- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Wawancara dengan Bank Dunia di Indonesia: “REDD+ telah membuka ruang untuk dialog mendalam tentang isu yang sulit terkait kebijakan dan tenurial sektor hutan”
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org
Oleh Chris Lang, 23 Februari 2012
Wawancara dengan Bank Dunia di Indonesia, melalui surat elektronik.
REDD-Monitor: Tolong ceritakan latar belakang singkat mengenai Bank Dunia dan sejarah keterlibatannya dalam hutan-hutan Indonesia.
Bank Dunia: Hutan Indonesia adalah salah satu kepedulian dari Bank Dunia karena arti pentingnya secara sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Wilayah hutan di Indonesia saat ini terancam oleh penurunan fungsi, fragmentasi dan kerusakan. Hilangnya hutan melemahkan penghidupan di pedesaan, jasa ekosistem dan kemampuan Indonesia untuk memenuhi tujuan-tujuan pemberantasan kemiskinan. Tata kelola hutan yang buruk merugikan iklim investasi, potensi ekonomi pedesaan, dan daya saing serta reputasi internasional Indonesia. Kejahatan kehutanan menyebabkan realokasi pendapatan publik dari pengurangan kemiskinan dan tujuan-tujuan pembangunan. Karena Indonesia terus berkembang sebagai negara berpendapatan menengah, terdapat peluang-peluang untuk membantu pemerintah menemukan cara-cara baru untuk menangani wilayah hutan secara kemitraan dengan masyarakat lokal. Hal-hal tersebu akan membantu menyumbang pada pemerataan, investasi sektor pedesaan, lapangan kerja dan pertumbuhan.
Selama tahun-tahun awal era reformasi, Bank Dunia membantu Indonesia membangun penyangga untuk pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menyediakan kerja analisis dan nasihat; mendukung proses dialog seperti Grup Konsultatif untuk Indonesia (CGI); dan mendukung kemitraan dengan masyarakat sipil. Aktivitas-aktivitas ini tercakup dalam laporan yang berjudul Sustaining Indonesia’s Forests: Strategy for the World Bank, 2006-2009 (Mempertahankan Hutan Indonesia: Strategi bagi Bank Dunia, 2006-2009). Bank Dunia mampu menyokong upaya-upaya kesadaran konservasi dan lingkungan hidup melalui dana hibah dari Pendanaan Multi Donor untuk Aceh dan Nias, Fasilitas Lingkungan Hidup Global (GEF) dan kemitraan ornop.
Setelah Konferensi Iklim UNFCCC tahun 2007, REDD+ segera menjadi bagian penting dalam agenda iklim Indonesia. Pada saat itu, Bank Dunia dan mitra-mitra pembangunan lainnya mendukung Indonesia Forest Climate Alliance (Aliansi Iklim Hutan Indonesia) untuk membantu pemerintah Indonesia memyiapkan studi-studi awal, rencana dan prioritas terhadap REDD di Indonesia. Kami saat ini bekerja sama dengan pemerintah – serta REDD PBB (UN REDD) dan mitra-mitra bilateral lainnya – untuk mendukung upaya-upaya kesiapan dan implementasi REDD+ Indonesia melalui mekanisme pendanaan iklim, seperti Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) dan Program Investasi Hutan (FIP).
REDD-Monitor: Bagaimanakah posisi Bank Dunia terhadap REDD dan bagaimana Bank Dunia mempromosikan posisi ini di Indonesia? Tolong berikan juga penjelasan tentang berbagai institusi dan inisiatif Bank Dunia yang berbeda yang terlibat dalam REDD, termasuk FCPF, FIP, GEF, IFC dan seterusnya.
