- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
- “Jika perusahaan mencuri kayu, mengapa saya hanya menjadi penonton saja?” Catatan dari kunjungan ke Ulu Masen, Aceh
- “REDD jadi atau tidak?” tokoh masyarakat adat mengeluhkan kurangnya informasi mengenai proyek Ulu Masen
- Wawancara dengan Tejo Pramono, La Via Campesina, dan Elisha Kartini, SPI: “REDD hanyalah sebuah proyek yang digunakan negara industri untuk mencoba mempertahankan keuntungan ekonomi mereka”
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Tokoh masyarakat adat angkat bicara tentang Ulu Masen: “Kami tidak pernah melihat apapun dari REDD. Seperti angin, kita tidak dapat melihat dan menyentuhnya”
Bagian dari seri Aceh dan Ulu Masen oleh REDD-Monitor yang diterjemahkan oleh DTE
Oleh Chris Lang, 1 Maret 2013
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org
Pada 6 Februari 2008 Ulu Masen menjadi proyek REDD yang pertama mendapat pengesahan standar Climate Community and Biodiversity (CCB)[1]. Bulan lalu, atau lima tahun setelah pengesahan tersebut, Ulu Masen menjadi proyek REDD pertama yang mengalami pencabutan status pengesahan CCB.
Saat ini proyek REDD Ulu Masen berhenti sama sekali. “Ulu Masen seperti mimpi. Tidak jelas,” Anwar Ibrahim, kepala Serikat Mukim Aceh Jaya mengatakan kepada REDD Monitor pada bulan Desember 2012. “Kami tidak pernah melihat apapun dari REDD. Seperti angin, tidak dapat dilihat dan disentuh.”
Bagaimana hal itu terjadi? Tahun 2008 ketika SmartWood dari Rainforest Alliance memberikan validasi CCB ada tiga unsur pendukung proyek Ulu Masen: Pemerintah Daerah provinsi Aceh; Flora and Fauna International sebuah LSM konservasi besar; dan Carbon Conservation, perusahaan pedagang karbon yang baru dan dinamis. Dorjee Sun, anak muda dari Australia yang meraup keuntungan jutaan dollar pertama dari perusahaan internetnya selagi belum lagi berusia 30 tahun, memimpin Carbon Conservation. “Proyek ini barangkali akan sangat bermanfaat dalam memahami proyek-proyek REDD di Indonesia dan negara lain di dunia,” tulis SmartWood dalam auditnya atas proyek Ulu Masen.
Situasi berubah menjadi tidak menyenangkan pada bulan Mei 2011 ketika Carbon Conservation menjual 50% sahamnya kepada East Asia Minerals Corporation. Menurut sebuah dokumen tahun 2010 dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 3 perusahaan berkantor di Jakarta masing-masing 80% sahamnya dimiliki oleh East Asia Minerals, mendapat ijin eksplorasi di Miwah yang berada di dalam wilayah Ulu Masen. Ketiga perusahaan tersebut memiliki alamat yang sama di Jakarta dan direktur yang sama yaitu Bakhtiar Harris. Masing-masing ijin eksplorasi mencakup wilayah 10.000 hektare, yaitu wilayah maksimum yang diijinkan untuk wilayah penambangan di dalam hutan lindung.
Tapi ini hanya ijin eksplorasi dan East Asia Minerals telah berupaya dengan segala cara agar hutan diubah klasifikasinya, termasuk dengan membeli Carbon Conservation, yang diharapkan “membantu memperlancar proses persetujuan dan mendukung pemberian ijin”. Pada bulan Januari 2013, perusahaan tersebut mengumumkan telah mendapat perpanjangan ijin di Miwah hingga 30 November 2014.
Di dalam wilayah proyek Ulu Masen terdapat HPH seluas 428.757 hektare dan 310.991 hektare hutan lindung. Ijin logging yang ada bersifat tidak aktif dan dalam auditnya SmartWood mencatat bahwa “perlindungan hutan lemah dan tidak efektif”.
Konsesi logging tidak aktif sejak moratorium logging dilancarkan pada tahun 2007 oleh gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf. Anwar Ibrahim, pemimpin Mukim, menjelaskan bahwa ada tekanan dari masyarakat kampung dan LSM agar perusahaan tidak mulai lagi menebang. “Tanpa REDD pun mereka memutuskan untuk menjaga hutan,” katanya.
