- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Impor bahan bakar nabati Eropa: memeriksa realitas di lapangan di Indonesia
DTE 96-97, Desember 2013
Bondan Andriyanu dari Sawit Watch berkunjung ke Berlin, Brussels dan Strasbourg pada September 2013. Tujuannya adalah untuk menyampaikan kepada para pembuat kebijakan Eropa mengenai kebutuhan yang mendesak untuk mereformasi kebijakan Uni Eropa (UE) tentang bahan bakar nabati karena dampak-dampaknya yang merugikan di Indonesia.
Sebelum kunjungan Bondan ke Eropa tersebut, DTE mewawancarainya tentang organisasinya dan tujuannya ke Eropa.
DTE: Bisakah Anda memberikan kami sedikit tambahan informasi tentang organisasi Anda? Apa fokus kerja-kerja Anda saat ini?
Bondan Andriyanu: Sawit Watch adalah organisasi non pemerintah (ornop) dengan keanggotaan secara individu dan kelompok yang bekerja untuk praktik yang lebih baik dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kami memiliki 140 anggota di seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang: petani kecil, buruh, masyarakat adat, aktivis ornop, anggota pemerintah, dan lain-lain. Sawit Watch sedang bekerja untuk perubahan sosial bagi para petani kecil, buruh, dan masyarakat adat untuk mencapai keadilan ekologis. Kerja-kerja untuk keadilan ekologis bagi kelompok-kelompok ini di antaranya mencakup inisiatif-inisiatif untuk:
- Menyiapkan, mengelola dan menyediakan data dan informasi;
- Meningkatkan kapasitas para petani kecil, buruh dan masyarakat adat, sesuai dengan kebutuhan mereka;
- Memfasilitasi penyelesaian konflik antara perusahaan dan para petani kecil, buruh dan masyarakat adat dalam perkebunan kelapa sawit skala besar;
- Membentuk sinergi antara para petani kecil, buruh dan masyarakat adat;
- Mendorong pengadopsian kebijakan negara yang melindungi kepentingan para petani kecil, buruh dan masyarakat adat.
DTE: Apa yang Anda harapkan dapat dicapai saat berada di Eropa?
BA: Sawit Watch berharap agar kami dapat memperoleh kesempatan untuk memberikan informasi kepada publik secara tatap muka tentang fakta-fakta dan realitas akan apa yang sedang terjadi dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Pertemuan-pertemuan yang berbeda akan memberikan kesempatan yang berbeda bagi kami:
- Pada Pertemuan GIZ RSPO (Pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil atau OMS) di Berlin, tujuan kami adalah untuk menyampaikan tentang banyaknya kelemahan dari Forum Meja Bundar tentang Kelapa Sawit Berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil, RSPO) yang terbukti ada selain dari dampak positif yang dimiliki RSPO tersebut sejak Sawit Watch menjadi anggota RSPO pada 2004. Sawit Watch akan berbagi informasi yang didapat dari kunjungan lapangan kami ke perkebunan kelapa sawit. Kami berharap agar informasi ini akan dipertimbangkan oleh kelompok OMS Eropa yang menghadiri pertemuan itu, dalam kampanye mereka tentang perkebunan kelapa sawit dan perdagangan minyak sawit internasional.
- Di Pertemuan Puncak RSPO Eropa, juga di Berlin, Sawit Watch tidak berharap banyak dari RSPO itu sendiri. Jelas sekali bahwa acara ini akan memusatkan perhatian pada peningkatan Minyak Sawit Bersertifikat Berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil, CSPO) di pasar Eropa, sementara, dalam pandangan kami pusat perhatian tersebut seharusnya ada pada praktik-praktik di lapangan dari para anggota RSPO itu sendiri. Masih banyak kasus-kasus konflik yang melibatkan masyarakat dan para anggota RSPO, yang pada saat yang sama, sedang mencoba memperoleh sertifikasi. Salah satu dari masalah-masalah utama tersebut adalah melacak minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dalam perjalanannya dari para petani atau penanam, melalui pemrosesan, hingga saat diperdagangkan di pasar internasional. Kami dapat berbicara tentang ini.
