Diperlukan Rekonstruksi Berbasis Komunitas

Down to Earth Nr 64  Maret 2005

Bagi banyak korban selamat dari bencana tsunami yang memusnahkan rumah dan mata pencaharian pada tanggal 26 Desember, pembangunan kembali kehidupan mereka berarti memulai segalanya dari awal. Apa yang masih tersisa dari masyarakat yang porak poranda dan siapa yang menentukan apa yang akan terjadi kemudian?

Organisasi masyarakat sipil Aceh menyoroti kebutuhan prioritas bagi masyarakat korban yaitu berpartisipasi dalam proses rekonstruksi dan pemulihan kembali, dan kebutuhan akan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana. Mereka menginginkan perlindungan HAM - termasuk di dalamnya hak atas tanah dan sumber daya alam; hak korban tsunami untuk kembali ke rumah dan kembali membangun kehidupan mereka; meningkatnya status kedaruratan sipil di Aceh dan keterlibatan masyarakat Aceh dalam negosiasi untuk mengakhiri konflik bertahun-tahun di Aceh.

Pada pertemuan kelompok negara kreditur Indonesia (CGI) di bulan Januari, Menteri Perencanaan Pembangunan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa fokus atau strategi rekonstruksi mencakup memulihkan kehidupan dan penghidupan masyarakat, memperbaiki infrastruktur dan ekonomi, dan memulihkan jalannya pemerintahan lokal. "Kami perlu menyediakan perumahan baru, pelayanan medis dan pendidikan, dan pekerjaan baru sesegera mungkin' kata menteri. (Pernyataan Pers Menteri Koordinator Ekonomi Jan/05)

Hal ini sejalan dengan rekomendasi dalam Perkiraan Awal atas Kerusakan dan Kerugian dari BAPPENAS (Preliminary Damage and Loss Assessment-PDLA- lihat artikel: after the tsunami), yang menyatakan bahwa prioritas rekonstruksi haruslah terletak pada cara memulihkan mata pencaharian dan struktur sosial masyarakat yang telah hancur, termasuk perumahan dan tempat penampungan, mendorong kegiatan usaha, menciptakan perdagangan dan pendapatan, membangun kembali mata pencaharian desa -pertanian dan nelayan- menyediakan pelayanan publik, dan membantu pihak-pihak yang menjadi rentan-yaitu ibu tunggal dan yatim piatu.

Cetak biru pemerintah untuk rekonstruksi, bersama dengan perkiraan (assessment) Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang kebutuhan finansial, akan siap pada bulan Maret.

Pada tanggal 1 Maret 2005, Gubernur Aceh Azwar Abubakar secara resmi membuka proses konsultasi publik untuk 'cetak biru rekonstruksi'. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (UNCHA) melaporkan bahwa hasil dari konsultasi sembilan hari dengan 10 kelompok tema akan diteruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta, dengan penyelesaian akhir cetak birunya diharapkan selesai pada pertengahan bulan Maret. UNDP dan Bank Dunia mendanai proses ini dan menyediakan tenaga ahlinya (Laporan dari Office for the Coordination of Humanitarian Affairs - OCHA 31,1/Mar/05).

Yang Jadi Keprihatinan
Namun demikian, keadaan di lapangan jauh berbeda. Tanggapan pemerintah atas keadaan darurat dan perencanaan rekonstruksi berlangsung secara top-down (dari atas ke bawah) dan lebih didominasi oleh kepentingan keamanan daripada memberi ruang bagi inisiatif masyarakat.

Organisasi masyarakat sipil yang terlibat dalam diskusi tentang rekonstruksi telah menaruh perhatian yang lebih besar atas sejumlah hal yang berhubungan dengan korban tsunami. Beberapa keprihatinan tersebut adalah sebagai berikut.

 


Hak Asasi Manusia

Amnesti International menegaskan akan kebutuhan yang melekat pada prinsip-prinsip HAM baik itu pada bantuan darurat maupun pada upaya rekonstruksi. Yang menjadi kekhawatiran adalah kekerasan terhadap mereka yang dituduh simpatisan GAM dan para pembela HAM yang tetap terjadi pasca bencana tsunami Aceh, dan mungkin meningkat begitu sorotan media telah surut serta keberadaan bantuan darurat internasional berangsur-angsur berkurang.

Sudah ada laporan tentang pencarian yang dilakukan militer di kamp-kamp pengungsi terhadap mereka yang diduga anggota GAM. Keengganan para korban yang selamat untuk mendaftarkan diri kepada pihak berwenang menandakan merebaknya ketakutan akan dijadikan sasaran korban (victimisation) oleh militer dan polisi. Pendaftaran untuk relokasi ke tempat-tempat penampungan untuk usia 2 tahun ke atas dimulai pada 30 Januari). Menurut rencana militer, kekuatan militer akan terlibat dalam survei jumlah dan lokasi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal sekaligus rencana relokasi serta persiapannya (Pernyataan pers HRW/HRF 7/Feb/05).

  • Konsultasi dan Partisipasi masyarakat
    Laporan Bappenas menyatakan bahwa pengambil keputusan seharusnya fokus pada kebutuhan penduduk lokal dalam menjalankan strategi rekonstruksi dan bahwa konsultasi dengan masyarakat "adalah penting untuk memikirkan rencana rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara.' Hal itu sesuai dengan 'visi Strategi Nasional Rekonstruksi dan Pemulihan Kembali' yang berisi 6 kunci dasar yang diuraikan Pemerintah, termasuk "proses yang berpusat pada masyarakat dan partisipatif'.
  • Desakan terhadap pengambilan keputusan yang diprakarsai masyarakat ' bukan sekedar konsultasi atau partisipasi ' telah menjadi tuntutan utama organisasi masyarakat sipil. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana melayani sepuluh ribu korban selamat dari bencana tsunami dalam waktu dan ruang yang ada untuk berpartisipasi secara berarti dalam memutuskan masa depan mereka, sementara pemerintah telah mengumumkan ke media massa rencana aksi jangka pendek yang akan mengakibatkan dampak jangka panjang masyarakat yang menjadi korban.

