- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Lebih banyak hutan akan dikorbankan untuk pulp
Down to Earth No.80-81, Juni 2009
Departemen Kehutanan Indonesia telah memperpanjang tenggat waktu 2009 bagi perusahaan pulp (bubuk kertas) untuk mengambil sumber pasokan kayu mereka hanya dari hutan tanaman industri. Kini perusahaan dapat melanjutkan pengusahaan pulp dari hutan alam hingga 2014.
Keputusan Departemen Kehutanan untuk memperpanjang tenggat waktu dari 2009 ke 2014 diumumkan ke publik pada bulan Januari. Dalam rancangan baru ini, perusahaan bisa melanjutkan untuk menggunakan kayu yang ditebang dari hutan-hutan alam untuk menutupi defisit pasokan dari hutan tanaman industri. Menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan bahwa industri pulp mengalami gangguan selama dua tahun terakhir ini dan perlu lebih banyak waktu untuk melakukan rehabilitasi hutan.1
Peraturan sebelumnya (No.101/MenhutII/2004) menuntut perusahaan untuk memiliki izin Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk menyelesaikan percepatan program hingga tahun 2009, artinya tidak ada lagi hutan alam yang dapat dialihfungsikan setelah itu.2
Kabar tentang akan dimundurkannya tenggat waktu ini untuk lima tahun mendapat hujan kritikan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia yang menyatakan bahwa langkah ini akan memperparah krisis deforestasi Indonesia. Memperpanjang tenggat waktu seperti ini, kata Wirendro Sumargo, direktur Forest Watch Indonesia, sama halnya dengan "mempercepat kerusakan hutan" dan "membuktikan kegagalan upaya pemerintah mendorong pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)"3. "Mungkin Menteri lupa", ujar Berry Norqan dari Friends of the Earth Indonesia, "bahwa 72 persen dari hutan alam Indonesia telah musnah."4
Sebelumnya FWI telah mendesak pemerintah untuk menghentikan penggunaan lebih lanjut kayu dari hutan alam, berdasarkan studi terhadap dua perusahaan pulp dan kertas raksasa yang beroperasi di Provinsi Riau, Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP, dari kelompok APRIL) dan Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP, dari APP/konglomerat Sinar Mas).5 Organisasi nonpemerintah itu telah meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan rasionalisasi produksi mereka sesuai dengan apa yang sesungguhnya dapat diproduksi oleh hutan tanaman mereka. RAPP dan IKPP membukukan 62% dari kapasitas produksi terpasang pulp Indonesia.
Berdasarkan pada jumlah pohon hutan tanaman yang telah ditanam oleh RAPP, IKPP dan mitra-mitra mereka, FWI mengalkulasi bahwa perusahaan-perusahaan itu akan mengandalkan pasokan kayu dari hutan alam hingga 2014 (tenggat waktu resmi kini), dan memperkirakan bahwa akibatnya 0.57 juta hektar hutan alam akan terancam.
RAPP dan IKPP masing-masing memiliki kapasitas produksi pulp tahunan 2 juta ton dan masing-masing membutuhkan setidaknya 9,5 juta ton kayu per tahun. Kedua perusahaan memiliki sejarah panjang yang bermasalah, yang meliputi pelanggaran HAM serta sengketa pertanahan dan penebangan ilegal (lihat di kotak).
APP dan RAPP terlibat dalam penyerangan terhadap warga desaInsiden terpisah di bulan Februari yang melibatkan Sinar Mas memicu kampanye internasional untuk membebaskan warga desa Jambi yang ditahan. Mereka ditahan karena mengklaim kembali tanah yang tadinya sudah diambil secara tidak sah oleh perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. (Lihat press release) Pada tahun 2006, beberapa ornop memprotes kekerasan yang dilakukan oleh petugas keamanan RAPP terhadap warga desa dan harta benda mereka di Desa Gading Kabupaten Kampar - lihat www.cappa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=1 dan DTE 69 untuk latar belakang selengkapnya.
|
Pembangunan tak berkelanjutan
Industri pulp dan kertas Indonesia telah membinasakan hutan-hutan dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, menghancurkan sumber daya dan penghidupan masyarakat adat seiring dengan gundulnya hutan.