- Di Lokakarya Jurnalis tentang Kebijakan Bahan Bakar Hayati UE, tujuan utama kami adalah memberikan para jurnalis informasi tentang praktik-praktik dari perusahaan kelapa sawit yang memproduksi CPO untuk bahan bakar nabati. Ada banyak masalah yang akan diangkat: dampak lingkungan hidup dan sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh praktik-praktik industri kelapa sawit.
- Dalam kesempatan untuk aksi publik apapun, Sawit Watch bermaksud ingin menyoroti bahaya lingkungan hidup, kehancuran sosial, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terkait dengan pembuatan bahan bakar nabati dari minyak sawit dan untuk menyampaikan pesan ini ke publik di Eropa. Dengan demikian mereka dapat memikirkan kembali penggunaan bahan bakar nabati yang bersumber dari perkebunan kelapa sawit.
- Di Parlemen Eropa, kami ingin mengangkat fakta bahwa kebijakan-kebijakan bahan bakar nabati masih memiliki banyak dampak negatif. Mungkin saja ada peraturan-peraturan yang baik dan kebijakan-kebijakan yang bagus, tetapi kenyataannya di lapangan adalah bahwa praktik-praktiknya buruk. Dengan demikian kami ingin menyoroti perlunya sistem yang memonitor dan melacak kondisi-kondisi di tingkat perkebunan, tenpat ditanamnya tanaman bahan bakar nabati – memeriksa dampak-dampaknya terhadap para petani, tanah-tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
DTE: Apa informasi penting yang harus diketahui masyarakat di Eropa tentang impor minyak sawit dari Indonesia?
BA: Sawit Watch meyakini bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bergantung pada permintaan pasar. Tidak ada kriteria impor di Eropa yang mensyaratkan penilaian dampak sosial bagi perkebunan yang minyak sawitnya memasuki Eropa. Dengan pasar yang begitu terbuka lebar, pasar itu mendorong negara-negara produsen di Selatan, seperti Indonesia, untuk membuat peraturan yang makin memudahkan bisnis untuk memperluas operasi perkebunan kelapa sawit mereka. Tidak ada nilai tambah bagi produsen skala kecil dalam jenis pasar terbuka ini karena tidak ada persyaratan awal untuk melindungi kepentingan mereka.
Ada tiga aktor utama dalam produksi minyak sawit Indonesia: para petani kecil, sektor swasta dan negara. Perkebunan yang dioperasikan oleh sektor swasta dan BUMN cenderung bersifat merusak secara sosial dan lingkungan hidup, sedangkan perkebunan milik para petani skala kecil tercatat tingkat konflik atau deforestasinya nihil. Dampak-dampak tersebut muncul karena didorong oleh target pemerintah Indonesia untuk memperluas wilayah lahan perkebunan kelapa sawit hingga lebih dari 24 juta hektare dengan target produksi lebih dari 40 juta ton setahun pada 2020.
Sawit Watch akan memberikan informasi, yang diperoleh dari investigasi lapangan kami, tentang apa yang terjadi pada berbagai tahap dalam proses pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hal ini mencakup proses memperoleh izin perkebunan; pembabatan lahan; proses ‘kemitraan’ di antara perusahaan; proses sertifikasi dan kebijakan-kebijakan yang mendukung investasi skala besar di Indonesia.
DTE: Apa dampak-dampak dari perluasan minyak sawit di Indonesia?
BA: Hak-hak asasi manusia: Masyarakat lokal dan masyarakat adat kehilangan hak-hak mereka. Masyarakat adat sedang kehilangan wilayah mereka. Jumlah kasus di mana masyarakat adat dan penanam kelapa sawit dikriminalkan makin bertambah setiap tahun. Menurut data Sawit Watch, ada 643 komunitas yang berkonflik dengan perusahaan pada 2012. Dan kriminalisasi para petani juga terus meningkat. Pada 2010 ada 141 korban kriminalisasi dari pihak petani, dan pada 2012 ada 156 korban.
