Konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan Inggris di Kalimantan

Down to Earth Nr 55  November 2002

Ketegangan antara perusahaan perkebunan HSL dan masyarakat adat di daerah Manis Mata, Kalimantan Barat terus meningkat. Pada bulan Juli, perusahaan milik Inggris tersebut mulai membebaskan tanah adat penduduk desa Terusan, walaupun masyarakat telah berulang kali menyatakan penolakan mereka secara bersungguh-sungguh terhadap kelapa sawit. Sengketa tanah ini berlanjut menjadi perkara terhadap hak atas tanah adat.

Ketika penduduk desa Terusan mengetahui bahwa buldozer kontraktor telah menghancurkan sekitar 100 hektar hutan dan ladang mereka serta mengganggu daerah kuburan, merekapun naik pitam. Mereka telah dua kali mengingatkan PT Harapan Sawit Lestari (HSL) serta pejabat setempat bahwa mereka tak akan menyerahkan tanah adat mereka sedikitpun untuk perkebunan kelapa sawit. Setelah sebuah rapat desa pada tanggal 18 Juli, mereka memutuskan untuk mengambil alih buldozer. Pada malam harinya, masyarakat Terusan mengadakan persidangan hukum adat. Tuntutannya amat serius; bagi penduduk Dayak Jelai Sekayu, mengotori daerah kuburan adalah sama dengan pembunuhan. Keputusannya, sesuai hukum adat setempat, HSL harus membayar denda simbolik atas pengrusakan terhadap hutan dan daerah kuburan. Bentuknya berupa penyerahan rumah-rumah tradisional, alat-alat musik dan jambangan antik selain makanan dan minuman - senilai Rp 150 juta dalam bentuk uang. Pengendara buldozer setuju dan menyatakan HSL akan membayar denda pada tanggal 25 Juli.

Bukannya membayar denda dan menyelesaikan ketegangan secara langsung dengan masyarakat, HSL malah melibatkan pemda Ketapang. Bupati kemudian mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Agustus yang dihadiri oleh DPR, HSL dan LSM setempat yang terpilih. Dewan Adat yang dibentuk pemerintah juga hadir. Tak ada wakil dari Terusan karena masyarakat tidak setuju dengan adanya campur tangan pihak ketiga. Pertemuan memanas dan jauh dari menyelesaikan masalah, malah menjadi semakin rumit. LSM setempat dituduh sebagai anti-pembangunan dan dianggap teroris yang menghasut masyarakat setempat dan tidak mengakui wewenang negara.

 

Politik Pemetaan

Pengakuan hak atas tanah adat merupakan titik pusat dari konflik ini maupun yang lainnya di daerah Manis Mata. LSM Kalimantan Barat, termasuk Institut Dayakologi (ID) dan PPSDAK, telah merintis keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peta sebagai alat untuk memberi kekuatan bagi masyarakat adat - membantu mereka untuk mengetahui luas dan nilai tanah adat dan sumber daya mereka sehingga mereka bisa memberikan keputusan yang jelas mengenai penggunaannya di masa depan. Terusan adalah salah satu desa yang telah, dengan bantuan teknis dari beberapa LSM, menghasilkan peta masyarakat.

HSL tetap menyatakan telah mendapat ijin penggunaan tanah desa untuk perkebunannya, tapi dari kelompok Silat, bukan Terusan. Menurut HSL, ada pertentangan antara kedua masyarakat desa ini mengenai kepemilikan tanah. Tetapi pernyataan ini dianggap kemungkinan besar tidak benar, karena proses pembuatan peta masyarakat dilakukan melalui negosiasi atas batas tanah adat dengan desa-desa tetangga. Para bupati Ketapang bersikukuh bahwa hanya pemerintah yang mempunyai wewenang untuk membuat peta dan kegiatan pembuatan peta oleh para LSM dianggap tidak sah, tidak sesuai hukum dan bersifat menghasut. ID tercatat sebagai organisasi yang terlama dalam mendukung pergerakan masyarakat adat di Indonesia dan merupakan bagian dari kelompok Pancur Kasih dari Pontianak, yang mempunyai reputasi baik selama 20 tahun dalam usaha pengembangan masyarakat setempat. Kedua organisasi tersebut menentang keyakinan kuat pihak pemerintah bahwa perkebunan kelapa sawit berskala besar akan membawa kesejahteraan bagi para petani hutan.

