Switch to English
Down to Earth Nr. 68 Februari 2006

ADB akan mendanai Proyek Gas Tangguh Milik BP

Meskipun protes mengalir dari kalangan LSM, Asian Development Bank (ADB) telah menyetujui pemberian pinjaman untuk proyek gas raksasa milik BP di Tangguh, Papua Barat.

Pada bulan Desember 2005, ADB telah memutuskan memberikan dana sebesar US$350 juta untuk proyek ekstrasi gas dan pabrik pengolahan gas alam cair senilai US$5,5 milyar. Pengelolaannya sekarang dikerjakan oleh perusahaan multinasional Anglo-Amerika BP, di Teluk Bintuni, di bagian barat Papua Barat.

Proyek ini sesungguhnya telah menuai kritik karena karena dampak yang bersifat potensial dan aktual terhadap masyarakat lokal dan lingkungan sekitar yang menjadi sandaran kehidupan masyarakat.Sejarah kekerasan di Papua Barat, yang dilakukan aparat keamanan terhadap penduduk setempat, dan berkait dengan ekstraksi sumber daya alam telah lama menjadi perhatian banyak pihak (Untuk informasi lebih lanjut, lihat DTE 65).

Surat DTE kepada anggota Dewan ADB menyatakan bahwa pembangunan proyek itu dilakukan dalam kondisi masyarakat Papua tidak memiliki kesempatan memenuhi hak untuk membuat persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan(PADIATaPa atau FPIC) karena alasan keamanan. Selain itu terjadi pengingkaran hak-hak adat pendudut setempat ketika pengambilalihan lahan untuk pelaksanaan proyek itu dilakukan. Surat itu juga menggarisbawahi:

Surat itu juga menyatakan bahwa proyek itu lebih melayani kebutuhan konsumen gas internasional, dibandingkan kebutuhan terhadap energi dari orang-orang Papua. Selain itu, proyek itu dijalankan dengan prioritas yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah Indonesia, dibandingkan prioritas pembangunan Papua itu sendiri. Dalam kaitan inilah kemudian surat itu menyatakan bahwa hal itu akan 'mendorong lahirnya serangkaian pertanyaan terhadap ADB tentang persoalan apakah atau kapan proyek itu dapat digunakan untuk menjamin keberlanjutan, energi yang dapat diperbaharui dan memberikan keuntungan bagi penduduk lokal, serta turut menyumbang bagi pengurangan kemiskinan.'(Surat  DTE kepada anggota Dewan ADB, 13/Dec/05)

Sebuah surat bersama dari kelompok LSM Indonesia, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), JATAM (Jaringan Anti Tambang) dan Koalisi Anti Utang (KAU); menunjukkan kelemahan penilaian dampak lingkungan proyek tersebut, serta kekecewaan atas ganti rugi yang rendah terhadap lahan yang diambil.

Kelompok LSM di Indonesia juga melancarkan protes atas tidak adanya informasi yang tersedia dalam bahasa Indonesia, yang merupakan aspek penting bagi tingkat partisipasi masyarakat terhadap proses pembuatan keputusan yang dilakukan ADB. Kalangan LSM dengan demikian menyerukan kepada ADB untuk menunda pembiayaan bagi proyek Tangguh sampai adanya informasi yang lengkap bagi masyarakat Indonesia, termasuk informasi dalam bahasa Indonesia (Surat WALHI, JATAM, KAU kepada ADB, Desember 2005)

Sebuah LSM lingkungan di Amerika Serikat, Environmental Defense, menulis kepada ADB sebagai bentuk dukungan terhadap keprihatinan kalangan LSM Indonesia. Dengan mengacu pada laporan yang disampaikan pimpinan ADB pada bulan November 2005, yang merekomendasikan kepada anggota dewan untuk menyetujui pemberian pinjaman, kalangan LSM telah menyatakan keprihatinan mereka tentang semakin terbatasnya akses rakyat terhadap sumber daya alam dengan pembangunan instalasi proyek gas itu. Ditambah lagi dengan polusi dari pabrik gas alam cair. Environmental Defense juga merasa prihatin bahwa ADB tidak mampu menempatkan prioritas dari resiko-resiko lingkungan sosial dalam laporan rekomendasi mereka. Sebaliknya, perhatian mereka lebih pada resiko ekonomi dalam pelaksanaan proyek itu.

