Newmont dalam Keadaan Siaga

Down to Earth Nr 47  November 2000

Perusahaan tambang milik Amerika Serikat, Newmont, kembali dibawah serangan terhadap dua operasinya di Indonesia.

Di Sulawesi Utara PT Newmont Minahasa Raya (80% dimiliki oleh perusahaan pertambangan raksasa Amerika Serikat Newmont) terpaksa menutup lokasi tambang emasnya di Ratatok sebanyak tiga kali selama berapa bulan. Mantan pemilik tanah melancarkan serangkaian blokade dan tuntutan kompensasi atas tanah yang diambil alih perusahaan tersebut. PT Newmont menyatakan sudah tidak ada lagi ganti rugi yang masih harus dibayarkaan dan menghubungi pihak pemrintah daerah serta propinsi dan polisi setempat untuk membantu mengakhiri blokade.

Sekitar 50 perwakilan petani dari daerah Minahasa, yang merupakan lokasi tambang, juga menyampaikan protes ke DPR setempat dan ke kantor Gubernur di ibukota Menado. Mereka menyatakan tidak pernah mendapatkan kompensasi yang sesuai atas kehilangan tanah mereka dan mengancam akan melancarkan blokade lagi bila permintaan mereka tidak dipenuhi 
(Jakarta Post 8/Sep/00; MinenergyNews.com 27/Sep/00)

 

Polusi

Newmont juga dihadapi oleh menggunungnya bukti-bukti permasalahan polusi yang serius yang diakibatkan oleh pembuangan tailing dalam jumlah besar ke dasar laut. Sebuah studi pada bulan Juni yang dilakukan oleh kelompok lingkungan WALHI menemukan bahwa endapan yang dibuang melalui pipa bawah laut mengakibatkan perusakan berat ekosistim laut termasuk karang, rumput laut dan mengurangi cadangan ikan untuk kebutuhan penduduk setempat di Teluk Buyat. Penyelidikan ini mendukung temuan dari studi bersama yang dilakukan oleh universitas setempat yang memperlihatkan bahwa volume tailings mengakibatkan dasar laut menjadi lebih rata dan dangkal serta sedimen menyebar ke daerah yang lebih meluas daripada yang diperkirakan dalam perencanaan pembuangan Newmont. Studi tersebut juga mencatat pengaruh kesehatan pada penduduk setempat yang sumber kehidupan utamanya adalah memancing ikan.

Tahun lalu sebuah studi selama tiga bulan oleh tim gabungan yang dibentuk pemerintah daerah dan dipimpin oleh guru besar dari universitas setempat menemukan kandungan logam berat di air laut yang lebih tinggi dari kadar yang diijinkan. Adanya mercury dan arsenic mengindikasikan tingginya jumlah pembuangan zat beracun pada tailings, begitulah kesimpulan laporan. Tim tersebut merekomendasikan agar sistim pembuangan tailings dirancang kembali, namun belum ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan. Walhi sudah menyerukan pemerintah untuk menghentikan pengoperasian tambang sampai sebuah studi independen yang baru dilakukan.

Pada Bulan Juni Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf menginstruksikan perusahaan untuk melakukan sebuah AMDAL (Asesmen Dampak Lingkungan) dan melakukan detoksifikasi terhadap tailings sebelum membuangnya ke laut.

Menurut Kerebok, buletin yang dikeluarkan oleh LSM tambang JATAM, Bapedal, badan pengawasan lingkungan milik pemerintah, tidak pernah mengeluarkan ijin pada Newwmont untuk membuang tailing ke laut. Newmont dilaporkan telah melakukan permohonan ini lewat jalan belakang.

Reputasi tambang ini semakin diperburuk oleh beberapa insiden ketika pipa tailings pecah, menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada perikanan setempat. Kembali ke daratan, ditemukan beberapa permasalahan sedimentasi di Sungai Buyat yang terjadi bila Lumpur mengalir dari daerah tambang, yang meningkatkan kemungkinan banjir.

Newmont membantah adanya masalah polusi di daerah tambang. Pada pertemuan tahunan pemilik saham perusaaan di Denver, Amerika Serikat yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari Teluk Buyat dan juga dari Filipina dan Peru, Newmont membalas kritikan dengan mengatakan 'Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kualitas air kami sangat baik'. Newmont mengaku bahwa temuan tim tahun 1999 sama sekali tidak cocok dengan data mereka dan studi selanjutnya mendorong pengawas lingkungan menyimpulkan bahwa teluk tersebut tidak terpolusi. 
(MinenergyNews.com 17/Agustus/00; Walhinews various, Juli 00; Kerebok Vol 1, No. 2 June 2000; Jakarta Post 6/Mei/00)

 

Masalah di Batu Hijau

Tambang Newmont lainnya di Indonesia, perusahaan tembaga dan emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa berada dibawah serangan para pencinta lingkungan dan juga dari LSM setempat, yang tampaknya didorong oleh arus emosi anti Amerika yang terjadi saat ini di Indonesia. Pada bulan Oktober ada lemparan yang diduga granat ke arah kantor perusahaan tersebut di Lombok. Tidak ada korban.

