- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Proyek Tangguh BP yang memacu meningkatnya ketegangan
Down to Earth Nr 50 Agustus 2001
Ketegangan yang meningkat di Papua Barat sehubungan dengan semakin kerasnya sikap militer terhadap "bahaya keamanan" di wilayah yang bersengketa itu tidak menjadikan persiapan pengembangan proyek gas Tangguh untuk berhenti. Proyek ini merupakan salah satu proyek raksasa BP (British Petroleum) di Papua Barat.
Pada tanggal 13 Juni yang lalu telah terjadi serangkaian tindakan brutal yang dilakukan oleh pasukan Indonesia. Peristiwa itu terjadi sebagai balasan atas tewasnya lima anggota Brimob dan pegawai perusahaan kayu di kecamatan Wasior, sebelah timur proyek gas Tangguh di Teluk Bintuni. Masih di tempat yang sama, pada bulan Maret sebelumnya tiga orang pegawai perusahaan kayu (PT Dharma Mukti Persada) tewas ditembak. Sejak saat itu, kecamatan Wasior dinyatakan tertutup bagi pekerja kemanusiaan.
Organisasi Hak Asasi Manusia di Papua Barat, ELSHAM, melaporkan bahwa setelah peristiwa tanggal 13 Juni itu, enam orang penduduk sipil tewas dan lainnya luka-luka. Mereka adalah korban serangan balasan yang dilakukan pasukan brimob. Selain itu, pihak aparat keamanan juga melancarkan "Operasi Penyisiran dan Penghancuran" melalui penangkapan, pemukulan dan penyiksaan terhadap penduduk lokal. Kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang juga menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Korban berjatuhan akibat tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian guna mendapatkan informasi tentang peristiwa pembunuhan terhadap anggota mereka.
Pada akhir bulan Juni lalu, diberitakan seorang perempuan tewas akibat tembakan dari aparat. Meningkatnya ketegangan pada akhirnya memaksa lima ribu orang meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari tempat perlindungan yang lebih aman. Segera setelah terjadi peristiwa itu, sekitar 300 sampai 600 pasukan Brimob, polisi reguler dan tempur dikirim ke Wasior. Dengan demikian, jumlah aparat keamanan dan militer di tempat itu sekarang ini meningkat menjadi 2000 orang. Masih berkaitan dengan peristiwa penembakan tersebut, pihak keamanan melarang penduduk desa Wondoboi -- tempat terjadinya penembakan pada bulan Juni— untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti membersihkan halaman, mengumpulkan sagu, berburu atau memancing.
Sampai sekarang ini, masih belum jelas bagaimana motivasi dibalik serangan bulan Juni lalu. Tetapi kepolisian telah menuduh pasukan bersenjata OPM sebagai dalang di balik peristiwa itu. Operasi "pembersihan" besar-besaran yang dilakukan menyusul setelah terjadinya peristiwa pembunuhan itu mencerminkan sikap garis keras militer dan polisi dalam menghadapi gerakan pro-kemerdekaan. Selain itu, merosotnya wibawa Presiden Wahid di Jakarta menyebabkan dirinya tidak mampu mencegah berlangsungnya kekerasan militer di Papua Barat dan Aceh. Meskipun ada upaya dialog dan gencatan senjata, kenyataan di lapangan menunjukkan prilaku pasukan keamanan sekarang ini yang tidak berbeda dengan yang pernah mereka lakukan pada masa Suharto. Kemungkinan selanjutnya, Presiden Megawati Sukarnoputri yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan militer mungkin akan membiarkan saja pihak militer menghancurkan gerakan kemerdekaan di tempat tersebut.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana BP menempatkan diri mereka? Ladang gas Tangguh ditemukan pada era Suharto saat modal asing bisa berharap mendapat perlakuan dan dan kebijakan khusus tentang pengolalaan sumber daya di Indonesia dengan dukungan militer. Cara yang dilakukan Arco – yang mengembangkan proyek Tangguh yang sebelumnya diambil alih oleh BP pada tahun 1999 - dalam mengembangkan proyek Tangguh pada saat itu berjalan seperti kebiasaan ribuan perusahaan asing di Indonesia. Arco menjanjikan akses penggunaan tanah ulayat masyarakat adat tanpa menunggu persetujuan mereka. Namun cara itu telah menyulitkan BP dengan adanya tuduhan bahwa mereka menikmati keuntungan yang berlandaskan pelanggaran HAM secara sistematik. BP ingin mengembangkan citra positif di Papua Barat.
