DTE menulis surat kepada menteri Inggris perihal Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai perubahan Iklim

 

Surat berikut ditujukan kepada Ed Miliband, Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris. Surat ini mempertanyakan Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai perubahan iklim yang ditandatangani pada bulan Desember 2008.1


Kepada yang terhormat Mr. Miliband,

Kami menyambut baik upaya-upaya penting yang Anda lakukan bersama-sama dengan Bapak Rachmat Witoeloar, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia dalam menangani permasalahan lingkungan dan perubahan iklim, tetapi kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai Nota Kesepahaman (MoU) yang Anda tandatangani di COP 14 di Poznan, pada bulan Desember tahun lalu.

Sebagai organisasi yang berbasis di Inggris dan Indonesia yang mengadvokasikan cara-cara yang berkelanjutan dalam menangani krisis perubahan iklim, kami prihatin karena beberapa prioritas yang diidentifikasi dalam MoU itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak-hak asasi manusia, kemiskinan dan perlindungan lingkungan. Pada beberapa kasus, MoU itu memprioritaskan hal-hal yang belum terbukti manfaat iklimnya dan bahkan dapat memperburuk daripada meredakan perubahan iklim.

Kami khususnya prihatin dengan poin-poin berikut dan akan sangat berterima kasih apabila kami dapat memperoleh informasi terinci yang menunjukkan bagaimana pemerintah Inggris menjamin bahwa potensi masalah hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan dan iklim akan dapat dihindari dalam kerjasama Anda dengan pemerintah Indonesia terkait dengan MoU itu.

1) REDD (MoU poin 2 a): berdasarkan riset kami sendiri dan riset lain mengenai persiapan Indonesia atas REDD, kami sangat prihatin bahwa kebijakan fundamental dan langkah-langkah hukum yang berhubungan dengan hak-hak atas sumber daya belum ada di Indonesia padahal tanpa itu semua hak-hak masyarakat adat secara khusus tidak dapat dilindungi.

Menurut analisa kami, walaupun legislasi mengenai REDD yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan secara teori menetapkan komunitas masyarakat adat sebagai pelaku utama dalam proyek-proyek REDD, tetapi pada praktiknya belum ada ketentuan hukum nasional yang memadai yang memungkinkan hal ini terjadi. Ini berarti komunitas masyarakat adat, yang memiliki keahlian dan pengetahuan utama yang berhubungan dengan usaha perlindungan hutan, dapat tersingkir atau kepentingan mereka mungkin akan tangguhkanoleh para pelaku komersial lainnya dalam demam REDD di masa mendatang.

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Ras belum lama ini mengungkapkan keprihatinannya terhadap Indonesia terkait dengan draft regulasi REDD. Komite juga mengecam keras Indonesia karena gagal menghargai hak-hak masyarakat adat sehubungan dengan perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu kami ingin mengetahui bagaimana aktivitas-aktivitas demonstrasi REDD yang diajukan, yang disebutkan di dalam MoU, akan menangani isu legalitas ini dan bagaimana aktiviats itu dapat menjamin bahwa komunitas masyarakat adat memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa tekanan pada setiap proyek REDD yang mempengaruhi mereka.

Kami juga ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proposal yang sedang dipertimbangkan tentang pembiayaan REDD jangka panjang, yang disebutkan di dalam MoU. Kami mengharapkan jaminan dari Anda bahwa pasar karbon tidak akan menjadi prioritas dalam pembiayaan proyek-proyek REDD. Dalam pandangan kami, ketergantungan terhadap pasar karbon dalam menyediakan pembiayaan untuk REDD harus dihindari. Ada pertanyaan serius yang perlu dijawab mengenai perlindungan hak-hak dan kemiskinan serta dampak lingkungan dan iklim terhadap ilmu pengetahuan, metodologi dan proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pembiayaan karbon, yang membuatnya menjadi pilihan yang tidak dapat dibenarkan.2 Selain itu, tidak seharusnya mengandalkan alat yang tak dapat diandalkan seperti pasar, untuk menggerakkan sesuatu yang penting seperti perlindungan hutan: fakta bahwa harga karbon baru-baru ini jatuh di bawah Skema Perdagangan Eropa menggarisbawahi ketidak-andalan ini.

