Satu tahun lagi terlewat dalam penantian

Down to Earth No 76-77  Mei 2008

Setahun setelah kami melaporkan rencana pemerintah Indonesia untuk meluncurkan reformasi agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA), peraturan tentang bagaimana reformasi akan diterapkan masih berujud rancangan. Kemandekan ini mencerminkan nasib dari UUPA itu sendiri. Undang-undang tersebut, diperjuangkan terutama oleh kelompok-kelompok petani dan nasionalis, telah mengalami tidur panjang sejak kelahirannya. UUPA ditelikung oleh sejumlah hukum sektoral yang diloloskan oleh rezim Orde Baru Suharto, yang ditujukan untuk eksploitasi tanah dan sumberdaya alam serta ramah terhadap investasi asing.

Tanpa finalisasi peraturan, harapan bahwa Indonesia akan segera menjalankan reformasi agraria yang berpihak kepada kaum miskin tampaknya masih jauh dari kenyataan.

Akan tetapi, tanda-tanda adanya kegiatan terlihat dalam Rencana Kerja Pemerintah 2008. Dengan judul 'mendorong pertumbuhan yang pro-rakyat miskin', Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memasang target untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN), antara lain, untuk menerbitkan satu juta sertifikat tanah pada tahun 2008. Selanjutnya, dalam rencana kerja dengan judul 'reformasi agraria', BPN akan melakukan:

  • Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (dikenal dengan istilah 'P4T') untuk 10.000 bidang tanah; redistribusi 300.000 bidang tanah dan inventarisasi P4T di 2.000 desa/kelurahan;
  • Menetapkan (atau dalam istilah teknis birokrasi memberdayakan) kepemilikan tanah di 380 kabupaten/kota;
  • Meneliti dan menyelesaikan 2.600 kasus sengketa dan konflik pertanahan di kabupaten/kota di atas. Perencanaan nasional juga mencatat bahwa BPN perlu meningkatkan pelayanan publik dengan memasang target untuk mengeluarkan 2,34 juta sertifikat tanah pada tahun 2008.

Terakhir, BPN seharusnya mendukung pula Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan target menerbitkan 30.000 sertifikat bagi kalangan usaha. Dana yang dianggarkan untuk seluruh kegiatan tersebut adalah sekitar Rp1,4 triliun (kira-kira US$147 juta). Dari sekilas membaca rencana nasional dan BPN, jelas bahwa banyak pekerjaan yang direncanakan adalah persiapan untuk semacam reformasi agraria. Persiapan tersebut meliputi gagasan BPN untuk melakukan studi banding tentang bagaimana negara lain melaksanakan reformasi agraria.

 

Fokus pada investasi asing

Di tengah upaya memenuhi harapan masyarakat sipil tenatng keadilan sosial dan reformasi agraria yang pro-poor, insiatif-inisiatif pertanahan Indonesia juga tengah diseret ke arah lain: yaitu tuntutan agar hukum pertanahan Indonesia harus selaras dengan harapan internasional, atau, dengan kata lain, kepentingan investasi asing.

Hal ini diperkuat oleh adanya Bantuan Teknis Asian Development Bank (ADB) yang baru yang diberi judul 'Republic of Indonesia: Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project' atau 'Republik Indonesia: Meningkatkan Kerangka Hukum dan Administratif untuk Proyek Pertanahan'- yang menawarkan dana hibah senilai US$500.000. Proyek tersebut akan belangsung selama 18 bulan, dimulai secara tentatif pada bulan Mei 2008. 'Bantuan teknis' tersebut adalah untuk menyusun draf undang-undang pertanahan Indonesia yang baru yang mengikuti standar internasional. Dinyatakan bahwa rancangan undang-undang pertanahan tersebut akan mendukung pasal-pasal dalam UUPA, yang tetap akan menjadi hukum payung. Keprihatinan utama ADB atas undang-undang pertanahan yang diusulkan adalah: "(i) kurangnya pembaharuan kerangka hukum yang menjamin pemindah-mukiman paksa (Involuntary Resettlement) yang adil dan cepat, (ii) tidak adanya peraturan pelaksanaan IR yang komprehensif, dan (iii) lemahnya kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas IR." Poin-poin di atas diangkat oleh menteri-menteri Indonesia selama pertemuan puncak mengenai infrastruktur (Infrastructure Summit) di Jakarta tahun 2005 sebagai penyebab tertundanya pelaksanaan dan pembayaran proyek.

Sayangnya, sejarah investasi asing di Indonesia dan, khususnya, investasi yang berkenaan dengan eksploitasi sumberdaya alam atau akses terhadap tanah, masih jauh dari aroma 'keadilan' atau 'pemihakan pada si miskin'. Kenyataan ini telah menyadarkan kelompok-kelompok pendukung reformasi agraria pro-kaum miskin akan kemungkinan bahwa kesepakatan antara BPN dan ADB akan semakin memastikan kecenderungan reformasi agraria yang dikendalikan pasar. Dalam hal ini, redistribusi tanah sebagai bagian dari reformasi agraria tidak otomatis berarti distribusi kekuasaan namun semata-mata berupa transaksi-transaksi kapitalistis atas harta tanah milik yang diperintahkan oleh negara.


(Sumber: Bappenas, 2008, Rencana Kerja Pemerintah 2008; Republic of Indonesia: Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project, Project Number 37304, Desember 2007 di www.adb.org/documents/TARs/INO/37304-INO-TAR.pdf; Rencana Strategis BPN 2007-2009, situs SPI: www.spi.or.id/?p=129, situs KPA: kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=163&Itemid=53) Berita mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mencabut hak investor atas penggunaan tanah hingga 95 tahun, lihat artikel Program agrofuel Indonesia dihantam kenaikan harga minyak sawit.