Sikap ini mungkin berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sikap perusahaan yang menjalankan proyek penambangan mineral dan emas yang pertama di wilayah tersebut, yaitu Freeport/Rio Tinto. Sejarah perusahaan tersebut penuh diwarnai dengan cerita pembunuhan, pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Meskipun demikian, kritik terhadap proyek BP di negeri lain telah menghancurkan upaya mereka menampilkan wajah yang lebih manusiawi dan menempatkan diri sebagai perusahaan minyak multinasional yang berpandangan jauh kedepan. Terlebih lagi, kegiatan utama BP di Indonesia, yaitu tambang batubara Kaltim Prima yang dijalankan bersama dengan Rio Tinto – sedang dilanda masalah pemogokan dan sengketa tanah selama bulan-bulan belakangan ini.
Dalam kaitan ini, BP juga ingin dipandang sebagai penyumbang pertumbuhan dana lokal dan bukan sekedar pemuas kebutuhan ekonomi Jakarta. Meskipun demikian, masih belum jelas bagaimana mereka akan membagi pendapatan proyek ini antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Undang-Undang Otonomi khusus yang dirancang untuk Papua Barat masih menunggu penyelesaian akhir. Tawaran otonomi pemerintah pusat telah ditolak (lihat DTE 49) dan masih belum ada kesepakatan terhadap usulan alternatif yang disusun orang-orang Papua Barat. Pada saat yang sama, pemimpin gerakan kemerdekan menyatakan mereka menginginkan agar proyek Tangguh ditunda sampai kemerdekaan berhasil dicapai.
Laporan terbaru LSM-LSM setempat dan para wartawan yang telah berkunjung ke wilayah itu mengatakan situasi di sekitar wilayah Teluk Bintuni begitu tegang meskipun BP telah melakukan berbagai cara untuk berhubungan dengan penduduk setempat. Sedangkan, pada saat yang sama, penduduk desa dikabarkan terpecah di antara pihak yang menginginkan agar proyek itu terus berjalan sambil berharap mendapatkan kompensasi tanah, pekerjaan dan keuntungan bagi masyarakat. Sementara pihak lainnya menolak. Hal itu terjadi karena, meskipun kehidupan mereka akan terpengaruh oleh proyek itu, namun sedikit sekali peluang bagi mereka mendapatkan kompensasi karena instalasi proyek itu tidak bertempat di lahan mereka.
Persoalannya sekarang ini adalah sejauh mana mereka memiliki pilihan dan sejauh mana mereka menyadari pengaruh proyek tersebut bagi kehidupan mereka? Para ahli lingkungan menyatakan bahwa penduduk lokal di pedesaan yang terpengaruh proyek itu mendapatkan informasi yang hanya berasal dari BP atau LSM yang dibayar oleh BP dan pemerintah Indonesia. "Sedangkan orang lain yang ingin membahas masalah itu dengan rakyat setempat kemungkinan besar ditangkap."
Jarak tempat pelaksanaan proyek yang jauh – seperti halnya tambang Freeport - memungkinkan pemerintah lebih mudah mengontrol informasi. Ini juga yang menjadi alasan mengapa kematian tragis 48 bayi di desa Weriagar pada tahun 1996 tidak pernah tersebar luas. Para ahli lingkungan mengatakan bahwa bayi-bayi tersebut meninggal setelah perusahaan – yang kemudian berganti nama menjadi ARCO - mulai melakukan pemboran gas di sungai yang sebelumnya merupakan sumber daya air masyarakat adat. Ada laporan yang menyatakan bahwa penduduk desa sesungguhnya ingin melaporkan kematian bayi-bayi mereka kepada pemerintah daerah, "namun ketika pasukan tiba melindungi tempat penambangan, mereka paham bahwa sikap diam merupakan langkah terbaik bagi keselamatan mereka."
Untuk mencari cara "penyelesaian konflik," pada awal tahun ini diadakan suatu pertemuan yang diikuti oleh LSM, wakil masyarakat setempat, pejabat dan BP. Pertemuan itu menyepakati agar kemudian dipilih pihak yang lebih independen yang bertugas melakukan investigasi terhadap peristiwa kematian tersebut. Namun, berdasarkan laporan terbaru disebutkan bahwa langkah itu mengalami jalan buntu karena LSM yang bertugas melakukan investigasi tidak memiliki dana menjalankan kegiatannya. Selain itu, penduduk desa merasa keberatan apabila mayat anak-anak mereka digali kembali untuk kepentingan forensik.
