Hutan : Reformasi membawa sedikit manfaat

Down to Earth No. 40, Februari 1999

Beberapa faktor memacu reformasi kebijaksanaan kehutanan di Indonesia yaitu banyak Hak Penebangan Kayu (HPH) yang telah habis masa berlakunya atau akan habis dalam waktu dekat, kebakaran hutan tahun 1997/1998 yang memusnahkan, korupsi yang berhasil diungkap akibat mundurnya Soeharto, dan tekanan untuk adanya peningkatan pendapatan dari sektor kehutanan. Faktor lainnya adalah perkebunan dalam krisis ekonomi, syarat-syarat pinjaman yang ditentukan oleh para donor internasional, serta tujuan ITTO mengenai penebangan yang berkesinambungan pada tahun 2000. Dan, yang terakhir namun tak kalah pentingnya adalah tuntutan dari para mahasiswa, petani, masyarakat adat dan para aktivis lingkungan.

Sejak Muslimin Nasution menjabat Menteri Kehutanan akhir Mei lalu, berbagai maklumat mengalir --beberapa diantaranya bersifat kontradiktif-- mengenai reformasi kehutanan (lihat DTE 38). Kebanyakan dari perubahan-perubahan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan yaitu konsep dasar dari eksploitasi hutan Indonesia demi keuntungan komersial secara maksimal tetap tidak berubah. Pernyataan pemerintah mengenai ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan’ serta ‘melibatkan penduduk setempat dalam pengurusan hutan dan perkebunan’ tidak berarti bagi para penduduk hutan, kecuali pemerintah mengakui hak mereka atas tanah dan sumber daya alam serta sistim pengelolaan tradisional mereka.

Pelelangan

Banyak dari masyarakat adat yang berharap, bahwa bila HPH dengan masa 20 tahun yang diberikan pada tahun 1970an dan 80an berakhir, maka hutan akan dikembalikan kepada mereka. Namun pemerintah mempunyai rencana lain. Mereka akan memulai pelelangan atas 149 HPH pada Bulan Februari 1999, sebagai bagian dari langkah-langkah yang disetujui bersama IMF untuk pengembalian ‘paket penyelamatan’ perekonomian Bulan November 1997 sejumlah US$ 43 milyar. Selama era Soeharto, HPH merupakan bentuk perlindungan yang diberikan kepada suatu lingkaran elit yang dekat dengan presiden untuk mengamankan kepentingan keuangan dan politik mereka. Sistim yang baru tidak mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi karena pihak yang layak ikut serta dalam pelelangan akan diseleksi sebelumnya. Peraturan baru juga tidak menjelaskan metode penilaian HPH dan bagaimana sebaiknya penanganannya, walaupun para pejabat departemen kehutanan menyatakan bahwa mereka akan menggunakan kriteria keuangan, sosial dan ekologis. Pemegang konsesi yang baru harus membayar Performance Bond yang akan dikembalikan bila mereka mematuhi peraturan kehutanan (Jakarta Post 15/9/98; Bisnis Indonesia 16/1/99).

Pelelangan pertama yang akan dilakukan adalah hak untuk 3 juta hektar hutan di Kalimantan Timur dan Tengah. Menurut Direktur Jenderal Pemanfaatan Hutan, Waskito Suryodibroto, perusahaan milik pemerintah, swasta serta koperasi boleh ikut serta. (AFP 26/12/98; Bisnis Indonesia 16/1/99). Sebagian besar dari hak penebangan hutan yang ditawarkan adalah HPH yang sudah habis masa berlakunya atau ditarik lisensinya karena pengelolaan yang amat buruk. Sebagian besar dimiliki oleh para taipan kayu yang dekat dengan Soeharto dan anak-anaknya, termasuk Kelompok Barito Pacific milik Prayogo Pangestu dan Kelompok Kalimanis milik Bob Hasan.

Berdasarkan peraturan baru, setiap pemegang HPH hanya diperbolehkan menguasai maksimum 100.000 hektar di tiap propinsi, dengan batas jumlah keseluruhan 400.000 hektar (Jakarta Post 19/12/98). Ini jauh lebih kecil dibanding daerah yang sekarang masih dikuasai para taipan kayu terkemuka. (lihat boks).

