Hentikan Penebangan Sekarang Juga!

Down to Earth No 56  Februari 2003

Seiring dengan semakin parahnya krisis kehutanan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menyerukan agar para donor internasional turut mendukung moratorium industri-industri penebangan kayu di seluruh Indonesia.

Selain itu, WALHI melancarkan serangan terhadap politisi-politisi yang korup berikut para kroninya yang bertanggungjawab atas semakin buruknya penggundulan hutan di Indonesia.

Menurut WALHI, proses penggundulan hutan setiap tahunnya mencapai sekitar 2,5 juta hektar. WALHI memperkirakan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, semua hutan hujan di dataran rendah akan rusak apabila tidak segera diambil langkah-langkah perubahan radikal. Kayu tebangan tersebut dikonsumsi oleh industri-industri kehutanan yang rakus –seperti pabrik penebangan kayu, pabrik pulp dan kayu lapis serta manufaktur produk kayu. WALHI mengatakan bahwa pada tahun 2002, kebutuhan kayu dari industri penebangan kayu yang ada di Indonesia diperkirakan mencapai angka sekitar 63 juta meter kubik. Tetapi, ijin yang diberikan pemerintah untuk penebangan kayu hanya mencapai 12 juta meter kubik. Jurang ini semakin melebar setiap tahunnya seiring meluasnya hutan-hutan yang terus dirusak. Artinya, kekurangan sebanyak 51 juta meter kubik didapat melalui sumber-sumber lain, yang sebagian besar bersifat ilegal. Departemen Kehutanan memperkirakan bahwa kesenjangan tersebut akan semakin besar pada tahun ini mengingat angka penebangan resmi adalah 6,8 juta meter kubik, sementara kebutuhan nasional mencapai sekitar 71,6 juta meter kubik. Tuntutan kapasitas yang berlebihan inilah yang menjadi kunci pendorong merebaknya penebangan-penebangan illegal di Indonesia.

Sebagai upaya mengatasi desakan kebutuhan itu, WALHI meminta CGI –kelompok kreditor untuk Indonesia yang diketuai Bank Dunia—untuk menyediakan dana bantuan untuk mengurangi kelebihan kapasitas tersebut. WALHI juga menyerukan suatu moratorium tingkat nasional terhadap industri-industri penebangan kayu, yang diikuti pula dengan penerapan delapan agenda perubahan yang telah disepakati dalam pertemuan tahunan CGI di Jakarta pada tahun 2000.

Pertemuan CGI di Bali pada bulan Januari 2003 menyetujui pemberian pinjaman baru sebesar 2 milyar dolar untuk memompa ekonomi Indonesia yang dibelit hutang. Sejak tahun 1999, ketika CGI pertama kali membahas masalah perubahan-perubahan kehutanan, Indonesia telah mendapat tekanan untuk mengurangi kapasitas industri-industri perkayuan. Tapi hasilnya kecil saja. Secara perlahan, tekanan utama CGI yang terus meningkat beralih untuk mengatasi persoalan penebangan liar. Sebagian hal itu dilakukan karena agenda perubahan dianggap sebagai langkah yang paling dapat dilaksanakan.

Moratorium penebangan kayu sekarang ini telah disepakati oleh gubernur Aceh dan Jawa Barat, dan, dua mentri Indonesia telah menyerukan moratorium penebangan kayu di seluruh Jawa. Menteri Lingkungan Nabiel Makarim juga menyerukan pelarangan penebangan kayu se-Jawa dan Bali pada akhir Januari. (Jakarta Post, 31/Januari/03)

Pada bulan Mei tahun lalu, Presiden Megawati memberikan tanda kepedulian terhadap proses moratorium nasional, namun sampai sekarang belum ada langkah kongkrit yang terlaksana. Menurut WALHI, "kekuatan-kekuatan besar" didalam departemen kehutanan berupaya menolak perubahan tersebut dan telah mencoba menghentikan penerapan moratoria penebangan kayu di tingkat propinsi dan tingkat lokal.

