BHP Billiton di Indonesia: Memburu Batubara yang Mematikan

Berikut intisari dari laporan 'BHP Billiton, Dirty Energy, Alternative Annual Report 2011' yang diluncurkan oleh London Mining Network, DTE dkk bertepatan dengan Rapat Umum Tahunan BHP Billiton di London, 2011.

BHP Billiton mengancam hutan dan masyarakat di Kalimantan Tengah dalam upaya mewujudkan proyek batubara yang besar.

Dalam sebuah konferensi industri batubara di Bali pada 2007, Nurul Fazrie, staf hubungan masyarakat dan pengawas pembangunan BHP Billiton saat itu mengatakan, “Kita memiliki permintaan atas batubara dan kami akan menjadi produsen batubara kokas terbesar di Indonesia.”[38]

Indonesia sudah menjadi pengekspor utama batubara termal[39] dunia dengan perkiraan seperempat bagian dari pasar secara keseluruhan.[40]

Sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan Alternatif tentang BHP Billiton pada 2010, BHP Billiton memegang tujuh konsesi pertambangan[41] yang mencakup 355.000 hektare di Kalimantan Tengah.[42] Perusahaan itu juga menjadi agen pemasaran eksklusif bagi PT Arutmin Indonesia yang mengoperasikan enam tambang lainnya di Kalimantan Selatan.

Perusahaan itu pernah mengumumkan akan menjual habis proyek di Kalimantan Tengah pada akhir 2009,[43] tetapi mengubah keputusannya pada 2010. Lalu pada bulan Maret 2010, BHP Billiton mengumumkan sebuah perjanjian untuk membentuk usaha patungan baru untuk proyek batubara Indonesia miliknya dengan anak perusahaan dari PT Adaro Energy Tbk. Adaro menguasai 25% saham dalam usaha patungan itu sedangkan BHP Billiton memegang 75% sisanya.[44]

Menurut siaran pers tersebut, proyek itu diperkirakan akan memulai produksi komersialnya pada 2014, dengan keluaran mencapai 6 juta ton baik batubara termal dan kokas dalam lima tahun. Tingginya proporsi batubara berkadar metalurgi yang dilaporkan mungkin yang menjadi daya tarik utama bagi BHP Billiton untuk terlibat.

Apa yang menjadi dampak dari proyek ini? Minim sekali informasi publik tentang masyarakat adat dan lokal yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah konsesi. Sebaliknya, hingga saat ini, perhatian difokuskan pada dampak-dampak keanekaragaman hayati.

Rencana Besar

Pada 2007, koran Sunday Times dari Inggris melaporkan bahwa BHP Billiton berencana mengeksploitasi hak penambangan di wilayah konservasi Heart of Borneo dan bahwa perusahaan itu telah melobi agar status dilindungi terhadap beberapa area konsesi dicabut.[45] Sebelumnya, sebuah studi untuk WWF mengonfirmasikan bahwa konsesi BHP Billiton tumpang tindih dengan area ‘Heart of Borneo’. Sementara, Laporan Berkelanjutan perusahaan untuk tahun 2008 menggambarkan wajah ramah dari BHP Billiton, yakni bekerja untuk melindungi keanekaragaman hayati di dalam area konsesinya, tanpa mengacu pada wilayah Heart of Borneo.

Perusahaan itu memperkirakan bahwa jumlah ‘area yang dirusak’  di dalam konsesi mereka adalah sekitar 15.000 hektare, dari total area konsesi 355.000 hektare. Laporan Berkelanjutan untuk tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa wilayah tersebut telah berada dalam ‘ancaman besar dari perubahan penggunaan lahan, seperti kehutanan dan pertumbuhan pesat perkebunan kelapa sawit, ditambah ‘praktik-praktik pertambangan yang dikelola dengan buruk dan pertambangan liar’. BHP Billiton tampaknya tidak menggolongkan dirinya sebagai salah satu ancaman tersebut.

Laporan tersebut juga mengatakan bahwa, jika proyek tersebut berlanjut, rencananya akan dimulai dengan menciptakan ‘tambang-tambang kecil’. “Dengan memulai dengan (tambang) yang kecil, tujuan kami adalah untuk membangun pemahaman lebih lanjut dan pengalaman dalam cara mengelola dampak-dampak lingkungan dan keanekaragaman hayati dalam wilayah tersebut sebelum operasi berskala besar dimulai.”

