Perusahaan batubara Indonesia di Bursa Efek London (LSE)

Pertambangan KPC, Kalimantan Timur – salah satu pertambangan batubara terbuka terbesar di dunia. (Photo: JATAM)

DTE 91-92, Mei 2012

Para pengkampanye menyerukan agar pemerintah Inggris memperketat persyaratan untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek London (LSE). Sebuah laporan baru, yang diluncurkan  pada bulan Februari 2012, memuat studi kasus DTE tentang Bumi plc. yang baru terbentuk. Perusahaan ini dimiliki bersama oleh  keluarga Bakrie Indonesia –pemain kuat dalam politik dan bisnis dalam negeri Indonesia– dan Nat Rothschild, seorang pemodal dari Inggris.

Bumi menjalankan salah satu tambang batubara terbesar dunia, yaitu Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur, sebuah proyek tambang terbuka yang sangat luas dan yang sudah lama diasosiasikan dengan penggusuran warga, penyebab hilangnya mata pencaharian, polusi, pemogokan dan  kesepakatan-kesepakatan bisnis yang meragukan.[1]

London Mining Network (Jaringan Pertambangan London) adalah aliansi dari 27 kelompok masyarakat di bidang hak asasi manusia, pembangunan, dan lingkungan. Jaringan ini menuntut pemerintah Inggris untuk memperkuat persyaratan bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di LSE sebagai bagian dari diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang Layanan Keuangan yang baru. LMN memaparkan delapan studi kasus dalam laporan UK-Listed Mining Companies & the Case for Stricter Oversight  (Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Inggris & Alasan untuk Mempererat Pengawasan) dan mengemukakan bahwa:

  • Banyak perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek London memiliki catatan yang buruk karena keterlibatan dalam  pelanggaran hak asasi manusia, polusi lingkungan atau penghancuran  kebudayaan manusia dan mata pencaharian di berbagai pelosok dunia.
  • Setelah tercatat di Bursa Efek London, beberapa perusahaan pertambangan tetap meremehkan hukum negara tempat mereka beroperasi, atau   menghindari membayar pajak yang sangat merugikan, atau melanggar standar industri pertambangan internasional yang telah diterima, tanpa ada tindakan apa pun dari Otoritas Pendaftaran Bursa Efek Inggris (UK Listing Authority) untuk mendisplinkan perusahaan-perusahaan tersebut.

Laporan ini mengikuti sebuah  perkembangan dramatis di  akhir bulan Februari saat sebuah pertambangan batubara terbuka yang direncanakan dibangun oleh GCM di Bangladesh, yaitu salah satu dari delapan kasus studi yang digunakan dalam laporan ini, dikecam sebagai “mengancam hak asasi manusia” oleh sebuah  panel independen para ahli dari PBB.[2] Pada saat peluncuran laporan ini, anggota parlemen Ingris  John McDonnell  berkata “Kita tak bisa duduk diam dan menyaksikan perusahaan-perusahaan pertambangan global ini secara brutal memiskinkan dan menghancurkan  kehidupan dan lingkungan komunitas secara keseluruhan. Kita tidak hanya perlu membeberkan eksploitasi ini, tetapi juga menuntut agar sistem  peraturan, pengendalian dan akuntabilitas internasional yang kukuh ditetapkan agar kegiatan destruktif dari para korporasi pembajak ini dapat dihentikan.”

Selain Bumi, tujuh perusahaan pertambangan tercatat di Bursa Efek London lainnya yang dipaparkan dalam laporan tersebut adalah African Barrick, Brinkley Mining, African Minerals, London Mining, Vedanta Resources, Glencore dan GCM Resources.