2) Mempromosikan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (MoU poin 2 b): seperti yang Anda ketahui, permintaan Inggris dan Eropa atas bahan bakar agro memiliki dampak nyata terhadap industri minyak sawit di Indonesia. Hal ini berkontribusi dalam mempromosikan perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam hutan-hutan, termasuk daerah-daerah di mana masyarakat adat memiliki hak-hak adatnya.

Kami prihatin bahwa RSPO gagal menanggapi kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan pengrusakan atas mata pencaharian masyarakat adat dan hutan-hutan di Indonesia, sama seperti kebijakan UE yang diadopsi pada bulan Desember yang juga gagal dalam menanggapi persoalan ini dengan baik.

Pengrusakan hutan ini, terutama di daerah-daerah lahan gambut, yang sebagian terjadi karena permintaan akan bahan bakar agro, juga memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap iklim. Wetlands International memperkirakan emisi CO2 di Asia Tenggara dari pengrusakan hutan dan oksidasi tanah gambut adalah sekitar 2 milyar ton per tahun, 90% diantaranya berasal dari Indonesia.3 Namun, para anggota RSPO yang terkemuka seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menolak himbauan penangguhan dalam mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Sama halnya dengan pemerintah Indonesia yang baru-baru ini mencabut larangan atas pengunaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Maka kami ingin mengetahui bagaimana pemerintah Inggris dan Indonesia menangani isu-isu ini dalam MoU dan menjamin bahwa dengan mempromosikan minyak sawit yang berkelanjutan, mereka sebetulnya tidak mempromosikan pengrusakan atas hutan/lahan gambut dan pelepasan lebih banyak CO2 ke atmosfir.

3) Kerjasama dalam mempelajari penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) (MoU poin 2 h): ada dua hal yang diangkat dalam poin ini. Pertama, CCS yang berhubungan dengan industri batu bara. Kami prihatin bahwa langkah-langkah untuk mempelajari CCS sebagai suatu pilihan di masa mendatang yang memungkinkan bagi sektor energi yang menggunakan batu bara di Indonesia akan berarti dukungan bagi industri yang berhubungan dengan konflik-konflik hak-hak sumber daya yang serius, pengrusakan hutan dan polusi udara dan air di daerah-daerah pertambangan batu bara di Indonesia, dan juga sebagai salah satu alat paling kotor dari pembangkit tenaga listrik sehubungan dengan emisi GRK. Kami percaya upaya-upaya yang sekarang perlu difokuskan adalah beralih dari pembangkit berbahan bakar fosil ke bahan bakar alternatif yang terbaharui (baik di Indonesia maupun di Inggris), daripada mendukung industri ini dengan harapan bahwa teknologi CCS yang belum terbukti pada akhirnya dapat membereskannya.

Kedua, CCS yang berhubungan dengan eksploitasi gas. Kami prihatin karena proyek-proyek yang ada, yang terkait dengan perusahaan-perusahaan Inggris (contohnya proyek gas BP Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat) gagal menjalankan praktik-praktik yang mungkin dapat segera membantu penurunan emisi dengan menggunakan teknologi injeksi ulang CO2. Apakah kepastian dilakukannya hal ini merupakan bagian dari agenda MoU?

4) Pengimbangan (ofset): kami ingin menghimbau Anda untuk memberi perhatian terhadap keprihatinan kami bahwa MoU secara keseluruhan mencerminkan pihak Pemerintah Inggris dalam mempromosikan pengimbangan - khususnya pengimbangan emisi Inggris di Indonesia - sebagai alat untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca di Inggris.

Seperti yang Anda ketahui, pembahasan mengenai ofset belum selesai, walau pun ada indikasi jelas bahwa pemerintah Inggris mendukung hal itu. Hukum perubahan iklim Inggris yang baru menghendaki pemerintah agar "memperhatikan kebutuhan akan aksi domestik Inggris atas perubahan iklim" saat mempertimbangkan bagaimana memenuhi target dan anggaran. Selain itu, pemerintah perlu menetapkan batasan atas pembelian kredit pengimbangan untuk setiap masa anggaran karbon, yang menurut perundang-undangan sekunder, memerlukan pembahasan di kedua tingkat Parlemen dan memperhatikan saran Komite Perubahan Iklim (CCC). CCC sendiri telah merekomendasikan agar pemerintah tidak merencanakan membeli kredit pengimbangan untuk memenuhi anggaran 'interim' Inggris (kurang dari 10%), walaupun disebutkan bahwa sekitar 20% penurunan emisi dapat dipenuhi oleh kredit pengimbangan di dalam anggaran yang 'dimaksudkan'.

