Keadilan Iklim: ke(tidak)terkaitan lokal-global

Lokakarya Aceh yang diselenggarakan oleh Lamjabat, 2010

DTE 88, April 2011

Dalam beberapa tahun terakhir, DTE telah bekerja sama dengan masyarakat lokal di Indonesia untuk mengikuti negosiasi-negosiasi internasional mengenai perubahan iklim.

Tahun pertama program ini (2009) dihabiskan dengan mengikuti proses-proses setempat dan termasuk memfasilitasi kehadiran wakil masyarakat lokal di pertemuan antar-sesi UNFCCC di Bangkok pada bulan September-Oktober 2009.[1] Di tahun 2010 kami memusatkan perhatian untuk berbagi pengalaman internasional ini dengan masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat madani (CSO) regional di Indonesia. 

Dua kesempatan pertama untuk mendiskusikan kepedulian tentang keadilan iklim dengan masyarakat adalah di Aceh. Pada bulan Mei 2010, DTE menyelenggarakan sebuah lokakarya pelatihan untuk pelatih mengenai perubahan iklim untuk anggota JKMA, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. Pang Yuriun, Koordinator JKMA pada saat itu, yang datang bersama DTE ke Bangkok, menganggap bahwa perubahan iklim adalah sebuah isu yang kompleks yang perlu dipahami oleh masyarakat jika mereka ingin memainkan peran yang lebih aktif dalam diskusi dan negosiasi kebijakan perubahan iklim. Hal ini khususnya relevan bagi masyarakat Aceh, karena daerah mereka telah berada di posisi terdepan dalam inisiatif-inisiatif perubahan iklim, misalnya REDD.

Sesi pelatihan dihadiri oleh 22 anggota JKMA dari seluruh penjuru Aceh dan beberapa organisasi mitra. Kedua gender terwakili secara merata.

Dapat dipahami, REDD menjadi topik hangat selama sesi pelatihan. Dengan mencermati  beberapa dari argumen utama dalam perdebatan REDD , mayoritas peserta sepakat bahwa terlepas dari janjinya  untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi, REDD adalah sebuah inisiatif yang bersifat eksklusif dan dari-atas-ke bawah. Hal ini hampir tidak pernah terdengar oleh masyarakat itu sendiri yang mata pencahariannya akan sangat dipengaruhi oleh skema REDD. Pendapat kebanyakan orang adalah bahwa masyarakat harus menanggung akibat dari tinggal di wilayah REDD yang telah ditetapkan dengan segala pembatasan akses ke sumber daya hutan yang menyertainya, sementara ‘para pemain kakap’ seperti perusahaan kayu yang telah berkontribusi secara signifikan terhadap terlepasnya karbon dengan cara menebangi hutan, dapat lolos tanpa kewajiban apa pun untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

Dampak kerusakan lingkungan terhadap mata pencaharian masyarakat lokal – entah karena perubahan iklim, atau pembangunan yang buruk, bersama dengan permasalahan mendasar tentang ketiadaan pengakuan akan hak-hak rakyat – merupakan sebuah kekuatan pendorong yang besar di balik berdirinya JKMA. Jadi tidaklah mengejutkan jika organisasi ini diharapkan untuk mengadakan kembali pelatihan tersebut di antara anggota mereka yang lebih luas.

Kesempatan berikutnya untuk menyebarluaskan informasi lebih lanjut datang selama adanya Kongres JKMA pada bulan September tahun lalu. Pentingnya pengelolaan sumber daya alam – dan khususnya terkait dengan perubahan iklim – tercermin dalam fakta bahwa hal tersebut menjadi pusat perhatian di Kongres tersebut. Serangkaian lokakarya berlangsung secara berturut-turut dengan kongres tersebut, dengan menangani isu-isu seperti Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan  (PADIATAPA), perubahan iklim dan REDD, selain topik-topik yang berkaitan dengan organisasi. Hasilnya diterjemahkan ke dalam paragraf kedua dari kerangka kebijakan baru JKMA.