Pada bulan April dan September 2011, LMN menyampaikan komentar  kepada konsultasi yang diadakan  Kementerian Keuangan Inggris  tentang proposal-proposal baru yang mencakup  pendirian sebuah badan baru yang disebut Otoritas Perilaku Finansial/Financial Conduct Authority (FCA). Berdasarkan pengetahuan mengenai dampak sosial, lingkungan dan hak asasi manusia dari pertambangan di seluruh dunia, LMN beranggapan bahwa badan baru ini harus dilengkapi dengan  otoritas, keahlian, petugas   dan pendanaan untuk memungkinkan badan itu memberlakukan pengawasan terhadap semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Inggris dengan cara yang belum dilakukan sebelumnya.  Reformasi peraturan tentang sekuritas harus menghasilkan  pemantauan yang lebih ketat, terutama terhadap perusahaan yang terlibat dalam pertambangan dan perdagangan mineral.

Beberapa rekomendasi untuk lembaga baru FCA

Jika FCA diharapkan berfungsi secara efektif sebagai otoritas pendaftaran bursa efek baru di Inggris, tujuan operasionalnya harus mencakup menegakkan perilaku yang baik di seluruh perusahaan yang terdaftar di bursa efek Inggris. Sebagaimana ditunjukkan oleh studi-studi kasus dalam laporan LMN, bahkan kepatuhan terhadap hukum Inggris tidak secara efektif ditegakkan di masa lalu oleh UKLA.

  1. Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek London dan para direktur mereka harus mematuhi hukum Inggris dan hukum di negara-negara tempat mereka beroperasi serta menghadapi sanksi-sanksi yang sesuai jika mereka tidak mematuhi hukum. Hal ini harus termasuk kepatuhan terhadap peraturan nasional yang menyangkut perlindungan keanekaragaman hayati, ekologi dan lingkungan.
  2. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Inggris harus secara hukum disyaratkan untuk mencatat dalam laporan korporasi mereka semua temuan ketidaktaatan terhadap standar-standar IFC dan OECD, serta peraturan-peraturan Inggris dan di luar Inggris mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dan lingkungan, serta juga keputusan-keputusan dari  pengadilan Inggris dan pengadilan  di luar Inggris.
  3. FCA harus memiliki kekuasaan untuk menegakkan persyaratan pelaporan perusahaan yang berkaitan dengan dampak-dampak lingkungan dan sosial yang terdapat di bagian 172 pada UU Perusahaan tahun 2006, serta sanksi-sanksi jika gagal menaatinya.
  4. FCA harus memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Inggris mengakui dan menghormati standar internasional tentang hak asasi manusia dan lingkungan  yang ditandatangani oleh Inggris, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,  Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, serta menerapkan standar lingkungan, sosial, budaya, perburuhan dan kesehatan serta keselamatan yang tertinggi.[3]
  5. Pengawasan FCA harus diperluas, tidak hanya pada sektor jasa-jasa keuangan, agar mencakup kesiapsiagaan atas perilaku semua perusahaan yang tercatat di bursa-bursa investasi yang ada di Inggris. Hal ini akan membutuhkan pendanaan yang memadai bagi FCA agar dapat meminta pendapat para ahli yang diperlukan.
  6. Pemerintah Inggris harus mendukung aturan pelaporan yang ketat bagi perusahaan tambang serta perusahaan ekstraktif lain yang  terdaftar di bursa-bursa efek  Uni Eropa dan yang tak terdaftar di bursa efek tapi  berbasis di Uni Eropa. Peraturan ini harus berdasarkan pada  usulan tingkat Eropa saat ini yang mengharuskan perusahaan ekstraktif untuk secara terbuka melaporkan pembayaran kepada pemerintah-pemerintah serta data keuangan lainnya berdasarkan prinsip negara-per-negara dan proyek-per-proyek. Aturan Uni Eropa harus setidaknya sama komprehensifnya dengan persyaratan pencatatan bagi perusahaan tambang di Bursa Efek Hong Kong dan yang diusulkan berdasarkan Reformasi Wall Street Dodd-Frank dan UU Konsumen di AS.[4]
  7. Peraturan AIM (Pasar Investasi Alternatif dari LSE) yang berlaku tidak cukup ketat untuk mencegah kerugian dan harus ditingkatkan guna memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang terdaftar di AIM sepenuhnya mematuhi undang-undang hak asasi manusia, sosial, budaya, ketenagakerjaan dan lingkungan, serta peraturan-peraturan dan konvensi yang disebutkan di atas.
  8. Badan pengatur FCA perlu melibatkan orang-orang  yang memiliki keahlian tidak hanya dalam masalah keuangan tapi juga dalam perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan jika ingin melaksanakan fungsinya secara kompeten.
  9. Orang-orang dan organisasi yang memiliki kekhawatiran yang sangat beralasan tentang perilaku perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa efek di Inggris harus dapat memastikan bahwa kekhawatiran mereka diketahui oleh FCA melalui sebuah prosedur yang mudah diakses dan transparan. FCA harus mempertimbangkan dan menanggapi kekhawatiran-kekhawatiran ini, dengan mematuhi kewajiban hukum dan menghormati panduan yang berkaitan dengan partisipasi publik yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

