- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Protes di Pabrik Pulp PT TEL
Down to Earth Nr. 44 Februari 2000
Masyarakat sekarang ini sedang melampiaskan kemarahan mereka pada pabrik yang baru rampung dibangun di Sumatra Selatan.
Pada bulan November 1999, pembangunan pabrik pulp kertas PT TEL yang berlokasi di Muara Enim, Sumatra Selatan, telah rampung dan memulai produksi percoban pada bulan Desember. Rencana produksi secara penuh sedianya akan dapat dilaksanakan pada bulan Januari 2000. Pembangunan pabrik itu sendiri memakan biaya sebesar US $ 1 milyar. Sebagian besar dana yang dikeluarkan dibiayai oleh perusahaan dan bank-bank asal Jepang, Eropa dan Amerika Utara. Sedangkan untuk penyediaan peralatan dan pekerjaan teknis disediakan oleh perusahaan-perusahaan Skandinavia, Jerman dan Kanada dengan dukungan Kesepakatan Kredit Eksport. PT TEL merupakan contoh tentang bagaimana kepentingan modal asing dan kebutuhan peningkatan pendapatan dari ekspor menjadi hal utama dengan mengabaikan kesehatan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal atas nama 'pembangunan ekonomi'.
Pada pertengahan bulan Desember 1999, ketegangan-ketegangan yang terjadi sebelumnya antara masyarakat lokal dan manajemen pabrik pulp kertas PT Tanjung Enim Lestari (PT TEL) meledak menjadi kekerasan. Merasa frustasi karena tidak adanya kemajuan dalam proses negosiasi terhadap tuntutan kompensasi pengalihan lahan dan tidak adanya kesempatan bagi pekerja lokal, sekitar 800 penduduk dari enam desa mendatangi pabrik dan menuntut bertemu dengan pihak manajemen pada tanggal 15 Desember 1999.
Ketika PT TEL menolak tuntutan mereka, kerumunan orang melempari bangunan perusahaan dengan batu dan kayu-kayu yang ditumpuk di sekitar pabrik. Beberapa peralatan berat terbakar dan ruang kantor serta tempat tinggal pekerja dihancurkan. Akibatnya buruh-buruh PT TEL berlarian menyelamatkan diri. Tetapi satu orang manajer PT TEL terluka. Menurut Direktur Manajer, Jansen Wiraatmaja, sekitar 200.000 ton kayu yang ditumpuk dipabrik dan siap untuk produksi percobaan --habis terbakar yang menyebabkan kerugian senilai Rp. 150 milyar (US $ 21 juta). Tetapi sumber lain mengatakan bahwa penyebutan jumlah kerusakan dan kayu-kayu yang membusuk dilebih-lebihkan pihak perusahaan dan militer.
Komandan militer setempat menyatakan bahwa sebenarnya penduduk desa telah berencana untuk meratakan pabrik tersebut. Pihak keamanan yang telah menjaga pabrik tersebut selama beberapa minggu menyatakan telah menemukan empat buah bom molotov. Mereka kemudian menangkap sebelas orang penduduk setempat yang dicurigai sebagai dalang penyerangan terhadap PT TEL. Beberapa sumber setempat menyatakan bahwa aksi protes tersebut dirancang oleh pihak luar yang membayar mahasiswa dan penduduk desa untuk melakukannya. Sedangkan bom molotov DIREKAYASA setelah terjadinya peristiwa itu. Pihak penduduk yang ditahan oleh militer kemudian dilepaskan tanpa tuduhan apapun.
Intimidasi
Masyarakat lokal yang tinggal di Banuayu, Niru, Tebat Agung, Beringin, Muaraniru dan Jemeneng mengakui bahwa beberapa penduduk desa memang membakar kayu-kayu perusahaan. Hal ini disebabkan banyak diantara mereka yang kecewa terhadap PT TEL atas kelambatannya dalam menyelesaikan masalah kompensasi serta tidak memberikan tawaran pekerjaan yang layak bagi masyarakat setempat. Beberapa bulan belakangan, penduduk desa yang masih tetap berjuang menolak menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan pabrik pada akhirnya menghentikan perjuangan mereka saat pembangunan pabrik mendekati tahap rampung dan dengan terpaksa menerima bayaran kompensasi yang disediakan. Meskipun demikian, pihak LSM lokal merasa sangat prihatin terhadap keterlibatan pihak militer, polisi dan keamanan setempat yang lebih berpihak pada perusahaan dan melakukan intimidasi kepada masyarakat.
Sebagai contoh, suatu pertemuan antara wakil-wakil masyarakat desa Gerinam, Niru, Banuayu dan Dalam dengan PT TEL pada tanggal 8 Desember untuk mendiskusikan masalah kompensasi tanah dilakukan didalam tempat pengolahan PT TEL. Lokasi itu dijaga oleh sekitar 250 aparat keamanan yang bersenjata pistol dan senapan M-16. Mereka tidak mengijinkan penduduk desa lainnya memasuki tempat pertemuan. Oleh karena itu, kelompok LSM setempat Walhi Sumatra Selatant, LBH Palembang, IMPALM dan LEMBAR menyerukan agar personil polisi dan militer dikeluarkan dari proses perundingan dan menuntut agar komandan militer setempat memberikan penjelasan mengapa pasukan menjaga pabrik tersebut.