Sebelum serangan ini, sebuah kelompok LSM setempat bernama Kolis mengancam akan menyandera para warga negara Amerika di pertambangan bila pemerintah Amerika terus melibatkan diri pada permasalah dalam negeri Indonesia. Pemimpin kelompok tersebut menyatakan mereka juga merencanakan konsolidasi untuk menghalangi jalannya kapal ke pertambangan.

Perasaan nasianalis Indonesia timbul sebagai perlawanan terhadap Amerika Serikat dan Bank Dunia sejak adanya pernyataan keras dari pemerintah Clinton dan presiden Bank Dunia James Wolfensohn yang mengutuk pembunuhan para pekerja kemanusiaan di Timor Barat (lihat DTE IFIs Update 8, September 2000).

Namun demikian, sebuah kelompok lain, Newmont Watch, menyatakan pemerintah setempat percaya serangan tersebut disebabkan oleh masalah yang terjadi di pertambanngan, bukan masalah internasional maupun politik. 
(lihat Media Indonesia 3/Okt/00 dalam Ringkasan Siaran Dunia BBC 4/Okt/00; MinenergyNews.Com 16/Okt/00)

Pertambangan Batu Hijau 45% dimiliki oleh Newmont, dengan kepemilikan saham Sumitomo of Japan (35%) dan Pengusaha Indonesia Yusuf Merukh melalui perusahaannya PT Pukuafu Indah (20%). Produksi komersial tahun pertama baru saja terlaksana.

 

Lumpur dan tailings

Pada bulan Mei, sebuah LSM setempat melaporkan bahwa sebuah waduk penampungan lumpur pembuangan dari operasi pengeboran runtuh dan megakibatkan arus lumpur mengalir ke sungai dan menutupi tanah pertanian didekatnya. Masyarakat setempat panik melarikan diri --khususnya karena saat itu adalah musim kering. Seorang penduduk setempat berkata bahwa ada kekuatiran kalau lumpur tersebut yang mengakibatkan masalah kulit termasuk gatal-gatal dan ruam. Newmont Nusa Tenggara menyatakan air, yang memenuhi standar polusi, dengan sengaja dialirkan keluar dari waduk untuk mengurangi jumlah air dan memungkinkan air dari anak sungai mengalir kedalamnya. Manajer lingkungan, Todd White, menyatakan bahwa peningkatan aliran yang terjadi lebih sedikit dibanding yang terjadi pada musim hujan dan tidak mengakibatkan banjir.

JATAM, jaringan advokasi tambang menyerukan pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap perusahaan tambang tersebut dan mundur dari pembukaan tambang tersebut secara resmi. Upacara pembukaan, dipimpin oleh gubernur Nusa Tenggara Barat, tetap berlangsung pada bulan Juni.

Menurut Tempo Interaktif, setiap hari sekitar 110,000 ton tailings dari tambang Batu Hijau dibuang ke dasar laut dengan kedalaman mencapai 100 meter. Masalah polusi ditangani bersama oleh Badan Pengawasan Lingkungan pemerintah (Bapedal), Yayasan Laut Biru, dan perusahaan yang bersangkutan.

Pada bulan Juli contoh diambil dari lokasi pembuangan tailings di Teluk Senunu serta dari beberapa lokasi lainnya lalu dikirim untuk dianalisa di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di Serpong, Jawa Barat. Hasil tes sebelumnya oleh Yayasan Laut Biru, memperlihatkan tingkat logam berat termasuk chromium, cadmium, tembaga dan timah. Belum jelas, menurut Bapedal, apakah hal tersebut disebabkan oleh tailings atau polusi dari kapal pengangkut minyak yang lewat menjut Teluk Alas. Hasil dari penelitian bulan Juli akan dibandingkan dengan hasil Yayasan Laut Biru (yang menggunakan alat sendiri) serta hasil perusahaan, yang dilakukan di laboratorium lain di Bogor.

Newmont Nusa Tenggara sudah diperingatkan untuk tidak membuang tailings di teluk, demikian menurut Bapedal, dan sedang berusaha untuk mendaur ulang sampahnya untuk dipakai pada industri konstruksi. 
(MinenergyNews.com 30/Mei/00; 5&13/Jun/00; Jakarta Post 22/Sep/00; Kerebok Vol 1 No.2, Juni 2000; Tempo Interaktif 31/7/00)