Sumber: http://londonminingnetwork.org/docs/lmn-the-case-for-stricter-oversight.pdf


Bumi tiba di London

Salah satu perusahaan yang disorot dalam laporan LMN adalah Bumi plc, karena perusahaan yang terdaftar di LSE dikenai tuntutan untuk adanya pemeriksaan yang lebih ketat. Berikut adalah ringkasan laporan LMN.

Pada bulan Juni 2011, setelah ‘pengambilalihan terbalik’(reverse take over)[5] dengan Vallar plc – sebuah perusahaan tempurung yang dibentuk oleh tokoh pemodal Nat Rothschild[6] - sebuah perusahaan batubara Indonesia hadir di LSE melalui sebuah transaksi dengan kerajaan bisnis Bakrie.[7]  Setahun sebelumnya, Indra Bakrie, pemimpin perusahaan yang baru dinamai Bumi Plc  mengumumkan niatnya untuk menjadikan Bumi pengekspor batubara untuk pembangkit listrik yang terbesar di dunia pada tahun 2013.[8]  Ambisi dan retorika ini bukan main-main.

Kerja sama bisnis ini adalah hasil pertemuan dari dua keluarga pebisnis yang berkuasa dari Barat dan Timur: Nat Rothschild, penyandang modal korporasi dan keturunan dari keluarga Rothschild, dan Indra Bakrie, anak termuda dari empat bersaudara, pemilik kelompok bisnis Indonesia PT Bakrie & Brothers.

Kelompok Bakrie memiliki kepentingan bisnis dalam agrikultur (termasuk minyak sawit), properti, media, asuransi, perbankan, perdagangan, pengapalan, konstruksi, manufaktur, dan pertambangan. [9] Aburizal Bakrie, sang anak tertua, saat ini merupakan ketua Golkar, partai politik dari rezim Suharto dan berpotensi sebagai kandidat presiden pada pemilihan presiden Indonesia tahun 2014. Pada tahun 2006, salah satu perusahaan yang dikendalikan oleh Kelompok Bakrie, PT Lapindo Brantas, bertanggung jawab atas malapetaka pengeboran minyak di Jawa Timur. Hal ini menyebabkan timbulnya gunung lumpur yang telah menyapu ribuan rumah dan memaksa pindah 30.000 keluarga, dan dituding sebagai penyebab meninggalnya 14 orang, serta terus memuntahkan lumpur hingga hari ini.[10]  Dalam apa yang bisa dipandang sebagai  upaya untuk menghindari pembayaran ganti rugi kepada ribuan korban malapetaka yang masih terus berlanjut ini, Energi Mega Persada, perusahaan milik Bakrie yang menguasai saham mayoritas di PT Lapindo Brantas, telah dua kali mencoba menjual perusahaan ini seharga dua dolar AS kepada sebuah perusahaan luar negeri.

Dalam arena politik, catatan keluarga Bakrie juga menggelisahkan. Keluarga ini dikaitkan dengan kasus-kasus suap dan pengelakan pajak, terutama dalam hubungannya dengan sebuah investigasi terhadap aktivitas-aktivitas tambang Kaltim Prima Coal (KPC) dan perusahaan induknya Bumi Resources.[11]  Tahun 2010, dilakukan berbagai upaya oleh para pejabat Pemerintah Indonesia untuk menyelidiki transaksi pajak dari KPC maupun Bumi Resources. Proses ini telah dihentikan  di pengadilan oleh pengacara-pengacara perusahaan.

