- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Pengetahuan tradisional – sebuah alat penting untuk adaptasi perubahan iklim
DTE 91-92, Mei 2012
Pandangan Pribadi terhadap KMAN IV oleh Clare McVeigh
Pada bulan April tahun ini, saya merasa beruntung diundang mewakili DTE sebagai pengamat di KMAN IV dan Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara di Tobelo. Sebuah pengalaman berharga untuk dapat menyaksikan langsung salah satu pergerakan masyarakat adat yang terbesar dan paling beragam dalam berkonsolidasi dan mengupayakan usaha bersama untuk memperjuangkan hak seluruh masyarakat adat.
Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim merupakan isu utama dalam agenda sepanjang kongres ini. Namun, diskusi kelompok sering kali keluar dari isu perubahan iklim menjadi isu konflik lahan, eksploitasi sumber daya mineral dan deforestrasi, yaitu isu-isu yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup yang mendasar dari masyarakat adat tersebut.
Di lokakarya Adaptasi Perubahan Iklim tanggal 20 April, pemimpin masyarakat adat, Aleta Baun (atau lebih dikenal sebagai Mama Aleta), menekankan pentingnya bagi masyarakat adat untuk memusatkan perhatian mereka pada pembangunan kemampuan beradaptasi dan berdaya tahan dalam komunitas mereka. Beliau mengambil sebuah contoh yang memberikan inspirasi tentang praktik adaptasi perubahan iklim di kabupaten di bagian selatan Timor Tengah. Di daerah itu, “rumah bulat” kuno –atau suatu gaya rumah tradisional yang diwariskan secara turun-menurun sebagai pengetahuan dari nenek moyang, digunakan sebagai lumbung penyimpanan untuk mengawetkan makanan di suhu panas yang makin meningkat selama musim kering. Rumah-rumah ini tidak memiliki jendela dan memberikan insulasi yang sangat baik yang menjamin pasokan bahan pangan utama dan hasil-hasil pertanian dapat terlindungi dari suhu udara yang meningkat. Hal ini penting khususnya bagi masyarakat pegunungan, karena peningkatan suhu udara sebagai dampak dari perubahan iklim, cenderung lebih besar di dataran yang lebih tinggi. Fungsi kedua yang tidak kalah penting dari rumah ini adalah: sebagai tempat perlindungan penting bagi masyarakat rentan dari aktivitas badai yang meningkat dan makin berbahaya yang timbul akibat perubahan cuaca yang tidak menentu.
Contoh dari Mama Aleta ini memberikan semangat bahwa, dengan mengadaptasi dan menerapkan kearifan lokal yang sudah ada di dunia yang tengah berubah ini, masyarakat adat berpotensi menawarkan solusi nyata kepada komunitas-komunitas dalam menjawab tantangan perubahan iklim.