Perubahan Iklim dan Ritual Adat Masyarakat Dayak Meratus

Down to Earth No 76-77  Mei 2008

Bagi masyarakat adat, khususnya Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, berladang bukan semata-mata untuk mendapatkan pangan tetapi merupakan bagian ritual adat yang diwariskan turun-temurun. Ketika iklim menjadi tidak menentu, pola tanam mereka pun berubah sehingga pelaksanaan ritual adat pun ikut berubah.

Setiap tahun, paling sedikit ada lima upacara adat yang berkaitan langsung dengan sistem pertanian masyarakat Meratus. Dimulai dari upacara batumban kayu saat mereka membersihkan lahan, diteruskan dengan manyalukut ketika membakar lahan, manugal atau bertanam padi, aruh mahanyari yaitu ucapan syukur atas panen padi yang di dapat dan ditutup dengan aruh ganal atau upacara besar sebagai ucapan terimakasih kepada Sang Mahakuasa atas penyertaan selama setahun mulai dari waktu bertanam hingga panen tiba.

Pola tanam padi masyarakat dimulai dari bulan Mei untuk membersihkan lahan, kemudian bertanam padi pada sekitar Agustus - September, hingga waktu panen tiba sekitar akhir Maret hingga pertengahan Mei.

Selain menggunakan perhitungan bulan, mereka memakai rasi bintang sebagai petunjuk. Kemunculan bintang 'karantika' dan rasi bintang yang berbentuk rahang babi di sebelah timur tepat pada pukul delapan malam merupakan pertanda untuk mulai manugal.1

Alam membantu mereka untuk bertahan hidup, namun kini alam seperti tidak mau bersahabat lagi. Kemunculan tanda tersebut dirasakan terkadang tidak cocok dengan kondisi cuaca. Terkadang mereka melihat pertanda musim panas tetapi kenyataannya hujan yang datang.

Seperti yang dirasakan mereka pada akhir Maret yang lalu, hujan seringkali turun padahal padi sudah mulai menguning dan dibeberapa tempat sudah siap di panen. Beberapa waktu lalu, musim panen datang di saat musim kemarau, sehingga padi bisa langsung di jemur sebelum dijadikan beras. Hujan membuat mereka kesulitan untuk menjemur padi padahal belum dikenal tekhnogi pengeringan padi tanpa menggunakan sinar matahari.

Musim hujan yang tidak bisa diperkirakan lagi membuat masyarakat Meratus bingung menentukan waktu bertanam. Kalaupun mereka memaksa bertanam padi maka hasil yang diperoleh seringkali tidak maksimal bahkan ada padi hampa.

Jika cuaca tetap tidak menentu hingga mengganggu waktu tanam padi nanti, maka kemungkinan terburuk bagi mereka adalah tidak bisa lagi menanam padi dan ini berarti mereka akan membeli beras untuk makan dan lebih buruk dari itu mereka tidak bisa melakukan ritual adat. Padahal ritual-ritual tersebut adalah bagian dari cara mereka untuk menyembah pada Sang Penciptanya.

 

Ancaman tambang di Meratus

Bulan Februari lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mendapat kecaman keras dari aktivis dan pemerhati lingkungan karena dianggap menjual hutan Indonesia seharga Rp300/m_ padahal pisang goreng sekarang harganya Rp500 per potong. Peraturan ini mengancam keberlangsungan masyarakat di Meratus.

PP No. 2 tahun 2008 mengatur tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penggunaan kawasan hutan. PP ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) No. 1 tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Megawati mengenai pemberian izin pertambangan terbuka pada hutan lindung seluas 925.000 hektare (see DTE 61).

Kebijakan pemerintahan Megawati memberikan izin kepada 13 perusahaan asing untuk menambang dikawasan hutan lindung. Dua perusahaan pertambangan emas dan batubara yang akan kembali ke Meratus adalah PT Pelsart Tambang Kencana dan PT Interex Sacra Raya.

Keluarnya PP ini tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Dayak Meratus yang sebagian besar ingin mempertahankan hak pengelolaan atas hutannya. Masih membekas diingatan penolakan masyarakat Dayak Meratus pada tahun 1999, ketika pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan berniat mengalih fungsikan kawasan meratus dari hutan lindung menjadi hutan produksi.

Ternyata kurang dari 10 tahun sejak penolakan tersebut dilakukan, pemerintahanan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) malah memberikan izin kepada dua perusahaan pertambangan untuk menghilangkan hak pengelolaan masyarakat dayak atas hutan meratus.

Keluarnya PP ini mengalihkan kewenangan negara atas sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, khususnya masyarakat Dayak, kepada perusahaan asing. Padahal pendapatan yang diterima oleh negara jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan pejaja pisang goreng di pinggiran jalan.

Daftar 13 perusahaan tambang yang kembali beraksi:

 

<table align="" center"="" width="80%" border="1" cellspacing="1" cellpadding="4" bgcolor="#fccfa7" style="color: rgb(0, 0, 0); font-family: 'gill sans', 'gill sans mt', arial; font-size: medium; "

NoPerusahaanJenis PertambanganLuas KonsesiLokasi1PT Sorik Mas Mining (SMM)emas dan mineral201 ribu hektareTapanuli Selatan, Sumatera Utara2PT Karimun Granite (KG)granit7.000 hektarePulau Karimun, Riau3PT Natarang Mining (NM)emas dan mineral959 ribu hektareLampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu4PT Indominco Mandiri (IM)batu bara99 ribu hektareKutai Kartanegara, Kalimantan Timur5PT Interex Sacra Raya (ISR)batu bara65 ribu hektareKabupaten Pasir, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur6PT Pelsart Tambang Kencana (PTK)emas239 ribu hektareKota Baru, Kalimantan Selatan7PT International Nickel Indonesia (INCO)nikel218 ribu hektareSulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan8PT Aneka Tambang (Antam)nikel14 ribu hektareKendari, Sulawesi Tenggara9PT Aneka Tambang (Antam)nikel39 ribu hektareHalmahera Tengah, Maluku Utara10PT Nusa Halmahera Mineralemas dan mineral1,6 juta hektareMaluku Utara11PT Weda Bay Nickelemas120 ribu hektareHalmahera, Maluku Utara12PT Gag Nikelnikel7.000 hektareSorong, Papua13PT Freeport Indonesia (FI)tembaga, emas, dan nikel2,6 juta hektarePapua>

Sumber: Koran Tempo. 28 Maret 2008. Siapa yang dapat izin.

1LPMA. 1999. Hasil dokumentasi revitalisasi adat balai Kiyo.