Menurut pendapat kami - juga pendapat lain dalam masyarakat madani di Inggris dan di Indonesia - penurunan emisi GRK yang nyata diperlukan di sini, di Inggris, dan juga di Indonesia (maksudnya bukan hanya di salah satu negara) dalam mencapai hal seperti tingkat penurunan emisi yang diperlukan untuk menjaga agar perubahan iklim berada dalam batasan yang aman. Melakukan pengimbangan emisi yang dihasilkan di Inggris di Indonesia oleh karenanya tak seharusnya menjadi bagian upaya nasional Inggris dalam mengatasi perubahan iklim.

Selain itu, memaksakan pilihan pengimbangan (seperti yang tampaknya sedang dilakukan oleh pemerintah Inggris) sangat merusak prospek dalam menjamin kesepakatan global yang baik atas pengurangan emisi di Kopenhagen pada bulan Desember 2009. Hal ini terjadi karena pengimbangan secara luas dilihat (dan begitu juga dalam pandangan kami) sebagai upaya negara-negara industri untuk melanjutkan kegiatan mereka seperti yang selama ini mereka lakukan di negara-negara mereka sendiri dengan membeli pengimbangan di Selatan, alih-alih melakukan pekerjaan yang berat itu di negara mereka sendiri.

Pada pertemuan baru-baru ini di Jakarta dengan MEP, kelompok utama masyarakat madani Indonesia yang berfokus pada isu-isu perubahan iklim, Forum Masyarakat Madani (CSF) atas Perubahan Iklim4, meminta UE dan para negara anggota agar berkomitmen untuk menurunkan emisi mereka sesuai dengan UNFCCC dan tidak mengkompromikan hal ini dengan segala macam mekanisme perdagangan polusi. CSF menyatakan bahwa pengurangan emisi oleh bangsa-bangsa industri di negara mereka sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi yang tidak dapat dinegosiasikan atas hutang ekologi mereka.

Kami berharap Anda akan mempertimbangkan poin-poin ini dalam komunikasi di masa mendatang dengan Indonesia mengenai MoU dan dalam kesempatan lainnya dan berharap agar mendapat kabar dari Anda dalam waktu dekat mengenai isu-isu penting ini.

Akhirnya, kami mengirimkan buku berjudul 'Hutan untuk Masa Depan', yang dibuat bsersama-sama oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Down to Earth, yang menjelaskan secara terinci bagaimana komunitas masyarakat adat di Indonesia dengan susah payah telah mempertahankan sistem kehutanan agro yang menyokong hutan-hutan yang kaya akan karbon. Buku ini dibuat dengan dukungan dana dari DFID, dan sebagian besar ditulis oleh komunitas masyarakat adat sendiri. Kami percaya buku ini memberikan pelajaran berharga untuk para pengambil keputusan perubahan iklim mengenai peranan penting yang dijalankan oleh komunitas tersebut dalam mempertahankan hutan untuk kebaikan planet dan juga masyarakat mereka sendiri. Dengan semangat ini, untuk negosiasi perubahan iklim yang masih berlangsung, kami percaya tim Anda akan mendukung himbauan masyarakat adat untuk melindungi hak-hak mereka dari semua inisiatif perubahan iklim yang mempengaruhi mereka.4 Surat ditandatangani oleh Carolyn Marr, Koordinator Inggris, DTE dan dikirim pada tanggal 26 Mei 2009.


Catatan:
1 Nota Kesepahamanantara Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Departemen Energi dan Perubahan Iklim dan Departemen Lingkungan, Pangan dan Urusan Pedesaan Inggris dan Irlandia Utara mengenai Kerjasama Lingkungan dan Tanggapan terhadap Perubahan Iklim, dari www.defra.gov.uk/environment/climatechange/internat/devcountry/indonesia.htm
2 Untuk rincian lebih lanjut atas pertanyaan seputar REDD dan konteks REDD di Indonesia, lihat DTE 79.
3 Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 www.wetlands.org/Portals/0/publications/General/Peat%20CO2%20report.pdf
4 DTE merupakan anggota CSF. Lihat english.csoforum.net/