Walau demikian, meski klaimnya akan memulai dengan yang kecil, BHP Billiton telah memulai proses pembangunan infrastruktur untuk mengangkut batubara dalam jumlah besar untuk dipasarkan di Indonesia dan wilayah di luarnya. Hal ini termasuk juga pembangunan jalan, fasilitas pelabuhan sungai untuk kapal tongkang batubara dan kemungkinan rel kereta untuk menghubungkan tambang-tambang ini ke pesisir.[46] Pemerintah Indonesia juga sedang mengevaluasi kemungkinan membangun jalur rel kereta ke Kalimantan Tengah, terutama untuk angkutan batubara.[47] Jika dibangun, rel kereta tersebut dapat memberikan dampak terhadap hutan-hutan Borneo yang sebanding dengan dampak Jalan Raya Trans-Amazon di Brasil, yang sejak tahun 1970an hingga saat ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang permanen bagi masyarakat dan lingkungan hidup di wilayah tersebut.

Protes

Pada Pertemuan Umum Tahunan BHP Billiton tahun 2010 di London, dua aktivis dari Indonesia bertanya tentang proyek-proyek BHP Billiton yang direncanakan dan yang sedang berjalan di Kalimantan Tengah. Salah satu dari mereka adalah Siti Maimunah dari JATAM, Jaringan Advokasi Tambang Indonesia, menyoroti dampak-dampak destruktif dari penambangan batubara terbuka yang saat ini ada di Kalimantan[48] dan mendesak BHP Billiton untuk membatalkan rencananya untuk mulai menambang batubara di Kalimantan Tengah. Siti Maimunah menuduh perusahaan tersebut mencoba mengubah batas-batas dari hutan lindung agar mereka dapat menambang di area yang saat ini dilarang.[49] Baik Jacques Nasses, Ketua BHP Billiton dan Marius Kloppers, CEO perusahaan tersebut, meyakinkan Siti Maimunah bahwa perusahaan tersebut tidak berupaya mengubah batas-batas wilayah hutan lindung dan bahwa perusahaan tersebut tidak akan memulai pertambangan terbuka di dalam hutan-hutan lindung.

Siti Maimunah menuduh perusahaan tersebut membiarkan anak perusahaannya untuk terus melakukan eksplorasi di dalam suatu wilayah yang izinnya telah dicabut. Marius Kloppers menyatakan bahwa dia tidak tahu mengenai hal ini; Siti Maimunah menegaskan bahwa Departemen Kehutanan telah membuka informasi itu kepada publik pada bulan Maret 2009. Perusahaan tersebut tidak mau berjanji untuk menarik diri dari Kalimantan: mereka menolak mendengarkan desakan dari masyarakat sipil Indonesia yang menolak kehadiran BHP Billiton di Indonesia.[50]

Desakan-desakan terhadap BHP Billiton dan perusahaan lainnya untuk menghentikan proyek-proyek ‘pembangunan’ semacam itu di Kalimantan Tengah terus bertambah. Pada bulan Juni tahun 2011, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Kalimantan Tengah meminta pemerintah Indonesia untuk  menghentikan seluruh proyek REDD Plus (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) di Kalimantan Tengah sampai informasi yang memadai dapat disediakan kepada masyarakat lokal dan prinsip ‘persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan’ dipatuhi.[51] Desakan yang sama telah diajukan kepada  Kemitraan Iklim dan Hutan Kalimantan (Kalimantan Climate and Forest Partnership (KCFP), mengenai proyek REDD lainnya yang diprakarsai antara lain oleh BHP Billiton. Sepucuk surat kepada operator proyek tersebut yang ditandatangani oleh Yayasan Petak Danum dari Kalimantan Tengah dan didukung oleh 11 organisasi lingkungan hidup dan hak asasi manusia terkemuka di Indonesia mengekspresikan kekhawatiran yang serius di bawah slogan “Tidak ada hak, tidak ada KCFP”.[52] Yang jelas adalah bahwa uang dalam jumlah besar sedang mengucur ke hutan-hutan Kalimantan Tengah, dari berbagai pemerintah dan perusahaan serupa, dengan kedok memerangi perubahan iklim dan mempromosikan pembangunan[53] akan tetapi masih banyak masyarakat sipil Indonesia mempertanyakan bagaimana hal ini akan membawa manfaat bagi mereka dan yang lebih penting apa motivasi sesungguhnya di balik serbuan-serbuan ini ke dalam hidup mereka.