 

Keladi: hak vs amal

Terusan hanyalah salah satu dari beberapa masyarakat yang termasuk dalam wilayah konsesi HSL. Sebelumnya, beberapa diantaranya meminta ganti rugi yang layak atas tanah dan panen. Sebagian juga menuntut alokasi yang layak atas tanah melalui kredit koperasi kepemilikan (KKPA). Beberapa orang menyatakan bahwa mereka dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka dan terjadi manipulasi atas perijinan serta pembayaran ganti rugi. Sebagian besar kemudian lelah berjuang dan akhirnya tidak mempunyai banyak pilihan selain menerima berapapun jumlah yang ditawarkan perusahaan. Namun demikian, masyarakat Keladi menawarkan pemecahan yang cukup radikal: mereka ingin agar perusahaan mengakui hak mereka atas tanah dengan membayar sewa usaha sebesar Rp. 350.000 per keluarga untuk setiap hektar tanah yang digunakan untuk perkebunan setiap bulan selama 30 tahun masa konsesi.

HSL menolak untuk mempertimbangkan tuntutan masyarakat Keladi. Pihak manajemen senior menyatakan bahwa dengan membayar sejumlah itu kepada satu desa akan membuat iri desa yang lain, dan untuk membayar pada semua desa akan mengakibatkan perusahaan bangkrut. Sebaliknya perusahaan memberikan ganti rugi berupa program pengembangan masyarakat di wilayah garapannya, yang disetujui pemerintah setempat. HSL memperbaiki jalan menuju desa, membuka lahan untuk lapangan sepak bola, menyerahkan sebuah disel dan satelit parabola serta menyerahkan sumbangan untuk gereja. Masyarakat Keladi menyatakan bahwa mereka tidak tertarik dengan pemberian dari perusahaan tersebut ; mereka menginginkan pengakuan yang layak atas hak mereka.

 

Seruan Hak Asasi Manusia

Kuatir bahwa pemerintah akan segera mengirim armada polisi yang terkenal kejam, perwakilan dari masyarakat Terusan dan Keladi pergi ke Jakarta pada awal Oktober untuk mencari bantuan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Para penduduk desa berkeyakinan bahwa bukan suatu kebetulan bahwa dua penduduk desa yang melawan HSL dan menuntut hak mereka kemudian ditangkap dengan tuduhan menghasut dan tuduhan lain yang tidak ada hubungannya. Mereka menyampaikan keterangan pada Komisi mengenai latar belakang konflik wilayah garapan HSL di Manis Mata, serta tuntutan masyarakat Keladi dan Terusan. Komisi berjanji untuk segera membawa kasus itu secara tertulis ke berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemerintah setempat, perusahaan bersangkutan dan Lembaga Pertanahan Nasional.

Konfrontasi antara masyarakat dan HSL, maupun antara LSM setempat dan Pemda Ketapang belum teratasi pada saat DTE naik cetak. Masyarakat desa Terusan masih menyita buldozer milik kontraktor sampai denda adat dibayar. Masyarakat Keladi bersikukuh akan tuntutan mereka atas bayaran yang layak untuk sewa tanah mereka. Polisi belum dikerahkan ke lokasi. Bupati belum memulai tindakan hukum. Jalan buntu ini, paling tidak sebagian disebabkan oleh masalah perjalanan antara Manis Mata, Ketapang dan Pontianak - perjalanan dua hari lewat darat dan dengan perahu yang mahal pada kondisi normal dan amat sulit pada saat terjadi kebakaran hutan. Mungkin juga diperlambat oleh bulan puasa yang akan dimulai bulan November, mengingat mayoritas pejabat pemerintah beragama Islam.

Situasi sangat genting dan bisa meledak menjadi pertempuran sengit kapan saja. Dua tahun yang lalu, penduduk desa yang marah merusak perkebunan kelapa sawit milik HSL dengan menggunakan mesin gergaji. Pada beberapa kejadian, penduduk desa memblokade jalan untuk menghalangi truk-truk perkebunan hilir mudik antara perkebunan dan pabrik pengolahan. Sejumlah surat, petisi dan demonstrasi ditujukan ke DPR dan kantor pemda di Ketapang. Para anggota masyarakat menyampaikan keluhan mereka kepada Menteri Inggris untuk Kerjasama Luar Negeri, Clare Short, ketika ia mengunjungi Kalimantan Barat pada bulan Oktober 2000. Tidak ada warga Dayak di tingkat manajemen HSL dan kepala desa Manis Mata serta para pejabat setempat semua keturunan Melayu, yang tidak memiliki hak atas tanah adat dan mempunyai tradisi yang berbeda.

