Apakah Menteri Kehutanan serius dengan standar legalitas baru?

Down to Earth No 76-77  Mei 2008

Waktu sudah berjalan lebih dari setahun sejak draft Standar Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia diserahkan ke Departeman Kehutanan Indonesia untuk mendapat persetujuan. Sejak itu, kemajuan menuju implementasinya berjalan sangat lambat, yang menimbulkan pertanyaan apakah Menteri Kehutanan serius ingin mencegah laju kerusakan hutan Indonesia.

Standar legalitas - kini dinamakan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)- merupakan bagian dari tindak lanjut dari perjanjian illegal logging antara Inggris dan Indonesia tahun 2002, yang kemudian digantikan oleh Rencana Aksi Uni Eropa mengenai Penegakan Hukum Hutan, Pemerintahan dan Perdagangan (FLEGT) pada tahun 2003. Indonesia kini tengah menegosiasikan Perjanjian Kemitraan Sukarela atau 'Voluntary Partnership Agreement' (VPA) secara bilateral dengan Uni Eropa, untuk mencegah masuknya kayu illegalke Eropa. SVLK akan digunakan untuk menentukan apa yang termasuk kayu legal dan apa yang illegal. Diharapkan bahwa standar tersebut dapat digunakan untuk memilah-milah kerancuan legalitas kayu yang ditimbulkan oleh kesimpangsiuran peraturan tentang kehutanan1 (Lihat DTE 73 untuk latar belakang lebih lanjut.)

Menanggapi bebasnya pengusaha illegal logging, Mardi Minangsari dari Ornop Telapak, mengatakan: "Cara pengelolaan hutan di Indonesia saat ini benar-benar tidak sesuai dengan tujuannya. Para pelaku kriminal mendapat keuntungan dari ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, sementara deforestasi terus berjalan. Kami mendesak pemerintah untuk mengadopsi standar legalitas yang baru karena kekacauan yang terjadi harus segera diatasi."

Walaupun kepada Uni Eropa dijanjikan akan ada pelaksanaan segera, kenyataannya Departmen Kehutanan masih belum secara resmi setuju atau mengadopsi SVLK - ini merupakan pertanda bahwa kemauan politik untuk mengimplementasikan sistem hampir tidak ada.

Lambatnya Kemajuan Lembaga-lembaga SVLK Bulan Juni tahun lalu, berdasarkan Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan (no. 53/II-KUM/2007) dibentuk suatu Tim Ad Hoc untuk mempersiapkan lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan SVLK. Tim berbagai pemangku kepentingan ini terdiri dari wakil-wakil pemerintah, sektor swasta, akademisi, Ornop dan Organisasi Masyarakat Adat. Proses perancangan lembaga SVLK, peran dan mekanisme dari tiap komponen, hubungan timbal-balik antar komponen kini hampir rampung.

Satu unsur positif dalam perancangan adalah bahwa lembaga SVLK masih merupakan badan multipihak, yang mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan pada hampir semua bagian komponennya.

Lembaga SKLK terdiri dari beberapa badan:

  • Sekretariat, dijalankan oleh Pusat Standarisasi Lingkungan Departemen Kehutanan, yang akan bertanggung jawab dalam hal keuangan, administrasi dan koordinasi lembaga;
  • Komisi Akreditasi, direncanakan sebagai badan multipihak, yang bertanggung jawab melakukan akreditasi bagi pelaksana verifikasi. Pelaksana verifikasi akan melakukan verifikasi atas legalitas Unit Manajemen Hutan atau UMH (perusahaan, atau organisasi perkayuan rakyat dsb) di lapangan.
  • Komisi Pengembangan Standar dan Perijinan (direncanakan sebagai badan multipihak) akan bertanggung jawab mengeluarkan surat ijin yang menyatakan bahwa Unit Manajemen Hutan telah lulus verifikasi secara hukum. Standar juga akan dikaji-ulang secara berkala untuk menyesuaikan dengan setiap perubahan kebijakan.
  • Badan Penyelesaian Perselisihan, yang akan menangani pengaduan dari badan Pengawasan independen atau masyarakat terkena dampak, berkaitan dengan penerbitan ijin dan/atau ketidakpatuhan UMH terhadap SVLK.
  • Badan Pengawasan Independen, yang akan memantau keseluruhan sistem dan para pelaku utamanya. Badan ini juga akan memastikan transparansi dan keadilan sistem.

Konsultasi publik secara regional juga telah diadakan. Konsultasi yang pertama, untuk wilayah Kalimantan, dilaksanakan di Samarinda, Kalimantan Timur di bulan April 2008. Selanjutnya adalah Jawa, lalu Sumatra dan Papua. Konsultasi publik secara regional dimaksudkan untuk menghimpun masukan untuk memperbaiki SVLK. Mudah-mudahan, pada akhir Juni rancangan seluruh sistem akan selesai dan siap diajukan ke Konsultasi Publik Nasional untuk masukan dan perbaikan final.2

 

Menteri Kehutanan mengajukan keberatan

Departemen Kehutanan tengah dalam proses mengkaji SVLK, dan mengadakan pertemuan terakhir di bulan April tahun ini. Satu hal yang diangkat adalah bahwa kriteria dan indikator dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat dianggap terlalu lunak, dan mereka berpendapat bahwa kriteria dan indikator tersebut perlu diatur setara dengan rancangan untuk perusahaan penebangan hutan besar (HPH) dan perusahaan Hutan Tanaman industri (HTI). Ini jelas akan merugikan masyarakat, sebab skala pengelolaan kehutanan mereka jauh lebih kecil daripada perusahaan besar, dan mereka memiliki sumberdaya yang lebih sedikit. Tim Ad Hoc menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa karena kriteria dan indikator dari standar itu dikembangkan oleh proses multipihak, tim kajian Departemen Kehutanan harus menempuh konsultasi publik jika ingin memperbaiki standar itu.

Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian lebih adalah debat seputar Badan Penyelesaian Perselisihan dan perannya di dalam SVLK.3 Tim kajian Departemen Kehutanan berpandangan bahwa badan seperti itu tidak perlu berada di dalam SVLK, karena surat ijin legalitas kayu merupakan jaminan pemerintah yang resmi dan oleh karena itu pemerintahlah yang lebih punya wewenang membatalkannya, bukan Badan Penyelesaian Perselisihan seperti yang diusulkan. Pengaduan harus ditempatkan dalam sistem hukum, oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atau polisi.

Menindaklanjuti masukan ini, pertemuan Tim Ad Hoc baru-baru ini, juga di bulan April, merevisi peran Badan Penyelesaian Perselisihan sehingga badan itu tidak lagi memiliki wewenang untuk membatalkan atau menahan surat ijin legalitas. Malahan, Badan Penyelesaian Perselisihan hanya bisa memberi rekomendasi kepada Komisi Pengembangan Standar dan Perijinan, mengenai pembatalan atau penahanan ijin, berdasarkan bukti-bukti kuat atas tidak-terpatuhinya prosedur 're-verifikasi' yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Perselisihan. Surat ijin legalitas kayu yang diusulkan akan berlaku selama 3 tahun, tergantung pada kajian tahunan.

Persoalan lain yang dikemukakan oleh tim kajian Departemen Kehutanan adalah pertanyaan tentang siapa yang patut duduk dalam setiap bagian komponen SVLK (selain Badan Penyelesaian Perselisihan dan Badan Pengawas Independen). Ada beberapa pendapat berbeda tentang apakah Badan Akreditasi dan Komisi Pengembangan Standar dan Perijinan harus terdiri dari unsur multipihak atau tidak. Tim kajian DepHut berpendapat bahwa, mengingat surat keterangan legalitas kayu adalah produk hukum, maka pemerintah yang seharusnya mengurusnya. Di sisi lain, dimungkinkan bahwa tugas ini dapat diwakilkan kepada badan multipihak yang ditunjuk, dalam hal ini, Komisi Pengembangan Standar dan Perijinan.

 

Industri mendesak biaya SVLK menggantikan seluruh biaya lainnya

Sektor swasta (diwakili dalam Tim Ad Hoc multipihak) mendesak Departemen Kehutanan untuk menghapus seluruh pungutan kehutanan yang ada, dan menggantinya dengan satu biaya verifikasi SVLK saja. Saat ini terdapat lebih dari 40 jenis biaya yang harus dibayar oleh perusahaan bidang kehutanan dan kalangan industri berdalih bahwa biaya tambahan untuk verifikasi legalitas hanya akan menambah beban keuangan. Apa yang disampaikan kalangan industri tersebut memang beralasan, sebab, selain mengurangi belanja perusahaan, pemangkasan jenis biaya dapat pula berarti memotong rantai transaksi illegal yang menguntungkan pejabat pemerintah, polisi dan personil militer yang korup.

 

Diperlukan aksi sekarang juga

Poin penting lain dalam proses SVLK adalah kebutuhan mendesak untuk mengimplementasikan sistem di lapangan. Sementara proses kajian dan diskusi berlangsung, perusakan hutan juga terus berjalan. Setiap upaya untuk memperpanjang proses, menunda implementasi SVLK dan tetap membiarkannya dalam bentuk rancangan berarti nasib hutan masih akan seperti sekarang. Menteri Kehutanan hanya punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo, jika memang Ia ingin seperti itu, sebab SVLK bukanlah barang baru, namun hanya suatu cara memperjelas dan mengukur kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang ada. Dengan kata lain, SVLK hanya sekedar mempertegas penegakan hukum. Jadi, jika Menteri Kehutanan mendukung penegakan hukum, sebagaimana yang ia katakan, tidak ada alasan untuk tidak mengimplementasikan SVLK. Atau mungkin Menteri Kehutanan lebih memilih mempertahankan status quo?


Catatan:
1 EIA: Siaran Pers: 21 November 2007, 'Court Fiasco As Fugitive Timber Boss Evades Jail'.
2 Keterangan lebih lengkap dalam bahasa Indonesia dapat dilihat di www.lei.or.id/indonesia/.
3 Draf pertama mengenai pembentukan Badan Penyelesaian Perselisihan, memberi wewenang kepada badan itu untuk menarik (membatalkan) dan menahan surat izin yang dikeluarkan oleh Komisi Pengembangan Standar dan Perijinan dan Standar.