Sawit Watch menemukan bahwa para investor membayar militer dan polisi untuk menangani protes-protes masyarakat yang ingin memastikan pembayaran dari perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk tanah mereka. Dalam banyak kasus, masyarakat kalah dalam gugatan mereka di pengadilan karena para hakim telah dibayar oleh perusahaan tersebut.
Lingkungan hidup: Berbagai kasus mencakup kebakaran hutan yang disebabkan ketika perusahaan besar menggunakan pembakaran untuk membabat lahan – ada banyak kebakaran pada Mei dan Juni 2013. Kami mengidentifikasi 925 ‘titik panas’ (yang mengindikasikan kebakaran) di lahan yang disewakan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Para petani dan pekerja menjadi korban dalam kasus-kasus ini karena mereka dituduh membakar dengan sengaja. Faktanya adalah bahwa mereka dibayar oleh perusahaan untuk melakukan pembakaran.
Sementara itu, banyak sungai yang penuh dengan limbah dari pabrik pengolahan minyak sawit. Sungai-sungai yang sama itulah yang masih digunakan oleh masyarakat lokal untuk minum, memasak dan mencuci pakaian.
Para petani tidak pernah diberdayakan oleh pemerintah: dalam skema-skema yang direncanakan oleh perusahaan dan pemerintah, mereka tidak pernah menjadi pengambil keputusan, hanya menjadi sasaran. Pemerintah dan industri kelapa sawit, dengan mengontrol ketersediaan penggilingan dan harga yang mereka bayarkan ke petani untuk tandan buah segar (TBS) yang mereka panen, menciptakan situasi di mana para petani menumpuk utang yang berlebihan. Banyak tanah plasma dalam skema-skema yang dijalankan perusahaan disiapkan dengan buruk jika merujuk standar Praktik-praktik Pertanian yang Baik, sementara beberapa perusahaan sama sekali tidak membangun lahan-lahan plasma apapun, meskipun masyarakat telah melepaskan lahan mereka untuk kelapa sawit.
Para penanam kelapa sawit skala kecil terbagi menjadi dua jenis utama:
Pertama, para petani ‘plasma’ (penanam di luar lahan) adalah peserta dalam suatu skema yang dijalankan perusahaan di mana perusahaan tersebut mengembangkan suatu perkebunan terpusat atau ‘inti’ dan para petani ‘plasma’ mendapat alokasi lahan-lahan tempat mereka menanam kelapa sawit, dengan seluruh buahnya diproses oleh penggilingan terpusat yang dioperasikan oleh perusahaan tersebut. Skema itu diatur secara eksklusif oleh pemerintah. Hal itu telah dikembangkan di Indonesia sejak 1979 melalui berbagai model kemitraan, termasuk model PIR-transmigrasi, KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) dan model Revitbun (Revitalisasi Perkebunan), yang semuanya masih terus dipakai. Kelompok ini umumnya memenuhi kriteria berikut:
- Total area yang dialokasikan bagi para petani plasma adalah 1,3 juta ha.
- Masing-masing rumah tangga memperoleh rata-rata sekitar 0,5 ha – 2 ha.
- Produktivitas perkebunan adalah di bawah 16 ton per hektare per tahun.
- Secara teori, para petani plasma ini memperoleh harga yang lebih baik sesuai dengan ketentuan standar pemerintah (harga tersebut ditetapkan oleh sebuah tim yang mencakup baik perwakilan perusahaan maupun para petani plasma, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 17 Tahun 2010) karena mereka dapat menjual secara langsung kepada pabrik perusahaan mitra tersebut. Namun dalam praktiknya, para petani tidak memperoleh harga yang lebih tinggi.