 “pendidikan politik dan peningkatan kesadaran dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya mengenai isu perubahan iklim dan isu-isu yang terkait. Penguasaan dan kapasitas pengelolaan sumber daya alam harus didorong melalui berbagai agenda politik dan cara-cara lainnya dengan tujuan untuk memastikan bahwa masyarakat adat memperoleh pengakuan terhadap kepemilikan mereka atas sumber daya alam tersebut”

Sebagaimana halnya di banyak tempat di Indonesia, pengalaman di masa Suharto, ketika wilayah yang kaya sumber daya alam dieksploitasi oleh segelintir pemain bisnis kuat yang memegang izin dari Jakarta, masih menghantui rakyat Aceh. Meskipun ada desentralisasi kekuatan politik dari Jakarta ke Banda Aceh, fakta bahwa masyarakat adalah pihak yang paling akhir yang akan mendapat informasi, apalagi untuk diajak urun rembuk tentang inisiatif-inisiatif seperti itu, menunjukkan bahwa setidaknya dalam hal ini, tidak banyak yang berubah.

Kerangka Kebijakan JKMA

  1. Penguatan lembaga-lembaga adat, khususnya mukim. UU Pemerintahan Aceh secara eksplisit memberikan ruang bagi keberadaan lembaga adat, tetapi pemerintah tidak sepenuhnya mendukung mukim sebagai sebuah ‘federasi’ gampong-gampong. Lembaga adat memerlukan penguatan untuk mendukung kepemimpinan mukim, untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik dan agar para pemimpin mukim menjadi fasilitator yang baik antara masyarakat dan pemerintah.
  2. Pendidikan politik dan peningkatan kesadaran dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya mengenai isu perubahan iklim dan isu-isu yang terkait. Penguasaan dan kapasitas pengelolaan sumber daya alam harus didorong melalu berbagai agenda politik dan cara-cara lainnya dengan tujuan untuk memastikan bahwa masyarakat adat memperoleh pengakuan atas kepemilikan mereka atas sumber daya alam tersebut.
  3. Pembangunan ekonomi menuju kemandirian masyarat adat.Masyarakat adat dirugikan dalam sistem pasar bebas yang kuat. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan masyarakat adat untuk mengantisipasi kompetisi yang keras dan untuk menghindari jebakan kemiskinan.
  4. Pendidikan dan peningkatan kesadaran mengenai pengetahuan/kearifan lokal. Masyarakat telah hidup secara harmoni bersama alam dalam ekosistem mereka, dipandu oleh kearifan tradisional dan pengetahuan lokal. Bersamaan dengan diperkenalkannya model pembangunan yang pro-pertumbuhan telah datang pula ancaman-ancaman yang berasal dari kompetisi luar terhadap gaya hidup adat.
  5. Penguatan lembaga khususnya untuk anggota-anggota JKMA.

Walaupun beberapa kabupaten telah mengesahkan qanun[2] (peraturan daerah) mengenai tata pemerintahan wilayah adat mukim[3] (termasuk peran dan tanggung jawab para pemimpin mukim), tidak ada qanun khusus mengenai REDD.

Masalah lain adalah bahasa yang digunakan dalam informasi yang tersedia bagi masyarakat. Banyak dokumen hanya tersedia dalam bahasa Inggris, yang dengan sendirinya berlawanan dengan niat, jika memang ada, untuk menyebarluaskan informasi.

Harus ditekankan bahwa masyarakat Aceh,tidak menolak inisiatif-inisiatif untuk mengatasi perubahan iklim. Masalah-masalah yang terkait dengan perubahan iklim dan kemerosotan lingkungan sangatlah nyata bagi mereka, sebagaimana terlihat dalam diskusi-diskusi di lokakarya tersebut. Mereka menghadapi gagal panen dan berkurangnya hasil panen karena musim yang berubah-ubah dan tak dapat diandalkan, yang dapat dipandang sebagai akibat perubahan iklim. [4]

Bagi masyarakat adat di Aceh, ide membangun inisiatif berdasarkan landasan yang tidak pasti yang melibatkan ketiadaan pengakuan atas hak-hak mereka untuk mengakses sumber daya alam terasa mengkhawatirkan. Bahkan tanpa REDD pun mata pencaharian mereka sudah terancam oleh penyerobotan lahan. 