 

Ekspor Illegal

Persoalannya menjadi semakin buruk dengan pengapalan sejumlah besar kayu tebangan yang diselundupkan ke Malaysia, Cina, Jepang dan negara-negara lainnya, meskipun ada pelarangan ekspor pada tahun 2001. Kayu-kayu selundupan itu memberikan pasokan bagi industri-industri pengolahan kayu di negara-negara lain. Menurut menteri kehutanan Prakosa, lebih dari 10 juta meter kubik kayu diselundupkan ke luar negeri pada tahun 2001 lalu. Seperti yang dikatakan oleh pejabat tinggi departemen kehutanan Indonesia, kebutuhan kayu di Cina setiap tahunnya mencapai sekitar 40 juta meter kubik. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan tersebut didapat dari Indonesia. Cina memang terkenal sebagai importir sejumlah besar kayu merbau (Intsia bijuga) dari Papua Barat. (Lihat DTE 55).

Kayu tebangan illegal yang diekspor ke Cina harganya menjadi lebih murah (Cina telah melakukan moratorium penebangan kayu dan melindungi hutan mereka sendiri). Ironisnya, perusahaan-perusahaan pengolahan kayu Indonesia mengimpor kembali kayu-kayu tersebut dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan membeli secara legal kayu-kayu tebangan di Indonesia. Empat dari lima konglomerat kayu Indonesia dicurigai oleh departemen kehutanan sebagai pihak yang berdiri di belakang perdagangan dengan Cina, termasuk beberapa konglomerat yang tidak disebutkan namanya. Berbagai LSM mencurigai bahwa MoU antara Cina dan Indonesia untuk menghentikan ekspor illegal yang ditandatangani pada bulan Desember 2002, tidak akan berpengaruh terhadap aktivitas-aktivitas ekspor ilegal yang telah lama berjalan. Kesepakatan yang sama telah ditandatangani dengan Malaysia pada awal tahun ini juga dianggap tidak akan memberikan pengaruh besar terhadap perdagangan illegal tersebut. (Jakarta Post, 24/Desember/02).

 

Korupsi

Bukanlah hal yang baru apabila pejabat-pejabat pemerintah dan pihak keamanan terlibat dalam jaringan korupsi yang memberikan daya hidup bagi penebangan-penebangan liar dan perdagangan ekspor illegal. Pada bulan Januari, keterlibatan pihak militer dalam penebangan liar diakui secara terbuka oleh Panglima Angkatan Bersenjata, Endriartono Sutarto. Ia mengeluarkan ancaman keras terhadap anggota-anggota TNI yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Endriartono mengatakan, "Jika ada anggota TNI yang melindungi para penyelundup kayu, saya tidak akan ragu untuk menembak mereka." Pada saat yang sama, ia juga melontarkan peringatan kepada "para pengusaha yang melibatkan TNI dalam penyelundupan kayu." Selain itu, Endriartono telah menginstruksikan angkatan laut untuk menenggelamkan setiap kapal yang membawa kayu selundupan setelah kayu-kayu itu disita. (Jakarta Post, 16&24 Januari/03).

Perusahaan-perusahaan yang dikontrol berbagai yayasan milik militer memiliki berbagai konsesi penebangan kayu di sekitar perbatasan Papua dan Kalimantan. Sementara itu, para pensiunan militer yang tinggal di sana dikatakan terlibat erat dengan operasi-operasi penebangan liar. (Sawit Watch pers com).

Pada bulan Januari, pejabat departemen kehutanan memperkirakan bahwa penebangan ilegal akan meningkat selama tahun 2003 berkaitan dengan aktivitas partai-partai politik untuk mencari dana kampanye pemilu 2004. Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, I Made Subadia, mengatakan dihadapan DPR bahwa penebangan liar akan meningkat secara dramatis sebelum pelaksanaan pemilu, seiring dengan tekanan para politisi kepada penebang liar untuk lebih banyak menyediakan dana. Pernyataan tersebut dilaporkan telah membangkitkan amarah dikalangan anggota dewan. (Jakarta Post, 30/Januari/2003).

