RESOLUSI KONGRES KEDUA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA

 

Down to Earth Nr 59  November 2003

Kami, seluruh peserta Kongres Kedua Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan tanggal 19-25 September 2003 di Desa Tanjung - Lombok Utara, menyadari bahwa selama lebih dari 4 tahun sejak berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah terjadi perubahan-perubahan berbagai kebijakan Negara yang terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak dasarnya.

Kami mengingatkan kembali semakin kuatnya pengakuan Negara terhadap hak-hak masyarakat adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam Amandemen Kedua UUD 1945 sebagai konstitusi Negara dan beberapa Ketetapan MPR RI sebagai kesepakatan politik nasional maupun dalam berbagai UU seperti UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia dan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Kami juga menyadari adanya harapan baru di dalam UU baru tentang Pemilihan Umum untuk perluasan partisipasi politik masyarakat adat di masa yang akan datang dan dukungan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat adat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dari Negara.

Tanpa mengurangi rasa syukur dan penghargaan atas berbagai perubahan tersebut, Masyarakat Adat di Nusantara masih terus menghadapi beragam bentuk pemaksaan, penaklukan dan eksploitasi. Penguasaan negara atas sebagian besar tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah-wilayah adat masih terus berlangsung. Berbagai kelompok masyarakat adat masih terus digusur secara paksa dari tanah leluhurnya untuk berbagai proyek pembangunan. Pemerintah masih terus memberi Hak Guna Usaha (HGU) dan Kuasa Pertambangan yang baru di wilayah-wilayah adat kepada para pemilik modal tanpa pemberitahuan dan perundingan yang layak sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat adat setempat.

Kami menggarisbawahi keberadaan perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahan Hutan (HPH) yang masih bebas melakukan operasi penebangan di kawasan-kawasan hutan adat tanpa ada tindakan hukum dari pemerintah.

Kami juga mencatat kegagalan Otonomi Daerah untuk mengembalikan otonomi asli di desa sesuai adat setempat. Otonomi Daerah dihentikan hanya sampai di tingkat Kabupaten/Kota demi kepentingan politik ekonomi segelintir elit daerah. Keberadaan institusi Bina Teritorial TNI seperti BABINSA dan KORAMIL, yang selama ini menjadi sumber intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat, masih bercokol di wilayah-wilayah adat. Bahkan akhir-akhir ini aparat kepolisian, khususnya BRIMOB, telah menjadi sumber kekerasan baru bagi masyarakat adat di berbagai pelosok Nusantara. Pelanggaran hak-hak azasi manusia dan hak-hak dasar masyarakat adat oleh berbagai kekuatan dari pihak masih marak di Nusantara.

Keadaan seperti ini masih jauh dari cita-cita perjuangan kami untuk memulihkan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana telah diwariskan oleh leluhur kami sebagai hak-hak asal-asul dan hak-hak tradisional.

Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri serta menyelenggarakan upara-upacara adat sesuai dengan identitas budaya, nilai-nilai luhur dan pengetahuan asli yang terkandung di dalam sistem adat kami masing-masing.

Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk menjaga keamanan, ketertiban dan keseimbangan hidup bersama, baik di antara sesama masyarakat adat dan antara masyarakat adat dengan alam sekitarnya maupun antara masyarakat adat dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan sistem hukum dan dan kelembagaan adat kami masing-masing.

Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk mengendalikan, mengelola dan memanfaatkan tanah dan segala kekayaan alam lainnya di dalam wilayah adat sesuai dengan kearifan tradisional kami masing-masing.

