Menyikapi dampak-dampak kebijakan agrofuel Uni Eropa terhadap Indonesia

Pekerja perkebunan, Kalimantan Tengah (Foto: T.Keydel untuk Save Our Borneo)

Briefing oleh DTE, 11.11.11. Sawit Watch, WALHI, Friends of the Earth Europe, Watch Indonesia! dan Misereor

2 September 2013

Emisi karbon melonjak drastis; hutan dibakar atau diratakan dengan tanah dan habitat margasatwa dirusak; penghidupan masyarakat yang bergantung kepada hutan dihancurkan, tanah leluhur diambil tanpa ijin mereka. Di Indonesia kerugian yang menghancurkan akibat revolusi agrofuel Uni Eropa adalah jelas dan kini saatnya Eropa bertanggungjawab.

Pada bulan September 2013 pengkampanye internasional Nur Hidayati dari Walhi dan Bondan Andriyanu dari Sawit Watch bergabung dengan beberapa Ornop Uni Eropa untuk menyampaikan pesan ini kepada para pengambil keputusan di Uni Eropa. Mereka memperlihatkan bagaimana kehidupan masyarakat lokal di Indonesia terkena dampak pengembangan minyak sawit untuk agrofuel.

 

Masalah 1: Agrofuel memperburuk perubahan iklim

 “Tanpa menyikapi masalah perubahan penggunaan tanah, target Uni Eropa atas energi terbarukan untuk sektor transportasi bisa gagal mencapai penghematan karbon yang sesungguhnya.”

Pernyataan Ilmuwan dan Ahli Ekonomi Internasional tentang Biofuel dan Penggunaan Tanah: Surat kepada Komisi Eropa (2011)[1]

Selain dampak langsung dari agrofuel seperti pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, meningkatnya permintaan akan agrofuel menciptakan kerakusan akan tanah yang dapat secara tidak langsung menyebabkan deforestasi dan konversi lahan lebih luas. Pada gilirannya hal-hal tersebut mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca dari tanah dan hilangnya hutan, lahan gambut dan vegetasi. Hal ini disebut dengan Perubahan Penggunaan Tanah secara Tak Langsung atau ILUC (Indirect Land Use Change). Kebijakan-kebijakan mengenai agrofuel yang ada sebelumnya didasarkan pada informasi ilmiah yang terbatas mengenai dampak ILUC. Sejak saat itu sudah banyak penelitian yang kuat untuk menunjukkan bahwa, jika dampak-dampak ILUC diperhitungkan maka sebagian besar agrofuel tidak dapat mencapai penghematan karbon. Peraturan Uni Eropa mengenai Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive atau RED) dan Peraturan Kualitas Bahan Bakar (Fuel Quality Directive atau FQD) tidak memperhitungkan ILUC.

Penting dalam perdebatan tentang ILUC adalah lahan gambut di Indonesia. Indonesia menyimpan 65% karbon dari seluruh lahan gambut tropis global.[2]  Perusakan besar-besaran hutan hujan dan bentang alam lahan gambut yang kaya karbon dapat melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca yang “signifikan secara global”[3] ke atmosfir. Penelitian Uni Eropa menunjukkan bahwa pada tahun 2025 diperkirakan sepuluh juta dari 22,5 juta hektare lahan gambut Indonesia bisa mengalami deforestasi dan dikeringkan untuk kebun sawit dan bubur kayu.[4] Maka dari itu perluasan minyak sawit di Indonesia – yang didorong secara langsung maupun tidak langsung oleh permintaan akan biodiesel – merupakan pendorong global penting atas perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Penelitian oleh Universitas Leicester menemukan bahwa ketika pembabatan lahan gambut dilakukan, biodiesel dari tanaman pangan di Eropa sama intensif karbonnya seperti bahan bakar fosil.[5]

Ketidakpastian ilmiah seputar ILUC telah digunakan sebagai pembenaran untuk melanjutkan dukungan terhadap agrofuel. Namun janji agrofuel untuk menurunkan emisi jauh lebih meragukan. Apapun halnya, ketidakpastian bukanlah alasan untuk tidak bertindak apalagi ketika ada bukti adanya potensi perusak yang serius.[6] Prinsip kehati-hatian, prinsip landasan kuat dari hukum Uni Eropa, membenarkan pengadopsian langkah-langkah yang membatasi untuk meminimalkan risiko terhadap manusia dan planet. Faktor-faktor ILUC pada tanaman tertentu dapat mengoreksi celah dalam penghitungan karbon. Memperhitungkan faktor-faktor tersebut merupakan pilihan terbaik dari kebijakan yang saat ini ada bagi Uni Eropa untuk menghindari agrofuel yang kontra produktif dalam mengurangi emisi karbon – selain juga untuk mengarahkan produksi bioenergi ke arah yang berkelanjutan.

