perusahaan, sedangkan bagi petani kecil situasi terburuk yang mungkin adalah mereka menjadi budak karena hutang. Lihat, misalnya, 'Ghosts on Our Own Land' (Hantu di Tanah Kami Sendiri), oleh FPP dan Sawit Watch, 2006. http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2011/ghosts-our-own-land-oil-palm-smallholders-indonesia-and-roundt
[5] Wilmar International, halaman web Forest Peoples Programme http://www.forestpeoples.org/tags/wilmar-international [tanpa tanggal] diakses pada 9 Okt 2013
[6] Wilmar International Limited, Investing for the future (Investasi untuk masa depan), Laporan Tahunan, 2012
[7] Wilmar International Limited, Investing for the future (Investasi untuk masa depan), Laporan Tahunan, 2012
[8] Wilmar International Limited, Investing for the future (Investasi untuk masa depan), Laporan Tahunan, 2012
[9] Ini tampak jelas dari fakta bahwa total produksi biodiesel Indonesia untuk 2012 adalah hanya 1,9 juta ton (2,21 juta kl), menurut data pemerintah Indonesia. Lihat Development of Bioenergy Utilization in Indonesia (Pengembangan Pemanfaatan Bioenergi di Indonesia), presentasi Powerpoint oleh Dadan Kusdiana, Direktorat Bioenergi, 27 Maret 2013.
[10] Perusahaan lainnya adalah: PT Ciliandra Perkasa, PT Musim Mas Medan dan PT Pelita Agung Agrindustri. Lihat tabel.
[11] Sampai Agustus, ekspor biofuel 492.000 KL. Kontan, 20 September 2013.
[12] Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dikutip oleh kelompok media Tempo dari Indonesia mengatakan bahwa Eropa adalah target ekspor terbesar Indonesia karena negara-negara UE telah mewajibkan para warga negaranya untuk menggunakan biodiesel untuk kendaraan mereka. (‘EU to drop charges against RI Biofuel Subsidy' ['UE gugurkan gugatan terhadap subsidi biodiesel RI'], 16 Agustus 2013). PT Ciliandra, satu dari empat pengekspor utama biodiesel ke UE, misalnya, menyatakan dalam laporan keberlanjutan 2011 bahwa RED memberikan kesempatan untuk memproduksi biodiesel yang bersertifikasi.
[13] International Biodiesel Markets: Developments in production and trade (Pasar Biodiesel Internasional: Pengembangan dalam produksi dan perdagangan). Patrick Lamers, UFP/Ecofys, 2011.
[14] Angka yang lebih tinggi yakni 1,09 juta ton untuk jumlah impor ke Eropa disebutkan dalam The Jakarta Post, dengan mengutip data Eurostat: lihat Jakarta Post ‘Anti-dumping tariffs severly hurts exports’, 1 Juni 2013.
[15] Development of Bioenergy Utilization in Indonesia (Pengembangan Pemanfaatan Bioenergi di Indonesia), presentasi Powerpoint oleh Dadan Kusdiana, Direktorat Bioenergi, 27 Maret 2013, dengan mengutip data KESDM. Konversi dari kl ke ton dihitung oleh DTE dengan dasar 1 kl = 0,88 ton.
[16] Jambiekspres ‘RI Bebas Tuduhan Dumping Biofuel’ 19/Aug/2013, menyatakan keempat perusahaan itu memasok 90% ekspor biodiesel Indonesia, sementara The Jakarta Post 1/Jun/2013 menulis angka itu sebesar 95%
[17] Mapping and Understanding the UK palm oil supply chain (Memetakan dan Memahami rantai pasokan minyak sawit Inggris), Proforest, DEFRA, April 2011.
[18] The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe (2012/2013, dua sumber berbeda yang dikutip). Di sini, ‘minyak sawit’ berarti minyak sawit mentah (CPO) dan tidak mencakup minyak inti sawit (PKO).
