Keraguan Lainnya Terhadap Proyek Tangguh BP

Down to Earth No 57  Mei 2003

Dua penelitian yang ditugaskan oleh BP mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap dampak proyek pembangunan gas Tangguh yang direncanakan di Papua Barat.

BP telah mengumumkan temuan-temuan dua penelitian itu untuk menguji dampak potensial proyek gas Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, terhadap masalah-masalah Hak Asasi Manusia, komunitas lokal dan lingkungan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam laporan itu dan cara pengolahan informasi yang diatur oleh BP telah memunculkan keraguan terhadap klaim perusahaan bahwa proyek Tangguh akan menjadi suatu model tentang perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial.

Proyek raksasa gas Tangguh dan pengolahan gas alam cair (LNG) yang dijadwalkan akan dimulai tahun ini merupakan suatu proyek yang kontroversial. Masalahnya proyek itu dikembangkan di wilayah sengketa yang mana pelanggaran HAM oleh militer dan polisi dilakukan tanpa adanya sanksi hukum. Selain itu, proyek tersebut akan menyebabkan perubahan besar dalam komunitas lokal dan cara hidup mereka, yang sebagian besar tergantung pada sumber daya alam di Teluk tersebut. Pengembangan proyek juga dilakukan di lingkungan hutan yang rentan, dekat hutan bakau terbesar yang masih tersisa di Asia Tenggara.

 

Laporan tentang Dampak terhadap HAM

Penelitian pertama, suatu pengkajian dan penegasan dampak terhadap hak asasi manusia (HRIA), dikumpulkan oleh mantan pejabat Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat, Bennet Freeman dan seorang pengacara AS, Gare Smith, yang dipresentasikan kepada BP pada bulan April 2002. Ini adalah pengalaman pertama bagi BP untuk melakukan penelitian yang berfokus pada masalah HAM. Tetapi laporan itu tidak diterbitkan secara utuh, meskipun terdapat perhatian besar dari masyarakat terhadap temuan penelitian. BP hanya mencantumkan 7 halaman yang berisi ringkasan rekomendasi. Bahkan, penyajian ini saja memerlukan waktu sekitar sepuluh bulan. Ringkasan tersebut, ditambah dengan tanggapan BP setebal 21 halaman, baru muncul pada bulan Februari tahun ini, meskipun sudah diminta berulang kali oleh kalangan Ornop.

Ringkasan rekomendasi-rekomendasi HRIA itu mencakup banyak masalah yang telah diungkapkan oleh masyarakat Papua dan Ornop-ornop internasional. Termasuk dalam butir-butir rekomendasi itu adalah:

  • Membayar dengan harga yang 'adil' terhadap tanah yang digunakan dengan nilai yang dapat dibandingkan dengan tanah lainnya yang digunakan dalam budaya subsisten di Papua;
  • Membantu pemerintah propinsi dan lokal untuk mengembangkan panduan memberikan demarkasi batas-batas tanah tradisional;
  • Membayar restitusi (ganti rugi) atas pohon-pohon yang ditebang dan hilangnya wilayah pemancingan ikan;
  • Mendorong pemerintah pusat untuk memberikan jaminan pendapatan daerah seperti yang tertera dalam otonomi khusus;
  • Membuat perundang-undangan yang mengatur penjualan dan penggunaan tanah komunal dan tanah milik masyarakat adat, untuk membatasi imigrasi;
  • Membangun kursus-kursus pelatihan untuk menentang asumsi-asumsi rasial tentang superioritas/inferioritas;
  • Memberikan prioritas pilihan terhadap orang-orang Papua untuk posisi-posisi senior di perusahaan.

Berkaitan dengan masalah hak asasi manusia dan keamanan, penulis laporan itu merekomendasikan:

  • Mendesak pimpinan tertinggi pemerintah Indonesia untuk membatasi penempatan pasukan TNI dan Brimob. Jika perlu, mereka dapat meminta dukungan terhadap posisi ini kepada pemerintah Amerika Serikat dan Inggris
  • Mengembangkan kebijakan tertulis mengenai pengadaan perlengkapan bagi pasukan keamanan negara;
  • Menggunakan bantuan Komisi Palang Merah Internasional untuk melatih pasukan keamanan;
  • Memperhatikan catatan pelanggaran HAM dimasa lalu yang dilakukan oleh aparat militer yang ditempatkan di wilayah itu, dan mengangkat kasus sampai pada tingkatan tertinggi, melakukan penyelidikan dan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di wilayah itu serta memberikan akses tak terbatas pada ornop-ornop yang melakukan penyelidikan tentang pelanggaran yang dituduhkan;
  • Menyediakan 'hotline' (saluran telpon khusus) untuk masalah keamanan lokal dan hak asasi manusia dalam situasi darurat.

