Penyebaran Pembajakan Politik di era Pasca-Suharto di Indonesia

‘Kembalikan tanah ulayat dan wilayah kami.’ Spanduk demo tanah, Jakarta, Januari 2012.

DTE 91-92, Mei 2012

Kajian Buku: Vedi R Hadiz, 2011, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: a Southeast Asia perspective (Lokalisasi Kekuasaan PascaPemerintahan Otoriter Indonesia – dari sudut pandang Asia Tenggara)

Sistem ekonomi kapitalis yang berkembang di Indonesia selama Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, merupakan ‘bentuk kapitalisme pemangsa ... (yang) pada dasarnya menggunakan sumber daya dan lembaga negara untuk memperkaya diri sendiri (halaman 166). Maka kalangan elit dan politik ekonomi yang korup-lah yang tumbang di bawah kontradiksinya sendiri saat berlangsungnya  “Krisis Asia” tahun 1998. Namun, bagaimana negara ini akan mengubah sistem setelah sistem diktator satu partai ini jatuh?

Pendukung kebijakan sistem ekonomi neo-liberal menuntut desentralisasi, demokratisasi, dan sistem politik multi-partai sebagai cara mempromosikan pasar bebas, meningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta mendobrak jalan buntu karena autarki. Golongan politik yang oleh karenanya harus berkembang  untuk mewakili keinginan  para pemilihnya. Ornop-ornop liberal liberal mendukung perubahan ini sebagai cara meningkatkan alternatif-alternatif lokal yang lebih demokratis daripada  globalisasi, sehingga lebih dekat dengan  kearifan lokalserta kehati-hatian mengenai lingkungan .

Buku yang menarik ini, terlepas dari kelebihannya bahwa buku ini didasarkan pengalaman masa lalu, tetap sarat dengan angan-angan yang mendasari mimpi serupa, dengan menunjukan suatu bentuk teknokratis anti-politik yang gagal merangkul basis kekuatan yang sebenarnya di Indonesia (dan beberapa sistem politik patrimonial serupa  di Asia Tenggara – buku ini kaya informasi dengan membandingkan  kasus-kasus yang terjadi  di Thailand dan Filipina, serta di negara-negara yang lebih jauh lagi).

Alih-alih mengantar ke tatanan politik yang bersih yang akan mempromosikan kapitalisme yang efisien dan lebih adil secara sosial, proses desentralisasi di Indonesia malah memfasilitasi penyebaran pemangsa-pemangsa elit serupa, yang semula hanya dominan terjadi di Jakarta, kini menyebar ke seluruh pelosok negeri. Indonesia yang terdesentralisasi kini membentuk lebih dari 500 unit kabupaten dan kota. Sekarang kita lihat di tingkat daerah terdapat kelompok politik yang semakin kuat dan besar yang membeli kekuasaan dengan politik uang dan yang mengejar ambisi sendiri serta membayar para pendukungnya melalui akses istimewa untuk mendapatkan kontrak-kotrak  negara dan akses terhadap sumber daya alam. Hasilnya malah memperkuat  KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dari Orde Baru bukannya membasminya.

Politik uang seperti itu  terdiri dari lelang kandidat calon pada pemilihan-pemilihan oleh  partai politik yang bertindak sebagai pemegang kunci kekuatan (Hadiz menduga sekitar 20% dari biaya pemilu), pembelian suara langsung, mencurangi Pemilu (walaupun bukan melalui pemberian suara), kampanye media dan, meskipun hanya terjadi di kota besar,  penggunaan preman. Berdasarkan informasi terbaik yang ada, agar dapat terpilih menjadi bupati  dibutuhkan biaya kampanye sekitar USD1,6 juta walaupun biaya ini bervariasi dari satu daerah ke lainnya.  Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan beberapa miliar dolar yang diperlukan oleh para politisi yang ingin menguasai  kota-kota yang lebih besar. 

Kesimpulan sederhana berdasarkan analisis ini adalah bahwa lembaga yang “benar” apabila jatuh ke tangan yang “salah”, dapat memberikan hasil yang “salah”. Positif dikalikan negatif sama dengan negatif bukan? Salah. Hadiz meyakinkan untuk menjauhi kenaifan semacam itu. Pada pertengahan tahun 2000-an, ketika reformasi sistem pemilihan umum lebih lanjut diberlakukan untuk membuat bupati bertanggung jawab langsung kepada para pemilihnya, pemilihan langsung seperti ini malah menjadikan politik uang menyusup lebih dalam pada tatanan sosial  masyarakat. Perang kampanye harus lebih besar lagi. Mengutip artikel dalam “Inside Indonesia” oleh Marcus Mietzner, Hadiz menyimpulkan “pemilihan langsung tidak memfasilitasi kebangkitan elit politik yang baru, pemilihan ini hanya mendorong elit politik lama bermain dengan aturan baru” (halaman 162).  Kesalahan yang terjadi adalah memaksakan adanya institusi-institusi yang salah tanpa mempertimbangkan politik ekonomi yang sesungguhnya.