Masalah 2: Agrofuel menyebabkan perampasan tanah, pelanggaran HAM dan konflik di Indonesia

Pengembangan biofuel semestinya tidak mengorbankan hak-hak dasar manusia (termasuk akses terhadap pangan dan air yang memadai, hak atas kesehatan, pekerjaan dan hak atas tanah).

Nuffield Council tentang Bioetika. Biofuel: masalah etis (April 2011)[7]

Perluasan perkebunan untuk agrofuel memiliki dampak yang merusak terhadap komunitas lokal di Indonesia. Tidak adanya kriteria keberlanjutan sosial dalam RED dan FQD berarti bahwa dampak-dampak pembangunan dan HAM dari agrofuel tidak diperhitungkan dalam kebijakan Uni Eropa.

Secara global, berjuta-juta hektare tanah telah dirampas dari komunitas lokal dalam dekade terakhir untuk memenuhi permintaan akan agrofuel yang terus meningkat dari Uni Eropa.[8] Hutan Indonesia yang luas merupakan unsur penting bagi sekitar 40 juta anggota masyarakat adat dan komunitas yang bergantung pada hutan karena menyediakan pangan (melalui kegiatan meramu, bercocok tanam dan berburu). Dengan adanya pengkonversian hutan-hutan tersebut menjadi pemasok agrofuel, kebijakan Uni Eropa mengancam kedaulatan pangan serta meningkatkan risiko krisis pangan.

Di Indonesia Ornop Sawit Watch telah mencatat 660 perselisihan tanah antara komunitas dan perusahaan sawit di 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Buruh anak, kurangnya perlindungan akan hak-hak pekerja perkebunan, pekerja perkebunan rentan terjerat hutang, juga terkait dengan industri sawit Indonesia. Sebagai pencari nafkah penting dalam keluarga, posisi perempuan Indonesia rentan dalam kasus kehilangan tanah, penghidupan, pangan dan air akibat diambil untuk perkebunan sawit, juga kondisi kerja yang buruk di perkebunan.

Perusahaan besar kelapa sawit Wilmar telah mendapat kritik luas karena tidak mematuhi hukum, mengambil lahan komunitas dan masyarakat adat tanpa Padiatapa/FPIC, karena membabat hutan tanpa AMDAL, dan karena membakar hutan secara ilegal.[9] Pelanggaran-pelanggaran ini terus terjadi walaupun Wilmar anggota RSPO. Mengingat mayoritas perkebunan sawit berada di tangan perusahaan seperti Wilmar, petani kecil sawit Indonesia jarang berada dalam posisi sebagai penerima keuntungan. Sebaliknya, penghidupan masyarakat setempat malah dirugikan.

Dengan mengabaikan masalah ini, Uni Eropa meremehkan sasaran pembangunan internasionalnya dan gagal memenuhi kewajiban hukum untuk “keserasian kebijakan untuk pembangunan”. Negara-negara anggota Uni Eropa gagal memenuhi kewajiban mereka untuk “meminimalkan dampak-dampak negatif [dari produksi agrofuel] terhadap keanekaragaman hayati yang dapat mempengaruhi kondisi sosio-ekonomi” termasuk “penghidupan masyarakat adat dan komunitas lokal” (Konvensi Keanekaragaman Hayati (keputusan IX/2[2])). Uni Eropa harus memastikan bahwa target agrofuel menjauhi pemberian insentif terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia, dengan mengurangi permintaan atas agrofuel yang merusak, dan menetapkan kriteria keberlanjutan yang wajib yang mensyaratkan standar-standar HAM dan prinsip-prinsip perdagangan yang adil.