Untuk menegakkan hak-hak dasar ini, kami Masyarakat Adat Nusantara, yang merasa senasib dan sepenanggungan, telah bersepakat untuk meneguhkan kembali keputusan-keputusan Kongres Pertama Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 untuk tetap berjuang bersama dalam satu wadah, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Mengacu pada sikap tersebut, kami yang tergabung di dalam AMAN menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera melaksanakan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk mengkaji dan mencabut seluruh UU sektoral yang tidak mengakui dan bahkan melecehkan hak-hak masyarakat adat, diantaranya UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 11/1967 tentang Pertambangan, dan menggantinya dengan UU baru tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang menyeluruh, lintas sektoral dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
  2. Menuntut kepada Pemerintah untuk mencabut seluruh ijin Kuasa Pertambangan, HPH, HGU, HPHTI, IHPHH, IPK dan ijin-ijin eksploitasi sumberdaya alam lainnya yang diberikan oleh pemerintah di dalam wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari masyarakat adat setempat.
  3. Mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera membuat UU khusus yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18 B ayat (2) Amandemen Kedua UUD 1945.
  4. Mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera melakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah agar sesuai dengan aspirasi masyarakat adat dan segera menerapkan otonomi asli desa secara menyeluruh dan tuntas sesuai dengan sistem-sistem adat yang berlaku di masing-masing kelompok masyarakat adat.
  5. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka.
  6. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di Nusantara.
  7. Mendesak Pemerintah untuk menghapus keberadaan institusi militer yang bersifat tetap dari wilayah kehidupan masyarakat adat, dan mengembalikan wewenang lembaga-lembaga adat untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan keamanan masyarakat adat sesuai dengan hukum dan peradilan adat yang berlaku setempat.
  8. Mendesak Pemerintah RI untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan melaksanakan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua Barat secara konsekuen dan melakukan dialog nasional yang melibatkan masyarakat adat di Papua.
  9. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji dan meninjau ulang sistem hukum dan peradilan nasional sehingga menjamin keberadaan hukum dan peradilan adat yang beragam di Nusantara.
  10. Mendesak Pemerintah untuk segera mencantumkan muatan lokal tentang adat istiadat, bahasa, kearifan lokal dan hukum adat dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah dengan keterlibatan penuh masyarakat adat, baik dalam pembuatan kurikulumnya maupun pengajarannya.
  11. Mendesak Pemerintah untuk segera menyediakan sarana pendidikan yang memadai di daerah terpencil, melakukan pemerataan penempatan guru dan meningkatkan anggaran pendidikan di dalam APBN dan APBD.
  12. Menuntut Pemerintah untuk menjamin keterlibatan masyarakat adat dalam semua proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program yang menyangkut kehidupan masyarakat adat.

 

Sejalan dengan butir-butir pernyataan di atas, kami menyerukan kepada seluruh masyarakat adat, khususnya yang bersekutu di dalam AMAN untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Menghapuskan secara tuntas sistem pemerintahan desa yang seragam (versi UU No. 5/1979) dan mengembalikannya ke sistem-sistem adat yang beragam berdasarkan asal-usul adat istiadat setempat.
  2. Menghentikan semua bentuk-bentuk pengrusakan alam secara legal maupun illegal di wilayah adat masing-masing yang telah nyata-nyata mengancam kehidupan masyarakat adat dan melakukan rehabilitasi terhadap lahan-lahan hutan yang sudah rusak, dengan melibatkan masyarakat adat setempat.
  3. Menjaga ketertiban dan kemanan di wilayah adat masing-masing dan mencegah terjadinya konflik sosial, baik di antara sesama masyarakat adat maupun dengan masyarakat lainnya.
  4. Memperkuat kelembagaan organisasi AMAN di tingkat komunitas, persekutuan dan regional.
  5. Menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani dan mempertahankan keberadaan AMAN sebagai organisasi tidak berafiliasi kepada Partai Politik manapun dalam menghadapi PEMILU 2004.
  6. Mengkonsolidasikan diri di wilayah masing-masing untuk memperkuat partisipasi politik masyarakat adat di masing-masing wilayah sesuai dengan arahan dan panduan yang akan dikeluarkan kemudian oleh Dewan AMAN.
  7. Mengkonsolidasikan diri di wilayah masing-masing untuk mengembalikan fungsi hukum dan peradilan adat.