Baru-baru ini, seorang pejabat dari kantor pajak telah mengaku bahwa dirinya disuap oleh perusahaan-perusahaan milik Bakrie untuk membantu mereka terkait permasalahan pajak mereka.[12]  Yang lebih mengkhawatirkan adalah pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani pada bulan Mei 2010 setelah pertikaian politik yang panjang dengan Bakrie.[13] Sri Mulyani dikenal dengan kampanye anti-korupsinya. Dua hari setelah pengunduran diri Sri Mulyani, Bakrie ditunjuk sebagai ‘Ketua Harian’ dari sebuah sekretariat gabungan untuk menentukan kebijakan pemerintah.[14] Politik dan bisnis terus terkait dengan  erat. Dalam sebuah artikel tentang kerja sama antara Bakrie dan Rothschild, kepala penelitian sebuah perusahaan broker asing dikutip menasihati para investor untuk menghindari kelompok-kelompok bisnis yang terlalu berkuasa di Indonesia karena sering kali mereka ‘terlalu besar dan berisiko untuk dilawan’.[15]

Bagi Nat Rothchild, tampaknya risiko dan tantangan melakukan bisnis dengan Bakrie dikalahkan  oleh potensi keuntungan yang ditawarkan oleh batubara Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan pengekspor batubara termal terbesar dunia, dan permintaan batubara dari Cina dan India mendorong pertumbuhan yang lebih besar lagi.[16] Model bisnis yang digunakan oleh Rothschild adalah menciptakan perusahaan-perusahaan tempurung yang tercatat di Bursa Efek London sebagai kendaraan investasi bagi perusahaan-perusahaan tambang dan perusahaan-perusahaan minyak dan gas di seluruh dunia. Pada bulan Juli 2010, Penawaran Umum Perdana bagi Vallar memperoleh USD1,1 miliar.[17] Sejak saat itu, Rothschild telah meluncurkan sebuah perusahaan serupa dengan menggunakan nama Vallares untuk berinvestasi di proyek-proyek minyak dan gas di Kurdistan, bersama dengan mantan CEO BP Tony Hayward.

Sebuah artikel Financial Times tentang kesepakatan batubara Bumi menyoroti nafsu Rothschild untuk menghasilkan uang di atas segala pertimbangan lainnya. ‘Kau harus membuat jerami saat matahari bersinar,’ katanya pada kunjungan pertamanya ke Indonesia untuk melihat tambang batubara Kalimantan yang akan ia beli.[18] Mengingat hilangnya hutan hujan Kalimantan secara pesat dan mata pencaharian yang disediakan hutan tersebut bagi penduduk lokal, ada ironi tertentu dalam pernyataan tersebut. ‘Pembuatan-jerami’ ala Rothschild tidak mungkin membawa manfaat bagi hutan-hutan Kalimantan dan masyarakat yang kehidupannya tergantung pada hutan-hutan tersebut.

Banyak yang telah ditulis dalam kolom-kolom keuangan mengenai hadirnya Bumi Plc di LSE. Prosesnya sangat cepat dan pengawasannya minim. Dibutuhkan waktu hanya sedikit lebih dari enam bulan sejak pengumuman awal dari transaksi USD3 miliar di Jakarta hingga pencatatan Bumi di LSE.[19] Enam bulan berikutnya sejak pencatatan ini, jaringan intrik bisnisnya yang ruwet sudah mulai tampak, memunculkan berbagai pertanyaan serius tentang keefektifan proses ‘uji tuntas’ yang dilaksanakan sebelum peluncuran perusahaan pada 28 Juni 2011.[20] Pada tanggal 8 November 2011, sepucuk surat dari Rothschild di Financial Times secara mengejutkan mengecam tata kelola perusahaan dari Bumi Resources, perusahaan mitra Indonesia dari Bumi Plc, dan meminta pembayaran kembali utang-utang oleh pihak-pihak terkait.[21]

