Masyarakat menagih janji industri minyak sawit tentang pelestarian

Down to Earth Nr 68  Februari 2006

Setelah setahun bernegosiasi dan mendapat tekanan dari kelompok masyarakat sipil Indonesia dan Internasional, Kelompok Mejabundar untuk Minyak Sawit Lestari (RSPO) menerima Prinsip-prinsip dan Kriteria yang disusun oleh kelompok kerjanya dalam pertemuan mereka di Singapura pada 22-23 November 2005. Keputusan ini berpotensi meningkatkan praktik sosial dan lingkungan pada industri minyak sawit dan bahkan mengarah pada hukum baru tentang tanggung jawab perusahaan.

Ratusan peserta yang berasal dari berbagai latar belakang dan negara ambil bagian dalam pertemuan Kelompok Mejabundar untuk Minyak Sawit Lestari, termasuk perusahaan perkebunan, pabrik dan pengecer produk minyak sawit, para investor, konsultan dan kelompok masyarakat sipil. Dua hari pertemuan ini diisi dengan presentasi PowerPoint, acara pendukung, sesi tanya jawab dan kelompok-kelompok diskusi tentang berbagai aspek minyak sawit dan pelestarian, serta sejumlah besar kesempatan untuk melakukan pendekatan dan tukar-menukar informasi saat jamuan makan atau diseputar stan pameran, dan diakhiri dalam Majelis Umum RSPO - badan pengambil keputusan yang sebenarnya.


Apa yang telah dicapai?

Capaian utama dari pertemuan Mejabundar ketiga (RT3) adalah bahwa para anggota RSPO telah menerima 8 Prinsip dan 39 Kriteria untuk Produksi Minyak Sawit Lestari sebagai satu paket utuh. Forum yang didominasi kepentingan industri ini tidak menghasilkan suara bulat: dari 68 anggota RSPO yang ada, 55 menerima paket secara keseluruhan; satu abstain (PT Agro Indomas, perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah yang menerima bantuan dari CDC dan Rabobank di tahun 1999); dan sisanya tidak hadir.

Pesan yang disampaikan RT3 adalah bahwa melakukan pelestarian bisa menguntungkan bila dilakukan dengan cara yang benar. Inilah yang ingin didengar oleh para anggota RSPO, khususnya produsen minyak sawit. Menjadi anggota RSPO adalah hal maksimal yang bisa dilakukan oleh kebanyakan perusahaan-perusahaan besar untuk mengimplementasikan praktik yang baik. Hingga saat ini hanya sedikit dari sekitar 600 perusahaan minyak sawit Indonesia yang sudah menjadi anggota RSPO. Pengalaman dengan sertifikasi kayu FSC menunjukkan bahwa peraturan di tingkat regional dan nasional sulit diterapkan pada perkebunan di Indonesia.

Disamping itu, keanggotaan yang bersifat sukarela ini hanya dapat dilaksanakan lewat kekuatan pasar dari Eropa dimana disana terdapat kesadaran konsumen yang lebih tinggi mengenai pelestarian. Sebaliknya, India dan Cina adalah pasar besar yang permintaannya terhadap produsen minyak sawit Indonesia dan Malaysia jauh lebih kecil.


Pertanyaan tak terjawab

Ornop dan kelompok-kelompok masyarakat menerima berita tersebut dengan perasaan bercampur antara lega dan curiga. Mereka mengharapkan penentangan lebih terbuka dari asosiasi industri Indonesia dan Malaysia. Yang juga mengherankan adalah melihat bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak bisa dipercaya (termasuk LonSum) bergegas bergabung secara sukareka untuk seluruh pengujian lapangan yang penting selama dua tahun tentang Prinsip & Kriteria.

Apakah perusahaan minyak sawit hanya setuju karena mereka ingin sembunyi dibalik lemahnya hukum nasional? Atau karena mereka mengharapkan hasil dari studi percontohan akan memperlunak standar yang ada dalam waktu dua tahun? Apakah RSPO membangun klub eksklusif lebih cenderung untuk mengontrol relung pasar, daripada mendorong seluruh perusahaan untuk meningkatkan standar mereka? Apakah persetujuan RSPO hanya sekedar taktik pemasaran yang dilakukan dengan biaya minimum oleh produsen minyak sawit? Akankah konsumen lebih memilih produk yang murah dibandingkan produk yang lestari? Pertanyaan tersebut di atas serta sederet pertanyaan lainnya tetap mengemuka saat ini.

Apa yang tidak ada dari pertanyaan tersebut adalah bahwa Prinsip & Kriteria RSPO mewakili alat yang potensial bermanfaat bagi kelompok masyarakat sipil untuk mengevaluasi praktik lingkungan dan sosial perusahaan dan mendesak mereka untuk bertanggung jawab. Isu pokok bagi komunitas lokal di Indonesia adalah apakah langkah RSPO akan memberikan manfaat pada praktiknya. Pemerintah pusat biasanya mengabaikan keprihatinan masyarakat lokal, tapi memperhatikan investasi asing. Pada saat yang sama, kepala daerah (Bupati) yang wilayahnya terdapat perkebunan kelapa sawit lebih memberi perhatian pada pendapatan asli daerah daripada kebijakan nasional.