Saat ini isu lingkungan hidup dan dampak-dampak perubahan iklim sudah menjadi perhatian publik yang lebih luas, proyek-proyek  keanekaragaman hayati dan ‘pengimbangan’ karbon (carbon offsetting) semakin menjadi alat pembungkus ‘bisnis seperti biasa’. BHP Billiton tampaknya juga memainkan permainan ini, yakni dengan hati-hati membangun reputasi lingkungannya namun melakukan cuci tangan terhadap tanggung jawabnya saat diminta menjelaskan dampak-dampak dari operasinya. Pada Pertemuan Umum Tahunan di London pada 2010 dan dalam konteks ancaman BHP Billiton terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup di Indonesia, seorang pemegang saham individu dari London Mining Network (Jaringan Tambang London) mempertanyakan sebenarnya apa “nilai pemegang saham” dari terus melanjutkan menambang batubara? Pertanyaan itu dihadapi dengan cemoohan dan tertawaan dari beberapa pemegang saham yang hadir. Jawaban dari Ketua dan CEO lebih berhati-hati, yakni menyalahkan masyarakat secara keseluruhan terhadap perubahan iklim dan menghindari pertanyaan spesifik dengan berbicara secara samar tentang teknologi baru untuk mengurangi emisi batubara.[54]

Mengingat tingkat laba BHP Billiton yang terus meningkat, di mana dilaporkan laba sebelum pajak mencapai 32 miliar USD untuk 2011,[55] tentu saja sudah waktunya bagi perusahaan ini untuk memikul tanggung jawab dan kepemimpinan dalam menjauhkan dunia dari sumber energi yang mematikan ini.[56] Sebagai langkah awal, BHP Billiton sebaiknya memulai dengan memikirkan kembali keputusannya tahun lalu untuk memulai kembali operasinya di Indonesia dan agar menghentikan sama sekali rencananya untuk menggali habis jantung pulau Borneo.

 


[38] Sunday Times, 15 Juli 2007.

[39] Batubara termal atau uap merupakan mayoritas dari keluaran bahan bakar fosil di seluruh dunia. Batubara kokas atau batubara metalurgi yang digunakan dalam pembuatan baja dan semen memiliki kualitas yang lebih tinggi dan karenanya mempunyai nilai pasar yang lebih tinggi.

[40] Badan Energi Internasional, Informasi Batubara, 2008.

[41] Ketujuh konsesi itu terpisah menjadi tujuh perusahaan yang berbeda. Lihat: http://www.theindonesiatoday.com/Resources-Photo/adaro-to-invest-24100-million-in-indomet/News

[45] Sunday Times, 15 Juli 2007.

[48] Lihat newsletter Down to Earth No. 85-86 untuk penilaian terhadap dampak pertambangan batubara di Indonesia dan tautan global industri tersebut: http://dte.gn.apc.org/85-85.pdf

[49] Tuduhan-tuduhan ini diperinci dalam sebuah debat parlemen Inggris tentang Perlindungan Hutan pada 18 Juli 2007: http://www.publications.parliament.uk/pa/cm200607/cmhansrd/cm070718/halltext/70718h0004.htm

[50] Informasi lebih lanjut tentang Pertemuan Umum Tahunan London 2010 dari BHP Billiton dapat dilihat di: http://londonminingnetwork.org/2010/10/bhp-billiton-in-the-firing-line-2010-style/

[51] http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/25/indigenous-groups-call-halt-redd-pilot-project.html . Pernyataan lengkap dapat dilihat di: http://www.redd-monitor.org/2011/06/22/indigenous-peoples-organisation-demands-immediate-moratorium-on-redd-in-central-kalimantan/. Informasi lebih lanjut tentang Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (padiatapa) dapat diperoleh dari Forest Peoples Programme di www.forestpeoples.org

[53] Satu contoh tersebut adalah kesepakatan REDD pemerintah Norwegia sebesar USD1 miliar: http://www.redd-monitor.org/2010/05/27/norway-and-indonesia-sign-us1-billion-forest-deal/

[56] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dari Indonesia mengeluarkan laporan tentang “Batubara yang Mematikan” yang menguraikan dengan singkat biaya sebenarnya dari pertambangan terhadap masyarakat Kalimantan: http://english.jatam.org/dmdocuments/DC%20ingg02.pdf