Penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit

Down to Earth Nr 66  Agustus 2005

Meskipun terdapat dampak yang tidak baik bagi manusia dan lingkungan, pestisida, termasuk herbisida, seringkali digunakan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit.

Di dalam pidato pembuka kegiatan Roundtable Minyak Sawit Lestari pada bulan Oktober 2004, Menteri Pertanian Indonesia, Bungaran Saragih, mengakui bahaya yang ditimbulkan dalam penggunaan herbisida di perkebunan kelapa sawit[1]. Terdapat sekitar 25 jenis pestisida yang berbeda yang digunakan di perkebunan kelapa sawit. Tetapi, karena tidak adanya pengawasan dan dokumentasi yang baik, pemantauan terhadap penggunaannya masih sulit dilakukan. [2].


Paraquat

Telah digunakan selama lebih dari 40 tahun, baik di perkebunan besar dan kecil, paraquat dichloride, yang dikenal secara sederhana sebagai' paraquat', adalah salah satu jenis herbisida yang paling banyak digunakan di dunia. Di Indonesia, 'paraquat' dijual dengan nama Gramoxone. Bahan pemusnah ilalang yang sangat beracun ini umum digunakan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Zat yang dikandungnya sangat berbahaya apabila terhirup, tertelan atau terserap melalui kulit. Sampai sekarang belum ada penawar terhadap racun paraquat.

Persoalan penting mengenai paraquat ini adalah resiko yang ditimbulkan bagi para pekerja di perkebunan. Di negara-negara utara masih kerap terjadi kecelakaan dalam penggunaan zat ini. Tetapi, kondisinya jauh lebih memprihatinkan di negara-negara berkembang karena petunjuk dan saran penggunaannya seringkali tidak diperhatikan dengan baik. Para pekerja di perkebunan seringkali bekerja dalam jangka waktu yang panjang, seperti misalnya sepuluh bulan dalam satu tahun, dan enam hari dalam seminggu. Oleh karena itu, mereka sangat mungkin terpapar racun secara rutin.

Pada bulan Maret 2002, Pesticide Action Network Asia Pacific (Jaringan Aksi Pestisida di Asia Pasifik) dan Tenaganita, sebuah organisasi hak-hak pekerja di Malaysia, telah mengeluarkan hasil studi mereka mengenai penggunaan racun pestisida di perkebunan-perkebunan di Malaysia [3]. Penelitian ini mengungkapkan penderitaan buruh-buruh perempuan di perkebunan, yang sehari-harinya bertugas menyemprot pestisida. Terdapat gejala keracunan paraquat yang muncul meliputi mimisan, iritasi mata, infeksi kulit, iritasi kulit dan melepuh, warna kuku memudar atau kuku yang mudah copot, dan perlukaan daerah perut.

Penggunaan paraquat telah dilarang dan dibatasi secara ketat di Austria, Denmark, Finlandia, Swedia, Hungaria dan Slovenia. Di antara negara-negara berkembang, Indonesia, selain Togo dan Korea Utara, telah menerapkan aturan yang sangat ketat terhadap penggunaan paraquat[4]. Malaysia, produsen minyak sawit terbesar, sedang mempertimbangkan ulang pelarangan penggunaan paraquat menjelang akhir 2 tahun masa pertimbangan pelarangan produk ini. Hal ini jelas menunjukkan kemunduran sebuah keputusan—yang pernah mendapat pujian—yang dibuat pada bulan Agustus 2002. Sikap ini nampaknya disebabkan oleh penolakan Asosiasi Minyak Sawit Malaysia dan industri agro-kimia. Sedangkan dalam peraturan yang ada di Indonesia, hanya orang-orang yang terlatih dan mendapatkan sertifikat yang diijinkan menggunakan paraquat. Namun, dalam kenyataan, pelatihan hanya diberikan sekedarnya saja. Selain itu, pakaian pelindung—apabila memang ada—sangat tidak praktis. Juga sulit dibuktikan apakah mereka yang tidak terlatih dan tidak memiliki sertifikat benar-benar tidak menggunakan zat kimia tersebut.