Tantangan bagi masyarakat

Prioritas bagi anggota jaringan Ornop minyak sawit, Sawit Watch, ornop Indonesia lain, adalah menerima Prinsip & Kriteria untuk masyarakat lokal dan menjelaskan apa maksudnya, sehingga orang-orang yang terkena dampak dari pengembangan minyak sawit dapat diangkat pada kondisi yang lebih baik. Ornop juga punya peran penting untuk memastikan bahwa semua yang terlibat dalam pengambilan keputusan - pejabat pemerintah lokal, pemerintah kabupaten, DPRD dan Menteri beserta stafnya – punya pemahaman lebih baik tentang RSPO dan standarnya. Sekarang ini, OMS Indonesia hanya punya kapasitas terbatas untuk memantau kegiatan perusahaan minyak sawit di lapangan. Padahal ada kebutuhan untuk memantau dampak sesungguhnya dari eksploitasi minyak sawit selama dua tahun masa percobaan, tidak hanya pada proyek percontohan RSPO saja.

Tantangan utama bagi Ornop internasional adalah mendorong standar RSPO untuk dibuat agar sesuai dengan standar internasional. Hal ini akan memberi tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk mengubah perundang-undangan nasional. Apalagi Ornop internasional ingin meningkatkan kesadaran publik di negara-negara konsumen tentang pentingnya minyak sawit lestari. Ini mencakup investor, pedagang, supermarket dan pabrik-pabrik lokal.

Bukan suatu kebetulan bahwa segera setelah pertemuan Singapura, ASDA (supermarket terbesar ke-2 di Inggris dan bagian dari jaringan raksasa retail AS Walmart) mengajukan diri untuk bergabung dalam RSPO. Friends of the Earth tengah melobi supermarket-supermarket di Inggris untuk memastikan bahwa produk yang mereka jual hanya mengandung minyak sawit yang berasal dari perkebunan yang tidak menyebabkan kerusakan hutan atau pelanggaran HAM.

Membangun jaringan antara kelompok masyarakat sipil, khususnya mereka yang berkecimpung dengan isu-isu minyak sawit di negara-negara Selatan, adalah prioritas strategis lainnya. Beberapa kelompok, termasuk yang berasal dari PNG, telah memboikot proses RSPO. Mereka melihatnya sebagai kendaraan untuk implementasi tanaman monokultur skala besar dengan segala permasalahan sosial dan lingkungan yang menyertainya. Dalam pandangan mereka, 'minyak sawit lestari' mengandung kontradiksi dalam istilahnya sendiri. Ornop dan organisasi komunitas indonesia juga mengambil posisi yang tegas terhadap perkebunan kelapa sawit, khususnya di Kalimantan Barat (lihat DTE 66).

 

Prinsip-prinsip RSPO
  1. Komitmen untuk transparansi
  2. Tunduk pada hukum dan peraturan yang berlaku
  3. Komitmen pada kelangsungan ekonomi dan pendanaan jangka panjang
  4. Penggunaan praktik terbaik yang sesuai oleh penanam dan pengolah
  5. Tanggung jawab terhadap lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati
  6. Kesadaran tanggung jawab terhadap pekerja dan individu serta komunitas yang terkena dampak oleh penanam dan pengolah
  7. Penanaman baru yang bertanggung jawab
  8. Komitmen untuk perbaikan terus-menerus pada area kunci aktivitas. Setiap Prinsip punya sejumlah Kriteria yang terlampir dengan panduan implementasinya (lihat boks pada artikel 'From Singapore to West Kalimantan', untuk dua buah contoh).

 

Langkah berikutnya Bagi kelompok yang melihat RSPO sebagai peluang, masih banyak yang mesti dilakukan untuk memastikan bahwa ada verifikasi ketat atas kepatuhan dan kontrol terhadap klaim kelestariannya; prosedur lacak CPO (c-o-c CPO) yang aman sehingga minyak sawit dapat dilacak dari produsen sampai ke tangan konsumen, dan proses yang adekuat untuk mengikutsertakan petani kecil.

Criteria Working Group (CWG) atau Kelompok Kerja yang membahas Kriteria RSPO bertemu di Kuala Lumpur, 21-22 Februari, untuk mendiskusikan rincian panduan yang disiapkan untuk implementasi tiap kriteria. Hal ini penting untuk tes lapangan Prinsip & Kriteria selama dua tahun masa implementasi percontohan dan untuk proses interpretasi nasional. Isu utamanya adalah posisi petani kecil, hak-hak adat dan penggunaan indikator yang spesifik – misalnya, mengukur perbaikan kinerja yang berkesinambungan (Kriteria 8).