Pernyataan Muslimin bahwa ada perusahaan dari Kanada dan Malaysia yang berminat mengikuti pelelangan memberikan indikasi bahwa perusahaan asing mungkin dapat ambil bagian dalam pelelangan ini, namun Menteri Penanaman Modal mengatakan bahwa konsesi penebangan hutan hanya diperuntukkan bagi investor Indonesia (Suara Pembaruan 20/9/98)

Koperasi

Sejumlah 3 juta hektar akan segera dialokasikan ke koperasi serta perusahaan kecil dan menengah. Wilayah yang dikuasai oleh tiap perusahaan maksimum 50.000 hektar. Tujuannya adalah untuk mengurangi kepemilikan oleh para pengusaha besar dan memperluas pengawasan pemerintah di daerah perhutanan. Sejak Oktober lalu, perusahaan penebangan hutan harus menyerahkan paling sedikit 20 % saham mereka pada koperasi bila ingin memperpanjang masa berlaku konsesinya. Pemilikan saham koperasi juga harus meningkat 1% setiap tahun selama periode 20 atau 35 tahun. Sampai akhir tahun 1998, 415 koperasi telah memperoleh saham di 89 perusahaan penebangan hutan. (AFP 26/12/98; Suara Pembaruan 1/1/99)

Sejak kemerdekaan, koperasi telah menjadi alat politik untuk memenuhi tuntutan para kaum nasionalis dan populis di Indonesia. Dalam prakteknya mereka telah menjadi perpanjangan tangan dari meluasnya birokrasi yang korup yang menembus setiap kampung. Konsep koperasi hutan tidak dapat dilepaskan dari ambisi dari politik Adi Sasono, Menteri Koperasi dan Perusahaan Kecil yang berkeinginan kuat untuk melucuti taipan bisnis keturunan Cina -termasuk para raja kayu- dari kekayaan serta kekuasaan mereka. Karena sedikitnya masyarakat adat hutan yang memiliki pendidikan formal, ketrampilan bisnis serta dana untuk mendirikan koperasi, maka tampaknya hal ini akan lebih menguntungkan para pengusaha kota-kota besar serta orang luar lainnya yang hanya punya sedikit perhatian atau sama sekali tidak ada pengalaman dalam pengelolaan hutan yang berkesinambungan.

Undang-undang dan Peraturan baru

Rancangan terakhir Undang-Undang Kehutanan sedang ditinjau oleh Departemen Kehutanan. Dari dokumen tersebut tampak bahwa tidak banyak terjadi perubahan dari pengelolaan hutan oleh pemerintah menjadi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Walaupun disebutkan ada 3 kategori kepemilikan hutan, yaitu negara, swasta dan adat, Undang-Undang yang baru masih memegang prinsip utama penguasaan oleh pemerintah atas semua tanah dan sumber daya hutan. Perundang-undangan yang baru malah memperluas peran perusahaan perhutanan milik negara (Pehutani dan Inhutani I-V) maupun membentuk perusahaaan-perusahaan kehutanan baru untuk pemberian lisensi kehutanan pada perusahaan-perusahaan swasta dan koperasi, mengawasi operasi mereka dan mengambil alih seluruh pertanggung-jawaban produksi perhutanan. (Jakarta Post 10/12/98; 26/1/99 dan rancangan Act Concerning Forestry 1998).

Dua kebijakan lainnya untuk menutupi sementara permasalahan yang diakibatkan oleh masalah mendasar bahwa 70% dari tanah Indonesia dijadikan sebagai ‘tanah hutan’ dibawah pengawasan negara. Pertama, pemerintah pusat mengalihkan permasalahan genting tentang persetujuan batas hutan pada tingkat propinsi sebagai usaha untuk mengurangi konflik antara masyarakat yang tinggal di hutan dengan perusahaan penebangan hutan/perkebunan serta pemerintah setempat. Peraturan baru, yang akan disetujui Bulan Januari, membutuhkan pembuatan peta oleh pegawai kehutanan setempat untuk menggambar batas-batas hutan setelah mendapat persetujuan dari para wakil masyarakat, pejabat desa dan kantor kehutanan (JKKP 17/12/98).

