Perketat aturan tentang HAM dan lingkungan hidup untuk perusahaan tambang, permintaan untuk anggota parlemen Inggris

Richard Solly menyampaikan bukti-bukti kepada anggota parlemen dalam sidang komisi di London. (gambar: dipetik dari video)

DTE Update, London, 4 Maret 2014

London Mining Network, World Development Movement dan Ornop lainnya hari ini menyerukan kembali perlunya regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan industri ekstraktif yang tercatat di Bursa Saham London. Mereka menginginkan adanya persyaratan baru bagi perusahaan untuk memenuhi standar hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup dan iklim sebelum tercatat di London, dan untuk memenuhi standar transparansi yang jauh lebih tinggi. Pemerintah harus melembagakan pemonitoran yang lebih tinggi terhadap perilaku perusahaan ekstraktif, dengan sanksi-sanksi yang jelas bagi perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ini.

Komisi Khusus Parlemen untuk Departemen Bisnis, Inovasi dan Keahlian di London hari ini mendengar bukti dari empat wakil Ornop – dari London Mining Network (LMN), World Development Movement (WDM), Christian Aid dan WWF-UK – sebagai bagian dari penyelidikan resmi mereka terhadap sektor industri ekstraktif.[1] Penyelidikan itu sebagian besar dipicu skandal seputar Bumi plc,[2] perusahaan batu bara yang tercabik-cabik oleh sengketa manajemen antara para direktur Indonesia dan Inggris. Perusahaan itu telah mengalami kemerosotan harga saham, pembekuan saham secara sementara, dan menjadi sasaran penyelidikan korupsi yang sedang berlangsung. Sebuah upaya “perceraian” antara pihak Indonesia dan Inggris dari Bumi plc masih belum terselesaikan, karena sengketa yang masih berlanjut terkait biaya, masalah hukum dan utang-piutang.

Aset utama Bumi plc adalah investasi di pertambangan batu bara, termasuk tambang batu bara KPC yang sangat besar di Kalimantan Timur yang memiliki catatan panjang mengenai dampak negatif secara sosial, lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia terhadap masyarakat setempat. DTE telah berulang kali mengangkat masalah dampak ini agar menjadi perhatian dari perusahaan dan masyarakat yang lebih luas di Inggris dan Indonesia, dengan menyatakan bahwa kepentingan masyarakat seharusnya tidak boleh ditenggelamkan oleh pertikaian di antara dewan direksi.[3]

Para anggota parlemen mengajukan pertanyaan terhadap para wakil Ornop selama satu setengah jam tentang bukti tertulis yang telah mereka serahkan sebelumnya. Dokumen yang diserahkan LMN menyatakan bahwa operasi perusahaan-perusahaan tambang yang tercatat di Inggris dan yang dibiayai Inggris menyebabkan kerusakan parah dan mewariskan pengalaman pahit. “Keterlibatan dengan perusahaan tambang maupun inisiatif sukarela seperti EITI tidak cukup membuat para perusahaan tambang bertanggung jawab; regulasi yang lebih ketat memang dibutuhkan.”

LMN merekomendasikan agar Otoritas Etik Finansial atau badan hukum lainnya diberi kekuasaan, tanggung jawab, dana, dan kapasitas kelembagaan untuk penegakan etik finansial yang baik pada seluruh perusahaan ekstraktif yang tercatat di Inggris, termasuk yang melakukan perdagangan di Pasar Investasi Alternatif pada Bursa Saham London. ”Ini harus menjangkau melebihi dari masalah kekhawatiran keuangan para pemegang saham dan memasukkan kepatuhan pada standar hak-hak asasi manusia, sosial dan lingkungan hidup.”[4]

Materi tambahan dikirimkan setelah pertemuan antara DTE, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), LMN dan para anggota Komisi Parlemen di bulan November tahun lalu, dalam rangkaian perjalanan kampanye keliling dan lobi oleh Koordinator JATAM dan seorang wakil masyarakat adat Kolombia yang terkena dampak dari aktivitas BHP Billiton. [5]

Dalam sidang hari ini, para anggota parlemen tertarik untuk mengetahui mengapa begitu banyak Ornop yang bekerja di masalah industri ekstraktif, apa pandangan mereka tentang pelibatan perusahaan ekstraktif, seberapa jauh industri itu membuat kerusakan atau sebaliknya terhadap kepentingan Inggris bahwa London adalah pusat dari perusahaan industri ekstraktif, dan apa cara yang paling efektif untuk membuat perusahaan memperbaiki praktik-praktik mereka. Mereka menanyakan tentang langkah-langkah yang diperkenalkan oleh bursa-bursa saham lainnya (misalnya bursa saham Hong Kong dan Johannesburg) untuk memberlakukan standar hak-hak asasi manusia, sosial dan lingkungan hidup.