     

  • Korupsi
    LSM telah mendesak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen bantuan, tetapi perkiraannya paling tidak 30% bantuan akan dikorupsi. Aceh sendiri sudah masuk dalam urutan atas sebagai provinsi yang paling korup dan Indonesia saat ini berada pada urutan lima besar negara yang paling korup di dunia menurut Transparancy International. (lihat juga artikel tentang hutang).

    Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, telah menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk beberapa badan penasihat untuk memonitor proyek-proyek rekonstruksi, yang akan melibatkan pula kalangan LSM dan wakil-wakil badan pemberi bantuan. Ia juga berjanji bahwa pemerintah akan membuat pengumuman resmi setiap bulan tentang bantuan keuangan yang telah diterima dan apa saja yang sudah dibelanjakan (icwweb 24/Jan/05).

    Sejumlah LSM telah diminta bantuannya untuk memonitor bantuan, dan ini membuat mereka berada pada posisi berhadap-hadapan dengan pihak-pihak kuat yang punya kepentingan. LSM lingkungan hidup Telapak, menyoroti kasus Farid Faqih, seorang aktifis gerakan masyarakat sipil dan koordinator Government Watch (GOWA) yang dianiaya oleh oknum TNI AU yang bermarkas di Blang Bintang, Aceh. TNI menuduh Farid Faqih telah mencuri persediaan bantuan untuk Aceh. Lembaga GOWA tempat dia bekerja dan Indonesian Corroption Watch (ICW) telah menerima permintaan resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memonitor korupsi dalam penyaluran bahan bantuan tsunami di Aceh. Farid Faqih sebelumnya telah membuat pernyataan publik akan adanya penggelembungan jumlah korban tsunami di Aceh (Pernyataan Telapak, 27/ Jan/ 05).


     
  • Masyarakat Adat
    Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN, juga menyatakan keprihatinan mereka atas kontrol militer terhadap bantuan dan progran rekonstruksi. AMAN juga memperingatkan bahwa keterlibatan investor internasional dapat mengganggu kepentingan masyarakat adat Aceh dengan memberi tekanan pada tanah serta hak-hak adat lainnya (lihat pernyataan pers AMAN).

    Organisasi masyarakat adat sAceh mengalami pukulan keras atas hilangnya dan kemungkinan meninggalnya Pak Keuchik Jailani Hasan, seorang pemimpin lokal dan anggota dewan AMAN.

     

  • Perempuan
    Rencana rekonstruksi menuntut adanya keadilan gender sebagai kesadaran utama, jika perempuan tidak mau dipinggirkan dalam pengambilan keputusan tentang masa depan mereka. Seperti yang dicatat oleh Amnesti Internasional, perempuan telah mengalami penderitaan dalam konflik bertahun-tahun di Aceh, oleh "pola perkosaan yang telah dan kejahatan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh pasukan keamanan di desa-desa...." (lihat juga DTE 63).

    Amnesti Internasional juga melaporkan bahwa resiko terjadinya kekerasan berbasis gender benar-benar meningkat seiring dengan pemindahan penduduk dalam jumlah besar dan bahwa suatu upaya khusus untuk melindungi perempuan yang kehilangan tempat tinggal sangat diperlukan. Berawal dari titik ini, perempuan tentu saja membutuhkan perhatian khusus untuk memastikan bahwa masukan dari mereka telah didengar dan terakomodasi dalam perencanaan rekonstruksi.

    Laporan Bappenas mengingatkan bahwa "posisi (nomor dua) subordinat perempuan dalam masyarakat... menjadikan mereka sebagai target penyerangan fisik dan pelecehan, menutup kesempatan mendapatkan keterampilan yang mereka butuhkan, dan membatasi akses mereka kepada sumber daya dan struktur kekuasaan', dan bahwa "dalam kondisi keamanan saat ini, tantangan tersebut akan semakin kuat'.

    "Di banyak kamp perempuan hanya punya sedikit suara dalam alokasi sumber daya. Sementara upaya rekonstruksi dimulai, kurangnya suara itu bisa diterjemahkan sebagai minimnya keterwakilan perempuan dalam perencanaan pemukiman kembali dan suatu ketidakmampuan mengekspresikan kebutuhan pelatihan ulang (retraining) dan kebutuhan pembiayaan.' (PDLA, hal 82).


     
  • Tanah dan Pemukiman kembali
    Tsunami telah membuat 20% rakyat Aceh kehilangan tempat tinggal (Bappenas, Januari 2005). Beberapa benar-benar kehilangan tanah karena tsunami telah menghanyutkan tanah mereka dan secara permanen mengubah bentuk garis pantai. Yang lainnya mengalami kesulitan untuk menunjukkan bidang tanah mereka pada bentang alam yang hancur dan bahkan sebagaian besar dari mereka tak punya bukti apa-apa lagi atas kepemilikan tanah mereka.

