Pemetaan Partisipatif: Menghadirkan Secara utuh Informasi Mengenai Pengelolaan Wilayah Adat

Pemetaaan Partisipatif (Foto:JKPP)

DTE 99-100, Oktober 2014

DTE mewawancarai Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat) [1], mengenai pengalamannya terkait hal gender dalam melakukan pemetaan partisipatif bersama komunitas adat di Indonesia.

DTE: Bagaimana anda mulai terlibat dalam jaringan pemetaan partisipatif?

Kasmita Widodo: JKPP didirikan tahun 1996. Tahun 1998 saya mulai belajar mengenal pemetaan partisipatif dilanjutkan belajar mengenai GIS (Global Information System). Waktu itu GIS adalah teknologi yang diharapkan bisa membantu pemanfaatan hasil-hasil pemetaan partisipatif secara optimal. Sehingga saat itu belajar GIS merupakan sebuah kemewahan karena tidak semua lembaga memiliki kemampuan untuk itu.

Saat itu, saya lebih banyak melakukan kerja untuk membangun informasi dari kampung. Waktu itu ada yang namanya Pusat Informasi Kampung (PIK) dan salah satu data yang penting bagi kegiatan itu adalah peta partisipatif.

Di awal-awal pendirian Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif pelibatan perempuan sudah dilakukan, bahkan salah satu inisiator jaringan ini adalah perempuan yaitu Alex Flavell dari Kanada dan dia sudah melakukan pemetaan partisipatif di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat.

DTE: Bagaimana tanggapan masyarakat di kampung ketika diperkenalkan dengan pemetaan partisipatif?

KW: Penyelenggaraan pemetaan partisipatif biasanya bukan awal interaksi antara LSM pendamping dengan masyarakat. Biasanya pengorganisasian terjadi karena ada persoalan-persoalan di kampung terkait tanah, sumber daya alam dll. Sehingga pemetaan merupakan tahap berikutnya untuk menanggapi permasalahan yang ada di kampung. Pemetaan menjadi alat untuk memperjelas hak masyarakat atas tanah terkait dengan masalah tenure atau klaim dari pihak luar seperti perusahaan yang mengantongi perizinan untuk memanfaatkan tanah. Pemetaan juga bertujuan untuk menunjukkan hubungan masyarakat dengan tanah, sejarah keberadaan masyarakat di wilayah itu, menunjukkan di mana tempat-tempat bersejarah dsb. Proses pemetaan partisipatif ini semakin membuka pikiran masyarakat mengenai pengelolaan wilayah adat mereka.

DTE: Bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam proses pemetaan partisipasi masyarakat? Apakah perempuan dilibatkan dalam fasilitasi tim pemetaan? Apakah masyarakat melibatkan perempuan dalam proses pemetaan, untuk memastikan perspektif perempuan juga diperhatikan seperti halnya perspektif laki-laki?

KW: Seperti yang sudah dijelaskan bahwa pemetaan bukanlah proses tunggal dari pengorganisasian untuk menjawab permasalahan masyarakat di kampung, sehingga keterlibatan perempuan sangat tergantung pada proses sebelumnya. Kalau di wilayah itu perempuan yang memimpin maka mereka akan terlibat. Seperti di Molo-NTT, ditempatnya Mama Aleta, di sana perempuan terlibat sangat aktif dan strategis. Sejarahnya memang dimulai dari gerakan perempuan yang melakukan penolakan atas tambang[2]. Jadi ketika saya dan teman-teman JKPP diminta memfasilitasi pemetaan partisipatif di sana, maka Mama Aleta[3] dan perempuan di tiap kampung yang mereka organisir menjadi dominan dan strategis dalam mempersiapkan penyelenggaraan pemetaan.

Jadi, kalau dari awal perempuan dilibatkan dan peran perempun menguat dalam kegiatan sebelumnya maka otomatis peran perempuan akan menguat pada proses pemetaan partisipatif.  Tetapi dalam pemetaan partisipatif, kita selalu diingatkan bahwa yang namanya relasi, hubungan orang dengan tanah yang dimaksud oleh orang kampung adalah laki-laki dan perempuan dan mereka punya hubungan-hubungan yang khas.

Misalnya, pada suku Baduy dan Dayak, waktu mereka nugal atau memulai penanaman padi ladang, perempuan melempar benih padi dan laki-laki membuat lubang tempat benih. Saya melihat ini adalah peran-peran strategis perempuan. Pasti ada sejarah yang panjang kenapa perempuan menabur benih.

