Sengketa Hak Rakyat dan Lingkungan Semakin Membara

Down to Earth Nr 48  Februari 2001

Ketika eksplorasi minyak dan gas secara besar-besaran terus berlangsung di Indonesia, tuntutan masyarakat di tempat industri-industri tersebut beroperasi semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan kompensasi yang adil.

Masyarakat Riau, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa tengah berjuang dalam perlawanan tak seimbang melawan perusahaan-perusahaan Transnasional yang paling berkuasa di dunia. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah dan kehilangan mata pencaharian, pekerjaan dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang dari wilayah mereka.

Kecil sekali dukungan dari pemerintah daerah atau pusat terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Sektor minyak dan gas tetap merupakan perhatian utama pemerintahan Abdurrahman Wahid di Jakarta karena perannya yang sangat penting dalam perekonomian dan menjadi pokok utama dalam strategi "penyelamatan" ekonomi yang berorientasi pada ekspor, terutama gas. Komoditi ini sedang dipertimbangkan sebagai sumber pendapatan utama bagi Indonesia di masa depan.

Pemerintah berupaya mengajukan undang-undang baru tentang minyak dan gas pada bulan April tahun ini. Undang-undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya melicinkan jalan proses swastanisasi perusahaan minyak negara, Pertamina. Selain itu, undang-undang tersebut akan semakin membuka lebar pintu masuk bagi perusahaan asing untuk bersaing di pasar dalam negeri Indonesia. Sebelumnya, upaya pemerintah menggolkan undang-undang baru tersebut telah mengalami kegagalan sebanyak dua kali.

Dengan demikian, tuntutan ekonomi menyebabkan eksploitasi kandungan alam tetap menjadi prioritas utama dibandingkan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Meskipun mereka menginginkannya, pemerintahan daerah setempat pun tidak dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah pusat [beberapa laporan menunjukkan bahwa mereka lebih peduli terhadap bagaimana mendapatkan pendapatan daripada menghentikan pengaruh industri-industri tersebut terhadap rakyatnya]. Di bawah sistem otonomi daerah, pembuatan keputusan tentang minyak dan gas tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat.

Dalam lingkup internasional, ada suatu dukungan kuat pemerintahan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional meskipun industri minyak dan gas telah diakui sebagai penyumbang terbesar proses pemanasan global. Dengan kemenangan George Bush, pemerintahan yang pro industri perminyakan sekarang ini menduduki Gedung Putih. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa dukungan Amerika akan semakin menguat bagi perusahaan-perusahaan minyak di Indonesia, termasuk perusahaan raksasa seperti Exxon-Mobil, Chevron/Texaco, Conoco dan Amoco/Amro.

 

Protes Terhadap Caltex, Riau

Di Propinsi Riau, Sumatra, protes kelompok-kelompok masyarakat secara terpisah terhadap perusahaan asal Amerika Serikat, PT Caltex Pacific Indonesia berpusat pada tuntutan mendapatkan ganti rugi, pekerjaan dan pembagian keuntungan perusahaan. Caltex, yang merupakan perusahaan patungan antara Chevron Corp dan Texaco Inc., adalah produser terbesar minyak mentah di Indonesia.

Pada awal November 2000, penduduk desa yang menuntut ganti rugi bagi tanah mereka, melakukan pembakaran terhadap 4 sumur minyak di wilayah minyak Batang. Aksi itu menyebabkan kerugian sebesar $240.000. Menyusul setelah aksi tersebut, lima orang ditahan untuk dimintai keterangannya.

Pada bulan yang sama, M Yatim, seorang pemimpin masyarakat adat Sakai, mengatakan bahwa ia telah meminta 1% pembagian seluruh keuntungan perusahaan sebagai cara untuk meningkatkan standar hidup suku Sakai. Ia menuduh Caltex "merampok dan mengeksploitasi tanah mereka." Yatim mengatakan pula bahwa ia sebelumnya telah meminta dukungan Duta Besar Denmark, Michael Stenberg, yang sebelumnya telah bertemu dengannya dalam suatu kunjungan ke propinsi tersebut. Seperti dikutip Detikworld, sang duta besar mengatakan bahwa ia "siap berjuang untuk suku Sakai" dan akan membawa masalah mereka ke parlemen Denmark.

Pada bulan Januari, anggota-anggota suku Sakai melakukan aksi pendudukan di kantor perusahaan di Dumai Barat. Mereka menuntut klaim ganti rugi segera dipenuhi akhir bulan tersebut.