Kedua, para petani swadaya atau petani kecil mandiri: ini adalah para petani yang menanam kelapa sawit secara swadaya dan tidak dibatasi selama mereka mengelola area sebesar kurang dari 25 ha. Total area yang ditanami oleh kelompok ini adalah kira-kira 2,8 juta ha. Mereka disebut swadaya karena para petani mengelola lahan kelapa sawit mereka mulai dari menginvestasikan modal tersebut hingga menyemai benih, menanam dan memanennya.
Sayangnya, para petani ini masih bergantung pada perusahaan besar karena panen mereka masih perlu diproses di penggilingan yang dimiliki oleh perusahaan. Para petani swadaya seringkali mengalami hal-hal berikut:
- Produksi TBS (tandan buah segar) mereka masih rendah di bawah 15 ton per hektare per tahun;
- Mereka memiliki pengetahuan yang buruk dan implementasi yang rendah tentang standar Praktik-praktik Pertanian yang Baik dan tentang prinsip-prinsip konservasi dan keberlanjutan;
- Mereka masih harus berhubungan dengan para perantara (mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan pabrik pengolahan perusahaan perkebunan), sehingga harga jual TBS tersebut masih di bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Perubahan Iklim: Sawit Watch telah menemukan bahwa dari total area perkebunan kelapa sawit sekitar 12,3 juta hektare di Indonesia, hampir 11 juta hektare ditanam di lahan gambut. Emisi karbon dari pengairan lahan gambut adalah salah satu kontributor terbesar terhadap perubahan iklim.
Tenaga kerja : Penelitian baru-baru ini oleh Sawit Watch menemukan bahwa sebuah perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kalimantan Timur tidak mampu membayar para tenaga kerjanya selama dua tahun. Banyak dari para tenaga kerja ini yang meninggalkan kebun tersebut karena mereka diperlakukan dengan buruk di sana.
DTE: Di mana kasus-kasus seperti ini didokumentasikan?
BA: Kami memiliki banyak informasi tentang kasus-kasus tertentu di dalam publikasi-publikasi kami, termasuk:
- Penelitian terhadap kondisi tenaga kerja di Kalimantan Timur
- Penelitian tentang perjanjian sewa lahan perusahaan
- Masalah-masalah Perampasan Lahan
- Gas Rumah Kaca dan Perkebunan Kelapa Sawit
- ‘Raja Limbung’ Seabad perjalanan sawit di Indonesia
- Petani Sawit Swadaya (Independent Smallholders)
- Hilangnya Tempat Berpijak
DTE: Apa yang menjadi akar dari masalah-masalah ini menurut pandangan Anda? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan di Indonesia dan secara internasional untuk mengatasi dampak-dampak ini?
BA: Dari sudut pandang Sawit Watch, akar dari masalah-masalah dengan perkebunan kelapa sawit ini adalah ekspansi besar-besaran yang berlangsung di sektor ini dan ketidakpedulian total terhadap hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Ekspansi ini didukung dengan berbagai cara di Indonesia. Perubahan-perubahan yang perlu terjadi di Indonesia di antaranya:
- Kebijakan yang mengatur perkebunan kelapa sawit harus membawa keuntungan bagi para petani, masyarakat lokal dan masyarakat adat;
- Perusahaan perkebunan kelapa sawit harus diwajibkan secara hukum untuk menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap tanah mereka.
- Kami membutuhkan perencanaan ruang yang diterapkan dengan baik di tingkat lokal dan nasional, untuk memastikan tidak ada lagi tumpang-tindih penggunaan lahan dan konflik kepentingan;
- Mengoptimalkan perkebunan kelapa sawit yang sudah ada di Indonesia, dengan memperbaiki sistem dan manajemennya sehingga tidak ada dampak-dampak negatifnya;
Perubahan-perubahan yang diperlukan dari tingkat internasional di antaranya:
- regulasi pasar dalam bentuk kriteria keberlanjutan untuk tidak memasukkan perdagangan minyak sawit apapun yang tidak memenuhi standar lingkungan hidup dan sosial.