    “…Kami telah digusur oleh proyek-proyek HTI  [5], dan memiliki pengalaman yang sama saat mereka memutuskan untuk membangun daerah Leuser yang dilindungi.[6] Kami tak bisa memasuki kebun-kebun kami setelah mereka secara keliru mengklaimnya sebagai bagian dari daerah yang dilindungi tersebut. Sekarang dengan datangnya REDD, apa yang akan terjadi?...” kata seorang peserta lokakarya.

Saat menerima tuntutan dari mukim untuk menetapkan kembali hak-hak mukim untuk mengelola sumber daya mereka, pemerintah provinsi justru menanggapinya dengan meminta mereka untuk “…mendukung proyek nasional”.  

Selama lokakarya tersebut, para pemimpin mukim [7]

juga mengkritik diri mereka sendiri yang tidak mengetahui sejarah daerah mereka sehingga menimbulkan kesulitan untuk menegaskan batas-batas wilayah mereka. Secara tradisional, peran seorang pemimpin mukim lebih besar ketimbang tanggung jawab administratif saja. Ia juga mengemban tanggung jawab moral, misalnya dengan memastikan bahwa tidak ada kemiskinan dalam wilayah pemerintahannya, dengan mendorong masyarakat untuk bekerja dan dengan meminta mereka yang lebih sejahtera untuk membantu mereka yang kekurangan.

Kebingungan atas penggunaan lahan dan karbon juga mencolok. Saat pemerintah provinsi Aceh sedang menawarkan wilayah mereka sebagai daerah tujuan REDD, konversi hutan untuk perkebunan sawit terus berlangsung tanpa berkurang, sebagaimana kasus di Kabupaten Aceh Jaya, tempat pembangunan kelapa sawit dan REDD paling intensif. Inisiatif yang satu diharapkan mengurangi emisi sedangkan yang satunya lagi melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer dengan menebangi hutan – jadi di mana penghematan karbon itu?

REDD juga telah memunculkan pertanyaan tentang otonomi wilayah – dan dalam kasus Aceh, otonomi khusus, di mana pengambilan keputusan terhadap, dan manfaat dari, sumber daya suatu wilayah diharapkan diserahkan kepada pemerintah daerah. Ratusan perusahaan telah mengantongi izin dari Jakarta untuk proyek-proyek sumber daya alam di Aceh dan banyak di antara mereka sekarang tertarik dengan REDD. Namun tak satu pun yang memiliki kantor di Aceh itu sendiri.

Lokakarya tersebut mencatat poin-poin aksi berikut:

  • menetapkan ulang hak-hak mukim dengan mengakui hakmasyarakat adat (melalui regulasi yang pro-rakyat dan yang mengakui berbagai macam tujuan dari hutan berdasarkan hukum hutan adat)
  • menetapkan batas-batas mukim yang jelas (pemerintah Aceh sedang berencana untuk melakukan penentuan batas-batas mukim)
  • memudahkan akses informasi tentang REDD bagi masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas untuk memungkinkan partisipasi penuh (ada usulan untuk membangkitkan kembali peran adat dari panglima hutan sebagai pengawal hutan, jika memang tujuannya adalah untuk melindungi hutan); ada juga kebutuhan bagi kejelasan tentang mekanisme pemberian kompensasi sumber daya hutan dalam skema REDD yang tidak lagi digunakan oleh masyarakat;
  • setiap orang harus melaksanakan tanggung jawab mereka untuk mengatasi perubahan iklim.
  • memastikan transparansi di seluruh tingkatan (lokal, regional, nasional, internasional).
  • menegakkan prinsip keadilan – negara-negara industri seharusnya tidak hanya meraih keuntungan sementara memikul tanggung jawab yang lebih sedikit.

 

JKMA

Pada bulan Januari 1999, perwakilan masyarakat adat dari 50 gampong di Aceh sepakat untuk menggabungkan upaya-upaya untuk memperjuangkan pengakuan terhadap hak-hak mereka atas sumber daya dan sistem politik mereka sendiri di bawah payung JKMA –Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. Pada saat itu provinsi itu disebut sebagai ‘Daerah Istimewa Aceh’, sebuah julukan turun-temurun karena dukungannya – secara finansial dan politik – kepada negara Indonesia yang masih muda segera pada masa pasca-kemerdekaan di tahun 1950-an.