Masalah 3: Perluasan perkebunan untuk agrofuel merusak hutan, keanekaragaman hayati dan lingkungan setempat di Indonesia

Kepulauan nusantara Indonesia merupakan tuan rumah bagi hutan dunia yang paling kaya karbon dan keanekaragaman hayati, seperti hutan hujan dataran rendah Kalimantan, Sumatra dan Papua – habitat spesies langka dan endemic sepert harimau Sumatra dan orangutan Borneo. Namun Indonesia masih terus mengalami deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia; perluasan perkebunan kelapa sawit besar-besaran adalah pendorong utamanya. Permintaan akan agrofuel dari EU yang terus meningkat untuk memenuhi target politik adalah salah satu faktor utama yang mendorong perluasan tersebut (baik secara langsung sebagai minyak sawit murah untuk agrofuel, dan secara tidak langsung dengan mendorong permintaan akan minyak sayur baru dunia).  Indonesia adalah penghasil dan eksportir minyak sawit terbesar dunia dengan wilayah perkebunan mencapai sekitar 11 juta hektare.[10] Direncanakan perluasan tersebut akan mencapai total sekitar 28 juta hektare pada tahun 2020.[11]

- kecuali jika pertumbuhan agrofuel dapat dihentikan dan dibalik.

Sementara itu, penggunaan agrokimia yang intensif dan pemanfaatan sumber daya air yang berlebihan bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit menyebabkan polusi sungai, kerusakan fungsi tanah dan kekurangan air bagi masyarakat setempat.

 

Masalah 4: Agrofuel tidak masuk akal secara ekonomis, bisnis maupun pembangunan

 “Sejumlah penelitian terakhir tentang potensi pengurangan biofuel menunjukkan bahwa akibat pengaruh perubahan penggunaan tanah secara tidak langsung (ILUC) sebagian besar biofuel akan mengakibatkan kenaikan emisi GRK secara neto. Maka dari itu, tidaklah mungkin (dan bermanfaat) untuk menentukan angka efektivitas biaya bagi biofuel.” CE Delft. Et al. (2012): Gas Rumah Kaca transportasi Uni Eropa 2050 II Laporan Akhir[12]

Agrofuel menimbulkan banyak kontradiksi ekonomi dan bisnis. Pada tahun 2011 saja, industri agrofuel di seluruh Eropa menerima subsidi sejumlah total antara €5,5 - €6.9 milyar.[13] Investasi besar dari uang pembayar pajak Eropa ini hanya menciptakan 3.600 lapangan kerja langsung dalam fasilitas produksi agrofuel Uni Eropa pada tahun 2011[14] dan secara tidak langsung memperburuk kerusakan hutan paling penting dan utuh di dunia, yang penting untuk mitigasi perubahan iklim, terutama di Indonesia. Namun, yang menjadi kontradiksi, negara-negara anggota Uni Eropa secara simultan memberikan dukungan ekonomi dan terlibat dalam kesepakatan multilateral untuk melindungi hutan Indonesia sebagai penyerap karbon. Minyak sawit yang didorong oleh agribisnis tidak masuk akal sebagai sebuah pembangunan bagi komunitas di Indonesia. Agribisnis sawit terlibat pelanggaran HAM, pemerasan buruh dan kerusakan lingkungan, serta konflik tanah yang meminggirkan komunitas yang rentan. Semakin meningkatnya perhatian terhadap dampak sosial dan lingkungan yang negatif dari minyak sawit (dan tanaman agrofuel lainnya) menjadikan agrofuel sebagai investasi bisnis yang berisiko dan tidak berkelanjutan – dan menunjukkan bahwa Uni Eropa telah gagal dalam tanggung jawabnya atas ‘pembangunan yang bertanggung jawab’.

 

Rekomendasi untuk perbaikan kebijakan:

Uni Eropa menghamburkan dana publik dalam kebijakan agrofuel yang gagal. Sementara Uni Eropa gagal dalam tujuan utama untuk mengurangi gas rumah kaca dari bahan bakar transportasi; pada saat yang sama Uni Eropa mendorong perampasan lahan, konflik, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di Indonesia. Kami mendesak anda, anggota parlemen Eropa, untuk mendukung perubahan kebijakan agrofuel yang memastikan:

  1. Penghitungan penuh semua emisi CO2 yang berasal dari penanaman tumbuhan agrofuel (yang disebut ‘perubahan penggunaan tanah secara tidak langsung’/ILUC), melalui factor-faktor ILUC khusus untuk tanaman – baik untuk FQD maupun RED. Ini merupakan pilihan kebijakan terbaik yang ada saat ini untuk menghapuskan insentif agrofuel yang kontraproduktif dalam pengurangan emisi karbon (terutama minyak sawit). 
  2. Penghentian pertumbuhan agrofuel yang bersaing dengan tanaman pangan utama, dengan batas maksimal yang sungguh-sungguh dan kuat (yaitu 5% atau kurang terhadap FQD dan RED) atas penggunaan agrofuel. Pilih batas serendah mungkin.