Pemerintah telah mengalokasikan 10,26 juta hektar area hutan produksi negara untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), namun hanya kurang dari sepertiganya yang telah ditanami hingga akhir 2007.6 Dengan pola yang masih tetap sama hingga kini, pabrik woodchip (serpih kayu)dan pulp pabrik kertas telah dibangun sebelum tanaman, jika memang ditanam, cukup matang untuk memasok kayu untuk pabrik-pabrik. Sebelum hutan itu siap, perusahaan-perusahaan tetap melakukan operasi mereka dengan kayu yang berasal dari hutan-hutan alam yang dinamakan 'mixed tropical hardwood' (MTH) atau kayu keras tropis campuran oleh kalangan industri. Kayu-kayu tersebut berasal dari konsesi-konsesi HTI mereka (meskipun hal ini seharusnya dari area-area hutan terdegradasi), atau dibeli dari sumber-sumber luar yang legal ataupun ilegal.
Seperti yang dinyatakan Indonesia Climate Forest Alliance (Aliansi Iklim dan Hutan Indonesia - sebuah kelompok studi internasional yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan Indonesia), "Penegakan hukum yang lemah membuat beberapa pabrik pulp memperluas kapasitas pemrosesan mereka tanpa menciptakan basis penanaman yang memadai. Hal ini menyebabkan adanya konsumsi tidak lestari atas pasokan yang tersedia dari kayu keras tropis campuran di dalam jarak komersial pabrik-pabrik."7
Menurut Christopher Barr, peneliti di Center for International Forestry Research (CIFOR), hingga akhir 2007 sebanyak 10,4 juta hektar izin HTI yang dikeluarkan atau ditunda, 6,0 juta hektar dialokasikan untuk proyek-proyek pulp, meliputi:
- Papua - 1,6 juta ha.
- Sumatra Selatan - 1,0 juta ha.
- Kalimantan Timur - 793.000 ha.
- Riau 653.000 ha.
- Kalimantan Barat 485.000 ha.8
Penelitian Barr mendapati bahwa lebih dari 210 juta m3 MTH dari hutan-hutan alam telah digunakan oleh produsen pulp sejak tahun 1990, kebanyakan berasal dari lahan yang dibersihkan untuk tanaman akasia atau perkebunan kelapa sawit. Sejak akhir 1980-an, industri pulp Indonesia bertanggung jawab atas pembersihan setidaknya 1,7 juta hektar hutan alam. Riau adalah provinsi yang paling menderita kerusakan paling parah - provinsi itu kehilangan paling tidak 65% luas hutannya dalam 25 tahun terakhir.9
Penentangan sertifikasi HTIPada bulan Februari tahun ini Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) mengeluarkan sertifikat Manajemen Hutan Tanaman Lestari kepada dua perusahaan pulp yang beroperasi di Sumatra: PT RAPP di Riau dan PT WKS di Jambi. Akan tetapi FWI meminta LEI untuk berhenti mengeluarkan sertifikat lagi sebab mereka tidak memperhitungkan perusakan hutan alam sebelum hutan tanaman industri mereka didirikan. "Mengalihfungsikan hutan-hutan alam, apalagi hutan yang berada di lahan gambut, menjadikannya tanaman kayu untuk pulp jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen hutan lestari" kata Wirendro dari FWI.10 Lihat pula DTE 69, untuk latar belakang lebih lengkap mengenai sertifikasi LEI untuk HTI RAPP di Riau.
|
Rencana ekspansi
Pemerintah berencana memperluas lagi sektor pulp sebagai bagian dari upaya revitalisasi sektor kehutanan. Targetnya adalah membangun sembilan juta hektar konsesi HTI tambahan hingga tahun 2016 untuk menyokong industri kertas dan pulp di negara itu serta industri berbasis kayu lainnya. Dari Sembilan juta hektar ini, 3,6 juta ha (40%) akan berupa perkebunan skala besar dan 5,4 juta ha (60%) akan berupa program 'Hutan Tanaman Rakyat' (HTR), yang akan dimulai tahun 2008.11
Rencana ekspansi akan dipusatkan di Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Barat, Selatan, Tengah, serta Papua, tempat beberapa proyek sedang dibangun, direncanakan atau paling tidak pada tahap eksplorasi di distrik Merauke oleh Medco Indonesia, Modern Group, dan perusahaan AS, International Paper.12
Meskipun didominasi oleh konglomerat bisnis yang berkedudukan di Indonesia, industri pulp dan kertas negara telah dibangun dengan bantuan para konsultan asing, didanaipara investor asing, dipasok dengan peralatan dari perusahaan luar negeri dan sering kali didukung oleh agen-agen penjaminan ekspor pemerintah yang didanai oleh masyarakat, termasuk dari Jepang, AS dan beberapa negara Eropa.13