- Pengecualian dan sanksi bagi perusahaan yang terus melakukan praktik-praktik sosial dan lingkungan hidup yang buruk dalam rantai pasokan minyak sawit.
DTE: Adakah dampak-dampak positif dari lonjakan minyak sawit? Misalnya, apakah sebagian petani kecil dan swadaya memperoleh manfaatnya?
BA: Satu-satunya pihak yang memperoleh keuntungan adalah mereka yang memanfaatkan sistem yang lemah dan praktik-praktik buruk dari pengoperasian kelapa sawit demi keuntungan mereka sendiri, seperti para kepala daerah, dan para kepala adat yang mau menerima suap dari perusahaan untuk ditukar dengan lahan rakyatnya. Juga, banyak orang pintar yang mengambil keuntungan dari perkebunan kelapa sawit di desa mereka, misalnya pemilik truk yang menyewakan kendaraannya ke perusahaan dan pemilik usaha warung makan yang dibangun di dalam kebun kelapa sawit, yang biasanya adalah para transmigran dari Jawa.
Permintaan minyak sawit yang tinggi di pasar nasional dan internasional tidak menghasilkan nilai positif bagi para petani swadaya. Karena para penanam ini tidak memiliki akses langsung ke pabrik pengolahan, mereka harus mengandalkan makelar yang bekerja sama dengan perusahaan swasta dan pabrik pengolahan.
DTE: Bagaimana seharusnya Eropa mengubah kebijakannya?
BA: Eropa harus mendukung dan memprioritaskan produksi minyak sawit dari para petani skala kecil karena mereka bertani secara berkelanjutan, dengan tingkat masalah sosial dan lingkungan hidup yang rendah, sementara perkebunan besar membawa risiko sosial dan lingkungan hidup yang tinggi.
Eropa harus membuat sebuah perencanaan untuk menghentikan penggunaan minyak sawit yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar yang mempromosikan produk-produk mereka sebagai ‘hijau’ (ramah lingkungan).
Eropa harus mengakui bahwa seluruh produk kelapa sawit ‘hijau’ yang diperoleh dari produksi industri skala besar sama sekali tidak hijau.
DTE: Haruskah para konsumen di Eropa menghindari membeli minyak sawit, baik untuk bahan bakar atau bukan bahan bakar?
BA: Mereka harus memiliki sistem pelacakan yang memastikan bahwa minyak sawit yang masuk ke Eropa tidak terkait dengan degradasi sosial dan lingkungan hidup. Alangkah baiknya bila dipromosikan kerja sama antara Indonesia dan UE dalam melindungi para petani mereka. Ini lebih penting ketimbang mempromosikan kepentingan para perusahaan yang menciptakan degradasi sosial dan lingkungan hidup.
DTE: Bagaimana seharusnya para konsumen minyak sawit di Eropa menanggapi klaim dari perusahaan bahwa mereka hanya menggunakan ‘minyak sawit berkelanjutan’ atau bahwa produk-produk mereka disertifikasi berkelanjutan oleh RSPO?
BA: Ada banyak perusahaan yang menjadi anggota RSPO dan yang pengoperasiannya sudah disertifikasi, tetapi mereka masih bermasalah. Perkebunan Sinar Mas di Labuan di Sumatera Utara misalnya, di mana perusahaan tersebut masih berkonflik dengan ratusan masyarakat di Kabupaten Padang Halaban. Ada begitu banyak contoh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO, tetapi masih merusak lingkungan hidup dan memperlakukan masyarakat lokal dengan buruk. Ini berarti bahwa sertifikasi RSPO bukanlah jaminan bahwa perkebunan itu dalam praktiknya berkelanjutan secara sosial dan lingkungan hidup.
Sawit Watch ingin melihat para konsumen di Eropa berpihak dan mempertanyakan apa yang terjadi di lapangan di perkebunan kelapa sawit. Kami juga ingin melihat mereka mendorong akuntabilitas kembali secara keseluruhan melalui rantai pasokan ke perkebunan di mana minyak sawit ditanam.