    "Pengawasan tanah dan kepemilikan tanah menjadi isu yang rawan, di area pertanian orang-orang berusaha kembali ke tanah garapan mereka atau tinggal di mana saja, dan di kota orang-orang berusaha membangun kembali pada bidang tanah yang lebih kecil', begitu perkiraan Bappenas. Menurut data laporan bulan Januari 2005, sebagian besar rumah tangga di Aceh tinggal di rumah yang menjadi miliknya sendiri dan kurang dari 10% yang tinggal di rumah sewaan. Delapan puluh delapan persen memiliki suatu tanda bukti atas kepemilikan rumah mereka, namun hanya 9% yang mempunyai sertifikat tanah. "Saat ni banyak dokumen telah musnah dan isu klaim kepemilikan kelak akan menjadi sumber ketegangan di wilayah ini'.

    Desas-desus bahwa pemerintah telah merencanakan skema besar perencanaan pemukiman kembali korban tsunami mulai beredar segera setelah gelombang tsunami menghantam, telah menciptakan ketakutan akan adanya rekayasa sosial seperti pada program transmigrasi yang mendapat banyak kritikan, atau upaya untuk mengontrol aktivitassimpatisan GAM. Terdapat kekhawatiran pula bahwa relokasi yang terburu-buru hanya akan memanfaatkan ketakutan masyarakat terhadap laut, sebelum mereka punya waktu untuk mencerna rasa takut mereka.

    Pernyataan pers Departeman Kehutanan menjelaskan suatu skema relokasi. Skema itu mengusulkan supaya lahan yang tersapu tsunami di pantai dan area pedalaman akan dikontrol oleh Departemen Kehutanan untuk merehabilitasi tanaman bakau agar dapat memperkuat daya tahan pantai terhadap gelombang. Pernyataan pers menerangkan juga bahwa upaya rehabilitasi tidak akan mudah karena, bagaimanapun juga, rencana tersebut perlu 'disosialisasikan' kepada masyarakat yang akan direlokasi. Dikatakan pula, pendekatan dilakukan kepada komunitas yang sebelumnya tinggal di daerah pantai untuk dipertukarkan tanah mereka dengan area hutan. "Masyarakat diharapkan tidak menghuni pantai kembali dan dapat bemukim pada kawasan hutan yang akan dipersiapkan oleh Dephut, sehingga pada masa mendatang masyarakat terbebas dari resiko mengalami bencana serupa." (Siaran Pers S.332/II/PIK-1/2004, 13/Jan/05)

    Beberapa skema sepertinya hanya memberi sedikit ruang bagi perencanaan yang diprakarsai oleh masyarakat dan bisa meniadakan solusi terbaik untuk mata pencaharian dan juga keberadaan garis pantai. Yang juga luput dari perhatian adalah hak adat masyarakat adat terhadap area hutan pedalaman dimana area tersebut secara resmi diklasifikasikan sebagai hutan produksi – jadi menciptakan lebih banyak potensi konflik pertanahan di masa depan.

    Tentang bagaimana skema-skema tersebut akan dilaksanakan, ada kemungkinan besar hal itu juga akan melanggar HAM. Amnesti Internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk membantu orang-orang yang akan menata kembali tanah dan harta milik mereka, bilamana mungkin, dan pemerintah harus patuh pada Panduan PBB untuk Pemukiman Kembali. Dari Panduan tersebut serta standar internasional lainnya dinyatakan bahwa mereka yang kehilangan tempat tinggal memiliki hak untuk bebas berpindah dan bebas untuk memilih tempat tinggal mereka. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dari pemindahan secara paksa dan sewenang-wenang. "Para donor harus mensyaratkan adanya larangan mutlak terhadap segala tindakan dari petugas keamanan atau kekuatan lainnya yang berupa pemindahan, penampungan atau relokasi paksa. Persetujuan dari mereka yang kehilangan tempat tinggal harus senantiasa diusahakan' (AI, Januari 2005).

    LSM Aceh juga menyoroti hak atas tanah dalam diskusi dan tuntutan mereka (lihat boks, dibawah).

     