[19] The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[20] The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[21] Berdasarkan skenario bisnis-seperti-biasa, IISD menunjukkan impor minyak sawit untuk membuat biodiesel naik menjadi 2,3-2,9 juta ton pada 2020. The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[22] The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[23] Penyuling dioperasikan oleh Cargill, IOI Loders Croklaan, MaasRefinery, Sime Darby Unimills dan Wilmar, sebagaimana tercatat dalam Mapping and Understanding the UK palm oil supply chain (Memetakan dan Memahami rantai pasokan minyak sawit Inggris), Proforest, DEFRA, April 2011. Sebuah penyulingan lebih lanjut telah dibangun oleh Neste Oil yang berbasis di Finlandia. Lihat The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan?) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[24] Lihat The EU Biofuel Policy and Palm Oil: Cutting subsidies or cutting rainforest? (Kebijakan Biodiesel UE dan Minyak Sawit: Memotong subsidi atau memotong hutan hujan? ) Ivetta Gerasimchuk & Peng Yam Koh, September 2013. Laporan Penelitian GSI/IISD untuk FoE Europe
[25] ‘25 Orang Terkaya di Indonesia versi Forbes’, Bisnis Indonesia http://www.bisnis.com/25-orang-terkaya-indonesia-versi-forbes 10 Juli 2013
[26] http://www.wilmar-international.com, diakses pada 11 Oktober 2013
[27] Lihat Friends of the Earth, Landgrabs, forests & finance Issue Brief #4, Wilmar International and its Financiers, Commitments and Contradictions (Perampasan lahan, hutan & keuangan Ringkasan Isu #4, Wilmar International dan Para Pendananya: Komitmen dan Kontradiksi), http://libcloud.s3.amazonaws.com/93/47/8/3077/Issue_Brief_4_-_Wilmar_International_and_its_financiers_-_commitments_and_contradictions.pdf
[28] Lihat Friends of the Earth, Landgrabs, forests & finance Issue Brief #4, Wilmar International and its Financiers, Commitments and Contradictions (Perampasan lahan, hutan & keuangan Ringkasan Isu #4, Wilmar International dan Para Pendananya: Komitmen dan Kontradiksi), http://libcloud.s3.amazonaws.com/93/47/8/3077/Issue_Brief_4_-_Wilmar_International_and_its_financiers_-_commitments_and_contradictions.pdf
[29] http://www.rspo.org/en/current_list_of__supply_chain_certification, diperiksa pada 11/Okt/2013.
[30] Lihat www.forestpeoples.org
[31] Lihat Procedural irregularities and standards violations in IFC support for Wilmar Trading (Pertentangan secara prosedur dan pelanggaran standar dalam dukungan IFC untuk perdagangan Wilmar), surat ornop untuk CAO/IFC, bertanggal 18 Juli 2007, http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/ifcwilmarfppletjul07eng.pdf
[32] Masyarakat mendesak Wilmar mengatasi praktik kotor, DTE 76-77, Mei 2008, http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/masyarakat-mendesak-wilmar-untuk-menghapus-praktik-kotor
[33] ddressing systemic problems with Wilmar International, (Mengatasi masalah-masalah sistemik dengan Wilmar International), surat yang ditandatangani oleh FPP, Sawit Watch dan 8 OMS lainnya, dialamatkan kepada Meg Taylor, CAO/IFC, Washington DC, AS, 7 Maret 2012
[34] Perusahaan itu dijual ke Cargill pada 2005, Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/story/brief-dte-67-november-2005 yang kemudian menjualnya ke Wilmar.
[35] Indonesia: the Governor of Jambi Province must take action to tackle unscrupulous conduct of palm oil plantation PT Asiatic Persada (Indonesia: Gubernur Provinsi Jambi harus mengambil tindakan untuk menangani perilaku tak bermoral dari perkebunan sawit PT Asiatic Persada), 7 Oktober 2013, Siaran Pers oleh Setara Jambi, Sawit Watch, FPP, Perkumpulan Hijau, CAPPA.
[36] Indonesia: the Governor of Jambi Province must take action to tackle unscrupulous conduct of palm oil plantation PT Asiatic Persada (Indonesia: Gubernur Provinsi Jambi harus mengambil tindakan untuk menangani perilaku tak bermoral dari perkebunan sawit PT Asiatic Persada), 7 Oktober 2013, Siaran Pers oleh Setara Jambi, Sawit Watch, FPP, Perkumpulan Hijau, CAPPA.
[37] Addressing systemic problems with Wilmar International (Mengatasi masalah-masalah sistemik dengan Wilmar International), surat yang ditandatangani oleh FPP, Sawit Watch dan 8 OMS lainnya, dialamatkan kepada Meg Taylor, CAO/IFC, Washington DC, AS, 7 Maret 2012
[38] Indonesia: the Governor of Jambi Province must take action to tackle unscrupulous conduct of palm oil plantation PT Asiatic Persada (Indonesia: Gubernur Provinsi Jambi harus mengambil tindakan untuk menangani perilaku tak bermoral dari perkebunan sawit PT Asiatic Persada), 7 Oktober 2013, Siaran Pers oleh Setara Jambi, Sawit Watch, FPP, Perkumpulan Hijau, CAPPA.
