BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua

BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua

Proyek LNG (gas cair alam cair) BP Tangguh di Teluk Bintuni adalah proyek terkini dalam sejarah proyek eksploitasi sumber daya alam di belahan barat pulau New Guinea. Bisa dikatakan bahwa proyek ini dianggap sangat penting karena membuka wilayah itu terhadap sebuah gelombang baru eksploitasi. Seperti halnya keuntungan besar yang diraup Freeport-Rio Tinto dari pertambangan emas dan tembaga telah menarik perusahaan tambang lainnya datang ke Papua, Tangguh juga menarik perusahaan-perusahaan minyak dan gas lainnya ke Papua. Kebutuhan energi dunia meningkatkan tekanan terhadap masyarakat dan lingkungan di Papua. Skala proyek Tangguh, berikut penghasilan yang diperoleh dari penjualan LNG ke pasar asing, semakin memperkuat tekanan ini.

Sejak tahun 1997, ketika perusahaan Amerika ARCO mengumumkan ditemukannya cadangan gas yang besar di Teluk Bintuni[1], kecepatan ekspolitasi sumber daya alam di Papua telah meningkat tajam. Meskipun ada krisis keuangan Asia, jatuhnya Soeharto dan meningkatnya masalah politik di Papua, semakin banyak perusahaan Indonesia dan asing yang mencari keuntungan dari sumber daya ini. Selain mineral, minyak dan gas, hutan Papua merupakan target utama ekploitasi. Pembalak mengambil kayu yang berharga secara komersial dari banyak wilayah hutan dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dan pulpwood (kayu untuk bubur kayu) mengikuti jejak mereka. Sekarang ini ada rencana ambisius untuk mengembangkan tanaman pangan dan energi di Merauke, di bagian selatan Papua. Kekhawatiran global mengenai perubahan iklim juga telah mendorong adanya fokus baru-baru ini, yaitu mengenai keuntungan yang mungkin diperoleh dari pelestarian stok karbon di hutan-hutan Papua yang masih ada.

Masuknya masyarakat dari daerah lain di Indonesia menyediakan tenaga kerja bagi industri-industri ini dan mendorong adanya perubahan sosial dan ekonomi di Papua. Sementara itu ketegangan politik terus berlanjut dengan gagalnya Otonomi Khusus yang diberikan pemerintah pusat hampir satu dekade yang lalu untuk mengatasi tuntutan untuk merdeka. Otonomi Khusus gagal mengangkat sebagian besar masyarakat Papua dari kemiskinan atau memberi mereka suara dalam pengambilan keputusan mengenai pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam mereka yang kaya di masa mendatang.

Ini adalah konteks bagi proyek LNG Tangguh BP, yang terletak di distrik Teluk Bintuni dalam provinsi Papua Barat.[2]Lokasi utama proyek itu terletak di pesisir selatan Teluk Berau, sebelah selatan semenanjung 'Kepala Burung' Papua Barat. Batas-batas distrik itu ditentukan pada tahun 2006 dan terdiri dari 11 kecamatan dan 97 desa. Luas daerah itu meliputi 18.658,00 km2, dengan penduduk sebanyak 48.079 orang.[3]


Warga daerah itu adalah masyarakat adat Papua dan masyarakat dari luar Papua yang tinggal di sana karena program transmigrasi dari pemerintah[4]juga penghuni lain. Masyarakat adat Papua di Teluk itu terdiri dari tujuh kelompok: Irarutu, Wamesa, Sebiar, Sumuri, Kuri, Soub, dan Moskona. Mata pencaharian penduduk asli di daerah ini terutama adalah berburu, meramu dan mencari ikan.[5]

Kondisi geologi di Teluk itu cukup kaya akan mineral, minyak dan gas. Menurut BP, konsesi Tangguh memiliki hak atas 14,4 triliun kaki kubik cadangan gas yang telah terbukti, dengan cadangan yang mungkin ada sebesar 24-25 triliun kaki kubik.[6]

Proyek Tangguh LNG memiliki tiga blok konsensi: Wiriagar, yang masa kontraknya berlaku hinggal 2023, dan Berau serta Muturi, yang masa kontraknya berlaku masing-masing hingga 2017 dan 2022.  Untuk memproses gas, BP Tangguh telah membangun pabrik LNG di atas lokasi seluas 3.500 hektare di Distrik Babo.[7]  Investasi modal seluruhnya untuk proyek ini, yang diharapkan akan berjalan selama paling tidak 20 tahun adalah sebesar sekitar US$5 milyar[8].