Kaitan antara penebangan liar dan politisi penting di Indonesia telah diungkapkan sebelumnya khususnya oleh LSM lingkungan EIA dan Telapak Indonesia. Kelompok itu mengungkapkan peranan perusahaan Tanjung Lingga Group milik Abdul Rasyid (seorang anggota MPR) dalam proses penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan terbaru EIA/TELAPAK mendokumentasikan proses korupsi yang menghalangi penerapan larangan ekspor kayu dan melepaskan Abdul Rasyid dari tuntutan hukum. Laporan itu menyerukan kepada presiden Megawati untuk memberikan dukungan penuh kepada mentri kehutanan untuk mengatasi penebangan liar dan mencabut kekebalan hukum Rasyid sebagai anggota MPR. Laporan itu juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kasus-kasus kolusi polisi dan angkatan laut dalam penebangan liar dan menuntut agar aktivitas-aktivitas militer menjadi lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (Lihat EIA/Telapak, Above the Law, Januari 2003. www.eia-international.org).

 

Keputusan-Keputusan Baru

Pemerintah telah mengumumkan kebijakan-kebijakan baru pada saat pertemuan CGI di Bali, termasuk di dalamnya:

  • Kesepakatan yang ditandatangani oleh menteri kehutanan Prakosa dengan Panglima TNI, Endriartono Sutarto, untuk bekerja sama dalam memberantas penebangan liar. Operasi gabungan antara departemen kehutanan, angkatan darat dan angkatan laut akan menggeledah pabrik penebangan kayu yang dicurigai mengolah kayu-kayu tebangan liar disekitar wilayah perbatasan Kalimantan dan Papua yang terkenal dengan aktivitas illegalnya;
  • Suatu keputusan pemerintah akan segera dikeluarkan untuk meningkatkan koordinasi diantara badan-badan pemerintah dalam mengatasi penebangan illegal, yang juga berupaya melakukan langkah jangka panjang pencegahan penebangan illegal.
  • Keputusan bersama mentri kehutanan, mentri transportasi dan mentri perdagangan dan industri dikeluarkan pada bulan Januari 2003 tentang pengawasan transpor kayu di berbagai pelabuhan;
  • Keputusan oleh mentri perdagangan dan industri tentang produk-produk ekspor hutan (Jakarta Post, 2/Januari/03)
Meskipun demikian, pihak LSM masih meragukan kebijakan baru itu, dan mengatakan bahwa semuanya menjadi tidak berarti apabila tidak dilakukan pula restrukturisasi industri perkayuan.

 

Konglomerat Kayu Membeli Perusahaan-Perusahaan Terbelit Hutang

Bos-bos kayu yang dililit hutang saat perusahaannya mengalami kerugian keuangan selama akhir tahun 1990-an, tetap bisa melanjutkan aktivitas perusakan hutan di Indonesia. Hal ini terjadi apabila rencana penghapusan hutang senilai jutaan dolar terlaksana. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang dibentuk seiring dengan kejatuhan finansial tahun 1997 dan mengambil alih beban perusahaan-perusahan yang dililit hutang, membuat kemajuan besar dengan menghidupkan kembali kemampuan keuangan perusahaan-perusahaan yang terlilit hutang tersebut. Menurut David Kaimowitsz dari Center for International Forsetry Research dan Mubariq Ahmad dari WWF Indonesia, BPPNberupaya mengurangi kerugian pemerintah dalam menanggung beban hutang dan menanggulangi beban hutang sebesar 15-20% dengan menjual perusahaan-perusahaan itu kepada bank-bank komersial. Bank-bank itu mendapatkan insentif besar untuk membayar hutang karena mereka menilai pengusaha-pengusaha yang berhutang itu bersedia untuk membayar kembali dan mengurangi hutangnnya. Selain itu, bank-bank itu juga mendapatkan peluang untuk menguasai perusahaan-perusahaan mereka. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan itu dapat berjalan kembali dan meminjam lebih banyak dana. Skenario semacam ini jelas akan menciptakan kelebihan kapasitas kembali dan memperburuk krisis hutan.