Meskipun terdapat lontaran kritik dan keprihatinan, laporan presiden ADB kepada Dewan Penyantun lembaga tersebut menyatakan bahwa pinjaman itu dapat dibenarkan. Salah satunya adalah pinjaman itu dianggap dapat menyumbangkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (dan dengan demikian mengurangi kemiskinan); memberikan jaminan keyakinan sektor swasta untuk berusaha; dan memberikan jaminan kepada pemerintah, investor swasta, pembeli gas alam cair dan penyandang dana bahwa proyek itu memenuhi standar internasional dan memiliki serangkaian 'best-practices' (praktik-praktik yang baik), 'yang mana kebutuhan sosial dan lingkungan yang kritis dapat dipenuhi.'

Dalam penulisan profil proyek versi ADB, Tangguh dianggap sejalan dengan kebijakan energi ADB yang mendukung pengembangan bahan bakar 'bersih' melalui partisipasi sektor swasta dan menyediakan LNG 'yang ramah lingkungan' untuk mendukung penggunaan bahan bakar yang bersih di negara dan daerah lainnya, khususnya Cina dan Korea. Dalam dokumen penilaian lingkungan yang dibuat Tangguh, diringkas dan diperbaharui oleh ADB, proyek itu akan menghasilkan 4,67 juta ton karbon dioksida setiap tahunnya yang menghasilkan 7,6 juta metrik ton gas alam cair setiap tahun. CO2 yang dihasilkan dari pembakaran gas alam cair akan menghasilkan pula 20,9 juta metrik ton per tahun untuk jumlah energi yang sama. Masih menjadi persoalan bagaimana pengeluaran sejumlah 25,57 juta ton CO2 dapat disebut sebagai ramah lingkungan.

Tetapi, seluruh 'keuntungan' itu hanya dinikmati oleh orang-orang yang tinggal jauh dari Papua, sementara penduduk lokal menderita akibat meningkatnya polusi di lingkungan terdekat mereka. Seperti yang ditekankan dalam surat Environmental Defense, laporan ADB kepada dewan penyantun mereka menunjukkan bahwa tingkat CO2, sulfur dioksida, nitrogen oksida dan unsur-unsur lainnya akan menyumbang pada polusi udara lokal. Tetapi biaya lingkungan ini 'untuk beberapa hal menjadi tidak penting dengan memperhatikan keuntungan lingkungan yang didapat dengan menggantikan batubara atau minyak bumi dengan gas alam cair. Tanggapan Environmental Defense menyatakan bahwa 'argumen ini tidak sama sekali memperhatikan kesehatan orang-orang yang terkena dampak pelaksanaan proyek atau persyaratan 'mandat pembangungan' ADB.” (lihat surat Environmental Defense kepada ADB, Desember 2005. Informasi ini dapat dilihat dalam www.forum-adb.org.


Pengentasan Kemiskinan?

Pengalaman masa lalu di Papua Barat  menunjukkan bahwa proyek-proyek ekstraksi sumber daya alam di wilayah itu sama sekali tidak memiliki kaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan penduduk setempat. Sebagai contoh, tambang emas Freeport/Rio Tinto telah beroperasi lebih dari tiga dekade di wilayah itu, memberikan keuntungan besar bagi pemilik saham dan pajak pendapatan bagi kas pemerintah Indonesia. Secara resmi, Papua adalah propinsi terkaya kedua di Indonesia. Sayangnya, kekayaan alam di wilayah itu tidak membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk di propinsi tersebut.

Angka-angka yang diterbitkan oleh Bank Dunia belum lama ini menggambarkan bahwa, di samping tingkat rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 10% selama lebih dari sepuluh tahun,  dan peningkatan pendapatan yang mengalir sejak diberlakukannya 'Otonomi Khusus' pada tahun 2002, empatpuluh persen penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dari angka rata-rata  nasional. Sepertiga anak-anak Papua tidak bersekolah dan sembilan dari sepuluh desa tidak memiliki pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, dokter atau bidan.

Dengan memperhatikan perkembangan sejarah seperti ini, apa jaminan bahwa proyek Tangguh—dan uang masyarakat yang disumbangkan ADB—akan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayah itu?