Tanggapan panjang lebar BP terhadap isu-isu ini beragam. Namun, sebagian besar berisi konfirmasi tentang keprihatinan yang mereka miliki sesuai dengan rekomendasi laporan tersebut, atau diuraikan dengan menekankan suatu cara bahwa masalah tersebut telah ditanggapi dengan serius dan selayaknya. Untuk uraian lengkap tentang tanggapan BP, lihat www.bp.com/location_rep/indonesia/tangguh_project/index.asp.

 

Laporan TIAP

Studi lainnya adalah laporan awal dari Tangguh Independent Advisory Panel, TIAP (Kelompok Penasihat Mandiri Tangguh), yang dibentuk oleh BP pada awal tahun 2002 untuk memberikan saran eksternal terhadap para pembuat keputusan senior BP terhadap aspek-aspek non-komersial dari proyek Tangguh. Sekali lagi, terdapat penundaan panjang (sekitar 6 bulan) antara waktu penyelesaian penelitian itu dan penerbitannya di dalam situs web BP pada bulan Maret 2003. Masih belum jelas apakah laporan ini, selain juga HRIA, tersedia dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal Papua.

TIAP dipimpin oleh Senator Amerika Serikat, George Mitchell, termasuk di dalamnya Lord Hannay dari Inggris, mantan duta besar Sabam Siagaan dari Jakarta dan Pendeta Herman Saud dari Papua Barat.

Laporan TIAP lebih luas cakupannya dibandingkan HRIA. Isu-isu yang termasuk dalam laporan itu adalah pembangunan komunitas, keamanan, pelatihan dan pekerjaan bagi orang-orang Papua serta masalah lingkungan. Panel melaporkan bahwa Tangguh "disambut baik karena ia menjadi model baru etika perusahaan internasional dan sekaligus ditakuti mengingat pengalaman masa lalu orang-orang Papua" (dengan Freeport). Menurut Mitchell, dalam hal ini keuntungan keuangan yang besar mengalahkan masalah-masalah di Tangguh (Guardian 12/Mar/03).

Namun laporan itu mengecilkan arti biaya tinggi bagi komunitas adat seperti ancaman-ancaman terhadap lingkungan, kehidupan, gangguan sosial dan kultural, peningkatan ketegangan yang disebabkan semakin meningkatnya kehadiran polisi dan militer di wilayah itu, serta potensi konflik antar komunitas.

Laporan TIAP tidak mengungkapkan beberapa masalah penting yang diajukan DTE dalam pertemuan dengan anggota TIAP pada bulan April 2002 (lihat DTE 53/54). Masalah tersebut adalah:

  • Hak atas sumber daya dan lahan serta konflik antara undang-undang Indonesia dengan hukum adat. Dalam kenyataan, Panel menolak isu penting ini dengan mengatakan kepatuhan BP terhadap undang-undang Indonesia diluar lingkup penyelidikan Panel;
  • Hak komunitas lokal untuk menolak proyek. Baik laporan TIAP maupun ringkasan rekomendasi HRIA tidak mengungkapkan masalah mendasar ini. Seluruh misi TIAP didasarkan pada pemahaman bahwa proyek itu akan berjalan terus dan pertanyaan yang dilontarkannya adalah bagaimana semua itu bisa berjalan dengan baik, dan bukan apakah mereka akan melakukannya;
  • Kaitan antara Tangguh dan pembunuhan di Wasior yang menyebabkan teror oleh pihak militer/polisi terhadap penduduk lokal;
  • Kemungkinan bahwa kehadiran proyek Tangguh akan meningkatkan pelanggaran HAM dengan memperhatikan sejarah panjang pelanggaran HAM di Papua Barat yang dilakukan oleh aparat keamanan. Pelanggaran-pelanggaran ini tidak pernah diselidiki dengan semestinya. Satu-satunya kasus yang diungkapkan adalah tentang pemimpin pejuang kemerdekaan Theys Eluay, yang menurut Panel, telah diungkapkan oleh hampir setiap orang yang mereka temui.