Untuk pembangunan proyek Tangguh sebuah desa direlokasi secara total – Desa Tanah Merah  - dan tanah yang dimiliki oleh tiga suku dari masyarakat adat Sumuri[9]yang merupakan pemilik tanah adat di daerah: Sowai, Wayuri dan Simuna[10]dibebaskan demi memberi ruang bagi pembangunan pabrik pemrosesan LNG. BP telah membangun desa-desa pemukiman baru bagi masyarakat yang tergusur karena pabrik LNG, yang diberi nama Tanah Merah Baru. Pembangunan kilang dimulai pada bulan Februari 2003 dan desa yang baru itu secara resmi ‘dibuka’ pada 17 Juli 2004.[11].

Juga terdapat sembilan desa yang telah ditentukan sebagai ‘Desa yang terkena dampak langsung proyek’[12],, yang merupakan sasaran program ‘aksi komunitas’ dan dana ‘pembangunan’ dari BP.

Untuk dua tahun pertama, BP memberi warga desa pemukiman itu penerangan listrik, air bersih, fasilitas kesehatan, dan makanan. Sekarang terdapat laporan bahwa sebagian warga, terutama nelayan dan petani, merasa bahwa mereka telah terbuang. Mereka tak lagi memiliki tanah adat untuk bertani, sementara perempuan desa yang biasa menangkap udang di pantai sekarang dilarang melakukannya.

Fasilitas umum, seperti air bersih yang dulu melimpah, sekarang sering kali tak ada. Listrik hanya tersedia di malam hari. Puskesmas yang didirikan BP lebih sering tutup daripada buka, karena dokter dan paramedis biasanya ada di kota Bintuni. Program sosial belum terlaksana seperti yang mula-mula dijanjikan BP. Tetapi laporan menyebutkan bahwa yang paling membuat marah masyarakat adalah kesempatan kerja bagi warga Papua setempat yang sangat terbatas. Posisi yang paling tinggi dapat diharapkan oleh anak muda setempat, misalnya, adalah menjadi penjaga keamanan proyek.[13]


Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada tekanan bagi BP untuk memastikan bahwa perusahaan bertindak sesuai dengan kepastian yang telah diberikan kepada masyarakat setempat di sekitar proyek Tangguh. Informasi yang dikumpulkan DTE mengenai komitmen BP atas standar lingkungan hidup dan hak asasi manusia  di Tangguh, bertujuan untuk turut berpartisipasi dalam usaha yang lebih luas untuk memperkuat kapasitas masyarakat itu sendiri dalam menagih kewajiban BP.

Pertanyaan kritis

Sejak 1997, DTE dan beberapa kelompok lain telah berulang kali menunjukkan rasa keprihatinan atas perspektif keberlanjutan hidup proyek Tangguh BP dan persoalan hak asasi manusia, sosial dan lingkungan hidup yang diakibatkannya.

Pada tahun 2001 DTE menyoroti tuntutan masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi, kekhawatiran mengenai dampak proyek itu di masa depan atas hutan bakau di Teluk Bintuni, dan dampak pengaturan keamanan proyek yang melibatkan operasi polisi yang brutal terhadap warga setempat di distrik Wasior yang berada di dekatnya.[14]Pada tahun berikutnya kami melaporkan bagaimana warga setempat menduduki basecamp BP selama sehari penuh, sementara LSM menyerukan moratorium atas proyek tersebut.[15]

Tahun 2005 kami menyoroti surat untuk BP dari suku Simuna, Sowai dan Wayuri dan bergabung bersama 300 LSM dan individu menandatangani surat untuk chief executive BP waktu itu, John Browne, menyerukan dihentikannya proyek itu sampai kekhawatiran yang meluas mengenai hak asasi manusia dan konteks politik yang lebih luas ditangani.[16]Kami juga menerjemahkan laporan oleh aktivis LSM setempat mengenai implikasi HAM dari Tangguh.[17]

Pada tahun 2006 DTE mengungkapkan keberatan atas pinjaman dari ADB untuk Tangguh dan menyoroti kritik pimpinan Gereja Baptis Papua terhadap proyek itu.[18]Pada tahun 2008 kami melaporkan kekhawatiran mengenai peningkatan keberadaan militer di daerah  sekitar Tangguh[19]dan menerjemahkan laporan kunjungan ke lokasi oleh Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (JATAM).[20]Pada tahun berikutnya kami menarik perhatian dunia terhadap dampak perubahan iklim proyek tersebut.[21]