Ada beberapa pembelajaran penting lain dalam buku ini. Hadiz menunjukkan bahwa walaupun demokratisasi memungkinkan pergerakan sosial yang lebih besar dan menumbuhkembangkan masyarakat sipil, namun kesenjangan antara mereka dan para pemegang kekuasaan,  antara yang kaya dan miskin, justru semakin melebar. Reformasi melalui desentralisasi juga tidak menangani kekhawatiran  para pekerja, saat krisis ekonomi terjadi, pengangguran besar-besaran dan manipulasi kelompok elit membuat pergerakan buruh terpecah-pecah. Reformasi melalui desentralisasi ini juga tidak menangani kekhawatiran gerakan petani dan masyarakat adat yang bangkit kembali, yang tanah-tanahnya terus diambil alih tanpa kompensasi demi menyenangkan para kroni dunia industri (walaupun Hadiz tidak menyebutkannya hal ini sudah diketahui umum) untuk memperluasindustri  pulp dan kertas serta perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan dukungan yang diberikan para politisi terhadap tuntutan masyarakat adat hanyalah janji-janji belaka, atau taktik untuk mendapatkan  suara, atau karena didorong oleh para kelompok elit masyarakat adat yang berusaha mengklaim lagi kekuasaan mereka atau  ”kembalinya para sultan”.

Ini adalah penelitian yang menarik walau tidak lepas dari kekurangan. Ada alasan lain mengapa  Indonesia bereksperimen  dengan desentralisasi , sebuah opsi politikyang bisa ditelusuri asal-mulanya dari kekecewaan Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta atas revolusi yang belum usai. Buku ini dapat dikritik karena membangun argumen dari hanya sejumlah contoh yang bisa dikatakan sempit, dan banyak di antaranyacontoh yang didapat dari perkotaan. Buku ini juga mengandung banyak pengulangan.Istilah ‘pemangsa elit’ yang terlalu banyak disebar oleh Hadiz di buku ini seharusnya diperjelas dengan lebih banyak perincian tentang seperti apa para  ‘pemangsa’ itu : siapa sebenarnya yang menjadi ‘buruannya’ dan apa dampaknya terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan masyarakat? Buku ini tidak memberikan kisah-kisah tentang subaltern (atau kelompok yang tertindas). . Buku ini tentang politik ekonomi bukan politik ekologi. Walaupun demikian, saya merasa ini merupakan bacaan yang menggembirakan dan menyegarkan yang memperjelas apa yang kita perhatikan terjadi di perbatasan hutan. Bahkan penangkapan yang bersifat anomali baru-baru ini terhadap  bupati yang terlibat dalam penebangan hutan ilegal menjadi lebih masuk akal melalui analisis Hadiz. Kita melihat di sini tidak adanya  penegakan supremasi hukum – atau paling tidak keadilan ekologi – tapi lebih usaha-usaha untuk kepentingan pribadi para birokrat di Jakarta dalam mencoba mensentralisasi kembali pengontrolan mereka atas hutan yang mereka anggap sebagai milik pribadi mereka. Merekalah, bukannya orang kaya baru, yang seharusnya mendapatkan keuntungan dari perhutanan.

Hadiz memperlihatkan ciri-ciri sebenarnya dari kapitalisme patron-klien di  Asia Tenggara, yang menurutnya tidak dapat direformasi dengan hanya memberlakukan  lembaga  yang buta politik dan solusi pasar yang dirancang untuk  budaya politik Barat yang sangat berbeda. Mencampur  globalisasi dengan lokalisasi merupakan pemainan yang sangat berbahaya. Buku ini bagus, sayangnya tidak  tidak memberi semangat.

 

Marcus Colchester

Direktur Forest Peoples Programme

marcus@forestpeoples.org

19/Nov/2011

 

Vedi R. Hadiz, 2011, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: a Southeast Asia perspective, Institute of South East Asian Studies, Singapore. ISBN:978-981-4379-34-2. 247 halaman. Pbk