Perempuan Diabaikan

Salah satu kelemahan yang sangat penting dalam laporan itu, baik dalam TIAP maupun ringkasan HRIA, adalah tidak adanya pembahasan tentang dampak khusus proyek tersebut terhadap kaum perempuan. Studi-studi mutakhir telah menekankan fakta bahwa perempuan mengalami dampak buruk luarbiasa dari industri-industri ekstraktif (sebagai contoh, lihat artikel tentang perempuan dan pertambangan, DTE 56).

 

Masalah-Masalah Keamanan dan Hak Asasi Manusia

Ada keprihatinan yang luas berkaitan dengan masalah keamanan di Tangguh. Hal ini disebabkan karena pihak militer Indonesia memiliki kewajiban berdasarkan undang-undang untuk melindungi 'aset-aset nasional yang vital.' Rencana-rencana BP membentuk sistem keamanan berbasiskan komunitas, yang menolak kehadiran militer dan polisi di tempat pelaksanaan proyek, sampai sekarang belum diterima oleh pemerintah pusat. Hal ini jelas terungkap dalam tanggapan BP atas laporan HRIA yang menyebutkan "kebencian nyata diantara sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders)" dan menambahkan bahwa menyatukan "perbedaan pandangan yang tajam tersebut" tidak akan mudah (19).

Tim TIAP menilai masalah keamanan sebagai kemungkinan "isu yang paling sulit dan sensitif bagi BP" (hal. 20), baik karena kewajiban militer untuk melindungi 'aset-aset nasional yang vital' dan juga karena TNI mungkin menuntut uang dari BP. Tim juga diberitahu bahwa sampai 80% pendapatan TNI bersumber dari bisnis-bisnis dan perlindungan terhadap fasilitas-fasilitas bisnis. (hal. 20/21). Hal ini menegaskan apa yang telah diketahui oleh orang-orang Papua: bahwa korupsi pihak militer dan tingkah laku yang memungut pungutan di Papua Barat telah berurat akar yang juga menjadi motivasi ekonomis untuk tetap mempertahankan keberadaan mereka yang besar di wilayah itu (untuk mendapatkan gambaran tentang keterlibatan militer dalam penebangan kayu di Papua Barat, lihat DTE 55)

BP mengakui bahwa peningkatan kehadiran polisi di Teluk Bintuni akan sangat dibutuhkan selama tahap pembangunan konstruksi proyek untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban. Perusahaan itu juga mengatakan bahwa hal itu telah disahkan namun masih belum dijalankan. Perusahaan menekankan bahwa pihak polisi dan militer telah berada di wilayah itu untuk waktu yang cukup lama, sehingga pelaksanaan proyek tidak memerlukan pasukan keamanan di wilayah itu, tapi hanya penambahan jumlah, lokasi dan peran yang mereka jalankan. Sampai sekarang masih belum ada angka yang pasti tentang tingkat jumlah polisi dan militer di wilayah itu serta kemungkinan antisipasi peningkatan jumlah mereka.

 

Peran Polisi

BP nampaknya bersikap terlalu optimis tentang peran polisi, yang diharapkan perusahaan, akan menanggapi prioritas-prioritas lokal di bawah kesepakatan Otonomi Khusus Papua. Sikap ini tidak memperhatikan peranan Brimob, brigade mobil dari kepolisian Indonesia yang terkenal dengan aksi brutalnya, yang digunakan oleh pejabat pemerintah dan perusahaan untuk menindas oposisi lokal terhadap proyek-proyek seperti pertambangan, penebangan kayu dan perkebunan.