Kedua, peraturan baru mengenai ‘hutan masyarakat’ seolah-olah memperbolehkan masyarakat setempat untuk menggunakan hutan dimana mereka tinggal secara tradisional. (SK677/Kpts-II/1998). Tujuannya adalah agar masyarakat terlebih dulu membentuk koperasi, lalu dengan rekomendasi dari pemerintah setempat mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehutanan. Bila permohonan mereka berhasil, koperasi akan mendapatkan konsesi selama 35 tahun untuk mengelola hutan mereka sendiri sesuai dengan rencana pengelolaan hutan masyarakat yang disusun berdasarkan petunjuk pegawai kehutanan dibantu oleh LSM atau para ahli dari universitas. Mereka akan bertanggung jawab atas batas-batas wilayah, konservasinya dan pajak hutan. Orang-orang Dayak dari Sanggau, Kalimantan Barat mungkin akan menjadi penduduk asli pertama yang mendapatkan hak ini. (lihat boks).

Sebagai tambahan, pemerintah berharap untuk mendirikan ‘hutan industri kecil’ seluas 5-10 hektar melalui partisipasi dari masyarakat yang tinggal dekat hutan (Suara Pembaruan 17/9/98, 14/11/98).

 

Suku Dayak di Sanggau akan memperoleh hak pengelolaan hutan

Dalam suatu penyegaran dari kebiasaan yang berlaku selama ini, suku Dayak di 8 desa Sanggau Propinsi Kalimantan Barat kini sedang menunggu persetujuan akhir dari Jakarta mengenai rencana untuk mengelola hutan adat mereka. Perbedaannya adalah bahwa rencana ini disusun oleh masyarakat adat sendiri dengan menggabungkan kebiasaan praktek-praktek berkesinambungan dan hukum adat tradisional.

Masyarakat tersebut termasuk dalam Proyek Pengembangan Hutan Sosial yang diselenggarakan oleh lembaga pembangunan Jerman GTZ dan pemerintah Indonesia. Proyek tersebut membantu masyarakat setempat untuk membentuk koperasi yang beranggotakan 760 orang pada saat peraturan baru perhutanan diberlakukan (lihat diatas). Koperasi Rimba Berseri akan mengelola 102.000 hektar tanah adat milik mereka sendiri. Para anggotanya mendapat pelatihan resmi tentang metode pemetaan dan inventarisasi serta manajemen administrasi dan keuangan.

Berdasarkan perencanaan pengelolaan koperasi, beberapa kawasan hutan akan digunakan untuk produksi panen, sebagian untuk produksi kayu dan sebagian akan dilindungi. (sumber : Suara Pembaruan 26/12/98)

 

 

Pendanaan Bank Dunia

Sampai Bulan Januari 1999, Bank Dunia telah mengeluarkan US$ 600 juta dollar untuk Indonesia sebagai komitmennya atas jaminan IMF Bulan November, namun mereka menangguhkan pembayaran pinjaman sejumlah US$ 400 juta dollar kepada Indonesia untuk sektor kehutanan dengan alasan lambatnya pelaksanaan kebijakan baru (Dow Jones 18/12/98). Sementara ini, Bank Dunia sedang berkonsultasi dengan pejabat pemerintah, donor internasional dan pejabat kehutanan mengenai pinjaman kedua Dukungan Kebijakan Reformasi.

