Kepentingan Batubara BP: Kaltim Prima

Down to Earth No 52  Februari 2002

Sekarang ini, BP mengelola dan memiliki usaha bersama pertambangan terbesar di Indonesia. Mereka memegang saham sejumlah 50% di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Ini merupakan operasi besar yang membuka wilayah-wilayah pertambangan dekat Sanggata, Kalimantan Timur. Pemilik 50% saham lainnya adalah Rio Tinto, sebuah perusahaan milik Anglo-Australia.

KPC saat ini terlibat pertarungan kekuasaan dengan pemerintah daerah. Berdasarkan kesepakatan awal, perusahaan milik asing ini harus menjual 51% sahamnya kepada pihak Indonesia. Ketegangan semakin meningkat sejak undang-undang otonomi daerah diberlakukan pada bulan Januari 2001.

Pemerintah propinsi Kalimantan Timur nampaknya sangat gigih untuk mendapatkan bagian dari operasi-operasi KPC yang menguntungkan. Jika kesepakatan itu berhasil dibuat, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintahan daerah terlibat dalam menjalankan bisnis pertambangan skala besar di Indonesia. KPC menyatakan bahwa sikap penguasa lokal yang agresif akan membuat para investor asing di masa yang akan datang akan lebih berhati-hati menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada bulan Oktober 2001, pemerintah propinsi Kalimantan Timur telah memulai tuntutan hukum mereka melawan KPC karena perusahaan itu membatalkan pembagian saham mereka. Pemerintah daerah mengajukan tuntutan kerugian sebesar US $ 772 juta, serta biaya tambahan sebesar US $ 4 juta atas biaya hukum dan penyitaan aset-aset perusahaan. Rio Tinto mengancam akan menarik seluruh aktivitas PT KPC apabila pengadilan memberikan putusan yang memenangkan pemerintah Kalimantan Timur.

Para pejabat Kalimantan Timur sangat berminat untuk mendapatkan saham mayoritas, tetapi KPC tidak ingin kehilangan kontrol mereka sebagai pemodal tunggal dalam operasi tersebut. Tidaklah mengherankan mengapa kedua belah pihak begitu ngotot mempertahankan posisi masing-masing. Kegiatan pertambangan itu merupakan aktivitas pertambangan batubara terbesar di dunia dengan hasil sekitar 15 juta ton setiap tahunnya dengan cadangan kandungan batubara yang diperkirakan akan tersedia sampai 20 tahun yang akan datang.

Wilayah konsesi KPC meliputi sekitar setengah dari 4,41 trilyun ton dari total cadangan kandungan batubara di Kalimantan Timur. Selain itu, batubara yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Belum lagi dengan biaya buruh yang murah, meskipun pernah terjadi pemogokan pada tahun 2000 dan 2001. Pemerintah daerah memperkirakan akan mendapat penghasilan sebesar lebih dari US $ 300.000 per hari (yang dihasilkan dari 13,5 persen royalty terhadap nilai jual batubara dan 35 persen pajak pendapatan) dari produksi harian yang mencapai lebih dari 50.000 ton kubik batubara kualitas tinggi. Faktor inilah yang menjadikan aktivitas pertambangan itu bernilai tinggi bagi kedua pihak.

Sejak bulan Januari 2001, sebagian besar pendapatan tersebut (80%) akan mengalir ke kantung pemerintah daerah dibandingkan pemerintah Jakarta. KPC juga memiliki pelabuhan air dalam di pantai Kalimantan Timur. Tambang itu sendiri mempekerjakan lebih dari 6.400 buruh, 2.600 pegawai dan sisanya akan didapat dari pihak subkontraktor. Rio Tinto dikatakan telah menginvestasikan dana sebesar US $ 450 juta di situs tersebut.

Pada pertengahan tahun 2001, negosiasi-negosiasi tentang penilaian saham mengalami kemacetan. KPC bersikukuh bahwa hanya pihak perusahaan dan pemerintahan pusat yang memiliki hak untuk menentukan harga saham. Namun, pemerintah pusat di Jakarta nampaknya enggan untuk menyatakan sikap yang tegas. Tengat waktu mencapai kesepakatan sekarang ini diperpanjang sampai dengan 31 Maret 2001.

Meskipun Kalimantan Timur adalah propinsi yang kaya, US $ 450 juta adalah jumlah yang besar untuk meningkatkan jumlah saham mencapai 51%. Pemerintah lokal nampaknya memilih investor swasta untuk membiayai biaya akuisisi. Perusahaan itu adalah sebuah perusahaan swasta berbasis di Jakarta, yaitu PT Intan Bumi Inti Pradana. Tapi kemungkinan perusahaan ini juga akan mencoba mendapatkan dana dari persuahaan-perusahaan lain. Penguasa-penguasa setempat di Kalimantan Timur sampai sekarang belum mengeluarkan informasi apapun tentang pendanaan, atau siapa yang berada di belakang perusahaan tersebut. Menurut salah satu laporan, pemerintah daerah akan mendapat 10 persen bagian secara gratis. Nampaknya dua orang anak dari pejabat tinggi daerah Kalimantan Timur diyakini bekerja untuk PT Intan.