Apakah Rothschild benar-benar khawatir akan tata kelola perusahaan dari Bumi Resources beserta utang-utangnya telah banyak diperdebatkan di media keuangan. Kebanyakan menganggap adanya alasan yang sinis di balik surat itu. Keluarga Bakrie dilaporkan tengah menyelidiki mitra barunya karena mencoba memanipulasi harga saham dengan tujuan memperoleh kepemilikan saham yang lebih besar di perusahaan itu. Memang, tak lama setelah surat tersebut dipublikasikan, Rothschild menghabiskan 1 juta pound Inggris untuk membeli lebih banyak saham  perusahaan tersebut.[22] Fakta bahwa baik Bumi Resources dan Keluarga Bakrie terlilit utang merupakan cerita lama, yang sudah barang tentu telah diketahui Rothschild sebelum memulai kesepakatan bisnis apa pun dengan mereka. Pada saat krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, kerajaan Bakrie hampir bangkrut karena utang.[23] Sebuah laporan Reuter baru-baru ini yang menggambarkan Kelompok Bakrie sebagai ‘dikenal karena akuisisinya yang didanai oleh utang yang dikaitkan dengan saham di perusahaannya’, berkomentar bahwa hal ini merupakan sebuah ‘strategi senjata makan tuan ketika krisis keuangan global menimpa pasar ekuitas dan utang’.[24]

Dalam ketergesa-gesaan untuk menarik keuntungan dari sumber alam Indonesia yang berlimpah dan hasrat dunia akan energi, kedua pihak tampaknya hanya mengincar uang dan laba dan hanya sedikit memberi perhatian pada berbagai dampak terhadap masyarakat lokal dan lingkungan, apalagi iklim dunia, dari pembuldoseran hutan-hutan Kalimantan demi batubara. LSE dan institusi-institusi keuangan saat ini memainkan peran kunci dalam memungkinkan dan mendorong hal ini terjadi. Terkait dengan hal ini tampaknya reputasi LSE juga mulai dipertanyakan di luar negeri. Merujuk pada sebuah artikel Jakarta Globe tentang transaksi Bumi, seorang komentator menulis: ‘Sebuah pertanyaan yang harus diajukan adalah mengapa begitu banyak oligarki dunia berbasis di Inggris… Arab, Rusia, India, Cina, dll. Alasannya karena di daerah City di London, apa pun bisa terjadi’.[25]

Apakah para pengawas telah menyerah begitu saja? Kepala UKLA  dikutip pada musim gugur lalu mengatakan: ‘Kami tidak menganggap peran kami sebagai pihak yang memastikan atau menjamin praktik terbaik terkait dengan aturan gabungan, dan kami juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut.” Ia melanjutkan dengan lemah: ‘Peran para pemilik saham sangatlah diremehkan’.[26]  Apakah ini berarti bahwa UKLA sedang berharap Indra Bakrie dan Nat Rothschild untuk mengatur diri mereka sendiri?

Laporan LMN lengkap dapat diunduh dari http://londonminingnetwork.org/docs/lmn-the-case-for-stricter-oversight.pdf.

Serangan Brutal terhadap Pekerja Tambang KPC

Federasi Internasional untuk Serikat Pekerja Industri Kimia, Energi, Pertambangan dan Pekerja Umum (International Federation of Chemical, Energy, Mine and General Workers' Unions/ICEM) melaporkan kasus kekerasan serius terhadap para pekerja tambang Kaltim Prima Coal (KPC) pada bulan Maret tahun ini. Empat ratus orang pekerja yang melakukan pemogokan berkumpul di kantor perusahaan batubara tersebut di Kabupaten Kutai Timur atas saran kelompok masyarakat lokal untuk menawarkan diri agar dapat bekerja kembali. Mereka segera diserang oleh pasukan Brimob Polda Kaltim yang  bekerja atas kepentingan  Thiess dan KPC.