( Sumber: Laporan Ikhtisar Analisis Pengeluaran Publik Papua, ringkasan eksekutif. Diterima pada tanggal 9/Nov/05, Guardian Unlimited 29/Nov/05)]


Terabaikannya konteks masyarakat yang lebih luas di Papua

Laporan 30 halaman ADB kepada anggota dewan mereka tidak memasukkan konteks politik yang lebih luas mengenai Papua, meskipun hal itu memiliki relevansi yang kuat terhadap pelaksanaan proyek Tangguh.

Masalah-masalah yang menarik perhatian termasuk juga meningkatnya jumlah pasukan yang ditempatkan di Papua ( lihat DTE 65) dan tingkat kekejaman terus menerus oleh aparat keamanan terhadap penduduk Papua. Sebuah insiden terbaru adalah penembakan oleh aparat keamanan terhadap kerumunan massa di Paniai pada bulan Januari 2006, yang menewaskan seorang pelajar berusia 14 tahun dan melukai secara serius dua orang lainnya.

Huru-hara politik di Papua Barat, juga memiliki hubungan langsung dengan legitimasi dan dampak ekonomi proyek Tangguh. Pada akhir tahun lalu, hasil Pepera tahun 1969 telah dianggap sebagai sebuah skandal yang tidak adil dalam sebuah laporan yang disusun atas permintaan pemerintahan Belanda. Studi selama lima tahun itu, yang dilakukan oleh seorang akademisi Belanda, Profesor Pieter Drooglever, diterbitkan pada bulan November. Studi itu menyampaikan informasi rinci mengenai kecurangan yang menyebabkan aneksasi ilegal Papua Barat oleh Indonesia.  Laporan itu juga mendokumentasikan pengaruh politik internasional yang mendorong beberapa negara penting mendukung langkah aneksasi, bahkan Pepera sama sekali tidak bebas. Menteri Luar Negeri Belanda telah meyakinkan pihak Indonesia bahwa laporan yang disampaikan bersifat 'berlebihan', tetapi tidak disangkal bahwa ia memberikan bobot bagi seruan internasional untuk menilai kembali ketidak adilan pada tahun 1969.


Suara Rakyat Papua

Keputusan ADB tidak memperhatikan gema konteks  yang lebih luas dari posisi BP—sebuah posisi yang diserang oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil di dalam Papua sendiri dan dunia internasional.

Dalam suratnya kepada BP, Pemimpin Gereja Baptis Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, menulis pada bulan Juli 2005 bahwa:

Situs web dan brosur yang anda terbitkan mengatakan bahwa apapun yang terjadi “dalam area proyek” anda semuanya baik-baik saja. Anda mengatakan telah membangun desa baru dan mencoba dengan berhati-hati untuk tidak mengganggu usaha penangkapan udang di lautan kami. Anda menunjukkan foto-foto anak Papua yang tersenyum, tetapi tidak mengungkapkan bahwa di luar 'wilayah proyek' anda, rakyat kami dibantai seperti babi oleh pemerintahan yang anda jamu untuk minum teh bersama di Jakarta dan Jayapura. Apa hak anda untuk mengambil satu bagian tanah kami dan mengatakan segala sesuatu 'di wilayah anda' semuanya baik-baik saja?

Ia juga menunjukkan keterkaitan antara proyek-proyek yang menghasilkan keuntungan, pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh militer, dan mengingatkan BP tentang sulitnya menghindari kesalahan yang telah dibuat perusahaan tambang emas Freeport/Rio Tinto (lihat artikel terpisah di atas).

Suka atau tidak suka, sejauh menyangkut masalah uang, TNI akan dengan cepat menguasainya. Mereka akan menciptakan 'insiden', menyalahkan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan mengatakan bahwa mereka dapat memberikan 'perlindungan', dengan harga tertentu, terhadap 'aset-aset nasional.' Anda mengatakan bahwa sekarang ini telah berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan Freeport, tetapi saya katakan atas nama rakyat bahwa jika anda benar-benar peduli dengan orang-orang Papua seperti yang anda katakan, anda seharusnya tidak mengambil langkah yang akan menciptakan resiko besar bagi kehidupan kita.(Surat kepada Lord Browne, ketua eksekutif BP, 30/Juli/05)

(Sumber tambahan: Surat Tapol kepada menteri luar negeri Inggris, Jack Straw,  pada tanggal 24/Januari/2006. Tapol menyampaikan protes mereka terhadap pengerahan pasukan Indonesia yang menggunakan peralatan senjata buatan Inggris dilengkapi dengan meriam air - lihat http://tapol.gn.apc.org.


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link