 

Pemogokan dan Kompensasi

Serangkaian pemogokan dan sengketa berkaitan dengan masalah kompensasi dengan pemilik tanah setempat telah mengurangi hasil KPC pada tahun 2000 dan 2001. Klaim kompensasi untuk 7.273,5 hektar tanah di dalam dan sekitar situs pertambangan sampai sekarang masih belum dilunasi. KPC setuju untuk membayar sebesar Rp 10 Milyar (US$ 1juta) untuk menyelesaikan persengketaan mereka dengan penduduk desa dari Bengalon pada bulan Februari 2001. Tetapi KPC menolak untuk memenuhi tuntutan 600 orang petani lainnya sebesar Rp. 3,3 milyar untuk lahan yang meliputi 3.000 hektar dari tanah mereka yang diambil untuk aktivitas pertambangan. Perusahaan bersikukuh bahwa mereka telah membayar kompensasi yang layak dan menyalahkan pada manipulasi yang melibatkan pihak dalam.

Para petani dari desa Kabojaya dekat Sanggata telah mengajukan protes kepada pemerintah kabupaten Kutai Timur atas polusi yang ditimbulkan oleh PT KPC. Penduduk desa mengatakan bahwa limbah dari pertambangan telah menyebabkan mereka tidak bisa lagi bercocok tanam. Mereka juga tidak bisa lagi menggunakan air dari sungai Murung untuk aktivitas sehari-hari seperti memasak, mandi atau mencuci. Penduduk menuntut biaya kompensasi sebesar Rp. 1 milyar, tapi sebagai gantinya KPC malahan menawarkan fasilitas irigasi yang bernilai Rp. 700 juta. KPC telah menyewa anak cabang Indonesia perusahaan Eropa Group 4 untuk menjaga keamanan operasi mereka sejak bulan Agustus 2000. Hal ini juga disebabkan oleh protes-protes karena penduduk setempat khawatir kehilangan pekerjaan mereka oleh orang-orang luar.

KPC telah mencoba untuk mengambil hati para pejabat daerah dengan menjanjikan bantuan sebesar US $ 1,5 juta setiap tahunnya untuk proyek-proyek pembangunan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur. Dana itu ditujukan untuk SMA di Sanggata, skema kredit mikro, program kesehatan dan proyek-proyek pertanian.

Para pejabat setempat nampaknya enggan untuk menerapkan kontrol ketat terhadap operasi-operasi KPC dan melakukan segala cara yang mereka bisa lakukan untuk mencegah pemogokan karena pengaruh besar KPC terhadap ekonomi lokal. Ribuan pekerja yang tinggal di sekitar kota Sanggata secara langsung tergantung pada pekerjaan-pekerjaan di pertambangan. Sebagian besar dari penduduk lokal terdiri dari para pendatang yang datang dari wilayah lainnya di Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.

 

Sources:
JP = Jakarta Post, K = Kompas, BI = Bisnis Indonesia, AFR = Australian Financial Review; SP = Suara Pembaruan; FEER = Far Eastern Economic Review.

  1. JP 7/Apr/01
  2. JP 17/Oct/01
  3. Petromindo 17/Oct/01 via Joyo news service 23/Jan/02
  4. Petromindo 19/May/01
  5. Petromindo 11/Jul/01
  6. AFR 15/Jun/01
  7. Petromindo 16/Aug/01
  8. AFR 30/Jun/00
  9. Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory 1999/2000
  10. JP 6/Jul/00
  11. Reuters 24/Nov/01
  12. Dow Jones 10/Jul/00
  13. Ketenagakerjaan Perusahaan Pertambangan Batubara, 2000 Direktorat Batubara, Jakarta via Joyo news service 23/Jan/02
  14. Petromindo 29/Aug/01
  15. Petromindo 25/Jul/01
  16. Petromindo 6/Sept/01
  17. JP 8/Dec/01
  18. via Joyo news service 23/Jan/02
  19. Petromindo 17/Jul/01
  20. JP 16/May/01
  21. Petromindo 3/Sept/01 & FEER 15/Nov/01
  22. Tempo 5/Jun/01
  23. SP 12/Jan/01
  24. BI cited in Petromindo 29/Aug/01
  25. Tempo 5/Jun/01
  26. Kaltim Post (undated) via JATAM Jan 2002
  27. 14/Ap/01
  28. JP 3/Sept/01
  29. JP 5/Dec/01
  30. Petromindo 11/Ap/01
  31. Petromindo 5/May/01
  32. Petromindo 12/Feb/01
  33. Petromindo 3/May/01
  34. Petromindo 9/May/01
  35. Petromindo 17/Jul/01
  36. Petromindo 2/Aug/01
  37. Petromindo 30/Jun/01
  38. Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory 1999/2000 Edition.
  39. Asian Journal of Mining. Gold Group Operations Pty. pp 152-154