KPC dimiliki oleh Bumi Resources (lihat naskah utama ) sementara Thiess, sebagai kontraktor utama, dimiliki oleh Leighton Holdings, Australia (yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Hochtief, Jerman).

Dua puluh pekerja tambang dipukuli dengan brutal dan harus  dirawat di rumah sakit. Dua belas lainnya segera ditahan. Sepanjang malam tanggal  24 Maret hingga keesokan harinya, polisi dan militer meringkus empat pimpinan serikat pekerja lainnya dan memenjarakan mereka.

Pada akhir pekan berikutnya, sebagian besar anggota serikat pekerja telah dibebaskan, namun polisi dan satuan militer daerah tetap menahan dua pimpinan serikat pekerja, menurut lembaran peringatan dari ICEM yang dikeluarkan tanggal 1 April. Sumber:http://www.icem.org/?id=5&doc=4956&language=en&la=EN&uid=JGVfbWFpbF9kZXN0aW5hdGFpcmVz


Kelompok pertambangan internasional tampaknya risau dengan adanya beberapa usaha pemerintah Indonesia untuk menekan keuntungan mereka melalui perlambatan “export rush”(demam ekspor) saat ini. Para pejabat pertambangan Jakarta berkata bahwa perusahaan-perusahaan tambang saat ini berusaha mengekspor sebanyak mungkin sebelum diberlakukan pembatasan atas beberapa mineral mentah -tembaga, emas, perak, nikel, bauksit, seng, dan timah – pada tahun 2014. Pajak ekspor sebesar 25% tahun ini dan 50% tahun depan diusulkan untuk diberlakukan atas bahan metal mentah, juga batubara.

Gerakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai sumber daya tersebut dan mendorong pengembangan industri pemrosesan mineral dalam negeri Indonesia.

Indonesia saat ini adalah eksportir timah dan batubara termal (digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik) terbesar dunia. Beberapa negara importir besar adalah India dan Cina.

Seluruh perusahaan pertambangan luar negeri juga diharuskan menjual kepemilikan saham mayoritas atas kegiatan operasional pertambangan mereka kepada perusahaan-perusahaan lokal pada tahun ke-10 produksinya.

Perusahaan Inggris Churchill kalah dalam usahanya mendapatkan batubara Kalimantan

Perusahaan yang berbasis di Inggris, Churchill (lihat DTE 85-86) tampaknya kalah bersaing dalam usahanya mendapatkan konsesi batubara di Kalimantan Timur. Kemungkinan besar, Nusantara Resources – sebuah perusahaan yang dijalankan oleh mantan menantu Suharto, Prabowo Subianto – yang akan mengolah kekayaan endapan alam tersebut untuk  menjadikannya satu lagi pertambangan super besar sebagaimana halnya KPC (lihat foto di atas). Churchill menyatakan akan membawa kasus ini ke arbitrasi internasional.

Sumber: Mining.com 4/Apr/12; mineweb.com 3/Apr/12; Reuters 12/Apr/12.



[1] Berbagai persoalan terkait perusahaan ini didokumentasikan oleh DTE selama beberapa tahun. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org

[2] Proyek penambangan terbuka di Bangladesh mengancam hak asasi manusia – Para ahli dari PBB http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=41398&Cr=Bangladesh&Cr1