Para penyandang dana asing terus saja menggelontorkan dananya, walaupun adanya krisis kredit ekonomi global: pada bulan Maret, situs web kantor Menko Ekuin melaporkan 24 perusahaan Indonesia dan asing akan melakukan investasi sebesar Rp35,6 triliun (US$3 miliar) tahun ini untuk membangun 1,3 juta hektar Hutan Tanaman Industri (HTI). PT Taiyoung Engreen dan PT Inni Joa, keduanya dari Korea Selatan, serta PT Selaras Inti Semesta dari Indonesia telah mengantongi izin untuk masing-masing proyek di Kalimantan Tengah (59,981 ha), Kalimantan Selatan (28,721) dan Papua (259,475 ha). Sedangkan 21 perusahaan lainnya pada prinsipnya telah mendapat persetujuan.14
Proyek biomassa kayu KoreaKorea Selatan dan Indonesia telah menandatangani perjanjian untuk menggunakan hutan-hutan di Indonesia guna menghasilkan kayu penghasil energi biomassa. Nota Kesepakatan ditandatangani oleh Dinas Perhutanan Korea dan Menteri Kehutanan Indonesia di bulan Maret selama kunjungan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak ke Indonesia. Menurut Dinas Perhutanan Korea perjanjian itu mencakup pembangunan proyek-proyek perkebunan dan kayu biomassa di bawah Protokol Kyoto tentang Mekanisme Pembangunan yang Bersih (CDM).15 Sebuah laporan media menyatakan bahwa 200.000 hektar hutan di Kalimantan akan ditebang untuk menghasilkan serpih kayu untuk dijadikan bahan bakar.16 Namun, rincian perjanjian menandakan bahwa proyek ini lebih mungkin akan dilakukan di Papua: pihak-pihak Korea itu disebut oleh the Jakarta Post sebagai Korea Midland Power, Orient F.A. Machinery, dan Samsung C&T Corporation, sementara pihak Indonesia adalah PT Medco Papua Industri Lestari. Proyek itu dinamai 'proyek tenaga biomassa yang ramah lingkungan di Merauke '.17 Konglomerat Medco Indonesia memang sudah terlibat dalam mempromosikan megaproyek pangan di Papua, di samping perkebunan pulpwood (lihat DTE 78). Surat kabar itu melaporkan bahwa ini adalah salah satu dari 8 kesepakatan senilai lebih dari 6 miliar dolar AS. Tahun lalu Korea Selatan merupakan investor terbesar ke-6 di Indonesia dengan 182 proyek senilai US$ 301,1 juta.18 Skema tersebut merupakan bagian dari strategi ekonomi 'hijau' 50t won (US$40bn) Korea Selatan, yang mencakup pembiayaan sebesar $1,7bn untuk manajemen hutan, termasuk penanaman pohon dan fasilitas baru untuk menggunakan kayu sebagai energi biomassa.19 Ada kemungkinan bahwa perjanjian semacam itu akan berarti tekanan lebih besar terhadap hutan dan penghuni hutan. Sebagaimana dalam kasus agrofuel, yang menyulap lebih banyak lahan menjadi perkebunan dan meratakan lanskap hutan yang kaya yang dikelola oleh masyarakat adat, semua ini sama sekali tidak 'hijau'.
|
Gambut dan emisi karbon
Menurut IFCA, industri perkebunan pulpwood Indonesia telah menyumbang pada "kehilangan signifikan CO2", dari hutan-hutan alam - dan khususnya lahan-lahan gambut - yang telah digunduli untuk membuat jalan bagi perkebunan kayu.
Christopher Barr memperkirakan bahwa kehilangan CO2 di atas tanah dari penggunaan MTH dan perkebunan mencapai 424-799 juta ton selama 1990-2006. Pengeringan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan pulp diperkirakan bisa menghasilkan tambahan 108 juta ton per tahun. Menurut hasil risetnya, 1,2 juta hektar konsesi HTI aktif berada di lahan gambut.20
Perluasan perkebunan kelapa sawit, di samping pulpwood memberi tekanan lebih pada lahan-lahan gambut Indonesia yang kaya karbon. Sekitar separuh dari 22 juta hektar lahan gambut Indonesia telah dikeringkan untuk penebangan, sepertiganya dibersihkan untuk pertanian dan hampir spertiga lahan gambut yang tersisa telah diklasifikasikan sebagai hutan konversi. Izin telah dikeluarkan untuk mengonversi sekitar 4 juta hektar untuk pulpwood dan kelapa sawit. Jika hutan-hutan tersebut digunduli dan dikeringkan, emisi tahunan CO2 akan meningkat bermiliar-miliar ton.21
Menurut Greenpeace, total emisi gas rumah kaca dari lahan gambut Indonesia adalah sekitar 1,8 milyar ton per tahun atau 4% dari emisi global.22
Dalam laporannya tentang penurunan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia (REDDI) yang disiapkan di tahun 2007, IFCA merekomendasikan dipindahkannya perkebunan pulpwood dari lahan gambut, dan menuntut perusahaan-perusahaan pulp dan perkebunan untuk melaporkan aktivitas mereka yang telah memengaruhi jejak karbon mereka, seperti pemanfaatan kayu, kegiatan yang merusak lahan gambut, konsumsi energi dan emisi. Pemerintah diharapkan dapat meminta perusahaan untuk melakukan 'rencana aksi lestari' yang meliputi isu-isu sosial dan lingkungan.