Adalah benar bahwa reputasi kekuatan polisi reguler Papua telah meningkat dibawah komando Inspektur Jendral I Made Mangku Pastika. Ia telah terlibat dalam diskusi-diskusi dengan pimpinan masyarakat sipil dalam mengupayakan Papua sebagai "Zona Damai" dan, selama penyelidikan terhadap pembunuhan di Freeport pada bulan Agustus 2002. Ia telah menyatakan kecurigaan bahwa pihak Kopassus terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi Pastika digantikan dari jabatannya sebagai komandan polisi di Papua pada bulan November 2002. Pada bulan Januari tahun ini, wakilnya juga akan dipindahkan dari Papua, suatu langkah mutasi yang diyakini berkait dengan penyelidikan polisi terhadap pembunuhan Freeport.

 

Konteks Militer

Prospek-prospek demiliterisasi di Papua yang dituntut oleh para pemimpin masyarakat sipil tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Di Indonesia, secara keseluruhan pengaruh militer terus meningkat (lihat boks).

Nampaknya ini menjadi kabar buruk bagi orang-orang Papua Barat. Operasi-operasi militer terbaru di di wilayah pusat dataran tinggi sekitar Wamena semakin meningkatkan ketegangan. Operasi-operasi 'pembersihan' TNI menyebabkan terjadinya pembakaran desa-desa, sekolah dan pembunuhan terhadap hewan ternak milik penduduk desa. Operasi-operasi ini nampaknya sebagai balasan atas serbuan yang dilakukan pada bulan April terhadap pos militer di Wamena yang menyebabkan tewasnya dua orang perwira dan melukai lainnya. Sedikitnya, seorang warga Papua yang ditangkap setelah insiden tersebut telah meninggal dunia akibat penyiksaan selama penahanan. Terdapat kepercayaan yang meluas bahwa pihak militer berdiri dibelakang serangan itu untuk menciptakan konflik.

Apa arti ketidakstabilan dan situasi yang tidak dapat diduga bagi Tangguh? Meningkatnya dominasi militer di Jakarta, tumbuhnya rasa percaya diri TNI (yang didorong oleh dukungan internasional pasca 11 September sebagai "perang melawan terorisme", dan impunitas yang terus berlanjut menjadi kendala besar bagi posisi tawar BP dalam upaya mereka mengajukan konsep keamanan berbasis masyarakat di Tangguh. Laporan TIAP mengatakan bahwa BP harus bekerja keras untuk mencapai landasan yang kuat bagi kerjasama untuk konsep keamanan mereka, dan jika mungkin, sebelum keputusan akhir dibuat dalam melanjutkan keseluruhan proyek. Sebagai tanggapan, BP mengatakan bahwa mereka setuju terhadap rekomendasi ini. Meskipun demikian, masih sulit untuk diyakini bahwa BP akan benar-benar menarik diri dari Tangguh, jika mereka tidak mendapatkan kesepakatan terhadap keinginan-keinginan mereka tentang masalah keamanan.

Catatan: Laporan HRIA telah didiskusikan dalam rapat "pemangku kepentingan" (stakholder) yang difasilitasi oleh BP pada bulan Februari. Dan laporan TIAP diluncurkan dalam pertemuan publik pada bulan Maret. DTE dan Tapol, dua ORNOP di Inggris diundang untuk hadir guna membahas laporan tersebut. Tetapi keduanya memutuskan untuk tidak hadir karena BP menolak untuk mengungkapkan laporan lengkap HRIA dan dokumen-dokumen pendukung lainnya yang diminta. 

 

Keprihatinan Baru

Keprihatinan baru muncul belakangan ini yang akan menyebabkan semakin sulit bagi BP untuk memenuhi komitmen mereka di Tangguh. Termasuk dalam rentang keprihatinan ini:

  • Bom Bali dan kelanjutannya, termasuk pula undang-undang anti-teroris yang baru. Hal ini akan memunculkan kriminalisasi dan pelabelan sebagai teroris terhadap orang-orang lokal yang melakukan protes terhadap proyek-proyek yang dilaksanakan di wilayah mereka (lihat juga DTE 56).
  • Pengadilan terhadap tujuh orang prajurit Kopassus yang dituduh terlibat dalam pembunuhan terhadap pemimpin pro-kemerdekaan, Theys Eluay, yang mana hukuman tertinggi dijatuhkan selama tiga setengah tahun oleh pengadilan militer. Laporan TIAP mengacu pada pengadilan ini sebagai "ujian pertama" terhadap kelayakan Otonomi Khusus (hal. 10) dan 'hubungan baru' Papua dengan Indonesia.
  • Peningkatan kekuasaan militer: undang-undang militer baru, jika diterapkan, akan semakin meningkatkan kekuasaan militer untuk turut campur dalam masalah keamanan dalam negeri. Para pengritik undang-undang itu mengatakan bahwa undang-undang tersebut akan melicinkan jalan bagi kaum militer untuk mengambil alih kekuasaan di negeri ini. Salah satu ayat yang paling penting adalah yang memberikan para komandan TNI kekuasaan untuk memobilisasi pasukan dalam situasi darurat, tanpa keputusan presiden.
  • Pembagian Papua menjadi tiga propinsi, yang akan menerapkan Otonomi Khusus dan menimbulkan peningkatan konflik dan ketegangan di Papua Barat (lihat juga teks utama). Bintuni, tempat pelaksanaan proyek Tangguh, telah dinyatakan sebagai satu kabupaten baru berdasarkan perubahan administratif terpisah yang disepakati tahun lalu. Hal ini juga akan semakin meningkatkan jumlah aparat militer dan polisi yang terlibat dalam pemerintahan kabupaten yang baru.

 

Pendapatan, Harapan dan Bank Dunia

Salah satu masalah yang diangkat dalam laporan TIAP adalah kenyataan bahwa "momentum harapan" diantara masyarakat lokal dan "ketidaksabaran yang besar atas keuntungan yang dapat dilihat" dapat menjadi landasan munculnya penolakan jika hasil-hasil konkrit tidak segera dapat dirasakan segera setelah ekspor LNG dimulai. Laporan itu juga menunjukkan bahwa akan terdapat penundaan selama beberapa tahun (bahkan satu dekade) antara dimulainya produksi LNG dan arus pendapatan yang substansial bagi Papua. Hal ini dikarenakan tuntutan pembayaran hutang dan biaya pemulihan akan mengambil banyak dana pada tahun-tahun pertama saat produksi dimulai. Untuk mengatasi masalah ini, TIAP mengajukan suatu gagasan yang kontroversial: bahwa BP harus memperhatikan kemungkinan jalur kredit keuangan dari luar untuk "memajukan alur pendapatan bagi Papua dari proyek tersebut."

Menurut laporan-laporan media, perusahaan itu tengah mengadakan pembahasan bersama Bank Dunia dalam mengatasi hal tersebut. Seorang ekonom utama Bank Dunia di Jakarta, Bert Hofman, dikutip menyatakan hal itu sebagai "gagasan yang baik."

Hal ini segera memunculkan beberapa masalah besar. Kinerja Bank Dunia selama ini di Indonesia telah memunculkan keraguan apakah mereka cocok menjalankan peran tersebut? Bank Dunia dituduh telah terlibat dalam praktek korupsi besar-besaran selama masa kepresidenan Suharto dan mengabaikan seruan membatalkan hutang kotor yang diwarisi oleh pemerintahan Indonesia berikutnya. Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia juga tetap bersikap kritis terhadap kemampuan Bank Dunia dalam menjalankan program pembangunan yang pro-kaum miskin, dimana pada saat bersamaan Bank Dunia tetap diatur oleh kepentingan ekonomi global Amerika Serikat dan negara-negara kaya lainnya. Dalam kondisi semacam ini, apakah pinjaman Bank Dunia akan menghasilkan efek penstabilan yang diharapkan? Siapa yang akan membayar pinjaman tersebut? Apakah Papua Barat diharapkan akan menanggung pembayarannya sementara BP mendapatkan keuntungan dari stabilitas yang terus meningkat? Selain itu, masalahnya pinjaman itu tidak akan sampai langsung kepada pemerintahan daerah Papua, tetapi, seperti kebiasaan pinjaman Bank Dunia, akan disampaikan melalui pemerintahan di Jakarta. Akankah orang-orang Papua mempercayai pihak Jakarta untuk mengelola pinjaman tersebut? Apakah cukup bijak mengikat Papua dengan Jakarta melalui cara seperti itu, dimana terdapat kemungkinan bahwa status politik Papua Barat bisa saja berubah?