Hubungan ini harus diarusutamakan (mainstreaming) oleh teman-teman fasilitator, bahwa ketika melakukan pemetaan berarti kita sedang menggambarkan relasi tersebut: relasi antara komunitas dengan wilayah adatnya. Informasi tersebut harus melingkupi laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Jadi, ketika pengorganisasian tidak cukup kuat melibatkan perempuan maka dalam proses pemetaan partisipatif harus melibatkan perempuan, karena kita akan menggambarkan relasi-relasi tersebut. Proses pelibatan perempuan menjadi afirmatif.  Seperti yang baru dilakukan di Kalimantan Barat, saya memastikan berapa peserta yang terlibat yang mana dari tiap desa minimal harus ada satu perwakilan perempuan.

DTE: Jika perempuan terlibat, berdasarkan pengalaman anda apakah ini menambah informasi dalam pemetaan (atau bagaimana keterlibatan perempuan mengubah proses dan produk dari proses pemetaan?)

KW: Pengalaman saya, dalam proses pemetaan perempuan akan menunjukkan informasi-informasi yang terkait dengan peladangan seperti di wilayah suku Dayak. Dalam perencanaan penggunaan peta perempuan memikirkan bagaimana masa depan wilayah dari sudut pandang mereka. Ini terlihat dari beberapa kali diskusi kelompok terfokus yang saya lakukan, hasil diskusi yang diperoleh menjadi sangat khas. Dari diskusi keluar isu yang terkait dengan ketersediaan air bersih di rumah, fasilitas kesehatan yang harus menjadi lebih baik karena ada keluhan ketika mereka sakit atau memasuki persalinan ternyata fasilitas kesehatan terlalu jauh dari kampung. Hal-hal ini muncul dalam pembicaraan mengenai rencana masa depan wilayah mereka. Menurut saya, hal itu kemungkinan tidak akan keluar jika tidak ada diskusi khusus untuk perempuan, dan jika mereka berada dalam diskusi yang didominasi oleh laki-laki.

DTE: Bisakah Anda memberikan contoh di mana hal ini telah bekerja dengan baik dengan hasil yang baik?

KW: Di Molo, Nusa Tenggara Timur, proses pemetaan memang masih berjalan, namun terlihat peran perempuan, khususnya kelompok Mama Aleta, dalam merencanakan pengelolaan wilayah adatnya.

Di Pagu, Halmahera Utara, ada Ibu Ida (Ketua Adat komunitas Pagu) yang menceritakan mengenai persoalan wilayah adat Pagu.Dia juga yang meminta kepada kami  untuk melakukan pemetaan wilayah adat mereka, yang sudah lama dikuasai perusahaan tambang emas. Dalam pelaksanaan pemetaan, Ibu Ida juga ikut melakukan survey di lapangan selama berhari-hari di hutan untuk menunjukkan batas-batas wilayah adatnya.

DTE: Apa hambatan utama jika perempuan yang memimpin?

KW: Tidak ada, justru laki-laki sangat menghargai dan mendukung upaya perempuan terlibat atau memimpin dalam proses pemetaan partisipatif. Dalam hal tanah, di beberapa tempat di Indonesia justru perempuan yang punya hak.

Di komunitas adat Tanah Ai, di Flores, Nusa Tenggara Timur, dalam diskusi mengenai pembuatan peta, bagaimana peta itu akan digunakan dan bagaimana hak atas tanah, terungkap bahwa perempuan adalah pemegang hak termasuk dalam soal administrasi, seperti pembayaran pajak tanah, adalah atas nama perempuan. Ternyata dalam sistem adat mereka, perempuan adalah pemegang hak atas tanah. Di sana perempuan dengan sangat baik bisa menjelaskan tentang wilayah adat mereka.

Pada banyak wilayah lain di Indonesia dominasi laki-laki terlihat lebih besar dibandingkan perempuan. Apalagi sistem adat mereka memang tidak banyak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait tanah, sehingga sebagai fasilitator terkadang kami merasa perlu untuk melakukan “pemaksaan.” Pemaksaan terkadang penting dan perlu dilakukan, termasuk dengan melakukan diskusi kelompok terfokus perempuan.  Tetapi kita harus memiliki pemahaman mengenai sistem yang berlaku pada masyarakat tersebut, karena ada hal-hal yang memang tidak mungkin untuk dibicarakan bersama.

Strategi yang lain, jika dalam forum diskusi dominasi laki-laki terlihat kuat, maka perlu tim fasilitator perempuan yang datang ke rumah-rumah atau masuk ke dalam kelompok diskusi dimana perempuan terlibat. Di sana fasilitator perempuan akan menggali persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh perempuan.