 Langkah selanjutnya:

  • Mendorong adanya analisis yang independen mengenai dampak sosial dan lingkungan atas kebijakan agrofuel Uni Eropa terhadap negara seperti Indonesia – dengan tujuan untuk mengembangkan kriteria keberlanjutan wajib untuk mengecualikan setiap agrofuel atau bahan baku agrofuel (feedstock) yang diimpor ke Uni Eropa yang tidak memenuhi standar lingkungan dan HAM, serta prinsip-prinsip perdagangan yang adil.
  • Mendukung langkah kebijakan menuju penghapusan secara bertahap (phase-out) semua agrofuel yang ditanam di tanah, dan penghapusan subsidi secara bertahap, untuk menurunkan konsumsi ke titik nol sesegera mungkin.
  • Mengupayakan adanya insentif kebijakan yang menempatkan transportasi ke dalam jalur yang sungguh-sungguh ramah lingkungan. Secara keseluruhan, kebijakan yang berfokus pada pengurangan gas rumah kaca, penghematan energi besar, dan peralihan cara transportasi akan menjadi cara mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif, tanpa dampak sosial dan lingkungan dari agrofuel.  

Briefing ini disiapkan oleh:

Down to Earth www.downtoearth-indonesia.org

11.11.11. http://www.11.be

Watch Indonesia! www.watchindonesia.org

Friends of the Earth Europe www.foeeurope.org

WALHI www.walhi.or.id

Sawit Watch www.sawitwatch.or.id

Misereor www.http://www.misereor.de

Briefing ini diperbarui pada tanggal 4 September 2013


[1] Ada di: http://www.euractiv.com/sites/all/euractiv/files/scientists%20biofuels%20letter.pdf

[2] Marelli, L., D. Mulligan, and R. Edwards. "Critical issues in estimating ILUC emissions: outcomes of an expert consultation, 9–10 Nov 2010." European Commission Joint Research Center, Ispra (Italy) (2011).

[3] http://news.stanford.edu/news/2012/october/oil-palm-plantation.html

[4] Marelli, L., D. Mulligan, and R. Edwards. "Critical issues in estimating ILUC emissions: outcomes of an expert consultation, 9–10 Nov 2010." European Commission Joint Research Center, Ispra (Italy) (2011).

[5] University of Leicester. 2011. New study suggests EU biofuels are as carbon intensive as petrol. Ada di: http://www2.le.ac.uk/offices/press/press-releases/2011/november/new-study-suggests-eu-biofuels-are-as-carbon-intensive-as-petrol#_ftnref1

[6] Grabiel, T. 2012. Accounting For Uncertainty: Precautionary Principle and Indirect Land-Use Change. 2012. Défense Terre. Ada di:

http://www.transportenvironment.org/sites/te/files/publications/Accounting%20for%20Uncertainty%20(April%2024%202013)%20FINAL.pdf

[7] http://www.nuffieldbioethics.org/sites/default/files/Biofuels_ethical_issues_FULL%20REPORT_0.pdf

[8] GRAIN. 21 Februari 2013. Landgrabbing for biofuels must stop. Against the grain. Ada di: http://www.grain.org/article/entries/4653-land-grabbing-for-biofuels-must-stop

[9] Lihat Forest Peoples Programme untuk informasi lebih lanjut: http://www.forestpeoples.org/id/tags/wilmar-international

[10] http://www.pecad.fas.usda.gov/highlights/2013/06/indonesia/

11 http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/02/indonesia-allocates-18-million-hectares-land-palm-oil.html

[12] http://www.eutransportghg2050.eu/cms/assets/Uploads/Reports/EU-Transport-GHG-2050-II-Final-Report-29Jul12.pdf

[13] Charles, C., Gerasimchuk, I., Bridle, I., Moerenhout, T., Asmelash, E. and Laan, T. April 2013. Biofuels—At What Cost? A review of costs and benefits of EU biofuel policies. International Institute for Sustainable Development, Global Subsidies Initiative. Ada di: http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/biofuels_eu_addendum.pdf

[14] Charles, C., Gerasimchuk, I., Bridle, I., Moerenhout, T., Asmelash, E. and Laan, T. April 2013. Biofuels—At What Cost? A review of costs and benefits of EU biofuel policies. International Institute for Sustainable Development, Global Subsidies Initiative. Ada di: http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/biofuels_eu_addendum.pdf