Verification Working Group atau Kelompok Kerja mengenai Verifikasi akan melihat metode untuk mengidentifikasi prosedur minyak sawit dan pasokannya menurut tuntutan standar RSPO. Sawit Watch dan WWF ikut terlibat dalam verifikasi pada tingkat nasional. Beberapa aspek dari Prinsip & Kriteria belumlah jelas. Sebagai contoh, dapatkah perusahaan menyatakan minyak sawitnya sebagai lestari jika telah memenuhi seluruh kriteria lingkungan tapi tidak memenuhi satupun kriteria sosial? Apakah tingkat kepatuhan 10% terhadap seluruh Prinsip itu cukup baik atau tidak? Selanjutnya, RSPO telah memilih sistem pelacakan yang memungkinkan jumlah tertentu minyak sawit yang tidak memenuhi standar RSPO untuk dicampur dengan minyak sawit lestari. Industri berdalih ini merupakan pendekatan yang realistis; sementara kritik mengkhawatirkan ini akan mendorong penggunaan minyak sawit tak lestari.

Dewan RSPO juga menerima dibentuknya Gugus Tugas untuk Petani kecil. Ketika perkebunan kelapa sawit skala besar hampir sama di Indonesia, Malaysia atau PNG, petani kelapa sawit skala kecil sangat beragam. Di Indonesia, sekitar 30% produksi dihasilkan oleh mereka yang disebut petani kecil. Istilah tersebut mencakup petani yang telah memilih menanam kelapa sawit di tanah mereka sendiri; transmigran yang dibawa ke perkebunan sebagai tenaga kerja murah; masyarakat adat yang tanahnya telah diambil alih; petani yang berhutang kepada koperasi; dan banyak lagi lainnya. Sementara Prinsip & Kriteria cocok untuk perusahaan besar, namun tidak seluruhnya sesuai untuk para petani kecil, sehingga kepatuhan terhadapnya menjadi persoalan. Terlebih lagi, sampai sekarang, tidak ada badan independen yang mewakili kepentingan petani kecil di Indonesia.


Capaian lain

Pertemuan itu memberi peluang bagi DTE dan kelompok lain untuk mengangkat isu perkebunan di proyek perbatasan Kalimantan (lihat DTE 66 dan bagian lain di atas). Bagaimanapun, proposal untuk menentang skema yang punya potensi destruktif ini – dengan pengukuran teknis bahwa tidak ada kelapa sawit yang boleh ditanam di lereng yang curam diatas ketinggian tertentu – telah ditolak dengan alasan yang dapat diperdebatkan yaitu bahwa tidak ada dasar hukum kuat untuk melarangnya. 'Hebat'nya, RSPO diam saja atas perusahaan minyak sawit yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan tahunan dan polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran untuk pembersihan lahan. Rekayasa genetika kelapa sawit tidak termasuk dalam agenda pula, karena anggota RSPO percaya hal itu masih jauh didepan kelak.

Tak diragukan lagi, pencapaian signifikan yang paling tinggi adalah para wakil komunitas telah melobi perusahaan dan menyadarkan mereka bahwa kedudukan mereka setara di area publik. Para pakar investasi dan perusahaan manufaktur dihadapkan dengan perspektif yang sangat berbeda dan pertanyaan mendalam yang langsung ditujukan kepada mereka oleh masyarakat adat yang mata kehidupannya terancam atau telah dihancurkan oleh perkebunan kelapa sawit.

Prinsip & Kriteria yang disetujui dapat dilihat di situs web RSPO di www.sustainable-palmoil.org/.

Diracun dan Dibungkam

Yang hilang dari kriteria RSPO sejauh ini adalah sejumlah bahan agrokimia yang dilarang (lihat DTE 66). Aktifis anti pestisida dari Malaysia gagal dalam upaya mereka mengubah posisi RSPO lewat pertemuan Singapura. Sebuah Ornop yang berbasis di Swiss, the Berne Declaration (anggota dari Pesticide Action Network), dan the IUF (International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers' Associations) memberikan pernyataan pers pra konferensi. Pernyataan tersebut mengritik kriteria RSPO yang terlalu lemah dan meminta agar Paraquat dilarang digunakan dalam produksi minyak sawit 'lestari' apapun. Syngenta, pabrik Paraquat, merupakan anggota RSPO yang bergabung dan menjadi sponsor jamuan makan malam resmi pada pertemuan RT3. WWF menanggapi, mewakili RSPO, bahwa “rincian semacam itu akan menjadi bagian dari daftar panduan” untuk dikembangkan kemudian. Lebih jauh WWF menolak tuduhan bahwa produsen pestisida mempengaruhi kriteria atas permintaan mereka, menjelaskan bahwa kriteria itu disusun oleh kelompok kerja dimana tidak terdapat perwakilan dari industri agrokimia. Pernyataan pers The Berne Declaration & IUF (18/Nov/05) di www.evb.ch/en/p25010155.html.