Aceh kaya akan sumber daya alam dan memperoleh sebagian besar  pendapatannya dari sektor minyak, gas dan pertambangan, diikuti oleh pertanian dan perikanan. Daerah ini memiliki masa lalu yang kelam. Selama hampir 30 tahun mulai tahun 1970-an, daerah ini merupakan zona konflik, antara gerakan kemerdekaan bersenjata yang dipimpin oleh Gerakan Aceh Merdeka dan militer Indonesia. Konflik tersebut merenggut banyak jiwa dan mengakibatkan daerah tersebut diisolasi karena statusnya sebagai sebuah zona konflik. Satu pendorong utama gerakan kemerdekaan tersebut adalah ekploitasi sumber daya alam Aceh oleh rezim yang bersifat Jakarta-sentris. Alokasi paksa atau penyerobotan sumber daya alam dari masyarakat lokal merupakan modus operandi yang umum pada rezim Suharto. Hal ini, bersama dengan peluang-peluang baru bagi masyarakat madani untuk bersuara lantang dalam periode reformasi politik yang dikenal sebagai ‘reformasi’ yang mengiringi jatuhnya Suharto dari kekuasaan pada tahun 1998, menjadi pendorong bagi pembentukan JKMA.[8]

 

 

Perubahan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan

Pada bulan Juli 2010 sebuah peluang lebih lanjut muncul bagi DTE untuk berbagi pengalaman kerja mengenai keadilan iklim dengan CSO lainnya di Aceh. Kali ini sebuah lokakarya 3 hari diselenggarakan bersama dengan Lamjabat, sebuah organisasi lingkungan yang terletak di pinggiran Banda Aceh. Judul lokakarya tersebut, ‘Perubahan Iklim dan Penghidupan’ dipilih untuk mengeksplorasi kebutuhan untuk memperkuat penghidupan yang berkelanjutan untuk merespons dampak-dampak perubahan iklim.

Lokakarya tersebut dihadiri oleh sekitar 30 orang, termasuk 5 pejabat dari badan lingkungan lokal dan pemerintah kecamatan, pekerja organisasi non-pemerintah (Ornop) dan dua aktivis ornop dari Timor Leste (Timor Timur).

Para peserta menceritakan pengamatan mereka bahwa dalam 10 tahun terakhir musim-musim  menjadi lebih tak dapat diprediksi dengan tingkat kejadian cuaca buruk yang lebih tinggi, termasuk angin kencang mendadak dan topan. Dalam produksi pangan, mereka juga mencatat tingkat kejadian hama panen yang lebih tinggi, yang mengakibatkan gagal panen, dan perubahan dalam siklus dan praktik pertanian akibat perubahan pola cuaca. Dilaporkan adanya tingkat kejadian masalah kesehatan yang lebih tinggi, termasuk jenis-jenis penyakit baru (misalnya flu), sementara sistem kekebalan tubuh masyarakat menjadi melemah karena polusi dan pencemaran yang semakin tersebar luas. Penyakit yang dibawa oleh organisme seperti malaria telah menjadi semakin umum seiring dengan meningkatnya suhu yang memberikan tempat yang subur bagi nyamuk untuk berkembang biak. Peningkatan suhu juga berkontribusi terhadap pemutihan karang, sebagaimana diamati oleh staf Lamjabat dan rekan-rekan mereka dari ornop  yang bekerja di isu kelautan. Selain itu, perubahan pola angin akibat perubahan cuaca  memengaruhi penangkapan ikan dan penghidupan para nelayan.