Dari beberapa segi hal ini merupakan tindakan positif karena menurut rencana akan memperluas pembahasan mengenai arah masa depan kebijaksanaan kehutanan Indonesia. Ada tiga tujuan yang tercakup, yaitu mendukung daerah yang sudah dilindungi dan menjadikan masyarakat setempat sebagai pengurusnya, mengembangkan partisipasi pendayagunaan hutan oleh masyarakat yang tinggal di dan di sekitar hutan secara lebih merata dan efektif, dan menciptakan konsesus antara semua unsur, termasuk pemerintah, akademisi, LSM dan kelompok masyarakat (World Bank, Des 98). Di sisi lain, banyak LSM Indonesia yang menentang keras setiap peningkatan hutang negara yang sudah mencapai US$ 140 milyar melalui pinjaman baru. Juga patut dipertanyakan mengapa Bank Dunia memulai lagi pinjaman kehutanan dalam jumlah besar lain ketika Departemen Evaluasi Operasi belum selesai melaksanakan Tinjauan Kebijaksanan Kehutanan dan Pelaksanaannya (termasuk kasus Indonesia) sampai Bulan September 1999.

Proyek Bank Dunia sekarang ini termasuk pendanaan untuk program pengelolaan kebakaran hutan, Program Administrasi Pertanahan yang kontroversial, dan Program Perlindungan dan Pengembangan Terpadu Taman Nasional Kerinci Sebelat di Sumatra.

Kampanye anti korupsi

Menteri Kehutanan mengumumkan akan dibentuk tim khusus untuk memeriksa korupsi yang terjadi di sektornya. Penemuan awal mengindikasikan korupsi dalam pemegangan saham di perusahaan penebangan kayu yang konsesinya mencapai hampir 5 juta hektar (Suara Pembaruan 1/1/99).

Sebuah contoh mencolok dari korupsi adalah penyalahgunaan dana reboisasi pemerintah. Dana reboisasi adalah iuran wajib yang dikenakan pada para pemegang konsesi sebagai usaha untuk menjamin produksi kayu yang berkesinambungan. Keseluruhan pembayaran dan bunganya selama 1989-98 mencapai Rp.10 trilyun (US$ 1 milyar). Hal tersebut merupakan syarat lain dari jaminan IMF terhadap perekonomian Indonesia bahwa dana ini hanya boleh digunakan untuk kepentingan kehutanan dan nilainya harus terlihat dalam APBN. Dulu Soeharto menggunakan Surat Keputusan Presiden untuk mengalokasikan dana reboisasi sesuai keinginannya. Surat Keputusan tentang pinjaman sejumlah Rp. 250 milyar untuk pabrik kertas Kiani milik Bob Hasan sudah ditarik, dan yang menyusul adalah dana yang diperlukan untuk program pengadaan beras yang bermasalah di Kalimantan Tengah (Rp 527 milyar) dan proyek IPTN presiden Habibie (Rp. 423 milyar). Apakah ada dari dana yang disalah-gunakan tersebut akan bisa dikembalikan masih diragukan. Proyek pesawat jet nasional sudah dibatalkan dan perusahaan induk N-2130 sedang dalam proses likuidasi (Suara Pembaruan 18/10/98, 1/1/99; Jakarta Post 25/1/99)

Baru-baru ini Muslimin menuduh adanya konspirasi antara pejabat pemerintah dan perusahaan kayu untuk menghindari royalti dan iuran kehutanan. Dan ia mengambil tindakan keras atas iuran reboisasi yang belum dibayar. Perusahan-perusahaan kayu kini harus membayar dimuka, dan bukan sesudah kayu atau produk kayu terjual. Bagi mereka yang tidak membayar hutangnya dalam waktu 2 bulan sejak peringatan resmi dikeluarkan akan dikenakan denda. Bila tidak membayar penuh, ijin penebangan kayunya akan dicabut. Sampai dengan akhir tahun 1998, hutang perusahaan-perusahaan kayu kepada pemerintah mencapai Rp. 235 milyar (US$ 23 juta dollar) (Jakarta Post 30/10/98 ; Suara Pembaruan 5/1/99)

Kekurangan kayu gelondongan

Banyak perusahaan kayu yang mengeluh mereka tak dapat membayar iuran pada batas waktu yang ditetapkan karena rendahnya harga kayu dan permintaan yang seret di pasaran pada awal tahun lalu. Juga, terdapat ketidakpastian yang meluas mengenai reformasi dalam industri perhutanan Indonesia, dan tidak ada HPH yang diperpanjang sejak Muslimin memegang jabatan. Pemilik modal yang licik kini menggunakan uangnya untuk perluasan industri minyak kelapa sawit.