“Dinas Kehutanan ingin mengaktifkan kembali perusahaan logging. LSM dan masyarakat ingin menghentikan langkah Dinas Kehutanan mengaktifkan kembali perusahaan-perusahaan tersebut. Dinas Kehutanan bermaksud menggunakan kayu dari hutan tersebut untuk memasok rekonstruksi Aceh. Masyarakat menolak gagasan tersebut.” |
Dampak penguasaan lahan dari perubahan konsesi logging menjadi hutan lindung dan penerapan wilayah lindung tidak terpecahkan dalam Project Design Document (PDD atau Dokumen Rancangan Proyek) yang disusun pada akhir tahun 2007. Dalam auditnya SmartWood mencatat bahwa
“Dokumen Rancangan Proyek (PDD) tidak menjelaskan bagaimana proyek telah mengevaluasi potensi kontradiksi hukum atas hal penguasaan tanah yang mungkin muncul melalui rancang ulang kehutanan.” |
Sebagaimana Göran Eklöf sampaikan dalam laporannya “REDD plus or REDD light” (REDD plus atau REDD ringan), penguasaan tanah yang tidak jelas belum tentu melanggar standar CCB ketika proyek mendapat validasi atau pengesahan:
“Dampaknya terhadap Ulu Masen adalah bahwa masalah penguasaan tanah yang masih belum selesai harus dituntaskan sebelum verifikasi pertama, yang harus diselesaikan sebelum 5 Februari 2013.” |
(Dalam sistem CCB, Dokumen Rancangan Proyek atau PDD pertama-tama divalidasi dengan standar CCB untuk menentukan apakah apa yang dikatakan oleh para pendukung proyek akan mereka lakukan memenuhi persyaratan. Verifikasi berlangsung setelah proyek berjalan untuk menentukan apakah pendukung proyek memang melaksanakan apa yang mereka rencanakan dalam PDD. Verifikasi belum dilakukan di Ulu Masen.)
Penguasaan tanah adalah hal penting bagi masyarakat dan kenyataan bahwa hal tersebut belum diselesaikan menimbulkan pertanyaan terkait Padiatapa. (Padiatapa atau FPIC masuk dalam Standar CCB edisi kedua. Ulu Masen diaudit dengan menggunakan standar edisi pertama yang tidak memasukkan persyaratan Padiatapa). Eklöf mempertanyakan bagaimana komunitas dapat diharapkan memberi persetujuan “di awal” dan “atas dasar pengetahuan” terhadap sebuah proyek yang proses konsultasi mengenai isu-isu kunci (seperti manfaat proyek dan penguasaan tanah) belum tuntas?
Selama audit SmartWood menemukan bahwa “staf FFI yang utama belum pernah melihat atau tahu hanya sedikit sekali mengenai PDD.” Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai serinci apakah komunitas tahu mengenai proyek dan implikasinya terhadap penghidupan mereka.
Anwar memaparkan bagaimana ia pertama kali mendengar mengenai REDD:
“Pada tahun 2007 Frank Momberg dari FFI menyelenggarakan sebuah pertemuan di Hotel Hermes di Banda Aceh. Lalu pembicaraan menjurus ke soal karbon dan bahwa masyarakat akan mendapat uang jika mereka menjaga hutan. Gagasan mengenai Ulu Masen datang dari FFI yang berperan sebagai perantara antara Pemerintah Daerah Aceh dan pemodal. Sejak itu kami mendengar mengenai REDD, REDD+, REDD++. Tapi jangan tanya saya apa artinya, karena saya tidak tahu.” |
Pada tahun 2009 Anwar diundang ke sebuah seminar internasional mengenai Padiatapa atau FPIC di Riau. “Di situ untuk pertama kalinya saya mendengar mengenai konsep FPIC,” katanya.
“FPIC tidak terjadi di Aceh. FPIC tidak pernah dilakukan 100%. Ada sejumlah dokumen mengenai REDD tetapi saya tidak mengikuti prosesnya. REDD disepakati dan FPIC baru muncul kemudian.” |
PDD tidak menyikapi dengan baik risiko bahwa dalam proyek Ulu Masen para petani tidak boleh mengubah hutan menjadi ladang dan proyek tidak menyediakan penghidupan alternatif yang memadai. “Meramalkan masa depan komunitas di wilayah proyek selama 30 tahun ke depan dilakukan dengan cara mereka-reka secara teoritis,” dinyatakan dalam PDD dan tidak ada upaya untuk membandingkan pendapatan petani dengan dan tanpa proyek. SmartWood berkomentar, “tidak realistis mengharapkan proyek dapat memberi informasi tersebut dalam fase perancangan”.
Namun demikian, PDD menampilkan kalkulasi yang akurat mengenai tingkat deforestasi dengan dan tanpa proyek. SmartWood tampaknya lupa bahwa hal tersebut adalah kombinasi “rekaan teoritis” dan fiksi murni.
Pada bulan November 2010, pak Anwar ikut pelatihan di Jember, Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Pertemuan tersebut berjudul “Keterlibatan pemangku kepentingan dalam MRV mengenai perubahan sediaan karbon dalam komunitas hutan”, atau seperti dipaparkan pak Anwar, “mengukur karbon agar komunitas tidak tertipu”. Pak Anwar mengatakan kepada saya apa yang ia dengar dari peserta lain, yang juga frustrasi dengan REDD: “Yang beli tidak pernah datang. Yang datang tidak pernah beli”[2]
Saya pergi ke Aceh Jaya bersama Down To Earth dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adet Aceh (JKMA). Saya berterima kasih kepada Zulfikar Arma yang sudah mengatur perjalanan dan Adriana Sri Adhiati atas penerjemahan. Saya yang bertanggungjawab jika ada kesalahan.
Tulisan ini adalah bagian dari seri Aceh dan Ulu Masen. REDD-Monitor berterima kasih atas dana dari World Rainforest Movement dan Samdhana Institute yang telah membiayai perjalanan ini.[1] Standar yang dikembangkan oleh Aliansi Iklim, Komunitas dan Keanekaragaman Hayati (Climate, Community and Biodiversity Alliance)
[2] Ungkapan ini aslinya disampaikan dalam bahasa Jawa “Sing tuku ora teko teko, sing teko ora tuku tuku”.