IFCA juga merekomendasikan penguatan komitmen pemerintah untuk melakukan penghapusan secara bertahap MTH untuk pulp hingga tahun 2009, dengan memberlakukan "peraturan mengikat" guna mencegah pabrik-pabrik pulp mendapatkan akses ke MTH setelah tahun ini.23 Dalam tindakan yang mencerminkan kecenderungan pemerintah untuk mempertahankan industri daripada hutan, pemerintah justru telah memilih untuk membiarkan mereka melakukan pembabatan hutan-hutan alam hingga setidaknya tahun 2014.
Laporan baru: Perkebunan, Kemiskinan dan KekuasaanLaporan meliputi rincian sejarah kasus APP di Provinsi Riau, Indonesia - besarnya hutang, penebangan ilegal, perusakan mata pencaharian masyarakat, dan keanekaragaman hayati serta lingkungan termasuk lahan-lahan gambut kaya karbon.
|
Catatan:
1 Inilah.com [tanpa tanggal] via website CAPPA cappa.or.id
2 www.dephut.go.id/INFORMASI/skep/skmenhut/101_04.htm
3 Siaran pers FWI 6&13/Jan/09.
4 Inilah.com, seperti di atas
5 Lihat fwi.or.id/publikasi/PULP_INDUSTRIES_EXPANSION.pdf
6 Lihat sebagai contoh angka yang dikutip oleh peneliti Togu Manurung, research.yale.edu/gisf/tfd/pdfs/Indonesia/Abstracts/Togu%20Manurung_English.pdf Direktur HTI Bejo Santoso menyatakan sebelumnya tahun ini bahwa 4,2 juta hektar dari target 5 juta telah ditanami di akhir tahun 2009 (Inilah.com, as above) namun angka ini banyak dipandang sebagai terlalu berlebihan.
7 IFCA, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI), Metholodolgy and Strategies, Summary for Policy Makers [no date]. IFCA website: redd.pbwiki.com/FrontPage.
8 Indonesia's Pulp & Paper Industry: Overview of Risks and Opportunities, C. Barr, Center for International Forestry Research (CIFOR), Roundtable on Indonesia's Pulp and Paper Industry New York April 10, 2008. at www.environmentalpaper.org/documents/Chris%20Barr%20-%20CIFOR.pdf
9 Seperti pada nomor 8, di atas.
10 Siaran pers FWI 9/Feb/09
11 Lihat Barr, seperti di atas, dan IFCA seperti pada nomor 7, di atas. Lihat pula DTE 74, Agustus 2007 untuk latar belakang lebih lengkap tentang skema HTR.
12 Lihat DTE 78, serta www.pulpmillwatch.org/countries/indonesia/ untuk latar belakang lebih lengkap tentang industri pulp di Indonesia dan rencana perluasannya.
13 Lihat laporan baru Chris Lang (rinciannya pada kotak, di atas), dan sebagai contoh, DTE's report tentang pabrik woodchip UFS Kalimantan Selatan.
14 Trade and Investment News, 23/Mar/09 www.ekon.go.id/content/view/385/1/.
15 Korea Forest Service 18/Mar/09
16 www.biofuelshub.com/component/content/article/1-news/987-indonesia-south-korea-collaborates-on-wood-biomass-energy
17 www.thejakartapost.com/news/2009/03/10/ri-s-korea-ink-6b-deal-energy-sector.html, The Jakarta Post 10/Mar/09.
18 www.thejakartapost.com/news/2009/03/10/ri-s-korea-ink-6b-deal-energy-sector.html, The Jakarta Post 10/Mar/09
19 The Guardian 21/Apr/09
20 Barr, seperti di nomor 8, di atas.
21 Report to the Rainforest Foundation Norway on Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Indonesia, Patrick Anderson dan Torry Kuswardono, Jakarta, September 2008. www.regnskog.no/html/180.htm
22 Greenpeace, How the palm oil industry is cooking the climate, November 2007, www.greenpeace.org. Untuk latar belakang tentang lahan gambut dan perubahan iklim lihat DTE 75
23 IFCA, REDDI, seperti di atas, halaman 37.