 

Pendapatan

Persoalan krusial lainnya adalah siapa yang akan membayar kembali hutang jika proyek itu tidak berjalan seperti yang diharapkan? Masih tidak pasti seberapa banyak 'kereta' atau terminal-terminal LNG akan dibangun karena semua itu tergantung pada pasaran gas yang ada. BP hanya merencanakan membangun 2 kereta dalam waktu dekat yang akan bisa dikembangkan menjadi 8 kereta apabila pasar yang diharapkan tercapai.

Juga bisa dikatakan bahwa pembagian pendapatan yang menguntungkan Papua tidak selamanya terjamin, mengingat Jakarta begitu kukuh untuk menghancurkan tatanan Otonomi Khusus dengan membagi Papua menjadi tiga propinsi (lihat di bawah). Bahkan jika Otonomi Khusus terus berjalan, Papua hanya akan mendapatkan pendapatan sebesar 70% selama dua puluh lima tahun pertama, yang kemudian akan berkurang menjadi 50% setelah periode tersebut terlewati. Karena masa produksi Tangguh diperkirakan berjalan selama 30 tahun, maka jelas sekali implikasinya bagi masa depan pendapatan Papua.

(Sumber: Human Rights Assessment of the Proposed Tangguh LNG Project Summary of Recommendations and Conclusion, Disajikan kepada BP Indonesia pada tanggal 19 April 2002, Gare A. Smith, Foley, Hoag & Eliot, LLP, Bennett Freeman, Consultant; Human Rights Assessment of the Proposed Tangguh LNG Project, BP Response February 2003; Tangguh Independent Advisory Panel: First Report on Tangguh LNG Project, October 2002; Tangguh Independent Advisory Panel BP Response to the first report on the Tangguh LNG project, September 2002.
Dokumen-dokumen tersebut (tanpa lampiran laporan TIAP) terdapat dalam www.bp.com/location_rep/indonesia/tangguh_project/index.asp
Sumber-sumber tambahan: Jakarta Post 2/Nov/02; 14/Jan/03; 20/Feb/03)

Otonomi Khusus dan Pembagian Papua Menjadi Tiga Propinsi

George Mitchell dan anggota panel merasa yakin tentang kemungkinan keberhasilan Tangguh di bawah Otonomi Khusus, undang-undang yang ditetapkan pada bulan Oktober 2001, yang merupakan bagian dari rencana menyeluruh program desentralisasi di Indonesia. Otonomi Khusus juga didukung oleh pemerintah Amerika Serikat dan Uni-Eropa sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik politik di Papua, meskipun dalam kenyataan orang-orang Papua melihatnya sebagai suatu batu loncatan menuju kemerdekaan. Bagaimanapun, Panel itu juga mengakui bahwa penerapan otonomi khusus di Papua Barat tidak selamanya akan terjamin berjalan lancar. Selain itu juga adalah sangat tidak bijak bagi BP untuk tergantung pada penerapan ini.

Langkah-langkah terbaru oleh pemerintah Jakarta untuk menghapuskan otonomi khusus memunculkan keprihatinan tersebut. Pada bulan Januari tahun ini, Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden untuk menerapkan undang-undang tahun 1999 yang memecah Papua menjadi tiga propinsi terpisah. Ini dipandang sebagai upaya sengaja untuk menyabot otonomi di Papua Barat. Hal ini mengingat dibawah undang-undang otonomi khusus, setiap kebijakan yang mempengaruhi orang-orang Papua harus disetujui oleh Majlis Rakyat Papua (MRP). Badan ini, yang sangat penting agar proses otonomi berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sampai sekarang belum terbentuk (hal ini disebabkan oleh penundaan pihak Jakarta untuk mengeluarkan aturan yang diperlukan dan persoalan yang menyangkut legalitas badan tersebut). Dalam kenyataan, Otonomi Khusus, yang diharapkan berjalan efektif sjeak Januari 2002 di Papua Barat, masih belum diterapkan karena undang-undang pemerintah yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ini masih belum terwujud.

Kelompok HAM Papua, ELSHAM, meyakini bahwa pembagian Papua akan meningkatkan eksploitasi oleh Jakarta dan militerisasi Papua Barat. Setiap propinsi baru akan memiliki komando militer sendiri, dan akan lebih banyak lagi pihak militer yang menguasai kegiatan bisnis.