Bank Dunia: Laporan Pembangunan Dunia Tahun 2010, Development and Climate Change [Pembangunan dan Perubahan Iklim], dari Bank Dunia, menganjurkan perlunya untuk “bertindak sekarang, bertindak bersama-sama dan bertindak secara berbeda terhadap perubahan iklim”. Di negara-negara berkembang, kami sedang bekerja untuk mendukung aksi-aksi iklim dalam proses pembangunan yang dipimpin negara; memobilisasi tambahan pendanaan berbiaya rendah dan inovatif; memfasilitasi pelibatan seluruh pemangku kepentingan; dan mempercepat penyebaran teknologi-teknologi baru. Negosiasi iklim internasional mengakui bahwa upaya-upaya untuk memerangi perubahan iklim harus mencakup mengurangi emisi dari deforestasi dam degradasi hutan (REDD+) di negara-negara berkembang. Ide dasarnya adalah memberi imbalan kepada para individu, masyarakat, proyek dan negara yang mengurangi emisi GRK dari hutan. Transfer finansial – dengan tata kelola yang lebih baik – dapat menguntungkan kaum miskin di negara-negara berkembang dan menyediakan perolehan-perolehan sosial dan lingkungan hidup lainnya sebagai tambahan terhadap manfaat-manfaat yang terkait dengan iklim.
Karena Indonesia merupakan penghasil emisi terbesar – perubahan penggunaan lahan dan kehutanan bertanggung jawab atas semua emisi tersebut – Bank Dunia meyakini bahwa membantu Indonesia untuk mengimplementasikan upaya-upaya REDD+ adalah suatu prioritas yang signifikan secara global. Isu-isu kehutanan dan tata kelola penggunaan lahan bersifat kompleks dan menantang. Isu-isu penting yang menyumbang pada deforestasi termasuk hukum yang lemah dan akuntabilitas secara politik; kebijakan yang memihak pada aktivitas komersial skala-besar ketimbang usaha kecil dan menengah; minimnya perlindungan bagi kaum miskin dan para pengguna tanah adat; dan korupsi. Skema apapun untuk mengubah praktik-praktik atau mengurangi deforestasi perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas dari isu-isu yang bersifat kelembagaan, tata kelola dan insentif di hulu yang menyebabkan dampak di hilir pada hutan dan lahan gambut. Kemajuan dalam tata kelola hutan adalah hal penting terhadap kinerja sebuah program REDD+ nasional.
Upaya-upaya pendanaan REDD+ Bank Dunia adalah melalui kemitraan global dan dukungan bilateral untuk membantu negara-negara berkembang dalam upaya-upaya mereka untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Banyak institusi pembangunan – termasuk UNDP, UNEP dan FAO melalui Program UN-REDD, Fasilitas Lingkungan Hidup Global (GEF) dan badan-badan bantuan pembangunan bilateral –berkontribusi terhadap pembangunan, implementasi dan pendanaan REDD+. Masing-masing negara berkembang juga menggunakan sumber daya mereka untuk mendanai kebijakan dan investasi yang penting. Bank Dunia mengelola dana-dana multi donor berikut yang membantu negara berkembang dengan pembangunan dan implementasi REDD+.
- Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) merupakan sebuah kemitraan global yang memusatkan perhatian pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable management of forest) serta konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, yang menyediakan asistensi bagi negara agar menjadi siap untuk REDD+ dan pembayaran berbasis kinerja.
- Program Investasi Hutan (FIP) menyokong upaya-upaya REDD+ dari negara-negara berkembang dengan menyediakan pendanaan yang ditingkatkan secara proporsional untuk reformasi kesiapan dan investasi publik dan swasta, yang diidentifikasi melalui strategi nasional.
- Fasilitas Lingkungan Hidup Global (GEF) merupakan sebuah organisasi finansial yang mandiri yang menyediakan hibah bagi negara-negara berkembang untuk proyek-proyek yang terkait dengan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, perairan internasional, degradasi lahan, lapisan ozon, dan polutan organik yang persisten.