Selain dampak-dampak dari perubahan iklim, sumber daya alam tetap mengalami tekanan dari penebangan kayu yang destruktif. Hutan Aceh yang dulu luas terus memikat para penebang hutan yang praktik-praktik cerobohnya mengurangi tingkat permukaan air di wilayah itu, selain dampak merusak lainnya. Badan lingkungan hidup setempat telah mencatat hilangnya sembilan sungai di Aceh dalam dekade terakhir. Di tempat  sungai-sungai itu dulu mengalir, sekarang ada perumahan atau jalan raya. Lebih banyak lagi sungai yang diperkirakan akan hilang dalam waktu dekat menurut seorang pejabat pemerintah yang ikut serta dalam lokakarya tersebut. Dia mengamati bahwa keanekaragaman hayati juga tidak dapat terhindar dari kerusakan dan beberapa spesies telah menjadi langka, jika tidak punah.

 

Banyak cara untuk menanggapi perubahan iklim

Salah satu akibat langsung dari perubahan iklim adalah dampaknya pada penghasilan orang. Gangguan terhadap pola penangkapan ikan secara otomatis memengaruhi pendapatan masyarakat nelayan. Pemutihan karang yang disebabkan oleh menghangatnya laut dan faktor-faktor merusak lainnya berarti berkurangnya jumlah ikan juga. Pertanyaannya kemudian adalah, mata pencaharian alternatif apa yang tersedia bagi mereka?

Beberapa dari organisasi yang berpartisipasi dalam lokakarya tersebut  bekerja dengan masyarakat untuk mengeksplorasi solusi yang potensial. Salah satu pendekatan terhadap masalah tersebut adalah untuk mengurangi kehancuran yang lebih jauh, misalnya dengan meningkatkan kesadaran melalui pendidikan lingkungan. Lamjabat, yang dibentuk oleh orang-orang yang peduli dengan ekologi laut dan kontribusi laut terhadap penghidupan yang berkelanjutan, kini membantu menjaga terumbu karang di daerah sekitar yang sedang menunjukkan tanda-tanda kematian. Mereka telah memulai suatu kampanye untuk menghentikan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan di terumbu karang yang dilakukan oleh beberapa nelayan lokal, dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya terumbu karang dalam mempertahankan jumlah ikan. Mereka juga berupaya memperlihatkan hubungan antara penebangan kayu dan kondisi air laut yang sehat. Terletak di pantai dan di kaki sebuah gunung, Lamjabat dapat dengan mudah menunjuk bukti penebangan kayu yang merusak yang telah memicu erosi, membawa lapisan tanah ke laut dan mematikan terumbu karang. Adalah suatu konsekuensi yang logis bahwa usaha untuk melindungi kehidupan laut sangat terkait erat dengan usaha untuk melindungi hutan.

Ada beberapa diskusi selama lokakarya mengenai aktivitas-aktivitas yang mengekplorasi penggunaan sumber daya alam alternatif atau yang lebih berkelanjutan, seperti mendorong masyarakat untuk menanam tanaman ‘produktif’ seperti biji pala, kakao, mangga dan pohon-pohon buah lainnya untuk menyediakan sebuah insentif agar tidak membuka hutan. Ada juga inisiatif untuk menghubungkan kredit-mikro dengan program-program penanaman kembali, yang menyatakan bahwa kredit hanya akan diberikan jika Anda menanam pohon.

 

Catatan:

[1] Lihat DTE 84, Maret 2010

[2] Qanun – Peraturan daerah yang ada dalam pengaturan Otonomi Khusus Aceh

[3] Mukim -  unit pemerintahan adat resmi orang Aceh antara gampong (tingkat pemerintahan adat terendah) dan kecamatan. Sebuah mukim biasanya meliputi beberapa gampong.

[4] Lihat rangkuman dokumentasi CSF mengenai dampak perubahan iklim dalam DTE 83, 2009

[5] HTI: perkebunan skala besar, bertujuan untuk memasok industri kertas dan industri-industri berbasis kayu lainnya.

[6] Lihat artikel mengenai Leuser dalam buletin terbitan DTE sebelumnya, misalnya DTE 55.

[7] Ini disuarakan oleh dan mengenai parapimpinan mukim yang lebih muda, yang  menggantikan posisi para orang tua yang meninggal saat tsunami.

[8]Untuk informasi lebih lanjut mengenai JKMA lihat DTE 84, Maret 2010, Penyelamatan Global adalah Tanggung Jawab Kita Semua.