Menurut satu laporan, orang-orang Papua menyatakan bahwa mereka akan menyerukan referendum jika Jakarta tidak membatalkan Instruksi Presiden tersebut (Cendrawasih Pos, 8/Februari/03, dikutip di Jakarta Post, 19/Februari/2003).

(Sumber tambahan: Jakarta Post 13/Mar/03; Analisa Neles Tebay yang diterima tanggal 19/Feb/03; Green Left Weekly 26/Feb/03); Harian Papua Post 27/Feb/03 dengan komentar dari Tapol; siaran pers ELSHAM Papua dan AWPA 23/Feb/03).


Informasi Terbaru Tentang Tangguh:

Pemukiman kembali: pembangunan desa pemukiman kembali bagi keluarga-keluarga yang pindah dari tempat pelaksanaan proyek telah dimulai pada tanggal 5 Februari. Masing-masing rumah yang dibangun bagi penduduk desa itu menghabiskan sekitar 30 meter kubik kayu. Menurut BP kayu tersebut didapat melalui para produser yang memiliki ijin usaha yang legal (Namun, makna 'legal' di Indonesia masih diperdebatkan. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat DTE 56 dan DTE 53/54).

AMDAL: Laporan akhir AMDAL yang disetujui pemerintah pusat bulan Oktober 2002 lalu, kini tengah "disosialisasikan" kepada ornop-ornop dan komunitas lokal. BP meminta masyarakat untuk terlibat dalam penerapan AMDAL tersebut dan mengawasi perkembangan pelaksanaan proyeknya. Meskipun demikian, WALHI dan organisasi lainnya menyatakan bahwa AMDAL tersebut tidak sahih, mengingat lembaga yang sebelumnya berwenang untuk mengesahkan AMDAL tersebut, BAPEDAL, telah digabungkan menjadi satu dengan departemen lingkungan hidup. Sebaliknya, BP berpendapat bahwa menteri lingkungan memiliki kewenangan legal untuk mengesahkan AMDAL tersebut.

Hak-Hak atas tanah: Lahan yang digunakan dalam proyek BP termasuk lahan yang oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai 'hutan produksi.' Tetapi komunitas lokal juga memiliki klaim atas lahan tersebut. Menurut BP, prosesnya berjalan sebagai berikut: komunitas lokal melepaskan tanah itu kepada pemerintah (proses ini terjadi saat perusahaan Amerika Serikat ARCO menjalankan aktivitas mereka di sana sebelum BP memulai proyeknya). Pemerintah kemudian mengeluarkan HGU kepada BP selama 30-50 tahun. Setelah periode waktu selesai, maka lahan tersebut akan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. BP mengatakan kepada ornop-ornop di Papua Barat bahwa pemerintah Indonesia berjanji akan mengembalikan lahan itu kepada pemilik adat semula. Meskipun demikian, belum jelas apakah komitmen tersebut hanya sekedar ungkapan di atas kertas atau memiliki ikatan hukum yang kuat.

Pembangunan Fasilitas: Pada bulan April, BP mengumumkan bahwa suatu konsorsium antara Kellog, Brown and Root (Amerika Serikat); JGC Corporation (Jepang) dan PT Pertafenikki Engineering (perusahaan ventura Indonesia-Jepang) telah memenangkan tender pelaksanaan pembangunan proyek, pengadaan dan pembangunan kompleks LNG Tangguh senilai 1,4 juta dollar. Pekerjaan memperbaharui landasan udara lama di tempat pelaksanaan proyek telah dimulai sejak bulan November 2002.

Air dan limbah: pabrik penyulingan air laut akan dibangun untuk menyediakan air minum di tempat pelaksanaan proyek. Tetapi fasilitas itu bukan ditujukan untuk komunitas lokal. Sedangkan limbah berbahaya akan ditampung dan dibawa ke tempat fasilitas pembuangan limbah (saat ini hanya ada satu di Bogor, Jawa Barat). Limbah lainnya akan diolah kembali, dibakar dan dijadikan kompos atau ditanam di lubang pembuangan yang dibangun di tempat pelaksanaan proyek.