- Korporasi Keuangan Internasional (IFC), anggota dari Grup Bank Dunia, memajukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di negara-negara berkembang dengan mendanai investasi sektor swasta, memobilisasi modal, dan menyediakan layanan penasihat. Program Kehutanan Berkelanjutan Indonesia dari IFC mendukung terciptanya hutan tanaman industri (HTI) yang dapat dilakukan pada lahan yang terdegradasi, dengan membantu perusahaan-perusahaan HTI, pemerintahan provinsi, ornop, masyarakat lokal, dan sektor kehutanan yang lebih luas. IFC juga salah satu dari lembaga mitra yang terlibat dalam Program Investasi Hutan (FIP).
REDD-Monitor: Berapa banyak orang di Bank Dunia yang bekerja dalam isu REDD di Indonesia?
World Bank: Sekitar 5 orang bekerja secara substansial dalam isu-isu REDD+. Bank Dunia di Indonesia memiliki 10 karyawan yang bekerja dalam unit lingkungan hidup yang didukung oleh karyawan kantor pusat Bank Dunia dan kemitraan global.
REDD-Monitor: Tolong berikan rincian proyek REDD di Indonesia di mana Bank Dunia terlibat di dalamnya.
World Bank: Sebuah penjelasan tentang aktivitas-aktivitas perubahan iklim, lingkungan hidup dan kehutanan yang dilakukan Bank Dunia di Indonesia dapat ditemukan di halaman lingkungan hidup dari laman Bank Dunia. Unit Lingkungan Hidup Bank Dunia di Indonesia meliputi pendanaan lingkungan, isu-isu hutan dan REDD+; isu-isu kebijakan iklim, keuangan dan ekonomi hijau (termasuk pengendalian polutan global); perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk laut, terumbu karang dan terestrial; keterlibatan dengan masyarakat sipil; serta analisis dan dukungan tindakan pengaman.
REDD-Monitor: Bagaimana Bank Dunia bekerja dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam isu REDD di Indonesia? Tolong berikan contoh-contoh bagaimana pelaksanaan pekerjaan ini.
World Bank: Perbaikan pengelolaan hutan yang membaik dapat secara langsung berkontribusi terhadap kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat dalam hal akses terhadap air bersih dan produk hutan non-kayu yang berkontribusi pada kesehatan, tempat tinggal dan nutrisi. Tata kelola hutan dan pengelolaan pendapatan yang lebih baik dapat juga memperbaiki kemampuan pemerintah untuk melayani masyarakat miskin dan kelompok-kelompok adat melalui perbaikan tenurial, dukungan mata pencaharian, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Di Indonesia, diskusi mengenai REDD+ telah membuka ruang untuk dialog mendalam tentang isu yang sulit terkait kebijakan dan tenurial sektor hutan. Pada tingkat global juga, REDD+ dan kendaraan pendanaan iklim menciptakan peluang-peluang bagi kelompok masyarakat sipil untuk bertukar informasi mengenai bagaimana cara melibatkan komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan dan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan bagaimana cara mengujicoba inisitif-inisiatif yang terkait dengan REDD+. Di Indonesia, kita tengah mendukung sebuah Pengkajian Strategis Lingkungan Hidup dan Sosial, yang didanai oleh FCPF, yang akan mengakses dampak-dampak potensial dari program dan kebijakan REDD+ nasional, merumuskan alternatif-alternatif dan strategi-strategi mitigasi, dan meningkatkan proses pengambilan keputusan.
Bank Dunia juga berjuang untuk memastikan bahwa organisasi-organisai masyarakat sipil (OMS) dan organisasi masyarakat adat secara aktif berpartisipasi dalam forum-forum konsultasi dan acara-acara pembelajaran. Kami memakai kebijakan dan instrumen tindakan pengaman yang spesifik untuk memastikan bahwa implementasi dari program-program REDD+ di masa depan tidak akan menyebabkan dampak-dampak yang merugikan dan akan memaksimalkan manfaat-manfaat bagi masyarakat lokal dan lingkungan hidup. Pendanaan hibah dari FCPF dan pendanaan lain juga tengah digunakan untuk mendukung mitra-mitra OMS, seperti Telapak, untuk melaksanakan studi mengenai, dan membangun kapasitas dari, masyarakat adat. Kebanyakan upaya REDD+ tengah berada pada tahap rancangan dan persiapan, bukan implementasi. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) menjadi sebuah contoh bagaimana Bank Dunia bekerja dengan masyarakat lokal dalam sebuah pendekatan pembangunan yang berbasis komunitas.