Tanda-Tanda Awal Polusi
Penduduk lokal menjadi semakin marah saat pabrik PT TEL memulai produksi percobaan mereka. Pada tanggal 13 Desember, penduduk desa Banuayu (sekitar 2 kilo meter dari lokasi pabrik) mencium bau busuk dan menemukan ikan-ikan mati mengambang di Sungai Lematang. Sekitar 30.000 penduduk yang tinggal di sekitar wilayah tersebut sama sekali tidak menyadari potensi pengaruh lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik pulp.
PT TEL telah membuat suatu analisa dampak lingkungan dan disampaikan pada pemerintah pada bulan Juni 1997. Tetapi, mereka belum menerbitkan versi akhir AMDAL serta Rencana Manajemen yang lebih detail yang mengikutsertakan pemerintah serta rekomendasi LSM dari hasil dengar pendapat resmi. Berdasarkan AMDAL tersebut, meskipun teknologi pengolahan limbah telah digunakan secara optimal, diperkirakan akan mengeluarkan 15 kg gas beleran dari setiap ton pulp yang diolah. Dengan menghitung bahwa perusahaan memiliki produksi tahunan sebanyak 450.000 ton, jumlah ini akan menghasilkan 18 ton polusi udara setiap harinya, diluar kandungan-kandungan lain seperti nitrogen dan chlorine. Jumlah ini menambah tingkat polusi dari sekitar 70.000 kubik meter limbah yang sudah mengalir ke Sungai Lematang setiap harinya serta 50 ton abu serta limbah buangan lainnya yang ditanam di dalam tanah sekitar pabrik dekat sungai.
Sebagai tanggapan terhadap masalah ini, kelompok-kelompok lingkungan setempat dan para mahasiswa melakukan kerja sama dalam upaya meningkatkan kesadaran publik terhadap potensi resiko polusi yang disebabkan limbah PT TEL. Sebagai contoh, pada tanggal 18 November 1999, dua anggota masyarakat Muara Enim tampil dihadapan 100 orang mahasiswa dan akademisi dalam suatu lokakarya tentang "Pengaruh Chlorine terhadap Orang dan Lingkungan", yang diorganisir oleh Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya sebagai universitas negeri terbesar di Palembang. Selain itu, beberapa bulan sebelumnya, kelompok lingkungan mahasiswa Fakultas Pertanian mengadakan suatu seminar sehari tentang "Ekosistem Aliran Sungai Musi" dengan tujuan merangsang diskusi publik tentang pengaruh PT TEL/MHP. Sekitar 100 orang, termasuk manajer PT TEL, Lembaga Manajemen Lingkungan setempat dan pejabat pemerintah lokal selain para pengajar dan mahasiswa menghadiri pertemuan tersebut.
Janji-Janji PT TEL
Dalam rangka mengatasi konflik yang terjadi, PT TEL mengadakan suatu pertemuan guna menampung keluhan-keluhan penduduk lokal. Wakil-wakil masyarakat dari enam desa terlibat dalam proses perundingan yang cukup menegangkan dengan Direktur Pelaksana selama beberapa jam di sebuah hotel mewah di Palembang. Namun, perbandingan jumlah wakil-wakil masyarakat yang hadir menjadi tidak seimbang bila dibandingkan jumlah wakil senior PT TEL, pejabat sipil (termasuk pejabat kabupaten, asisten gubernur dan DPRD tingkat II) serta personil militer dan polisi setempat yang hadir dalam perundingan tersebut.
Dalam pertemuan itu, PT TEL sepakat untuk mempekerjakan 250 penduduk lokal sebagai buruh pabrik dan memberikan subsidi bagi pendidikan 200 anak-anak yang tinggal di sekitar wilayah pabrik. Mereka juga menjanjikan untuk membangun pasar tradisional dekat desa dan mendanai koperasi. Tetapi pihak perusahaan dan pemerintah daerah menolak untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang kematian ikan- ikan di sungai yang mengalir di sekitar wilayah tersebut serta bau busuk yang muncul dari pabrik serta resiko polusi bagi masyarakat. Laporan terakhir yang kami terima memberitakan adanya keberadaan pihak militer disekitar pabrik dan termasuk di desa-desa sekitar pabrik tersebut.
Meskipun pihak manajemen menyatakan bahwa buruh-buruh mereka (termasuk staf pekerja asing) enggan untuk bekerja kembali serta perusahaan perkebunan yang menjadi penyalur bahan mentah, PT Musi Hutan Persada menyatakan tidak akan menyalurkan bahan-bahan mentah bagi mereka, tetapi PT TEL masih tetap mampu meneruskan produksi percobaan seminggu setelah terjadinya kebakaran. Jansen mengumumkan bahwa bubur kertas PT TEL akan diekspor dari fasilitas baru di pelabuhan yang sedang dibangun di Bandar Lampung.