Data BPPNmenunjukkan bahwa terdapat 111 perusahaan yang aktivitasnya berkait dengan hutan masih berhutang sebesar 3 trilyun rupiah (US $ 3,8 milyar) kepada badan tersebut. Pada tahun 2000, hutang dari perusahaan-perusahaan milik empat konglomerat hutan terkemuka saja mencapai nilai sebesar US $ 1.224 milyar (Untuk informasi lebih lanjut tentang persoalan hutang dan industri perkebunan, lihat Forests, People and Rights, hal. 32).

Ornop-ornop Indonesia yang tergabung dalam Forest Watch Indonesia, The Indonesian Working Group on Forest Finance, Walhi dan INFID secara bersama menyerukan kepada pemerintah untuk menutup perusahaan-perusahaan hutan yang tidak efisien yang berada dalam pengawasanBPPN. Dalam langkah yang masih terkait dengan persoalan di atas, organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti INFID, Indonesian Corruption Watch dan Transparency International Indonesia telah menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana keputusan pemerintah untuk melepaskan dan membebaskan (release and discharge) pihak penghutang swasta yang melanggar undnag-undang perbankan dan hutangnya diambil alih oleh BPPN (Pernyataan Bersama 30/Desember/02. Diedarkan oleh INFID, Jakarta Post 27/Januari/03).

 

Audit

Rencana BPPN kemungkinan juga bertabrakan dengan upaya-upaya departemen kehutanan untuk menutup operasi-operasi penebangan hutan yang tak berkelanjutan yang telah gagal dalam proses audit. Pada tahun lalu, dua belas auditor dipekerjakan untuk memberikan penilaian apakah 412 pemegang konsesi memenuhi persyaratan lingkungan dalam kontrak-kontrak mereka. Sejauh mana upaya ini akan berhasil masih belum jelas dan tetap meragukan. Pada bulan November tahun lalu departemen kehutanan telah membentuk badan pengawas yang mengawasi pekerjaan para auditor sebagai tanggapan terhadap laporan yang menyebutkan bahwa sedikitnya tiga dari para auditor tersebut ternyata memiliki kaitan dengan pemegang usaha konsesi, termasuk konglomerat Bob Hasan. Sekarang ini Bob Hasan mendekam di penjara selama enam tahun atas tuduhan korupsi. Meskipun demikian, tak satupun para audtior itu dipecat (Deutsche Presse-Agentur18/Nov/02).

Pada bulan Desember, menteri kehutanan Prakosa mengumumkan hasil sementara dari audit yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidik Independen yang menunjukkan bahwa lebih dari separoh 27 perusahaan yang diaudit sejauh ini tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk menjalankan operasi yang berkelanjutan.

Audit itu berlangsung sejak bulan Oktober tahun lalu. Selanjutnya sekitar 52 perusahaan diaudit sejak 31 Desember 2002 sampai dengan 15 Maret 2003. Rencana selanjutnya diperkirakan pada akhir tahun ini akan selesai proses audit terhadap seikitar 296 perusahaan. (Jakarta Post, 16/Des/02).

Sejumlah perusahaan yang konsesi hutan mereka telah habis masa waktunya, telah diminta untuk menunda operasi mereka sampai departemen kehutanan selesai melakukan audit mereka.