REDD-Monitor: Saya memahami bahwa Bank Dunia mensyaratkan konsultasi atas dasar informasi tanpa paksaan tapi bukan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (sebagaimana diterangkan dalam Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat – dan dijadikan acuan dalam kesepakatan Cancun mengenai REDD). Dapatkah Anda menjelaskan perbedaan antara konsultasi dan persetujuan dan mengapa Bank Dunia tampak seperti menggunakan tindakan pengaman yang lebih lemah ketimbang yang ada dalam kesepakatan Cancun.
World Bank: Proyek-proyek Bank Dunia yang mempengaruhi Masyarakat Adat tidak akan disetujui kecuali bila diketahui bahwa telah ada konsultasi atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari Masyarakat Adat yang mengarah pada dukungan komunitas luas mereka. Kebijakan tindakan pengaman Bank Dunia, khususnya kebijakan tentang Masyarakat Adat, menjelaskan secara rinci bagaimana hal itu dicapai dan didokumentasikan. Para juru runding Cancun memilih untuk memperhatikan dengan saksama Deklarasi tersebut, tapi tidak memasukkan “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan,” yang belum memiliki definisi yang diterima secara universal. Bank Dunia juga memperhatikan dengan saksama Deklarasi tersebut dan kami temukan bahwa kebijakan kami secara substansial setara dalam hal standar konsultasi.
REDD-Monitor: Secara lebih umum, bagaimana Bank Dunia mengantisipasi bahwa hal itu akan mengatasi perbedaan-perbedaan antara tindakan pengaman yang disetujui oleh UNFCCC dan yang disetujui oleh Bank Dunia?
World Bank: Mengingat bahwa rezim tindakan pengaman kami meliputi tindakan pengaman Cancun kami tidak meramalkan adanya perbedaan apapun.
REDD-Monitor: Menurut Andrew Steer, utusan khusus Bank Dunia untuk perubahan iklim, ada 200 karyawan penuh-waktu yang menangani pasar karbon di Bank Dunia. Pasar karbon saat ini sedang mandek (sebagaimana disampaikan Financial Times pada bulan September 2011), akan tetapi Bank Dunia terlihat masih mengandalkan pasar karbon untuk mendanai REDD. Dapatkah Anda jelaskan bagaimana Anda melihat perkembangan perdagangan karbon hutan.
World Bank: Pendanaan karbon sekitar USD25 milyar telah meningkatkan hasil sebesar USD125 milyar dalam bentuk investasi baru untuk mengurangi emisi. Ini sebuah keberhasilan global yang signifikan, mengingat bahwa pengurangan emisi adalah hal yang sangat terkontrol melalui regulasi yang bergantung pada persetujuan antara berbagai negara, dan partisipasi dari ribuan investor perorangan, pembuat regulasi dan bisnis. Banyak klien dari negara berkembang telah memperoleh keuntungan secara signifikan dari dukungan finansial ini, berbagai teknologi baru diperkenalkan dan beberapa sektor membuat kemajuan besar menuju praktik-praktik yang lebih berkelanjutan. Dibangun melalui pelajaran yang bisa dipetik, negosiasi UNFCCC saat ini berupaya membuat pasar karbon lebih efisien, lebih dapat diprediksi dan lebih dapat menghasilkan keuntungan bersama yang bersifat pembangunan dan sosial. Dengan berakhirnya periode komitmen pertama, pasar telah melemah sejak 2010, tapi pada saat bersamaan kami melihat kecenderungan bisnis jangka yang lebih panjang beralih ke pendekatan lebih hijau dalam mengantisipasi permintaan di masa depan akan barang dan jasa yang lebih bersih. Para juru runding UNFCCC juga sedang berupaya membangun kerangka REDD+ di mana melalui kerangka itu sumber daya negara maju dapat menolong negara berkembang yang memiliki hutan untuk mengurangi emisinya. Sebagaimana disebutkan di atas, kebanyakan program REDD+ dari Bank Dunia didasarkan pada bantuan pembangunan luar negeri bilateral, bukan pasar karbon. Pasar karbon hutan dapat berkembang di masa depan dan akan ada penyesuaian-penyesuaian dalam perjalanannya.