[3] Mengenai kewajiban perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia dan kewajiban Negara untuk melindunginya, lihat Kerangka Bisnis dan Hak Asasi Manusia, dan Prinsip-prinsip Pemandunya dari PBB ‘Lindungi, Hormati dan Pulihkan’  http://www.ohchr.org/en/Issues/TransnationalCorporations/Pages/SRSGTransCorpIndex.aspx. Menghormati standar-standar tentang lingkungan bermakna bahwa perusahaan: • Tidak melakukan aktivitas yang berdampak negatif atas wilayah-wilayah apa pun yang dilindungi yang dicakup dalam kategori IUCN I-IV, Warisan Dunia UNESCO  dan Konvensi Ramsar; • Memastikan bahwa aktivitas mereka tidak akan berdampak negatif pada tingkat komunitas atau populasi spesies apa pun yang telah diidentifikasi dalam Daftar Merah IUCN; • Memastikan bahwa aktivitas tidak akan menuntun pada adanya perdagangan ilegal spesies apa pun yang terdaftar sebagai spesies yang terancam musnah dalam CITES; • Tidak memproduksi atau memperdagangkan organisme hidup yang dimodifikasi secara genetik kecuali jika ada persetujuan dari negara pengimpor dan jika tidak sebagaimana diatur dalam Protokol Cartagena ; • Menyediakan penilaian mengenai dampak keanekaragaman hayati kumulatif di hulu dan hilir (termasuk dampak pada ekosistem, spesies dan sumber daya genetik); • Menyediakan dan mengumumkan pemantauan yang terus berlangsung dan pelaporan dampak, sekurang-kurangnya harus konsisten dengan panduan yang ada dalam Inisiatif Pelaporan Global untuk melaporkan tentang keanekaragaman hayati, penggunaan lahan serta polusi udara dan air, emisi dan pelepasan. • Menyepakati untuk mengelola secara lestari semua sumber daya alam yang hidup yang digunakan dalam operasinya, seperti hutan, tanaman dan hewan; • Memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak akan melibatkan diperkenalkannya, secara sengaja maupun tidak sengaja, spesies asing yang bersifat mudah menyebar (invasif); • Memenuhi persyaratan harus adanya persetujuan dan pembagian keuntungan yang ada dalam Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan akses terhadap sumber daya genetik; • Mengidentifikasi, dengan berkonsultasi dengan masyarakat, Ornop-ornop serta para ilmuwan, apa yang harus diperlakukan sebagai  “zona yang tidak bisa dimasuki/no-go zones”, seperti Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVA), hutan yang terancam punah, daerah konsentrasi keanekaragaman hayati (biodiversity hotspots), daerah aliran sungai, daerah pemijahan ikan dan tempat-tempat spiritual , dan bilamana diperlukan tidak menyertakan aktivitas di wilayah-wilayah itu dalam pembangunan.

[4] Komisi Eropa, ‘Pengungkapan Pembayaran ke Pemerintah’,

http://ec.europa.eu/internal_market/accounting/other_en.htm; lihat juga aturan pencatatan Bursa Efek Hong Kong, http://www.hkex.com.hk/eng/rulesreg/listrules/mbrules/Documents/consol_mb.pdf, bab 18, ‘Sekuritas Ekuitas – perusahaan mineral’; dan UU Dodd-Frank AS tahun 2010, http://www.sec.gov/about/laws/wallstreetreform-cpa.pdf, bagian 1504.

[5] Pengambilalihan terbalik atau penggabungan terbalik (reverse IPO) adalah ‘akuisisi sebuah perusahaan umum oleh sebuah perusahaan swasta agar perusahaan swasta itu dapat melompati proses panjang dan rumit menjadi perusahaan umum’, http://en.wikipedia.org/wiki/Reverse_takeover

[6] Perusahaan tempurung ‘bertindak sebagai kendaraan untuk transaksi-transaksi bisnis tanpa perusahaan itu sendiri memiliki aset atau operasi yang signifikan’, http://en.wikipedia.org/wiki/Shell_corporation

[7] Untuk latar belakang mengenai pertalian internasional dengan batubara Indonesia dan keluarga Bakrie, lihat artikel ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme’, DTE 85-86, Agustus 2010

[8] ‘Indra Bakrie lauds Bumi’s London move’ Jakarta Globe, 19 November 2010, http://www.thejakartaglobe.com/bisindonesia/indra-bakrie-lauds-bumis-london-move/407530#Scene_1

[9] Perusahaan pertambangan utama Bakrie adalah Bumi Resources, pemilik pertambangan besar  Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur; untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini dan industri batubara Indonesia, lihatlah http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/coal