Glifosat

Dengan semakin banyaknya larangan dan batasan penggunaan paraquat, glifosat mulai mengambil peran sebagai 'ratu herbisida' [5]. Monsanto, sebagai salah satu produsen Glifosat [6], menyatakan bahwa glifosat adalah zat pemusnah ilalang yang sangat efektif, aman bagi pengguna, dan bebas dari bahaya terhadap lingkungan. Namun, juru kampanye antipestisida telah mengungkapkan bukti adanya efek beracun yang ditimbulkan zat tersebut bagi manusia, seperti halnya juga terhadap lingkungan, serta kerusakan lingkungan yang tidak langsung dalam sifat resistensi yang muncul dari beberapa jenis target ilalang. [7]. Selain itu, meskipun kadar racun glifosat lebih rendah dibanding paraquat, beberapa surfaktan (zat pencair) yang digunakan dalam persiapan penyemprotan sangat beracun. Satu jenis glifosat yang dibuat oleh Monsanto, Roundup, adalah jenis herbisida berbasis glifosat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk tanaman rekayasa genetis yang dapat ditolerir. Beberapa buruh perkebunan yang menggunakan glifosat mengalami masalah kehamilan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa glifosat dalam konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dalam penggunaan pertanian berbahaya bagi sel plasenta manusia.[8]. Kenyataan ini menjadi sangat memprihatinkan mengingat para petani semakin tergantung pada Roundup. Pada bulan Maret 2005, Dr. Mae-Wan Ho dan Professor Joe Cummins, peneliti terkemuka di Institute of Science in Society, London, menyerukan langkah peninjauan ulang terhadap penggunaan glisofat. Mereka menunjukkan efek yang ditimbulkan zat itu terhadap proses keguguran kandungan [9]. Monsanto menolak hasil penemuan tersebut.

Selain keprihatinan atas kesehatan dan keselamatan para pekerja perkebunan, terdapat masalah pencemaran air berkait dengan penggunaan glifosat dan paraquat. Para produsen zat-zat tersebut menyatakan bahwa unsur kimiawi yang dikandungnya tidak berbahaya bagi manusia dan alam sekitarnya karena setelah penyemprotan zat-zat itu segera diserap oleh tanaman dan kehilangan kekuatannya setelah bersentuhan dengan tanah. Namun, di beberapa wilayah di Indonesia yang mana curah hujan sangat tinggi, herbisida dapat merembes ke sungai yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, termasuk minum, bagi penduduk di sekitar perkebunan. Selain itu, herbisida tersebut tidak dapat terserap oleh tanah yang berpasir.


Ratifikasi Perjanjian PIC

Pada tanggal 24 Februari 2004, Konvensi Rotterdam mengenai Prosedur Kesepakatan Awal Terhadap Zat-Zat Kimia dan Pestisida Berbahaya dalam Perdagangan Internasional (disingkat Perjanjian PIC) telah disahkan. Konvensi itu menyediakan satu prosedur peringatan dalam perdagangan internasional pestisida dan zat kimia berbahaya. Sampai saat ini terdapat 73 negara yang telah menandatangani dan 59 pihak lainnya. Indonesia adalah salah satu di antara penandatangan konvensi tersebut. PAN Indonesia telah mendesak pemerintah dan parlemen untuk meratifikasi Konvensi PIC sebagai undang-undang nasional (10). Sementara itu Malaysia telah meratifikasi konvensi tersebut dan sedang didesak untuk segera memasukkan paraquat ke dalam daftar PIC.

 

Catatan 

  1. www.sustainable-palmoil.org/PDF/RT2/Proceedings/Day%201/Minister%20Speech.pdf
  2. Friends of the Earth. 2005. Greasy palms. www.foe.co.uk/resource/reports/greasy_palms_impacts.pdf
  3. Poisoned and Silenced - the Study of Pesticides Poisoning in the Plantations (Dibungkam dan Diracuni - Studi mengenai peracunan Pestisida di Perkebunan) dikutip dari Pesticide Monitor, Vol 2, No 3/6, July 2002. ISSN: 1394-7400
  4. PAN AP Letter to Malaysian Prime Minister to stay firm on paraquat ban, 18th April 2005 (Surat kepada Perdana Menteri Malaysia untuk tetap teguh menetapkan pelarangan paraquat)
  5. www.weeds.iastate.edu/mgmt/qtr99-1/glyresistance.htm
  6. Glifosat adalah nama tiga produk terkait, yaitu Glyphosate-isopropylammonium dan glyphosate-sesquisodium yang dipatenkan Monsanto dan glyphosate-trimesium yang dipatenkan ICI (sekarang Zeneca). Source: Glyphosate fact sheet. Pesticides News. www.pan-uk.org/pestnews/actives/glyphosa.htm
  7. PAN UK dikutip dari www.pan-uk.org/pestnews/actives/glyphosa.htm
  8. Richard S, Moslemi S, Sipahutar H, Benachour N, Seralini GE. 2005. Differential effects of glyphosate and Roundup on human placental cells and aromatase Environ Health Perspect: doi:10.1289/ehp.7728. [Online 25/Feb/05]
  9. ISIS Siaran Pers 7 Maret 2005. Glyphosate Toxic & Roundup Worse (Glifosat Beracun & Buruknya Roundup) di www.i-sis.org.uk/GTARW.php
  10. PAN AP Press Release www.panap.net/highlightsA.cfm?id=21&hiliteid=HILITE21