HSL baru saja diambil alih secara keseluruhan oleh CDC, dan pihak manajemennya menjanjikan pendekatan baru yang didasarkan pada mendengarkan, bukan konfrontasi. Namun banyak orang dari daerah garapan Manis Mata merasa bahwa telah terlalu banyak janji yang tidak dipenuhi oleh perusahaan sebelumnya. Jumlah orang yang masih bersedia menghadapi perusahaan sudah tinggal sedikit, tapi mereka masih penuh semangat.

(sumber: komunikasi dengan CDC, HSL, LSM dan Kelompok Masyarakat setempat)

 

Harapan Sawit Lestari

Kelompok usaha Harapan Sawit Lestari terdiri dari 5 perusahaan kecil: PT ASL Timur; PT ASL Barat; PT HSL Selatan; PT HSL Utara; HKM B. Ijin yang dimiliki saat ini mencakup hampir 32.000 hektar. Hampir setengah dari wilayah tersebut telah ditanami kelapa sawit sampai dengan bulan Juli 2002. Investasi Inggris berhasil menjadikan HSL salah satu dari perusahaan perkebunan yang paling berhasil di Kalimantan Barat. CDC membeli seluruh saham dari pemilik saham HSL dari Indonesia ketika ia mengalami masalah keuangan, dan sejak bulan Juni tahun ini, CDC memiliki dan mengelola kelompok HSL ini secara keseluruhan. Kini mereka sedang berusaha untuk mengambil alih perkebunan di daerah sekitarnya. HSL-CDC memperkerjakan banyak pekerja transmigran yang kehilangan pekerjaannya dan ditinggalkan begitu saja tanpa kerja maupun gaji selama beberapa bulan ketika PT Polyplant jatuh pailit tahun lalu.

HSL-CDC juga ingin memperluas operasinya ke daerah Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Perusahaan memberi sumbangan ke Pemda dan menyerahkan bantuan alat dan teknisi untuk jembatan penyeberangan sungai yang merupakan perbatasan propinsi. Jembatan yang menurut rencana akan selesai pada pertengahan 2002 ini menjadi jalan penghubung antara kedua daerah perkebunan.

 

CDC

Nama aslinya adalah Commonwealth Development Corporation, CDC, merupakan alat bagi bantuan Inggris ke luar negeri untuk sektor swasta di negara-negara berkembang dalam bentuk pinjaman dan modal terutama untuk usaha pertanian. Kini CDC membiayai berbagai jenis pengembangan usaha industri dan komersial sektor swasta di Asia. CDC diawasi oleh pemerintah Inggris, melalui Departemen Kerjasama Bantuan Luar Negeri (DFID) sebagai pemilik saham penuh. Rencana untuk swastanisasi penuh perusahaan ini pada akhir 2001 ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. CDC memiliki kewajiban sesuai undang-undang untuk menjalankan usaha sesuai dengan prinsip yang disetujui oleh DFID yang mempunyai kejelasan secara etis, lingkungan, kesehatan dan keamanan serta sosial politik.

Operasi CDC di Indonesia dimonitor melalui perseroan induk (holding company) yang berkantor di Singapura yaitu Pacific Rim Palm Oil (Pacrim), yang menyatakan dirinya sebagai salah satu dari kelompok perusahaan perkebunan minyak kelapa sawit Asia Tenggara yang paling pesat berkembang. Clive Taylor, presiden direktur HSL-CDC, ditugaskan juga sebagai direktur pertanian Pacrim. Selain HSL di Kalimantan Barat dan Asiatic Persada di Jambi, Pacrim kini juga memiliki tiga usaha perkebunan di Papua New Guinea.

CDC juga membiayai PT Agro Indomas, usaha perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah yang dikelola oleh perusahaan Malaysia, Agro Hope Sdn Bhd. Semua usaha tersebut mempunyai permasalahan hak atas tanah. Kelompok masyarakat dan LSM setempat maupun internasional telah mengajukan sejumlah permasalahan sosial dan lingkungan kepada CDC dan DFID selama beberapa tahun terakhir (lihat dte.gn.apc.org/camp.htm#CDC).