Banyak organisasi Indonesia maupun internasional yang prihatin dengan kemungkinan efek negatif pinjaman penyesuaian struktural untuk hutan Indonesia. Belum ada bukti kuat bahwa hal ini menyebabkan deboisasi dan degradasi hutan. Walaupun ada potongan pajak ekspor kayu gelondongan dari 200% menjadi 30%, hasil penebangan kayu diperkirakan akan menurun 25% untuk tahun 1998 (JP 27/11/98). Sejauh ini kurang dari 20.000 meter kubik kayu gelondongan di ekspor dibandingkan dengan kuota ekspor sejumlah 5 juta meter kubik yang disetujui IMF. Hal ini dapat menggambarkan kesulitan perusahaan penebangan kayu dalam memenuhi persyaratan pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka menebang menurut peraturan, membayar iuran kehutanan dan menjalankan analisa dampak lingkungan sebelum mendapat ijin ekspor.

Gambaran yang ada membingungkan karena laporan-laporan yang berbeda. Perwakilan-perwakilan industri mengeluh karena para produsen plywood Indonesia tidak dapat mengambil keuntungan dari meningkatnya permintaan karena kurangnya kayu gelondongan. Industri pengolahan kayu, termasuk pabrik plywood beroperasi 30-40% dari kapasitas. Mereka memerlukan 36 juta meter kubik kayu gelondongan setahun, sementara pasokan tidak mencapai 22 juta meter kubik. Namun demikian para pejabat Departemen Kehutanan menyatakan bahwa persediaan kayu gelondongan per bulan rata-rata 9-10 juta meter kubik, sementara industri hanya menggunakan 2,2 juta meter kubik sehingga ada resiko kayu gelondongan tidak terpakai dan menjadi busuk. (Bisnis Indonesia 5/10/98;Suara Pembaruan 29/9/98; Antara 5/10/98; Jakarta Post 1/10/98; AFP 28/12/98).

Kebakaran Hutan

Pemerintah Singapura khawatir bahwa kabut asap pada Bulan November merupakan indikasi awal dari pengulangan kebakaran hutan di Indonesia yang memusnahkan yang telah menyelimuti daerah tersebut dengan asap yang menyesakkan napas selama berbulan-bulan pada tahun 1997/8, namun hujan keras baru-baru ini berhasil mengurangi resiko meluasnya kebakaran. Bapedal menuding 20 perusahaan perkebunan di Sumatera yang melakukan pembakaran tanpa ijin untuk membersihkan lahan. Walaupun perusahaan-perusahaan tersebut sudah mendapat peringatan sebelumnya karena menggunakan api dalam pembersihan lahan, namun sampai sekarang belum ada kabar bahwa pemerintah akan melakukan tindakan lebih lanjut atas hal tersebut (AFP 1/12/98)

Sejak September, serangkaian pelatihan kerja dalam pencegahan kebakaran, penanggulangan kebakaran dan pengalihan asap diselenggarakan di Manila, Jakarta dan Surabaya dengan melibatkan para pejabat ASEAN, lembaga-lembaga internasional, donor-donor utama dan organisasi perlindungan alam. Namun seperti yang dinyatakan oleh Direktur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup Malaysia bahwa ‘’Tidak ada gunanya membentuk sistim peringatan dini serta pengawasan udara dan darat tanpa penegakan hukum." (Straits Times 21/12/98). Walaupun Menteri Kehutanan sebelumnya menuduh 166 perusahaan sebagai penyebab kebakaran tahun 1997, pemerintah Indonesia sangat lamban menindak secara hukum. Hanya dua perusahaan yang mendapatkan hukuman setelah beberapa LSM menuntut untuk membawa mereka ke pengadilan (lihat DTE 39).