 

Otonomi Daerah sebagai Kambing Hitam

Pada saat berbagai upaya dilakukan untuk mendepak pemain-pemain lama perkayuan keluar dari hutan, ijin-ijin usaha kayu yang dikeluarkan di tingkat lokal tetap berada diluar kontrol Jakarta. Di tingkat ini, bupati terus mengeluarkan ijin-ijin penebangan kayu kepada pengusaha lokal, meskipun terdapat larangan dari pemerintah pusat. Departemen kehutanan menunjukkan data bahwa sekitar 300 HPH meliputi 2 juta hektar telah dikeluarkan dalam waktu dua tahun belakangan ini. Diyakini bahwa masih banyak yang belum tercantum dalam data tersebut. Sebagai tanggapan terhadap kritik CGI, Mentri Kehutanan Prakosa mengatakan akan mengunjungi kabupaten-kabupaten yang membandel di Kalimantan, Sumatra dan Papua untuk membujuk mereka menghentikan pengeluaran ijin penebangan.

Para pejabat di kabupaten-kabupaten tersebut telah mengeluarkan, secara pukul rata, 150 ijin setiap tahun, yang masing-masing meliputi areal seluas 100.000 hektar. Mereka juga menetapkan target untuk meningkatkan pendapatan lokal. Sebagai contoh, di Sanggau, Kalimantan Barat, ditargetkan hasil sekitar 400.000 meter kubik setiap tahunnya. Target ini seharusnya dinilai berdasarkan target nasional yang menetapkan 6,8 juta meter kubik setiap tahunnya. Belum lagi dengan rencana pemerintah untuk membentuk kabupaten-kabupaten baru.

Peraturan otonomi khusus di Papua Barat memungkinkan masyarakat untuk memohon ijin kepada gubernur untuk menebang di kawasan adat mereka hingga seluas 10.000 hektar. Terdapat berbagai laporan yang menyebutkan bahwa sekarang ini para pengusaha mendorong pimpinan masyarakat adat untuk memohon ijin-ijin tersebut , untuk kemudian mereka ambil alih. (Jakarta Post, 27 & 31/Januari/03)

 

Pengawasan Ketat Terhadap HTI

Lima belas perusahaan perhutanan yang mendapat hak penebangan total seluas 989.079 hektar untuk mengembangkan Hutan Tanaman Industri (HTI) –sebagian besar adalah pemasok kayu pulp untuk pabrik pulp mereka sendiri—telah dicabut ijinnya oleh departemen kehutanan.* Mentri Kehutanan membatalkan ijin mereka pada bulan November 2002 karena mereka gagal mengembangkan perkebunan-perkebunan di wilayah yang diberikan kepada mereka (hanya sekitar 188.950 hektar perkebunan yang benar-benar ditanami) dan mereka dianggap tidak mampu secara finansial untuk melanjutkan proyek mereka. Direktur Jendral Pengawasan Produksi Hutan, Suharyanto, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan itu harus membayar kembali pinjaman Dana Reboisasi dalam waktu 30 hari. Apabila tidak, maka pemerintah akan mengambil tindakan hukum terhadap mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk juga PT Menara Hutan Buana, milik adik tiri mantan presiden Suharto, Probosutedjo, dimana proyeknya di Kalimantan Tengah dikaitkan dengan rencana pembentukan pabrik pulp di propinsi tersebut (lihat artikel tentang pabrik pulp Kalimantan Selatan, hal. 3) dan PT Kiani Hutani Lestari milik cukong kayu yang sekarang mendekam di penjara, Bob Hasan.

Tiga belas dari perusahaan tersebut dilaporkan telah mengajukan gugatan hukum di pengadilan perdata Jakarta, sebagai upaya mengubah keputusan tersebut. Tiga belas perusahaan lainnya, dengan wilayah hak usaha meliputi 900.000 hektar, mengharapkan agar ijin mereka dikeluarkan dalam waktu dekat. (Jakarta Post, 12/Nov/02; 16 & 17/Desember/02).

* Laporan terpisah menyebutkan empatbelas perusahaan yang memiliki hutang sejumlah 76 juta dolar dari dana reboisasi pemerintah.