Minggu-minggu berikutnya, anak-anak muda pengangguran mengambil sekurang-kurangnya 20 kendaraan milik perusahaan kontraktor sebagai protes terhadap penolakan perusahaan untuk mempekerjakan mereka. Selanjutnya, polisi telah melakukan penangkapan terhadap lebih dari seratus orang penduduk Sakai di Mandau, Kabupaten Bengkalis, setelah mereka menolak menyerahkan kembali kendaraan-kendaraan tersebut. Tetapi sesepuh masyarakat, M. Yatim, menolak keterlibatan para pemuda Sakai dalam peristiwa itu. Ia menuduh ada pihak lain yang mencoba merusak citra masyarakat Sakai.

Sampai bulan Agustus tahun lalu, penduduk setempat melanjutkan serangan mereka terhadap instalasi-instalasi Caltex (lihat DTE 47). (Sumber: Straits Times 8/Nov/00; Dow Jones Newswires 7/Nov/00; Petromindo 21, 23/Nov/00, 16,20,24 & 26/Jan/00)

 

Aksi Buruh

Pada akhir bulan November, perusahaan Caltex dilanda pemogokan para buruh yang diorganisir oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Ratusan orang yang bekerja untuk 33 perusahaan sub-kontraktor Caltex melakukan protesnya di Duri. Mereka menuntut upah yang lebih tinggi. Dalam pemogokan yang melibatkan lebih dari 3000 pekerja dan berlangsung selama beberapa hari, mereka memaksa untuk menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan di 17 menara bor. Aksi tersebut mendapat tanggapan dari Mentri Pertambangan dan Energi, Purnomo Yusgiantoro, yang mengatakan akan meminta polisi untuk menghentikan setiap pemogokan yang akan mengganggu produksi minyak Caltex. Ia juga mengatakan bahwa sebelumnya ia telah memberitahu perusahaan untuk "menghubunginya secara lansung" setiap saat kegiatan produksi mereka terganggu.

Pada bulan Januari sekitar ratusan mantan pekerja Caltex berdemonstrasi di luar kantor perusahaan di Rumbai, menuntut penyelesaian tuntutan pensiun mereka. Perusahaan menjanjikan akan segera mengurus tuntutan mereka dalam waktu seminggu.

Pada bulan yang sama, LSM setempat, FPTK, mengajukan tuntutan hukum terhadap 16 perusahaan yang beroperasi di Riau, termasuk perusahaan jasa perminyakan dan gas PT Halliburton, PT Schlumberger dan PT Borindo. Perusahaan-perusahaan tersebut dituduh telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap para pekerja Indonesia serta tidak mampu memenuhi standar keamanan minimum di dalam kondisi kerja mereka. Selain itu, perusahaan itu juga melanggar standar ILO.

 

Persaingan Sengit

Pemerintahan propinsi Riau nampaknya lebih tertarik untuk mendapatkan pembagian keuntungan dalam salah satu proyek minyak Caltex daripada menyelesaikan konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perusahaan.

Ketika kontrak Caltex terhadap blok CPP habis masa kontraknya pada bulan Agustus tahun ini, pihak Indonesia akan mengambil alih kontrak tersebut. CPP sekarang ini menghasilkan 60.000-80.000 barel minyak mentah setiap harinya. Jumlah tersebut terhitung kecil dibandingkan total produksi harian Caltex yang mencapai 695.000 barel per hari. Pemerintah Daerah Riau sebelumnya menginginkan penguasaan terhadap pembagian keuntungan blok CPP, tetapi pemerintahan Wahid menolak keinginan tersebut dan lebih memilih Pertamina sebagai partner mayoritas mereka. Pertarungan selama beberapa bulan berakhir dengan keputusan pembagian 20% keuntungan bagi pemerintah daerah yang tetap ngotot untuk mengoperasikan blok tersebut. Para mahasiswa Riau juga yang mengajukan penguasaan lokal terhadap proyek itu menuntut agar blok tersebut ditutup jika pemerintah daerah tidak diberi kesempatan untuk mengoperasikannya.

Pada masa-masa setelah kejatuhan Suharto pada tahun 1998, Riau adalah salah satu wilayah yang kaya dengan sumber daya alam yang menuntut kemerdekaan jika mereka tidak diberikan kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya tersebut (Petromindo 7/Dec/00; 13,24,25/Jan/01)

 

Kalimantan Timur: Unocal dan Vico

Protes-protes terhadap polusi dan kompensasi di terminal minyak dan gas Unocal, Tanjungsantan, berakhir dengan kekerasan pada akhir Oktober lalu saat polisi bergerak mematahkan blokade tersebut [lihat DTE 47]. Sekarang ini perusahaan asal Amerika Serikat tersebut terlibat kembali dalam sengketa yang lain. Kali ini terjadi di sebelah selatan di Kecamatan Semboja, Kutai. Unocal menolak tuduhan bahwa mereka adalah sumber polusi laut dan kolam ikan sepanjang pantai Muara Jaya. Untuk memperkuat pernyataan tersebut, mereka mengutip hasil penelitian yang dilakukan bersama Universitas Mulawarman.