Pusat Pencitraan di Universitas Nasional Singapura, Centre For Remote Imaging Sensing and Processing, memperkirakan bahwa sekarang daerah yang rusak akibat kebakaran di Kalimantan Timur pada awal 1998 mencapai 2,5 juta hektar - 5 kali lebih besar dari laporan aslinya. WWF-Indonesia menyatakan bahwa kebakaran 1997/8 mencapai 10 juta hektar di seluruh Indonesia. (Straits Times 23/11/98; Jakarta Post 18/12/98)

Perkebunan Perhutani mendapatkan sertifikat FSC

Tiga perkebunan kayu jati milik negara di Jawa menjadi usaha perkayuan pertama yang mendapatkan sertifikat dari the Forest Stewardship Council (FSC). Standar eco-labelling yang diakui secara internasional ini menuntut produsen mematuhi secara ketat peraturan pengolahan hutan yang disusun oleh para pengawas dari FSC.

Organisasi SmartWood, yang berkantor pusat di Amerika telah melakukan penilaian atas tiga perkebunan milik Perum Perhutani yang mencakup 60.000 hektar di Cepu, Kebonhardjo dan Mantingan di Jawa Tengah. Ketiga perusahaan tersebut memperoleh sertifikat pada bulan Desember 1998. Mereka berpendapat bahwa hal ini merupakan ‘kesempatan unik untuk mempengaruhi terjadinya reformasi di dalam Perhutani, baik secara sosiologis maupun ekologis.’ Proses pemberian sertifikat meliputi diskusi dengan beberapa LSM di Indonesia dan studi lapangan yang harus ditunda karena kerusuhan sosial yang terjadi di Jawa selama Bulan November dan Desember.

Beberapa LSM Indonesia yang khawatir dengan pengelolaan hutan menghendaki diadakannya reformasi terhadap perusahaan perhutanan milik negara, Perum Perhutani. Sudah lama terjadi konflik antara Perhutani dan masyarakat setempat mengenai penggunaan dan kepemilikan tanah hutan di Jawa. Hal ini mencapai puncaknya dengan serbuan massa terhadap berapa perkebunan kayu jati sejak jatuhnya Soeharto tahun lalu. (Lihat DTE 39)

Beberapa persyaratan yang diajukan untuk pemberian sertifikat FSC berhubungan langsung dengan korupsi, hal lainnya adalah agar Perhutani memikirkan dan melaksanakan sebuah sistim yang dapat diandalkan untuk mencegah konflik dan adanya kebijaksanaan yang jelas mengenai pembagian keuntungan dengan organisasi lokal maupun petani yang terlibat dalam aktivitas sosial kehutanan. (sumber: Smartwood, AruPA, FSC, FSC website; http://www.fscoax.org)

 

Data Kehutanan

Sampai dengan pertengahan 1998, ada 652 HPH juta hektar hutan. Dari semua itu, 395 HPH (35,5 juta ha) sudah segera mengakhiri masa 20 tahun mereka. Sebanyak 32 HPH lainnya (2,9 juta ha) juga akan habis. Sedang 293 HPH 34 juta) masih beroperasi.

Dari HPH yang sudah habis, hanya 50% yang mencakup 4,5 juta hektar yang akan diperpanjang dan selebihnya akan dilelang. Semua HPH asli akan berakhir awal abad mendatang.

Perekonomian Indonesia kini semakin tergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Sebagian besar sektor perekonomian mengkerut pada tahun 1998, namun perkebunan, perhutanan, perikanan dan pertambangan (selain minyak dan gas) memperlihatkan peningkatan antara 1 dan 21%, yang merupakan kebalikan dari kecenderungan penurunan sebelumnya.

Sebagian besar dari perusahaan perhutanan dimiliki oleh 15 konglomerat raksasa.

(Sumber: WALHI 2/11/98 - menyebut Angka-angka Kementrian Perhutanan Indonesia ; Bisnis Indonesia 16/1/99; Jakarta Post 19/12/98)

      Taipan Kayu

 

Grup/Kelompok Pemilik Luas HPH
Kayu Lapis Indonesia Hinawan Susanto 3.5 juta ha (17)
Djajanti Burhan Uray 2.9 juta ha (17)
Barito Pacific Pangestu Prayogo 2.7 juta ha (27)
Kalimanis 'Bob' Hasan 1.6 juta ha

(Sumber:Jakarta Post 28/9/08; PasaR 22/9/98)