REDD-Monitor: Saat ini tidak ada kesepakatan global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan REDD adalah salah satu dari sedikit kemajuan di tingkat UNFCCC. Tetapi REDD sebagai mekanisme perdagangan karbon kemungkinan tidak bisa berhasil kecuali bila kita menemukan cara-cara mengurangi pembakaran bahan bakar fosil. (Ada dua masalah: 1. Wilayah hutan yang sangat luas boleh jadi akan rusak oleh perubahan iklim; dan 2. Tanpa suatu batas atas, perdagangan tidak bisa berhasil, karena tanpa batas atas maka permintaan kredit karbon hanya sedikit atau tidak ada). Bagaimana Bank Dunia bekerja untuk memastikan bahwa negosiasi-negosiasi iklim PBB memasukkan target-target untuk pengurangan emisi dari bahan bakar fosil secara berarti?
World Bank: Walaupun Bank Dunia tidak termasuk salah satu pihak dalam negosiasi iklim UNFCCC, kami sangat tertarik pada hasilnya karena klien negara berkembang kami merupakan pihak yang paling rentan akan dampak perubahan iklim. Bank Dunia tengah mendukung aktivitas-aktivitas perubahan iklim di sekitar 130 negara. Kami juga ingin menyediakan pendanaan berbiaya rendah dan teknologi baru pada negara-negara berkembang untuk membantu mengendalikan emisi. Pendanaan karbon adalah salah satu dari beberapa alat pendanaan iklim yang akan digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan negara-negara klien kami dalam mengurangi emisi.
REDD-Monitor: Indonesia baru-baru ini menandatangani sebuah kesepakatan mengenai illegal logging dengan Uni Eropa (UE). Bagaimana menurut Anda bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari upaya-upaya untuk menghentikan illegal logging dimungkinkan untuk mengimplementasikan REDD di Indonesia?
World Bank: Tentu saja ada pelajaran-pelajaran untuk implementasi REDD+. Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) yang ditandatangani oleh UE – dan prasyarat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) – membutuhkan pembentukan standar legalitas dan kriteria kinerja, pembangunan pendekatan terkait regulasi Indonesia yang baru, pengaturan kelembagaan baru dengan pemantauan pihak ketiga dan sertifikasi inspektur, kerja sama pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan mitra pembangunan internasional – dan bertahun-tahun negosiasi, bantuan teknis dan kemitraan.
REDD-Monitor: Norwegia merupakan pemain REDD terbesar di Indonesia sejauh ini. Apa hubungan antara Bank Dunia dan Norwegia berkaitan dengan REDD? Bagaimana berbagai lembaga dana yang terlibat dalam REDD mengkoordinasikan aktivitas mereka?
World Bank: Kesepakatan Indonesia dengan Norwegia telah mempercepat persiapan bagi sebuah strategi REDD+ nasional, provinsi ujicoba, moratorium, gugus tugas REDD+ dan aksi-aksi lainnya. Operasi-operasi yang didukung Bank Dunia di Indonesia selaras dengan Strategi REDD+ dan upaya-upaya implementasi REDD+ dari pemerintah. Bank Dunia juga memberikan analisis dan bantuan teknis dan membagikan pengetahuan global mengenai REDD+ dalam merespons permintaan-permintaan Pemerintah. Mitra pembangunan yang terlibat dalam REDD+ di Indonesia bertemu secara teratur dan berbagi informasi tentang aktivitas dan rencana mereka. Norwegia juga berinvestasi dalam instrumen iklim global, termasuk FCPF dan FIP, di mana Bank Dunia bertindak sebagai badan perwalian atau badan pelaksana.