Catatan: DTE memiliki beberapa film dokumenter tentang PT TEL yang cukup layak untuk disiarkan. Paket informasi DTE selanjutnya tentang PT TEL/MHP akan segera terbit pada bulan April 2000.
(Sumber-sumber: Sriwijaya Post 14/Desember/99, 16/Desember/99, 17/Dec/99; Pernyataan Pers bersama Lembaga Advokasi Rakyat, Walhi Sumatera-Selatan, LBH Palembang, IMPALM, 17/Desember/1999 serta sumber-sumber lokal)
MHP: Penyalur PT TEL yang Bermasalah
Seperti halnya PT TEL, PT Musi Hutan Persada sebagai anak perusahaan Barito Pacific -- adalah salah satu dari dua perusahaan yang terbukti menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan yang merusak di Sumatera Selatan pada tahun 1997. Mereka melakukan praktek pembakaran GELAP guna membersihkan lahan untuk lahan perkebunan. Meskipun terdapat bukti kuat dari foto satelit dan pernyataan saksi ahli dari World Wide Foundation pada dengar pendapat pertama, tetapi pada tanggal 3 November 1999 pengadilan negeri membatalkan penjatuhan hukuman terhadap PT MHP setelah perusahaan tersebut mengajukan banding. LSM-LSM setempat seperti Walhi Sumatera Selatan dan LBH Palembang yang membawa kasus ini ke pengadilan bertekad untuk menentang keputusan pengadilan negeri dan membawa kasus itu ke Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka mengeluarkan suatu pernyataan yang keras yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan negeri Palembang menjadi bukti betapa sulitnya memperoleh keadilan lingkungan meskipun sekarang ini Indonesia berada di bawah rejim baru (Sriwijaya Post, 14 Desember 1999)
LBH Palembang juga mengajukan kasus penduduk desa dari Sungai Baung ke pengadilan Tinggi setelah hakim setempat membatalkan kasus itu dengan dasar bahwa pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan oleh PT MHP tidak memiliki sangkut pautnya dengan masalah lingkungan dan tidak dapat diadili berdasarkan undang-undang lingkungan tahun 1997. Hakim juga menolak mengakui bukti kuat tentang status kepemilikan lahan 141 wakil-wakil yang mengajukan "Class Action" (Sriwijaya Post, 7 September 1999)
Sementara itu, PT MHP juga menginkari kesepakatan yang dibuat untuk mengalihkan 16.000 hektar lahan milik masyarakat Kapak Tengah 1 (Rambang Lubai) setelah tim penyelidik bersama antara pemerintah lokal dan staf perusahaan membuktikan bahwa pihak perusahaan perkebunan telah melakukan pengambilalihan lahan secara illegal. Masyarakat setempat juga menuntut agar tanah mereka dikembalikan dan perusahaan harus menyediakan uang sebesar Rp. 650 milyar (US $87 juta) selama 9 tahun akibat pengusiran mereka dari hutan, perkebunan dan pertanian milik mereka. Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan kontraktor PT MHP untuk melakukan protes ke kantor gubernur dengan membawa gergaji karena mereka telah diberhentikan bekerja selama proses penyelidikan dan prosedur pembahasan konflik dilakukan (Sriwijaya Post, 9 Oktober 1999, 1 November 1999, 8 November 1999).
Selain itu, konsesi lahan milik PT MHP seluas 300.000 hektar nampaknya telah menjadi fokus tuduhan korupsi setelah menteri kehutanan Nur Mahmudi melakukan kebijakan baru untuk mengangkat masalah korupsi yang dikaitkan dengan keluarga Suharto dan para kroninya. Penyelidikan internal yang dilakukan Departemen Kehutanan dan Perkebunan menunjukkan bahwa PT MHP terlibat dalam penyalahgunaan dana hampir Rp. 350 trilyun (US $ 50 million) yang diambil dari dana Reboisasi. Siti Hardiyanti Rukmana (mbak Tutut) adalah rekan bisnis dekat pengusaha konglomerat Prajogo Pangestu yang menjadi pemilik PT MHP dan PT TEL dan menjadi pemilik saham nominal di kedua perusahaan tersebut (Kompas 22 Januari 2000)
Pada bulan Desember, enam desa di Rambang Lubai (Kecamatan Muara Enim) menderita bencana banjir. Penduduk desa menyalahkan terjadinya banjir tersebut akibat pengalihan hutan alamiah menjadi perkebunan skala besar untuk kelapa sawit serta tanaman yang tumbuh dengan cepat untuk pengolahan pabrik bubur kertas. Pejabat daerah Palembang juga mempersalahkan hasil penemuan mereka yang menyatakan bahwa sekitar 5 juta kubik lumpur menghambat arus Sungai Musi, sebagai sungai terbesar di Propinsi tersebut, akibat pembangunan perusahaan perkebunan di propinsi tersbut. Operasi pengerukan yang dilakukan oleh Pemda menghabiskan dana sebesar Rp. 8 trilyun dan hanya mampu mengeruk sebanyak 2 juta ton endapan lumpur setiap tahunnya. (Siaran Pers Walhi Sumsel, 14 Desember 1999, 6 Januari 2000).