Para Ornop tersebut berpendapat bahwa adalah hal yang merusak sekaligus memalukan bagi Inggris untuk terus membiarkan perusahaan-perusahaan dengan prestasi buruk dalam hal hak-hak asasi manusia, sosial dan lingkungan hidup tercatat di Bursa Saham London. ‘Mereka harus diwajibkan secara hukum untuk menerbitkan informasi yang jauh lebih lengkap tentang seluruh dampak dari operasi mereka’, kata Richard Solly dari LMN. ‘Ini haruslah mencakup persyaratan untuk melaporkan tidak hanya lapangan kerja yang mereka ciptakan, tetapi juga jumlah lapangan kerja yang dihancurkan’.

Perusahaan-perusahaan yang tercatat di Inggris seharusnya diwajibkan secara hukum untuk mencatat dalam laporan-laporan perusahaan mereka seluruh temuan tentang ketidakpatuhan pada standar IFC dan OECD, katanya, dan tentang regulasi-regulasi Inggris dan non-Inggris mengenai keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan hidup, serta vonis dari pengadilan Inggris dan non-Inggris. Otoritas Etik Finansial Inggris juga harus memastikan bahwa perusahaan yang tercatat di Inggris mengakui dan menghormati standar-standar internasional hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang telah ditandatangani Inggris, termasuk Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Perusahaan-perusahaan harus diwajibkan untuk menerapkan standar-standar lingkungan hidup, sosial, budaya, tenaga kerja, serta kesehatan dan keselamatan yang tertinggi.

‘London sebagai pusat industri ekstraktif juga membawa risiko finansial yang tinggi’, kata Alex Scrivener dari WDM: ‘jika “gelembung karbon” atau ketergantungan yang tinggi terhadap investasi dalam industri yang intensif terhadap karbon pecah di tengah-tengah gerakan untuk mengurangi karbon dalam perekonomian Inggris, kita bisa terlempar ke dalam krisis finansial lagi’.

Sepanjang dengar pendapat tersebut, berulangkali rujukan ditujukan pada situasi tertentu di Indonesia yang terkait dengan industri ekstraktif tersebut. Rujukan tersebut ditujukan kepada perusahaan-perusahaan seperti BHP Billiton, Rio Tinto (termasuk tambang Grasberg), Bumi dan perusahaan lainnya. Saat penutupan sidang tersebut, WDM merujuk “pembongkaran isi perut bumi” oleh industri pertambangan batu bara terhadap salah satu provinsi di Indonesia (Kalimantan Timur).[6]

Tahap selanjutnya dari penyelidikan Komisi tersebut adalah kunjungan ke Afrika Selatan untuk melihat praktik-praktik industri ekstraktif di sana. Setelah itu, Komite akan menerbitkan laporan dan rekomendasinya untuk pemerintah Inggris. Baru setelah itu dapat dibuktikan seberapa jauh komite lintas partai dari anggota parlemen ini telah memperhitungkan kebutuhan mendesak akan reformasi dan apa yang secara khusus mereka rekomendasikan untuk memulihkan situasi tersebut.


[1] Video dapat diperoleh sini.

[2] Dalam sebuah upaya untuk mengubah dan membersihkan citra Bumi, perusahaan tersebut telah diganti namanya dengan 'Asia Resource Minerals'.

[3] Lihat laporan DTE tentang Bumi sini.

[4] Dapat diperoleh (dalam Bahasa Inggris) sini.

[5] Terlampir (dalam Bahasa Inggris) di bagian akhir laporan ini.

 

 

LampiranUkuran
Jatam + DTE submission to BIS Select Committee extractives enquiry (final)1.doc59 KB
LMN-evidence-psc.pdf180.13 KB
Statement from Jazmin Romero Epiayu for SC BIS4.doc28.5 KB