    Isu kunci perlindungan hak-hak atas tanah

    • Banyak orang tidak memiliki bukti atas identitas mereka, meninggalkan begitu saja tanah milik mereka atau harta benda lainya, sebagaimana mereka kehilangan seluruh dokumen pribadi dalam bencana itu. Perlu waktu untuk menggantikannya.
    • Banyak orang - khususnya pada komunitas tradisional di desa dan kota - tidak memiliki surat apa pun atau bukti kepemilikan tanah mereka.
    • Secara fisik, bentang alam telah berubah sepanjang bidang pantai yang luas. Adalah mustahil untuk ditempati lagi sebab tanah daratan telah berubah menjadi dasar laut atau menjadi rawa berlumpur.
    • Penanda alami yang dipakai oleh masyarakat tradisional sebagai pembatas tanah mereka " seperti pohon, sungai atau batu-batu" sudah benar-benar tersapu bersih atau bergeser.
    • Dampak gempa-tsunami di beberapa tempat begitu hebatnya sehingga segalanya rata dengan tanah dan tidak meninggalkan bekas walau sekedar batu bata atau serpihan bangunan.
    • Di daerah perkotaan terdapat beberapa bukti adanya spekulasi tanah dimana orang memborong tanah atau mengklaim memiliki tanah padahal pemilik sebenarnya telah tewas, untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah selama fase rekonstruksi.
    • Beberapa catatan yang dibuat oleh petugas Badan Pertanahan setempat atau petugas administrasi desa telah musnah. Untuk membuat salinannya harus dilakukan di Jakarta, namun masih belum diketahui seberapa efisien birokrasinya.
    • Ada potensi konflik tanah, khususnya atas tanah yang ditinggalkan begitu saja sebab pemilik tanah sesungguhnya telah meninggal dunia atau meninggalkan wilayah itu ke tempat penampungan sementara.
    • Bila korban selamat ingin tinggal di wilayah pedalaman daripada kembali, akan muncul tekanan yang lebih besar pada tanah dan sumber daya alam, dan sekali lagi ada resiko lebih besar munculnya konflik karena mereka mencari lahan 'kosong' untuk bertani atau membangun rumah.
    • Banyak orang tidak ingin melapor kepada pihak berwajib di daerah dimana pemerintah menganggapnya sebagai sarang GAM, berdasarkan pengalaman kekerasan dimasa lalu, intimidasi, pemerasan, penahanan, penghilangan dan perusakan harta milik mereka.
    • Pemerintah telah membentuk 10 tim untuk menyusun rencana pemanfaatan tanah di area-area yang terkena bencana. "Cetak biru untuk pembangunan kembali' secara keseluruhan yang sebenarnya selesai pertengahan Februari belum akan diumumkan hingga pertengahan Maret. Dalam proses penyusunan rencana ini hampir tidak ada proses konsultasi publik sama sekali.
    • Pemerintah mencoba untuk memindahkan seluruh pengungsi ke barak pengungsian sementara atau ke rumah keluarga lainnya, dari pada mendorong atau bahkan mengijinkan mereka kembali ke rumahnya.
    • Militer sudah mengklaim tanah di tempat tertentu sebagai basis operasi bantuan darurat dan untuk membangun kembali markas dan pos komando mereka. Penduduk setempat tidak berani menuntut tanah mereka yang telah diserobot.
    • Tanah rakyat juga diambil alih oleh penguasa sipil untuk pusat relokasi, jalan baru dan kantor-kantor pemerintah. Pemerintah mengatakan bahwa seluruh tanah yang dipakai sebagai pusat relokasi telah disewa atau dibeli. Ada bukti bahwa perangkat desa telah memberi izin atas nama pemilik tanah, tanpa pembicaraan apapun.
    • Berbagai juru bicara pemerintahan dan badan internasional sudah mengumumkan adanya kebutuhan untuk zona aman pantai dimana tidak akan dibangun lagi tempat penampungan. Mereka mengusulkan 'Garis Hijau', yang paling tidak sebagian dari area itu akan ditanami bakau untuk mengurangi dampak tsunami kelak.

     

Perumahan
Rekonstruksi perumahan untuk korban selamat tsunami memerlukan partisipasi penuh masyarakat dan analisis dampak lingkungan, jika skema - bahkan pada proyek jangka pendek-menengah - diharapkan berkelanjutan secara sosial dan lingkungan.

Laporan Bappenas menganjurkan:

Akan tetapi rencana pemerintah untuk memukimkan kembali korban selamat dari bencana tsunami, termasuk bangunan semi permanen, penampungan yang seperti barak, telah terlanjur dilaksanakan dengan jalan yang bertentangan dengan rekomendasi ini. Kurangnya konsultasi dan keterlibatan militer dalam membangun kamp-kamp baru adalah pertanda buruk. Pada awal Februari LSM HAM yang berbasis di Amereika Serikat, HRW (Human Rights Watch) dan HRF (Human Rights First) menyatakan bahwa rencana pemerintah untuk mendata dan merelokasi lebih dari 100.000 orang yang tak punya tempat tinggal ke dalam kamp-kamp semi permanen telah mengancam hak mereka untuk kembali lagi ke rumah mereka. LSM menyatakan kekhawatiran mereka bahwa kamp-kamp itu bisa disalahgunakan militer sebagai cara untuk mengontrol penduduk, kecuali bila disana ditempatkan pengawas HAM.

"...Mengingat militer punya catatan buruk di Aceh, peran menonjol militer dalam pengangkutan ribuan rakyat Aceh dari kamp-kamp sementara ke barak-barak penampungan, keterlibatan mereka dalam mengelola kamp, dan penyaluran bantuan ke barak selalu saja menimbulkan ketakutan diantara masyarakat pengungsi. Ini akan menjadi kendala pengungsi untuk bebas menentukan pilhan relokasi, termasuk pilihan untuk kembali ke tempat tinggal mereka semula...' (pernyataan pers HRW/HRF, 7/Feb/05).

Di awal Februari, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab berkata bahwa tidak seorang pun akan dipaksa pindah ke barak penampungan. Laporan dari AFP menyatakan bahwa sudah ada protes dari para korban selamat yang tidak ingin dikumpulkan ke dalam barak yang berdesak-desakan, tapi lebih ingin dibangunkan rumah sendiri-sendiri meskipun itu kecil (AFP 2/Feb/05).

Menurut HRW dan HRF, setidaknya sepertiga dari pengungsi tsunami secara spontan tinggal di kamp-kamp pada awal bulan Februari, sementara yang lainnya menempati bangunan-bangunan umum atau tinggal bersama keluarga dan saudara mereka. Pemerintah berjanji memberi tenggang waktu satu bulan bagi orang-orang untuk tinggal bersama sanak saudara mereka, namun tidak tampak ada komitmen pasti untuk membantu mereka yang memilih untuk segera kembali ke tempat tinggal mereka sendiri. Banyak lembaga yang semakin prihatin dengan pendaftaran yang dilakukan pemerintah terhadap para pengungsi untuk relokasi, tanpa terlebih dulu menawari mereka informasi lain yang memadai sebagai alternatif.

Laporan yang dibuat oleh Pusat Informasi Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink / Urban Poor Linkage Information Center), menyatakan bahwa relokasi ke barak-barak pertama kali dilaksanakan pada tanggal 15 Februari. "Sebagian besar pengungsi menolak dipindahkan ke barak...isu utama yang menjadi jurang pemisah antara kebijakan pemerintah, yaitu merumahkan orang ke barak sementara dan kemudian merelokasi mereka ke tempat tinggal baru jauh dari tempat penampungan mereka, dan harapan orang-orang untuk kembali ke kampung mereka sendiri sesegera mungkin' (Uplink 23/Feb/05). Laporan PBB terakhir mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah dan pusat dari Departemen Pekerjaan Umum setuju bahwa pengungsi yang ingin tetap tinggal dan membangun kembali rumah mereka semula harus diizinkan.