Kebocoran gas: BP mengatakan berbagai cara telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran jalur pipa bawah laut sepanjang 25 kilometer. Namun hal ini sulit dipercaya mengingat peristiwa kebocoran belakangan ini dalam kegiatan mereka di Jawa (lihat DTE 56). Secara global, catatan keamanan BP juga tengah mendapat sorotan. Pemodelan secara hipotetis tentang kebocoran yang terdapat dalam AMDAL menunjukkan bahwa dampak lingkungan 'tidak parah", tetapi dampak ekonomi dan politik akan cukup "signifikan."

Pengaruh terhadap hutan: Karena tempat proyek LNG berada di tanah 'hutan produksi' negara, BP diwajibkan untuk menanami kembali seluas dua kali lipat luas wilayah yang telah mereka gunakan. BP mengatakan bahwa baru-baru ini mereka telah mengadakan pembicaraan dengan departemen kehutanan tentang masalah ini.

Saham dan keuangan: Pada bulan Februari BP telah menjual 12,5% saham mereka di Tangguh kepada perusahaan dari Cina, CNOOC senilai 275 juta dolar. Sehingga saham yang dimiliki BP sekarang ini di proyek tersebut berjumlah 37,2%. Dalam lampiran laporan TIAP, BP mencatat bahwa diperlukan pembiayaan sebesar 2.250 juta dolar untuk pembangunan 2 'kereta' gas.

Penjualan LNG: Pertamina mengatakan pada bulan Maret bahwa mereka telah melakukan pembicaraan dengan perusahaan Jepang, Tohoku Electric Power CO Inc yang akan membeli sebanyak 2 juta ton LNG. Tangguh juga terlibat dalam tender untuk memasok sebanyak 1,6 juta ton LNG ke Taiwan. Sekarang ini Tangguh telah mendapatkan kontrak untuk memasok 2,6 juta ton LNG setiap tahunnya ke terminal yang dibangun di propinsi Fujian, Cina, yang akan dimulai pada tahun 2007. Pada tahun 2001, Pertamina telah menandatangani kesepakatan dengan GNPower untuk memasok 1,3 juta ton LNG ke Filipina.

Pendapatan Bagi Papua: diperkirakan pendapatan akan mencapai sekitar 100 juta dollar/tahun pada tahun 2016 sampai 225 juta dolar/tahun saat puncak produksi tergantung seberapa banyak 'kereta-kereta' LNG dibangun.

(Reuters 25/Apr/03; 26/Mar/03; Asia Pulse/Antara 1/Apr/03 dan lainnya)


Ornop Mengadukan Pelanggaran Standar OECD dalam Proyek Jalur Pipa BP di BTC

Kelompok ornop dari tujuh negara telah menyampaikan pengaduan mereka terhadap pemerintah Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Amerika Serikat, yang menuduh BP dan konsorsium mereka dalam rencana pembangunan jalur pipa minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) telah melanggar standar pelaksanaan OECD mengenai Perusahaan-Perusahaan Multinasional.

Rencana pembangunan jalur pipa minyak yang merentang sepanjang 1.760 kilometer dari ibukota Azerbaijan, Baku, akan melewati Tbilisi Georgia dan berakhir di kota Mediterania Ceyhan, Turki. Jalur pipa gas itu juga direncanakan akan mengambil rute yang sama. Dalam pelaksanaan proyek ini, BP menjadi sponsor utama disamping sembilan anggota lainnya dalam konsorsium yang dibentuk. Konsorsium BTC berupaya mendapatkan dukungan politik dan keuangan dari agen-agen kredit ekspor di negara mereka, yaitu European Bank for Reconstruction and Development (Bank Pembangunan Dan Rekonstruksi Eropa) dan International Finance Corporation (Korporasi Keuangan Internasional) dari kelompok Bank Dunia.

Sayangnya, standar pelaksanaan OECD tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa, meskipun ia menjadi tonggak ukuran tentang bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Mengenai pengaduan kelompok itu secara rinci bisa dilihat dalam www.foe.org/camps/intl/Appendices.htm.

Aksi terhadap RUT BP
Untuk informasi mengenai kegitan-kegiatan sekitar Rapat Umum Tahunan BP pada bulan April di London, lihat www.risingtide.org.uk.

Versi bahasa Indonesia dari artikel DTE nomor 55 berjudul "A Visit to BP's Tangguh project' sekarang ini tersedia dalam situs web kami di dte.gn.apc.org/55iBP.htm.