Pengaruh lebih luas
Terlepas setuju atau tidak setuju, keberadaan BP melalui pelaksanaan proyek besar ini berpengaruh luas terhadap situasi militer di wilayah tersebut. Pasukan Indonesia ingin menunjukkan kekuatannya di seluruh wilayah dan meredam perlawanan politik. Agenda itu sendiri sudah berjalan – di mana keamanan di Tangguh berkait dengan operasi Wasior. Segera setelah peristiwa 13 Juni, Gubernur Papua, JP Salossa mengatakan bahwa proyek Tangguh harus terus berjalan meskipun ada ancaman serangan terhadapnya. Ia mengatakan akan meminta komandan militer dan polisi setempat membantu pemerintah daerah menjaga keamanan proyek tersebut dan "faktor keamanan adalah prioritas dalam pembangunan LNG di Bintuni."
Situasi umum keamanan di Papua Barat dan Indonesia adalah faktor kunci kemampuan Tangguh memenangkan kontrak pemasokan LNG. Ini merupakan syarat penting apabila proyek tersebut ingin terus berjalan. Pembeli utama gas olahan – Proyek Gas Alam Cair China Guandong – sangat peduli terhadap kemampuan Indonesia menjamin kelancaran pasokan. Desas-desus menyatakan bahwa China National Offshore Oil Corps (CNOOC) yang mengerjakan proyek Guandong sedang mencari dua sumber pemasok. Menurut Baihaki Hakim yang menjabat sebagai Pimpinan Pertamina, hal itu akan membuat nilai ekonomis proyek Tangguh merosot. Sekarang ini, BP menawarkan kepada CNOOC 5% saham proyek Tangguh untuk mempermudah mereka memenangkan tender. Namun dikabarkan pula bahwa kriteria seleksi di Cina memasukan masalah stabilitas politik seperti halnya stabilitas produksi dan pasokan jangka panjang sebagai pertimbangan dasar mereka. Dengan demikian, penghentian operasi Exxon Mobil di Aceh dengan alasan keamanan hanya akan menjadi kendala yang menghambat mereka.
Bagi kalangan garis keras dalam pemerintahan Indonesia, keamanan adalah faktor pembenar tindakan membungkam perlawanan politik di Papua Barat. Seperti saat penutupan Exxon Mobil yang mendorong gelombang operasi militer baru di Aceh, kebijakan yang sama juga dapat digunakan di Papua Barat untuk mencegah terganggungnya proyek Tangguh dan menjamin pembeli potensial bahwa pasokan yang mereka inginkan akan terus di dapat.
Peran Pemerintah Inggris
Perlu diperhatikan pula bagaimana peran pemerintah Inggris yang mendukung proyek Tangguh. Duta besar Inggris, Richard Gozney, pernah berkunjung ke Tangguh saat terjadinya pembunuhan Wasior. Dilaporkan pula bahwa Gozney mengeluarkan komentar yang menandakan persetujuan pemerintah Inggris atas operasi militer yang terjadi di wilayah tersebut. Berkatian dengan hal tersebut, TAPOL, lembaga Kampanye HAM Indonesia di Inggris, telah menuntut pemerintah Inggris melakukan tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan operasi militernya di Wasior dan menarik pasukan tambahan yang ditempatkan di sana sejak awal April lalu. "Kenyataan bahwa adanya penanaman modal Inggris yang berdekatan dengan wilayah pelanggaran HAM, seharusnya hal tersebut menjadi peringatan bagi Pemerintah Inggris untuk menyatakan agar operasi pengepungan yang dilakukan tidak berdampak negatif terhadap kepentingan pemerintah Inggris di wilayah tersebut." Pada bulan Juni, DTE menyurati Gozney dan memintanya menjelaskan posisi pemerintah Inggris tentang penggunaan pasukan- untuk melindungi proyek besar seperti Tangguh. Sang duta besar menjawab: "Pandangan yang menyatakan dukungan saya terhadap operasi militer adalah keliru …" (Surat kepada DTE26/Juni/01).
Beberapa proyek yang termasuk dalam proyek Tangguh adalah:
|
(Sumber: ELSHAM Urgent Action 46 19/Jun/01 dan laporan yang diedarkan oleh Tapol 25/Jun/01; ELSHAM UA 16/Jul/01; 'Petrol in Papua' dalam The Ecologist Juni 2001; BBC 13/June/01; Cenderawasih Pos 19/Jun/01; Jakarta Post 15, 30/Jun/01; Tapol Press Statement 26/Jun/01; Petromindo 20/Jun/01; 16/Jul/01; FT 13/Jul/01)