Baru 75 dari 273 barak yang direncanakan untuk tahap pertama relokasi pengungsi yang telah siap pada tenggat waktu 15 Februari (detik.com 15/Feb/05).

Menurut Badan Koordinasi Nasional, BAKORNAS, 397 barak, yang secara resmi bernama Tempat Penampungan Sementara (Temporary Location Centres /TLCs), telah selesai pada akhir Februari dan pengungsi telah mengisi 142 barak. Pemerintah telah menambah jumlah barak yang direncanakan menjadi 997, dengan masing-masing dirancang menampung 60 orang (Laporan Situasi OCHA 31, 1/Mar/05).

Urban Poor Consortium bekerja sama dengan lembaga lain untuk membuat rencana tandingan terhadap rencana Departemen Pekerjaan Umum untuk merelokasi penduduk jauh dari pantai di kota Banda Aceh dan menciptakan dua kota baru di luar lokasi saat ini. Rencana alternatif tengah diusulkan yang memperbolehkan orang kembali ke tempat asal mereka dan membuat dataran yang lebih tinggi dimana orang bisa lari mengungsi kelak (Uplink 23/Feb/05).

 

"Saya ingin minta bantuan anda dalam kasus ini. Mohon diinformasikan kepada masyarakat di negara anda dan kepada pemerintah anda dan mintalah mereka untuk menunda dulu bantuan mereka sampai pemerintah/militer mau melibatkan rakyat di dalam proses rekonstruksi sebagai aktor dan pengambil keputusan, dan menggunakan momentum bencana ini untuk perdamaian dan kesejahteraan rakyat.'

(Urban Poor Linkage Information Center, 5/Feb/05)


Kelestarian Lingkungan
Laporan Bappenas, yang berisi pengarusutamaan dan pemulihan lingkungan, merekomendasikan bahwa isu lingkungan perlu diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan rekonstruksi pada seluruh sektor. Tercakup pula pemilihan lokasi perumahan sementara dan kamp penampungan yang "harus dilakukan mengingat implikasi lingkungan jangka panjang yang potensial.' Laporan juga menyebutkan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) harus dilakukan "dengan cepat' sehingga proyek perencanaan rekonstruksi tidak mengalami penundaan dalam pelaksanaannya.

Saat ini, sistem Amdal Indonesia tidak banyak mendapat pengakuan dari organisasi lingkungan hidup di negara ini atau masyarakat yang mata pencahariannya dirusak oleh polusi. Kenyataannya adalah bahwa tidaklah mungkin melakukan Amdal dengan cepat bila partisipasi masyarakat punya arti dan bila keputusan akhirnya adalah menerima semua pendapat sebagai pertimbangan.

Persediaan kayu untuk rekonstruksi Rekonstruksi "khususnya kebutuhan kayu untuk bahan bangunan" tampaknya memakan korban sumber daya hutan Aceh yang sudah terkuras. Hutan di Aceh, Sumatra Utara dan pulau-pulau di sepanjang pantai barat Sumatra, termasuk pulau Siberut, masih cukup luas dan kaya dengan keanekaragaman hayati. Hutan-hutan tersebut juga merupakan sumber daya kayu yang paling mudah, cepat dan murah untuk kebutuhan perumahan dan pembangunan di masa depan.

WWF indonesia memperkirakan bahwa paling tidak 300.000 rumah baru perlu dibangun bagi para korban selamat bencana tsunami. Jaringan LSM hutan, SKEPHI, melaporkan pada bulan Januari, yaitu tidak lama setelah bencana datang, bahwa kepala daerah di Aceh telah meminta kepada pemerintah pusat untuk memberi izin penebangan kayu di wilayah mereka untuk membentu upaya rekonstruksi.

Kini, menurut Menteri Lingkungan Hidup, pemerintah pusat tengah menargetkan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai sumber untuk memperoleh kayu. Taman Nasional tersebut telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia karena nilai keunikan keanekaragaman hayatinya. Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar diberitakan telah menolak rencana tersebut dan malahan meminta bantuan kayu dari negara lain (Asia Times 5/Mar/05).

SKEPHI dan LSM lain memprediksikan bahwa pengambilan kayu dari hutan Sumatra yang masih tersisa akan menciptakan tragedi yang lebih dahsyat dalam bentuk tanah longsor dan banjir. Di akhir tahun 2003, sekitaar 2000 orang tewas ketika banjir bandang menyapu desa-desa di Bukit Lawang Sumatra Utara. Bencana tersebut diakibatkan oleh merajalelanya penebangan liar di dalam ekosistem Gunung Leuser seluas 2,5 juta hektar, yang termasuk pula area Taman Nasional, hanya sejengkal jaraknya dari perbatasan provinsi Aceh dan Sumatra utara (lihat DTE59). Pada bulan Mei tahun lalu, banjir berikutnya telah menewaskan penduduk desa di perbatasan dan memaksa ribuan lainnya meninggalkan rumah mereka yang terenndam banjir (lihat DTE62).