Peta itu tidak hanya berisi informasi spasial tetapi juga informasi sosial. Nah, informasi sosial ini terkadang justru lebih banyak diperoleh dari perempuan. Sehingga sebagai fasilitator, kita harus bisa mendokumentasikan dan merangkum aspek-aspek yang terkait dengan relasi  perempuan dan tanah, air dan persoalan sosial dan kelembagaan masyarakat.

DTE: Dari pengalaman Anda bertahun-tahun melakukan pemetaan masyarakat, apakah Anda melihat adanya perubahan dalam dinamika gender dalam masyarakat yang bekerja dengan Anda?

KW: Saya melihat dinamika kesadaran gender dalam masyarakat terus menguat dilihat dari munculnya pimpinan-pimpinan gerakan perempuan di tingkat basis yang menyuarakan hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan alam. Saya memahami ini tidak lahir dari proses pengorganisasian dan dukungan yang berdiri sendiri, tapi dari proses interaksi masyarakat dengan berbagai pihak yang mengedepankan peran dan hak-hak perempuan dalam rentang waktu yang panjang.

Dalam hal penyelenggaran pemetaan, ketika penentuan waktu pertemuan terjadi kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan perempuan bisa terlibat tanpa meninggalkan pekerjaan mereka di kampung, misalnya dengan memperhatikan kalender musim. Perempuan memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alam, sehingga pasti ada masa ketika para perempuan memiliki intensitas kerja yang cukup tinggi dengan tanah dan sumberdaya alam, misalnya pada waktu panen atau pada awal pembukaan perladangan. Sehingga perlu fleksibiltas waktu ketika merancang pertemuan.

Kondisi di kampung, harus diakui, bahwa dominasi laki-laki masih terlalu kuat sehingga, pertama, perlu tindakan afirmatif untuk perempuan. Kedua, perlu pengorganisasian yang kuat dengan diskusi mendalam pada kelompok perempuan, bagaimana meyakinkan perempuan bahwa pertemuan tersebut penting untuk mereka hadiri. Ketiga, mencari waktu yang cocok untuk kaum perempuan.

DTE: Berbicara tentang pekerjaan JKPP di tingkat nasional (kerja untuk Kebijakan Satu Peta dengan instansi pemerintah dan mitra lainnya), seberapa jauh masalah keadilan gender diperhitungkan dalam forum itu? Dapatkah Anda memberikan rincian?

KW: One map[5] mulai dikerjakan sejak tahun 2013, meski sudah dibicarakan sejak 2012. One map  ini terkait dengan pengintegrasian semua informasi spasial yang ada di kementerian dan kelembagaan  pemerintah dalam satu tempat dengan menggunakan referensi yang sama. Nah, yang belum terakomodir adalah peta-peta orang kampung, peta partisipatif itu, sehingga peta-peta wilayah adat dengan segala informasi sosialnya tidak bisa dijadikan rujukan resmi oleh pemerintah.

Dari awal, one map bertujuan untuk mengintegrasikan peta-peta resmi milik pemerintah, tapi JKPP, AMAN dan beberapa lembaga lainnya ingin mendorong peta partisipatif sebagai sesuatu yang penting untuk diintegrasikan karena terkait dengan hak-hak atas tanah.

Saat ini BIG (Badan Informasi Geospasial) sudah membuat satu aplikasi, dimana masyarakat bisa berkontribusi  untuk memberikan informasi hasil peta masyarakat. Namun, masih ada perbedaan pendapat terkait dengan konsep pemetaan partisipatif versi BIG dengan yang dimaksud oleh JKPP.

Konsep BIG tentang pemetaan partisipatif adalah bahwa masyarakat yang punya data spasial, titik koordinat, nama tempat, nama sungai dsb, bisa memberi informasi tersebut ke BIG. Nanti data tersebut akan diperiksa ketepatannya, kesesuaian dengan standar dsb. Kalau sudah cocok maka informasi itu bisa memperkaya data rupabumi yang ada di BIG. Konsep ini berbeda jauh dengan konsep pemetaan partisipatif menurut JKPP, karena kita bicara tentang hak tenurial atau pemanfaatan oleh orang kampung yang disandingkan dengan peta-peta perizinan seperti HTI, perkebunan kelapa sawit, kehutanan atau peta tematik lainnya.

Kami sudah menyampaikan mengenai hal ini.  Maka dari itu JKPP diminta untuk membuat SOP (Standard Operasional Procedure) untuk pemetaan partisipatif.