[39] Addressing systemic problems with Wilmar International (Mengatasi masalah-masalah sistemik dengan Wilmar International), surat yang ditandatangani oleh FPP, Sawit Watch dan 8 OMS lainnya, dialamatkan kepada Meg Taylor, CAO/IFC, Washington DC, AS, 7 Maret 2012
[40] The World Bank’s Palm Oil Policy (Kebijakan Minyak Sawit Bank Dunia), FPP 29 April 2013, http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/news/2013/04/world-bank-s-palm-oil-policy
[41] The World Bank’s Palm Oil Policy (Kebijakan Minyak Sawit Bank Dunia), FPP 29 April 2013, http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/news/2013/04/world-bank-s-palm-oil-policy
[42] Lihat Friends of the Earth, Landgrabs, forests & finance Issue Brief #4, Wilmar International and its Financiers, Commitments and Contradictions (Perampasan lahan, hutan & keuangan Ringkasan Isu #4, Wilmar International dan Para Pendananya: Komitmen dan Kontradiksi), http://libcloud.s3.amazonaws.com/93/47/8/3077/Issue_Brief_4_-_Wilmar_International_and_its_financiers_-_commitments_and_contradictions.pdf
[43] ‘Palm oil company guards injure four villagers in Indonesian Borneo clash’ (‘Satpam perusahaan minyak sawit melukai empat penduduk desa dalam bentrokan di Kalimantan’), Diane Parker, Mongabay Indonesia 29 Juli 2013
[44] ‘Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut’, Sapariah Saturi, Mongabay Indonesia, 28 Juli 2013.
[45] Untuk detailnya, lihat Conflict of Consent? The Palm Oil Sector at the Crossroads, A study on the right to Free, Prior and Informed Consent in PT Mustika Sembulu, Central Kalimantan (Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan, Sebuah Kajian tentang hak atas Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan di PT Mustika Sembulu, Kalimantan Tengah), oleh Sophie Chao, Agustinus Karlo Lumban Raja, Fandy Achmad Chalifah dan Ratri Kusumohartono, FPP, WALHI, Sawit Watch, November 2012.
[47] Sebelumnya di tahun ini perusahaan tersebut mengumumkan sebuah usaha patungan untuk membangun perkebunan kelapa sawit di Papua dengan Noble Group, tetapi rencana itu dibatalkan beberapa bulan setelah pengumuman itu karena tidak mendapat persetujuan. 'Wilmar says plan stalled as not approved by authorities' (‘Wilmar menyatakan rencana terhenti karena tidak disetujui oleh pihak berwenang’), Reuters 23 Juli 2013.
[48] Lihat Kelaparan dan kemiskinan di Indonesia: organisasi masyarakat sipil meminta penangguhan proyek MIFEE di Papua menunggu ganti rugi bagi masyarakat lokal, Siaran Pers oleh FPP, Pusaka dan DTE, 2 September 2013, http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kelaparan-dan-kemiskinan-di-indonesia-organisasi-masyarakat-sipil-menyerukan-penghentian-proye. Ketika Pusaka dan FPP berupaya mengatur suatu pertemuan dengan PT ARN pada April 2013, untuk mengetahui lebih jauh tentang konsultasi dengan masyarakat yang sedang berlangsung di konsesi Papua tersebut, manajer cabang perusahaan itu menolak berkomunikasi yang layak dengan kelompok ornop tersebut, suatu perilaku yang bertentangan dengan komitmen dan nilai-nilai inti Wilmar. Ini disoroti dalam sebuah pengaduan oleh kelompok ornop tersebut yang disampaikan ke kepala tanggung jawab sosial perusahaanWilmar. Lihat surat FPP, Pusaka, Sawit Watch letter, bertanggal 19 April 2013, http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2013/international-and-indonesian-civil-society-organisations-compl
[49] Lihat ‘An agrofuels message to Europe’s MEPs from WALHI and Sawit Watch’ (‘Sebuah pesan bahan bakar nabati untuk MEP Eropa dari WALHI dan Sawit Watch’). DTE video, 11 September 2013, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/agrofuels-message-europes-meps-walhi-and-sawit-watch
[51] German Banks in the palm oil sector, Platform Sustainable Biomass (Bank-bank Jerman di sektor minyak sawit, Platform Biomassa Berkelanjutan), Profundo, 2009, Jan Willem van Gelder, Profundo, www.profundo.nl, April 2009