Menteri Kehutanan memperkirakan kebutuhan akan kayu untuk rekonstruksi adalah 8,5 juta m3 untuk pembangunan sekitar 123.000 rumah baru. Menteri yang baru saja dilantik itu, Malam Sambat Kalam, mengatakan bahwa kebutuhan kayu tersebut berupa 6 juta m3 kayu bulat dan 2,5 juta m3 kayu gergajian. Pada akhir Januari, katanya, DepHut telah memberikan izin khusus konsesi penebangan hutan di Aceh untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Ia juga mengatakan bahwa kayu-kayu sitaan (dari penebangan liar) dan kayu yang telah ditolak oleh eksportir bisa digunakan. Petugas tengah mengumpulkan data tentang jumlah dan lokasi atau jenis kayu apa saja pada akhir Januari (Antara/Jakarta Post 25/Jan/05).

Perkiraan 8,5 juta m3 itu jauh lebih banyak dibandingkan kuota penebangan kayu nasional tahun ini sebesar 5,45 juta m3. Artinya bahwa usulan menteri untuk peningkatan izin yang begitu dramatis untuk penebangan kayu sampai 20 ' 30 juta m3 bisa jadi akan disetujui ('Jakarta Post' 7/Jan/05).

Penebangan hutan yang merusak di Aceh telah membabat area hutan seluas 270.000 hektar per tahun, meskipun ada moratorium konsesi penebangan hutan sejak tahun 2001. Penebangan dilakukan oleh pengusaha yang memiliki atau yang tidak memiliki izin dan didukung oleh jaringan pejabat pemerintah, pengusaha dan anggota militer yang korup. Hak-hak masyarakat adat atas hutan dan sumber daya hutan telah dikesampingkan. Kayu gelondongan dan kayu yang telah diproses diselundupkan ke luar Aceh dari lokasi pantai barat dan timur menuju Malaysia, Cina dan negara lain, yang menyebabkan puluhan juta dolar kerugian keuangan negara. Keterlibatan militer yang dalam pada industri perkayuan telah mendorong para aktifis untuk sampai pada kesimpulan bahwa perang terhadap GAM akat dilanggengkan selama di sana masih ada keuntungan yang bisa didapat dari hutan Aceh (Lihat Aceh: Catatan dari zona konflik untuk latar belakang penggundulan hutan di Aceh)

Kembali ke Aceh pasca tsunami, meningkatnya permintaan kayu kemungkinan besar akan membuat situasi yang buruk bahkan menjadi semakin buruk. "Ada kemungkinan besar tiap pohon yang masih tegak berdiri akan dirobohkan,' Moray McLeish dari organisasi konservasi yang berbasis di Amerika Serikat yang bernama The Natural Conservancy, menyampaikan kepada Wall Street Journal, "Bahayanya adalah apabila orang-orang mencari kayu ke Taman Nasional... tempat yang mungkin sekali akan menjadi satu-satunya sumber daya yang tersisa di Sumatra' (WSJ 17/Jan/05).

 

Jalan Ladia Galaska
Masalah yang berhubungan erat dengan penggundulan hutan adalah pembuatan kebijakan seputar infrastruktur transportasi masa depan, yang dalam hal ini adalah jalan. Sebagian besar jalan di sepanjang pantai barat telah hancur oleh gempa bumi dan gelombang tsunami, mengucilkan desa-desa dari kebutuhan yang sangat penting yaitu pelayanan medis, makanan dan persediaan air. Infrastruktur penghubung perlu dibangun kembali, namun LSM khawatir bahwa fokus pasca tsunami pada pembangunan jalan bisa bergeser ke daerah pedalaman. Gubernur Abdullah Puteh (saat ini di-non-aktifkan untuk penyelidikan kasus korupsi yang sedang dan akan berlangsung) telah mendorong pembangunan jalan trans Aceh Ladia Galaska, yang bisa jadi pemicu potensial datangnya banjir dan tanah longsor yang lebih dahsyat. Sebagian jaringan Ladia Galaska yang sudah dibangun membelah ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser dan diyakini akan lebih mendorong kepentingan jaringan mafia penebangan liar lokal, daripada rencana rasional transportasi apapun. Aktifis yang menentang proyek ini telah menjadi target polisi dan militer. Seorang pegiat masyarakat adat , Bestari Raden, kini tengah menjalani hukuman dua setengah tahun penjara karena menentang perusakan hutan di Aceh. Ia ditahan ketika mengambil bagian dalam misi yang disponsori pemerintah untuk meninjau ulang masalah Ladia Galaska (Lihat DTE63DTE62 dan 'Aceh: logging a conflict zone' sebagai latar belakang)

LSM yang menentang pembukaan jalan tersebut saat ini khawatir bahwa tsunami akan digunakan sebagai alasan untuk mempercepat pembangunan jalan, dengan dalih, rute jalan darat yang ada saat ini rentan terhadap kerusakan dimasa datang yang berasal dari laut. Pemerintah telah memutuskan bahwa bencana ini menunjukkan dengan jelas perlunya akses jalan darat yang lebih baik dari pantai barat ke pantai timur Aceh. Suatu pilihan terbaru dari rencana itu adalah menjadikan Tapak Tuan sebagai pusat pembangunan dan pemukiman penduduk di pantai barat. Setiap jalan baru ke arah utara dan barat akan memotong hutan dalam Ekosistem Leuser. Ini memberi peluang baru bagi para politisi lokal dan pengusaha untuk menciptakan sedikit keuntungan dari penebangan kayu yang memiliki nilai komersial sepanjang jalur jalan dan mendapatkan izin pembukaan perkebunan. Dokumen yang disampaikan kepada DTE menunjukkan bahwa pemerintah telah mengusulkan bantuan dana dari Bank Dunia untuk membangun jalan di area yang dilindungi itu.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa jaringan jalan itu sebenarnya sudah ada dan hanya perlu ditingkatkan. Ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa ruas jalan lebih berupa jalan tanah berdebu yang menjorok beberapa kilometer ke dalam kawasan hutan dari jalan utama di timur dan barat. Skema Ladia Galaska akan menghubungkan jalan itu dan memperkeras permukaan jalan sehingga truk besar bisa menerobos melewati hutan. Sebagai contoh, sejak bulan Februari, 75 km jalan aspal terbentang sepanjang rute Takengon ke Meulaboh ('AcehUpdate.deGromiest.nl/archives/002034.php').