Bagi JKPP, melakukan pemetaan partisipatif adalah menghadirkan secara utuh peta wilayah adat, batas-batas dan juga penggunaan lahannya karena ini adalah peta tematik bukan peta dasar. Jika peta partisipatif ini bisa diintegrasikan maka kita bisa membandingkannya dengan peta tematik lainnya seperti peta tambang, hutan dan perkebunan. Walaupun BIG tidak punya kewenangan untuk mengakui wilayah adat, tapi data spasial ini seharusnya bisa diakomodasi oleh BIG.

Selama ini peta-peta partisipatif tidak bisa dihadirkan atau dirujuk ketika pemerintah melakukan penguasaan dan pengelolaan atas ruang, tanah, wilayah adat, hutan dsb sehingga menimbulkan konflik dengan masyarakat. Kita berharap dengan one map  ini peta-peta wilayah adat atau peta-peta partisipatif ini bisa dilihat dan dirujuk ketika rencana-rencana perizinan atau pengukuhan status kawasan hutan akan dilakukan.

Jadi, terkait keadilan gender dengan one map, ini masih jauh dari perbincangan oleh lembaga pemerintah yang mengurus kebijakan ini.

DTE: Apa kisah sukses terbesar Anda dalam kerja pemetaan partisipatif?

KW: Saya tidak bisa mengklaim sebuah kesuksesan saya atau lembaga kami karena pemetaan partisipatif bukan upaya tunggal dari sebuah pembelaan hak-hak masyarakat. Sekitar tahun 2005-2006 pascatsunami di Aceh, bersama Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) kami memfasilitasi banyak gampong di Aceh untuk pemetaan dan membuat perencanaan gampong dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Di sana ada beberapa  gampong[6] dengan kepemimpinan keuchik (kepala gampong) menggunakan peta tersebut untuk merencanakan pembangunan gampong pascatsunami.  Mereka secara konsisten memanfaatkan peta itu, termasuk menentukan di mana rumah bisa dibangun, aliran sumber air ada di mana, dll. Semua itu disepakati bersama-sama. Di sana saya melihat penting untuk membangun kesepakatan kolektif, sehingga setiap perencanaan yang akan masuk ke gampong tersebut harus merujuk pada peta perencanaan yang sudah disepakati bersama. Hubungan antara masyarakat gampong itu dengan YRBI dan JKPP pascapemetaan terus terjadi dalam memantau perkembangan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dari cerita ini saya mau menekankan bahwa kalau pemetaan dibuat tanpa adanya kesepakatan kolektif dan bagaimana kesepakatan kolektif itu lalu dipegang oleh semua anggota masyarakat,tentu peta partisipatif tidak akan berguna.

Di Ujung Kulon, propinsi Banten, Jawa barat, ada konflik antara masyarakat dengan pihak pengurus Taman Nasional Ujung Kulon. Ada satu kampung kecil dalam kawasan taman nasional yang punya sejarah bagaimana masyarakat kampung itu berada di situ. Mereka sudah lama melakukan negosiasi agar masyarakat bisa tetap tinggal di sana. Kami membantu menyiapkan peta kampung dan menunjukkan upaya perlindungan masyarakat atas wilayah taman nasional tersebut serta membantu proses negosiasinya dengan pemerintah. Pada saat itu terlihat masyarakat tidak siap ketika berhadapan dengan aparat berseragam (polisi, tentara dan pihak taman nasional). Lembaga-lembaga yang terlibat membantu masyarakat saat itu menjadi pendamping masyarakat dan melakukan pembelaan dalam forum negosiasi tersebut.

Nah, pelajaran yang ingin saya sampaikan adalah pasca pemetaan penting untuk tetap mengawal masyarakat. Karena kalau tidak dikawal, ketika masyarakat membicarakan peta kepada pihak lain tidak secara otomatis masyarakat siap.

Jadi pada awal proses pemetaan pengorganisasianlah yang harus kuat untuk memastikan keterwakilan perempuan ada dalam proses pemetaan, sedangkan pasca pemetaan penting untuk mengawal kesiapan masyarakat (laki-laki dan perempuan) untuk menggunakan peta terutama konsekuensi hukum atau kebijakan yang menggunakan peta sebagai alat untuk menunjukkan hak-hak masyarakat.

 


[1] http://www.brwa.or.id/

[2] Untuk latar belakang kisah ini lihat DTE 74, Agustus 2007, kotak ‘Women lead mining resistance’ dalam artikel ‘Indigenous Women's workshop at AMAN Congress’, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/indigenous-womens-workshop-aman-congress

[4] Untuk informasi latar belakang Kebijakan Satu Peta Indonesia, lihat DTE 93-94, Desember 2012. http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kebijakan-satu-peta-one-map-policy-di-indonesia

[5] Tingkat terendah dalam kepemerintahan adat di Aceh.