[10] Perkiraan jumlah orang-orang yang terkena sangat bervariasi; angka yang dikutip di sini berasal dari laporan Universitas Durham tahun 2010 yang menyalahkan pengeboran sebagai penyebab gunung lumpur Indonesia:  ‘Geologists say drilling caused Indonesian mud volcano’, CBC News, 3 November 2008, http://www.cbc.ca/technology/story/2008/11/03/mud-drilling.html; ‘Indonesia mud disaster caused by human error: study’ , Jakarta Globe, 13 Februari 2010, http://www.thejakartaglobe.com/home/lapindo-disaster-caused-by-human-error-study/358242

[12] ‘State capture: how Bakrie group dodges the bullet again’ , Jakarta Globe, 30 Juliy 2010, http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/30/state-capture-how-bakrie-group-dodges-bullet-again.html

[13] ‘Exit Sri Mulyani: corruption and reform in Indonesia’, East Asia Forum, 9 Mei 2010, http://www.eastasiaforum.org/2010/05/09/exit-sri-mulyani-corruption-and-reform-in-indonesia/

[14] ‘Indonesia’s Bakrie grabs new post’, Asian Correspondent, 12 Mei 2010, http://asiancorrespondent.com/32242/indonesia%e2%80%99s-bakrie-grabs-new-post/

[15] ‘Bakrie coal mining partnership turns sour’, Jakarta Globe, 25 November 2011, http://www.thejakartaglobe.com/business/bakrie-coal-mining-partnership-turns-sour/480788#Scene_1

[16] Indonesia’s Coal: Local Impacts – Global Links, DTE 85-86, http://www.downtoearth-indonesia.org/sites/downtoearth-indonesia.org/files/85-86.pdf

[17] ‘Rothschild plays strongest suit with coal mining deal’, Bloomberg, 1 December 2010, http://www.bloomberg.com/news/2010-12-01/nat-rothschild-plays-his-strongest-suit-with-3- billion-commodities-deal.html

[18] ‘King Nat’s mines’, Financial Times, 14 Januari 2011, http://www.ft.com/cms/s/2/3a8cd690-1ebd-11e0-a1d1-00144feab49a.html#axzz1fbdKC1JW

[19] Rincian persis mengenai kesepakatan aslinya tersedia dalam prospektus IPO. Satu komponen besar lain Bumi plc adalah digabungkannya  PT Berau Coal, sebuah perusahaan batubara Indonesia lain yang berukuran cukup besar, ke dalam kesepakatan tersebut: http://www.downtoearth-indonesia.org/story/deadly-coal-coal-exploitation-and-kalimantans-blighted-generation

[20] London Stock Exchange welcomes Bumi Plc to the Main Market’, siaran pers LSE, 28 Juni 2011, http://www.londonstockexchange.com/about-the-exchange/media-relations/press-releases/2011/bumiplc.htm

[21] Rothschild calls for clean-up at PT Bumi’, Financial Times, 9 November 2011, http://www.ft.com/cms/s/0/05e43ebc-0afb-11e1-b62f-00144feabdc0.html#axzz1feq45hNp

[22] ‘Rothschild raises stake in coal venture Bumi’, Reuters, 17 November 2011, http://uk.reuters.com/article/2011/11/17/uk-bumi-rothschild-idUKTRE7AG2DA20111117

[23] ‘Politics and business mix in Indonesia’, Asia Times, 22 Juli 2006, http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HG22Ae01.html

[24] Debt for Indonesia’s Bakrie Group is business as usual’, Reuters, 12 November 2011, http://www.reuters.com/article/2011/11/13/us-bakrie-rothschild-debt-idUSTRE7AC00E20111113

[25] ‘Bakrie coal mining partnership turns sour’, Jakarta Globe, 25 November 2011, http://www.thejakartaglobe.com/business/bakrie-coal-mining-partnership-turns-sour/480788#Scene_1,comment3.55pm, 26 November 2011

[26] ‘City relaxes its rules to attract the mega deals’, Sunday Times, 30 Oktober 2011.