Minyak dan Globalisasi

Down to Earth Nr 48  Februari 2001

Dunia sekarang ini diatur oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional (TNC) besar yang telah merambah ke dalam setiap wilayah produksi yang tergantung pada minyak alam. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Oilwatch, sebuah jaringan kerja LSM internasional tentang masalah perminyakan.

Dalam pernyataan yang disiapkan untuk "Social Summit" di Porto Alegre, Brazil, kelompok itu menguraikan globalisasi sebagai "suatu proyek yang gagal, didukung oleh ekstraksi minyak alam yang mengancam kehidupan dan masa depan dunia ini." Minyak-yang dikuasai TNC ini telah digunakan dalam kegiatan transportasi, industri dan perangkat mekanik pertanian. Fenomena ini telah menjadi landasan pola globalisasi yang menguntungkan negara-negara industri di Utara atas Dunia Ketiga. Minyak adalah produk yang mendapatkan subsidi sangat besar. Hal ini terjadi karena biaya ekologis dan sosial dari ekstraksi minyak tidak dimasukkan dalam harga jual. Hal ini mengakibatkan sulitnya sumber-sumber energi lain yang bersih, terdesentralisasi dan berdampak rendah untuk bersaing dengan minyak.

Strategi di antara perusahaan-perusahaan minyak dan gas sekarang ini adalah penggabungan menjadi perusahaan raksasa(seperti Exxon/Mobil, BP/Amoco/Arco dan Chevron/Texaco], guna meningkatkan ekstraksi dan konsumsi minyak bumi di wilayah selatan, mengakses wilayah-wilayah baru, termasuk eksplorasi bawah laut (lihat pengembangan Unocal di Selat Malaka) dan membangun jalur pipa gas TNC (lihat jalur pipa yang belum lama ini dibuka dari Natuna ke Singapura serta rencana-rencana lainnya.

Menurut Oilwatch, masyarakat sipil yang berupaya mencari alternatif terhadap arus globalisasi korporasi yang terus berlanjut, harus mencari cara untuk memutus daya gerak yang mendukung proses tersebut. Tuntutan untuk penundaan eksplorasi minyak, boikot dan perlawanan sipil adalah cara-cara yang mereka anjurkan. Masyarakat sipil juga bisa berupaya membangun suatu masyarakat yang tidak dilandaskan pada penggunaan minyak serta mendukung proses perlawanan dari gerakan "Masyarakat Bebas Minyak". Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat adat yang hidup di berbagai belahan dunia.

Oilwatch menganjurkan agar masyrakat sipil melawan strategi kooptasi yang biasa digunakan TNC tersebut untuk mendapatkan kekuasaan lebih besar terhadap kehidupan dan sumber daya alam. Mereka juga menunjukkan bahaya-bahaya program hubungan kemasyarakatan perusahaan-perusahaan tersebut: "Partisipasi sebagai ganti oposisi; konsultasi terhadap proyek menjadi bentuk kesepakatan; dialog menjadi kesepakatan." Akhirnya, Oilwatch menganjurkan agar masyrakat sipil untuk berupaya mengangkat masalah "hutang ekologis" – suatu kerusakan yang disebabkan eksplorasi sampai konsumsi-yang diciptakan oleh industri-industri gas dan minyak.

Social Summit di Brazil yang bertepatan dengan Forum Ekonomi Dunia di Davo, Swiss pada bulan Januari dihadiri oleh perwakilan-perwakilan perusahaan minyak dan perusahaan transnasional lainnya. Untuk Kertas Posisi Oilwatch tentang globalisasi, perusahaan-perusahaan minyak dan transnasional dapat diminta melalui oilwatch@uio.satnet.net dan situs web mereka di www.oilwatch.org.ec.

 

Langkah Hak Asasi Manusia dari Perusahaan

Mengambil posisi terhadap "Tanggung Jawab Perusahaan" telah menjadi alat penting bagi para TNC untuk memperbaiki reputasi mereka ketika dampak sosial dan ekologis akibat kegiatan mereka tersebar luas.

Pada bulan Desember, tujuh perusahaan besar di Inggris dan Amerika Serikat mengumumkan dukungan mereka terhadap inisiatif pemerintah yang ditujukan untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di fasilitas perusahaan mereka di negara-negara berkembang. Ketujuh perusahaan tersebut termasuk tiga perusahaan minyak dari Amerika Serikat (semuanya terlibat aktif dalam proyek-proyek kontroversial di Indonesia) yaitu Chevron, Texaco dan Conoco, selain juga BP Amoco dan Shell dari Inggris, serta kelompok perusahaan pertambangan Rio Tinto dan Freeport MacMoran. Perusahaan-perusahaan yang tidak termasuk dalam daftar tersebut adalah Exxon Mobil (lihat operasi di Aceh) dan Premier Oil, yang aktif beroperasi di Burma dan Indonesia.

Keterlibatan Freeport dalam tindakan pelanggaran HAM oleh pihak militer di tambang Papua Barat (yang juga dimiliki oleh Rio Tinto) sudah sejak lama diprotes oleh masyarakat setempat dan LSM. Tahun lalu, suratkabar Australia telah mengungkap sejarah pelanggaran HAM Rio Tinto di tambang emas Kelian, Kalimantan Timur (lihat DTE 47).

Sepanjang sengketa sengit ini dengan perusahaan-perusahaan tersebut terus berlangsung, tetap saja sulit untuk meyakinkan masyarakat yang terkena dampak terhadap komitmen perusahaan-perusahaan tersebut untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi sebagai suatu komitmen yang benar-benar tulus. (sumber: Financial Times 21/Dec/00, Petromindo 29/Jan/00)