DTE: Bagaimana caranya warga Eropa yang peduli dapat menunjukkan solidaritas terhadap masyarakat yang terkena dampak perluasan kelapa sawit?
BA: Anda dapat membangun kerja sama strategis yang, dalam jangka waktu pendek, akan memonitor dan menilai keterlacakan minyak sawit yang dijual di Eropa, mengungkap klaim-klaim palsu terhadap keberlanjutan minyak sawit yang diperoleh dari perkebunan yang dibangun dengan mengorbankan tanah masyarakat untuk menanam pangan. Tujuan jangka panjang dari kerja sama ini dapat berupa memperkuat posisi para petani kelapa sawit mandiri berskala kecil, sehingga produk-produk mereka dapat dijual secara langsung ke pasar secara swadaya. Anda juga dapat membangun rencana jangka panjang yang ditujukan untuk mengubah pasar tersebut.
DTE: Perusahaan minyak sawit mengklaim mereka mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja dan menciptakan pendapatan untuk pembangunan Indonesia; haruskah kami mempercayai mereka?
BA: Mengurangi kemiskinan? Tidak juga. Enam puluh persen pekerja di sektor minyak sawit adalah buruh harian. Upah dari para pekerja pertanian bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Buruh anak juga digunakan dan para perempuan juga dipaksa bekerja di perkebunan karena itulah satu-satunya jalan untuk memperoleh cukup uang untuk bertahan hidup.
Berbicara mengenai kemiskinan, kita sebaiknya membuat sebuah perbandingan ‘sebelum dan sesudahnya’ terhadap daerah yang ditanami kelapa sawit. Sebelumnya, masyarakat lokal tidak perlu membeli beras, cabe, sayur-mayur, dan pangan lokal lainnya untuk keperluan sehari-hari. Setelahnya, mereka perlu membeli semua bahan makanan ini. Ya, pendapatan mereka meningkat, tetapi begitu juga kebutuhan uang tunai mereka.
Menciptakan pendapatan untuk pembangunan Indonesia? - kita perlu memiliki data yang lebih banyak tentang ini, karena tidak ada catatan tentang pendapatan riil di tingkat lokal yang menunjukkan angka-angka pasti yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak dibangun di hutan-hutan – kita tidak bisa menyebutnya pembangunan jika hal ini terjadi.
Para penanam kelapa sawit yang menjadi ‘mitra’ dalam skema-skema perusahaan tidak menjadi lebih baik; beberapa alasannya adalah:
- Dari harga TBS yang terutang ke para petani, perusahaan menguranginya dengan jumlah biaya operasional dari perkebunan (sekitar 300-400 rupiah per kg)
- Proses menyortir buah sawit dilakukan secara sepihak oleh perusahaan dan tidak transparan.
- Biaya transportasi – karena infrastruktur yang tidak baik – ditanggung oleh para petani
- Berdasarkan skema baru yang disebut “Manajemen Satu Atap”, keseluruhan biaya pemeliharaan daerah perkebunan ‘plasma’ dikurangi oleh perusahaan (sekitar 50 % dari harga TBS). Selanjutnya 30% lagi dikurangi untuk membayar utang para petani, sehingga berarti hanya 20% yang masuk ke para petani.
- Banyak petani kecil memperoleh alokasi lahan kurang dari yang mereka serahkan ke perusahaan. Misalnya, dalam kasus PT MAS II dan BKP di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sekitar 21% dari para petani kelapa sawit memiliki lahan kurang dari 2 ha, meskipun mereka menyerahkan lebih dari 2 ha lahan mereka ke perusahaan tersebut.
DTE: Bagaimana dengan situasi energi terbarukan di Indonesia? Haruskah minyak sawit Indonesia digunakan untuk pangan dan energi di Indonesia ketimbang diekspor ke Eropa dan negara-negara lainnya?