Biaya atas diteruskannya proyek Ladia Galaska bisa sangat besar. Sebuah survei yang dilakukan oleh Leuser Management Unit yang didanai oleh Uni Eropa, memprediksikan bahwa pembangunan jaringan jalan Ladia Galaska akan menggandakan skala kerusakan hutan sampai 40% dari ekosistem Leuser sampai tahun 2010 dan menimbulkan resiko kerugian sebesar Rp 168,7 triliun (19.8 milyar dolar Amerika) berdasarkan perkiraan bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan hutan, tidak termasuk kemungkinan hilangnya nyawa (Jakarta Post 3/Dec/03).

 

"Kami khawatir bahwa tragedi tsunami akan dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan jalan Ladia Galaska... Kita harus menghentikan proyek pembangunan jalan dan menghindarkan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai sumber pengambilan kayu' (Longgena Ginting, WALHI, in Asia Times 5/Mar/05)

 

Aceh: catatan dari daerah konflik Laporan Eye on Aceh tahun 2004, disampaikan oleh Down to Earth secara online dapat dilihat di at www.acheh-eye.org Edisi cetak tersedia di DTE. Tersedia terjemahan dalam bahasa Jerman dan bisa dikirim lewat email. Untuk lebih lengkapnya kontak dte@gn.apc.org atau +44 (0) 16977 462 66 .

Keterlibatan pihak Swasta Peranan Bank Dunia dan IMF dalam menghitung kebutuhan keuangan untuk rekonstruksi telah dipertanyakan oleh Binny Buchori, mantan direktur International Forum on Indonesia Development (INFID). Dalam artikel untuk LSM Inggris, Bretton Woods Project, ia menunjuk peran dua lembaga dana itu di Indonesia dalam mendorong privatisasi, liberalisasi ekonomi dan mengarahkan pembangunan infrastruktur kepada mega proyek transportasi dan energi. "Apa jaminan yang kita punya kalau lembaga tersebut tidak akan menjadikan mega proyek sebagai prioritas rekonstruksi infrastruktur di Aceh dan Sumatra Utara?' (BWP 26/Jan/05).

Yang menjadi keprihatinan adalah bahwa proyek besar akan mengesampingkan proyek-proyek yang berbasis masyarakat dan sekaligus akan menyalurkan dana rekonstruksi kepada perusahaan asing. Pengalaman Aceh dengan perusahaan multinasional lebih banyak derita daripada senangnya. Exxon Mobil, perusahaan minyak multinasional dari AS, telah menjadi pemain paling utama selama bertahun-tahun. Perusahaan ini sedang menghadapi tuntutan hukum karena keterlibatannya dalam pelanggaran HAM oleh anggota militer yang menjadi penjaga keamanannya, termasuk menggunakan fasilitas perusahaan untuk penyiksaan dan penghilangan para tersangka GAM (lihat DTE 50).

Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, yang juga menjadi ketua tim penanggulangan bencana alam Indonesia, penguatan kemampuan masyarakat setempat harus diutamakan. Ia menambahkan, donor lokal dan internasional akan diberi kesempatan untuk ikut terlibat dalam upaya rekonstruksi, namun prioritas diberikan kepada masyarakat Aceh sendiri. "Jangan mendatangkan pekerja dari luar negeri atau bahkan dari Jakarta sekalipun. Kita harus memberdayakan masyarakat untuk menunjukkan bahwa ini semua adalah persoalan mereka dan tanah air mereka'. (icwweb 24/Jan/05)/

Kenyataannya di lapangan adalah pengusaha lokal telah dikesampingkan. Laporan di Serambi menyatakan bahwa para pengusaha setempat mengajukan keberatan kepada pemerintah provinsi Aceh karena mereka benar-benar tidak dilibatkan dalam upaya rekonstruksi. Mereka lebih memilih mengikat kontrak dengan perusahaan nasional atau perusahaan yang berbasis di Jakarta, menurut Let Bugeh, pemilik sebuah perusahaan lokal di Aceh. "Kami bahkan tidak diundang untuk konsultasi, sekedar memberi dukungan, meskipun kami telah banyak kehilangan. Kami hanya dijadikan penonton, dipinggirkan dari pembangunan kembali Aceh', katanya (Serambi 28/Feb/05).

Kerja sama Organisasi Masyarakat Sipil untuk Berpartisipasi dalam rencana Rekonstruksi Untuk pertama kali sejak bencana gempa bumi dan tsunami, sekitar 100 organisasi masyarakat sipil Aceh secara bersama-sama menyusun rencana rekonstruksi di Aceh, menurut pandangan penduduk Aceh sendiri. Duek Pakat, atau pertemuan, dilangsungkan di Medan, setelah rencana pertemuan sebelumnya di Takengon, Aceh Tengah dilarang oleh polisi dengan alasan keamanan.

Pertemuan diupayakan utuk memenuhi tenggat waktu 14 Februari untuk pendaftaran dalam kelompok kerja pemerintah provinsi yang akan mempersiapkan cetak biru pembangunan kembali Aceh.

Kerangka waktunya sangat sempit: Bappenas akan menyerahkan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara kepada Presiden pada minggu ke-3 bulan Maret, kurang dari tiga minggu dari batas pendaftaran.