REDD-Monitor: Apa yang dipandang Bank Dunia sebagai risiko terbesar terkait dengan REDD+? Bagaimana upaya Bank Dunia untuk menangani risiko-risiko ini? Apakah ada satu hal yang jika terjadi maka, dalam pandangan Anda, akan dapat membuat REDD lebih baik, atau lebih memungkinkan untuk sukses di Indonesia?
World Bank: Manfaat-manfaat penting bisa diambil dari sebuah inisiatif REDD+ nasional yang kuat. Di luar penurunan emisi tersebut, REDD+ dapat menuntun pada perubahan kebijakan, insentif berdasarkan kinerja, perbaikan dalam mata pencaharian dan praktik-praktik lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan kerja sama yang menguat di antara mitra-mitra pembangunan lokal, nasional dan internasional. REDD+ dapat dilihat sebagai peluang untuk menangani isu-isu tata kelola dengan cara yang berarti. Kemajuan yang signifikan sudah dapat dilihat pada isu-isu ini, dengan dukungan dari tingkat politik tertinggi, serta ruang lingkup yang luas dari para pemangku kepentingan dari masyarakat sipil dan swasta. Walau demikian tata kelola yang buruk adalah risiko kunci untuk implementasi REDD+ di banyak negara yang berhutan. Tanpa kerangka tata kelola yang layak dan tindakan pengaman, masyarakat yang rentan, khususnya di antara masyarakat adat dan masyarakat lokal, dapat dirugikan. Bank Dunia menangani risiko-risiko melalui tinjauan internal, kebijakan tindakan pengaman, prosedur supervisi proyek, rencana tata kelola dan anti korupsi, rekomendasi reformasi kebijakan, dan dialog reguler dengan jajaran pemangku kepentingan. Kami membayangkan serangkaian aksi yang berkontribusi terhadap kesuksesan terhadap serangkaian institusi, baik di dalam maupun di luar sektor kehutanan.
REDD-Monitor: Sementara banyak pembicaraan mengenai REDD di Indonesia dan beberapa proyek REDD berada pada berbagai tahap pengembangan, laju deforestasi tetap sangat tinggi. Moratorium terhadap konsesi hutan (sebagai bagian dari kesepakatan REDD USD1 milyar dengan Norwegia) hanya berlaku dua tahun dan masih sangat jauh dari moratorium terhadap pembabatan hutan sebagaimana yang diharapkan banyak pengamat. Janji Presiden Yudhoyono untuk mengurangi emisi menjadi 41% pada tahun 2050 diukur dari ‘praktik seperti biasa’ belum mengubah emisi gas rumah kaca Indonesia. Korupsi tetap menjadi masalah yang sangat besar di Indonesia. Namun, Bank Dunia tetap optimis mengenai REDD di Indonesia. Tolong jelaskan mengapa demikian.
World Bank: Kami memandang REDD+ sebagai sebuah peluang penting untuk mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi. Indonesia telah membuat pencapaian yang sangat nyata dalam waktu yang relatif singkat. Ini termasuk mengembangkan strategi REDD+ nasional dengan konsultasi yang luas; sebuah moratorium dua tahun terhadap izin-izin baru penebangan hutan; dialog yang mendalam antara kelompok-kelompok masyarakat dan pemerintah mengenai reformasi tenurial tanah; dan bertambahnya jumlah kepala pemerintah daerah yang mengambil inisiatif dalam REDD+ lokal. Analisis data tutupan hutan menunjukkan bahwa laju deforestasi telah berkurange, walaupun masih mencapai satu juta hektare per tahun. Kami meyakini bahwa mengharapkan berlanjutnya kemajuan adalah suatu hal yang realistis dan kami berkomitmen untuk membantu lebih lanjut pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan yang mendukung REDD+ dan perbaikan tata kelola.
Wawancara ini adalah yang pertama dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.