BA: Penggunaan energi terbarukan di Indonesia telah diisyaratkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mempromosikan pengembangan perkebunan yang menanam tanaman untuk energi, seperti jatropha dan kelapa sawit. Mereka menyadari bahwa bahan bakar fosil di Indonesia hanya akan bertahan hingga 12 tahun lagi, menurut Daulay Mustafa, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia (APOLIN). Satu-satunya masalah adalah, dengan membangun sebuah industri energi terbarukan yang berbasis di perkebunan kelapa sawit berarti kita memiliki masalah lingkungan hidup dan sosial yang sama.
Berdasarkan penggunaan kelapa sawit itu sendiri, pemerintah tidak menetapkan persentase atau membuat pemisahan apapun antara penggunaan akhir untuk pangan dan energi.
Sawit Watch merasa kita pertama-tama perlu menetapkan sistem yang telah diperbaiki dan praktik-praktik yang baik di industri kelapa sawit sebelum kita mempertimbangkan untuk memilih antara penggunaan pangan atau energi. Kita perlu memprioritaskan untuk memastikan perbaikan dalam sistem dan praktik tersebut sehingga tidak ada konflik lingkungan hidup atau sosial. Adalah salah bila mulai berbicara tentang pilihan-pilihan ini sebelum menangani masalah-masalah utamanya dan pada saat ada begitu banyak kasus tak terselesaikan dari konflik di sektor ini. Mengenai ekspor minyak sawit ke Eropa dan negara-negara lainnya, Sawit Watch merasa bahwa Indonesia sebaiknya pertama-tama menghitung siapa yang paling banyak memperoleh keuntungan dari ekspor tersebut. Jika satu-satunya pihak yang memperoleh keuntungan adalah perusahaan-perusahaan besar, sementara para petani dan penanam kecil tidak memperoleh apa-apa, akan lebih baik untuk berpikir dua kali untuk mengekspor minyak sawit Indonesia.
DTE: Bagaimana masyarakat di Eropa menanggapi pesan-pesan ini sejauh ini?
BA: Hingga saat ini,Eropa hanya memandang bahan bakar nabati sebagai suatu alat untuk mengurangi emisi kabon; masyarakat belum melihat gambaran secara keseluruhan: bagaimana bahan bakar nabati diproduksi. Eropa sebaiknya lebih terbuka untuk mencermati apa yang terjadi di perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan negara-negara lainnya. Dan, di skala global, banyak pemangku kepentingan tidak sepenuhnya menyadari mengenai kondisi para pekerja perkebunan, para petani (kecil) dan masyarakat adat di Indonesia. Ada sejenis egoisme, atau kompetisi di antara sektor lingkungan hidup dan sosial: kadang-kadang pertimbangan lingkungan hidup diperhatikan tetapi masalah-masalah sosial diabaikan. Namun, dalam kasus perkebunan kelapa sawit di Indonesia, masalah-masalah yang lebih menekan adalah masalah sosial, yang terkait dengan kondisi bagi masyarakat di dalam dan di sekitar perkebunan tersebut.
DTE: Apakah Anda punya pesan lainnya untuk pemerintah, perusahaan atau masyarakat sipil Eropa?
BA: Menggunakan energi terbarukan adalah sebuah gagasan yang cemerlang dan mulia dalam kaitan untuk menyelamatkan dunia dari bencana iklim global, tetapi kita perlu mempertimbangkan bagaimana energi terbarukan itu dibuat dan dari mana ia berasal. Tanyakan apakah energi terbarukan itu berasal dari tanaman yang secara langsung atau tak langsung menggusur hutan, lahan gambut, atau mengambil alih tanah masyarakat adat. Cari tahu apakah energi terbarukan atau bahan bakar nabati yang sedang Anda pakai dan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan impor dari negara-negara seperti Indonesia hanyalah sekadar melayani kepentingan bisnis besar dengan cara yang baru dan kreatif, sambil mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan bencana global.