Penduduk setempat sendiri mengeluhkan berkurangnya cadangan ikan dilautan dan kematian prematur ikan-ikan di kolam mereka sejak kegiatan eksplorasi dimulai pada bulan April 2000. Penduduk setempat menunjukkan bahwa menara pemboran hanya berjarak sekitar 500 meter dari garis pantai.

Sementara itu, para petani di desa Bukit Raya di wilayah Semboja, sedang menuntut kompensasi terhadap perusahaan Amerika Serikat lainnya, Vico. Tuntutan itu diajukan atas penggunaan tanah untuk membangun saluran pipa dan pembuangan limbah. Pada tahun 1999, para penduduk desa yang terkena dampat kegiatan Vico, Unocal dan Total Indonesie mengeluarkan pernyataan bersama menuntut pengembalian hak-hak mereka atas tanah, penghentian keterlibatan pasukan keamanan dalam proses negosiasi, kompensasi dan rehabilitasi. (Lihat DTE 43:16). (Petromindo 19 & 24/Jan/01)

 

Jawa Timur: Premier Oil

Eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Inggris, Premier Oil telah memecah belah masyarakat di Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Menurut laporan suratkabar daerah, Surabaya Post, penduduk setempat menyandera tiga pekerja perusahaan tersebut dan akan melepaskan mereka hanya setelah perusahaan itu sepakat untuk menghentikan operasinya sampai awal bulan Februari.

Sebuah penyelidikan oleh dua faksi dewan di kabupaten Gresik menemukan bahwa tempat eksplorasi Premier – di muara sungai Solo, dapat membahayakan lingkungan dan merugikan para peternak ikan dan petani karena aktivitas perusahaan yang dekat dengan pantai. Anggota dewan, Masluh Fanani mengatakan bahwa penduduk desa juga menolak operasi minyak dan gas karena mereka khawatir terhadap pengaruh negatif kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Ada suatu keprihatinan bahwa kegiatan tersebut akan membawa para pelacur. Para penduduk desa juga merasa tersinggung karena para pekerja Premier dilaporkan telah melakukan suatu "pesta minum-minuman" selama bulan puasa.

Premier Oil, yang memasukan Keppel dari Singapura dan Amerada Hess dari Amerika Serikat diantara para investornya, telah berulangkali dikritik atas investasi mereka di Burma. (Petromindo 11, 19 & 25/Jan/01, Financial Times 21/Dec/00 & others)

 

Semakin Banyak Proyek, Semakin Banyak Konflik

Nampaknya rangkaian konflik dan kerusakan lingkungan akan menjadi semakin sering karena beberapa investasi proyek besar, yang sekarang ini dalam proses pengembangan, akan memulai produksi mereka.

Salah satu proyek raksasa yang telah dimulai adalah pembangunan pipa dari ladang gas disekitar Pulau-Pulau Natuna, sebelah selatan Laut Cina Selatan sampai dengan kepulauan Jurong milik Singapura. Proyek yang diresmikan oleh Presiden Wahid pada bulan Januari adalah proyek ekspor gas pertama Indonesia dengan menggunakan pipa. Pipa tersebut membentang sepanjang 640 kilometer melintasi jalur lintas laut yang paling sibuk di dunia. Konsorsium pemodal terdiri dari Pertamina, Conoco (AS), Premier Oil (Inggris) dan Gulf Resources (Kanada). Dengan tingkat ekspor sebesar 350 juta kubik setiap harinya, perusahaan tersebut diharapkan akan memberikan pendapatan sekitar 22 milyar dollar dari hasil penjualan selama 22 tahun ke depan.

Beberapa proyek penting yang sekarang ini sedang dibangun adalah:

  • Minyak dan gas di Selat Malaka, sebela timur Kalimantan, yang dikuasai Unocal. Pengembangan ladang minyak Seno Barat yang ditemukan pada tahun 1998, akan menggunakan bor bawah air untuk pertama kalinya di Indonesia. Ladang tersebut, yang diharapkan menghasilkan 60.000 barel per hari, akan dimulai pada akhir tahun depan dan berlokasi di kedalaman air sejauh 1.000 meter. Perusahaan itu telah mendapatkan persetujuan dari raksasa asal Amerika Serikat, Exxon-Mobil (lihat box tentang Aceh) untuk membeli 40% dari 50% saham mereka di blok Makasar. Tetapi hal ini masih harus disepakati terlebih dahulu oleh Pertamina yang juga tertarik untuk terlibat dalam proyek tersebut.