"Belum ada konsultasi publik apa pun yang melibatkan rakyat Aceh sendiri dalam diskusi tentang rekonstruksi dan rehabilitasi di tingkat provinsi,' demikian pernyataan pers setelah pertemuan tersebut.

Pertemuan diakhiri dengan adanya persetujuan untuk membentuk Komite Bersama Aceh Baru.

Komite itu mempunyai mandat untuk memastikan bahwa suara rakyat telah didengar pada tingkat provinsi, nasional dan internasional. Sementara masyarakat Aceh lainnya mengajukan keluhan karena mereka belum diberi tahu tentang rencana dan kegiatan badan-badan nasional dan internasional yang terlibat dalam pekerjaan rehabilitasi. Dalam pada itu, badan nasional dan internasional acap kali mengalami kesulitan untuk mendapatkan mitra di lapangan untuk menyalurkan bantuan dan bekerja pada program yang tepat, bermanfaat, dan secara langsung dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pertemuan, yangdidukung oleh 13 donor nasional dan internasional sepakat bahwa sebagian besar prioritas penting adalah untuk menjamin dicabutnya status darurat sipil, sehingga masyarakat Aceh dapat bebas berpartisipasi dalam merencanakan pekerjaan rekonstruksi dan rehabilitasi di masa datang.

Duek Pakat juga mendesak untuk: Rakyat Aceh, termasuk perempuan dan masyarakat adat, terlibat sepenuhnya di dalam rencana rekonstruksi; Jaminan hukum bagi para korban selamat, termasuk dalam perselisihan pertanahan; Pembangunan di Aceh tidak didanai dengan hutang domestik atau hutang luar negeri; Masyarakat Aceh dilibatkan dalam pembangunan kembali rumah mereka; Partisipasi rakyat Aceh dalam mengawasi efektifitas dan efisiensi bantuan; Perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan pada tiap proses perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; Keikutsertaan komponen masyarakat sipil agar negosiasi perdamaian melibatkan tiga pihak ' militer, GAM dan masyarakat sipil.

Komite Bersama Aceh Baru terdiri dari 11 unsur termasuk perempuan, pemimpin agama, organisasi kepemudaan, LSM, organisasi massa, profesional, petani, dan nelayan. (Pernyataan Pers diteruskan oleh Yayasan Tifa, 14/Feb/05)

 


Respon terhadap bencana menjadi sepakbola politik
Pers Indonesia telah banyak menciptakan ketegangan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakilnya, seoraang pengusaha kuat dan ketua partai GOLKAR, Jusuf Kalla. SBY telah mendapat kepercayaan politik untuk memenuhi janjinya kepada para pemilihnya untuk melakukan aksi nyata dalam 100 hari kepemimpinannya. Ketika minggu berganti bulan, beberapa pengamat politik mempertanyakan apakah yang berubah ketika gempa-tsunami menghantam. SBY dikenal sebagai orang yang sering ragu dan lamban dalam bertindak bila dibandingkan wakilnya yang dinamis. Jadi tidak mengherankan kalau respon pemerintah terhadap bencana tidak akan terlepas dari pertarungan politik di Jakarta.

Ironisnya, SBY mengunjungi Papua Barat selama Natal, mendongkrak modal politiknya dengan mengunjungi korban gempa November di Nabire. Ia telah mengunjungi Aceh persis sebulan sebelumnya. Jusuf Kalla segera menyamakan skor. Orang-orang terkesan dengan Kalla yang datang di Banda Aceh sehari setelah bencana. Cara dia mengeluarkan instruksi kepada para menteri untuk mengunjungi Aceh dan menyusun langkah-langkah penanganan mendapat tanggapan yang kurang menyenangkan. Kalla membentuk suatu badan nasional baru, Badan Nasional Penanganan Bencana, yang dipimpinnya sendiri. Beberapa kalangan menyatakan bahwa pengeluaran dekrit oleh seorang wakil presiden, bukan oleh presiden sendiri, pada suatu keadaan darurat nasional adalah tidak kontitusional. Yang lain menganggapnya sebagai sebuah penghinaan karena tidak ada pemberitahuan apalagi konsultasi dengan DPR.

Bencana telah membuka kemungkinan baru untuk melakukan negosiasi dengan GAM dan bahkan sebelum dia jadi wakil presiden, Kalla telah ditugaskan untuk bekerja dibelakang layar dalam penyelesaian masalah Aceh. Oleh sebab itu Kalla-lah yang dipilih, bukan menteri luar negeri yang berangkat ke Helsinki untuk bertemu wakil-wakil GAM pada akhir Januari.

Baik Presiden maupun Wakil Presiden, di depan publik, tidak memperlihatkan persaingan diantara mereka. "Semua yang dilakukan Wapres adalah atas instruksi saya', kata SBY. Namun demikian beberapa pengamat politik memandang hal ini hanya sebagai awal kampanye Jusuf Kalla untuk menjadi presiden Indonesia 2009.

(Sumber:Tempo 23/Jan, 6/Feb/05)

  • Program perumahan lokal harus didasarkan pada perencanaan publik dan perencanaan partisipatoris;
  • Perbaikan dan rekonstruksi rumah bisa dilakukan pada tingkat komunitas untuk menghemat biaya dan menciptakan income pada tingkat lokal;
  • Hal ini bisa dilaksanakan secara padat karya untuk menciptakan lapangan kerja dan memberi pendapatan dalam waktu singkat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian;
  • Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa penampungan sementara bisa menjadi permanen apabila tidak ada upaya rekonstruksi lanjutan. Jalan pintas dalam rekonstruksi seharusnya dihindari.