DTE secara teratur juga menghadiri pertemuan tahunan dengan majelis penasehat yang dibentuk oleh BP (TIAP) untuk menyampaikan kekhawatiran itu secara langsung ke perusahaan. Pada tahun 2009, misalnya, kami menemani wakil LSM dari Papua dalam pertemuan TIAP, dan juga mengemukakan persoalan mengenai ganti rugi yang lebih luas bagi masyarakat di pesisir utara Teluk Bintuni.[22]  Pada bulan Maret 2011, dalam konsultasi dengan mitra dalam bekerja di Papua Barat, kami mengemukakan persoalan ganti rugi itu lagi, juga kekhawatiran yang meningkat mengenai dampak BP Tangguh terhadap masyarakat lokal.

Meskipun ada seruan untuk menghentikan proyek itu, proyek Tangguh terus berjalan dan kini sudah beroperasi secara penuh. Gas diambil dari bawah Teluk Bintuni dan diproses menjadi LNG untuk dikirimkan ke pasar-pasar di China, Korea, AS, Mexico dll. Apakah dan bagaimana tepatnya masyarakat setempat akan mendapatkan manfaat di jangka panjang dari keberadaan BP Tangguh ini masih belum jelas. Sementara itu DTE yakin bahwa masyarakat lokal akan memiliki dasar yang lebih kuat untuk mendesakkan akuntabilitas sosial dan lingkungan hidup BP jika mereka memiliki akses terhadap informasi yang lebih lengkap mengenai komitmen yang telah dibuat BP untuk mereka.

[1]           Lihat DTE 32.  Juga:  http://www.hydrocarbons-technology.com/projects/tangguh/

[2]           Ini dibuat tahun 2003 ketika Papua dibagi menjadi dua dalam suatu kebijaksanaan kontroversial yang didorong oleh pemerintah pusat.

[3]           Badan Statistik Papua Barat, http://irjabar.bps.go.id/?cos=4&pilih=pb

[4]           Lihat Laporan Khusus DTE mengenai Transmigrasi sebagai latar belakang, di www.downtoearth-indonesia.org/old-site/ctrans.htm

[5]           Situs web pemerintah Distrik Bintuni, http://www.bintunikab.go.id/konten.php?id=5

[6]           Lihat terbitan berkala DTE Edisi 65, Mei 2005. http://dte.gn.apc.org/65TUP.HTM

[7]           Lihat GALI-GALI Volume 2, Nomor I, Mei 2009. Kontrak Super Murah, Pelajaran Dari LNG Tangguh  http://www.jatam.org/component/option,com_docman/task,doc_view/gid,27/Itemid,72/

[9]           Ringkasan Amdal Proyek LNGTangguh di Indonesia, Juni 2005. Lihat hal.21-22, http://www.adb.org/Documents/Environment/Ino/ino-tangguh-lng-project.pdf

[10]          Lihat pertanyaan oleh Suku Soway, Wayuri & Simuna, Terbitan berkala DTE 65. http://dte.gn.apc.org/65IND.HTM

[13]          Untuk mengetahui salah satu kenyataan program masyarakat BP harap lihat: http://jagatalit.com/author/bungarthur/page/2/

[15]          Lihat DTE 53-54 Agustus 2002, www.downtoearth-indonesia.org/old-site/53WP.htm

[16]          Lihat DTE 65, Mei 2005 at www.downtoearth-indonesia.org/old-site/65IND.HTM

[17]         Bustar Maitar, Proyek LNG Tangguh dan Isu-Isu Hak Asasi Manusia, Teluk Bintuni, Papua Barat, Mei 2005, www.downtoearth-indonesia.org/old-site/ctgper05.htm

[18]         Lihat DTE 68, Februari 2006, www.downtoearth-indonesia.org/old-site/68adb.htm

[19]          Lihat DTE 76-77, Mei 2008, www.downtoearth-indonesia.org/old-site/76lwp.htm

[20]         Hendrik Siregar Yang Menang dan Yang Kalah: BP di Teluk  Bintun, Papua, Laporan untuk JATAM (Jaringan Advokasi Tambang Indonesia), 25 Juni 2008, www.downtoearth-indonesia.org/old-site/Ctan08.htm

[21]          Lihat DTE 80-81, Juni 2009, www.downtoearth-indonesia.org/old-site//80hpt.htm

[22]          Lihat DTE 82, September 2009, http://dte.gn.apc.org/82fng.htm