- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Kawasan
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Mengakhiri konflik di Papua Barat
DTE 89-90, November 2011
Serbuan brutal aparat keamanan Indonesia terhadap Kongres Papua Ketiga di bulan Oktober menyebabkan enam orang tewas dan ratusan lainnya dipukuli dan ditangkap. Deklarasi kemerdekaan oleh kongres itu serta usaha pemerintah untuk membungkamnya sekali lagi membuat status politik wilayah itu menjadi sorotan. “Ironis sekali. Saat warga Papua berkumpul untuk membahas hak dasar mereka, Indonesia menanggapi dengan melanggar hak-hak itu,” kata Carmel Budiardjo, pengkampanye senior TAPOL, organisasi non-pemerintah yang berkantor di Inggris. Dalam artikel di bawah ini Carmel memberikan pandangan atas perkembangan terakhir di wilayah itu.
Empat puluh tahun lebih telah berlalu sejak Papua Barat menjadi provinsi Indonesia. Warga Papua tidak pernah diberi kesempatan untuk referendum. Alih-alih, yang dilangsungkan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang berlangsung tidak bebas dan tidak memberikan pilihan apapun.
Hanya seribu orang lebih warga Papua, yang bertindak atas nama penduduk berjumlah ratusan ribu orang, memutuskan ‘dengan suara bulat’ untuk menjadi bagian Indonesia. Wilayah yang luas itu secara de facto telah dikuasai Indonesia selama beberapa tahun sesuai dengan ketentuan Kesepakatan New York tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda.
Warga Papua tak bisa memberikan suara karena tak diikutsertakan dalam pembicaraan, sementara Indonesia mendapatkan dukungan dari negara yang berkuasa di Barat dalam perselisihannya dengan Belanda mengenai masa depan wilayah itu. Ketika Pepera yang curang itu berlangsung pada tahun 1969, pasukan militer dalam jumlah besar diturunkan di Papua. Jumlah tentara bersenjata jauh melampaui jumlah pejabat PBB yang sangat sedikit dan tak dapat mengunjungi sebagian besar wilayah untuk memantau pelaksanaan Pepera tersebut.
Kehadiran wakil PBB yang tak memadai itu dimanfaatkan untuk mensahkan keputusan para kepala suku yang berpartisipasi dalam Pepera. Mereka telah diperingati oleh militer mengenai konsekuensi yang buruk jika memilih untuk menolak integrasi dengan Indonesia.
Sejak itu, Papua Barat menjadi daerah yang penuh dengan konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat adat yang menderita diskriminasi, penggusuran dari tanah mereka, dan secara berangsur kehilangan sumber mata pencaharian mereka, sementara kebebasan mendasar untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat, dihalang-halangi dengan keras. Program transmigrasi yang diprakarsai pemerintah pusat menyebabkan masuknya banyak penduduk dari Indonesia yang sekarang mendominasi sektor komersial dan menduduki sejumlah posisi senior di pemerintahan provinsi, kabupaten dan kecamatan. Semua perkembangan ini mengakibatkan masyarakat adat Papua menjadi terpinggirkan serta miskin.
Ketika Papua Barat baru menjadi bagian Indonesia, perlawanan bersenjata dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Meskipun OPM mencerminkan ketidakpuasan yang dirasakan oleh sebagian besar warga Papua karena ditekan serta dijajah oleh Indonesia, setiap usaha perlawanan bersenjata itu tak pernah berhasil. OPM yang minim perlengkapan bukanlah tandingan pasukan keamanan tentara dan polisi Indonesia yang jauh melebihi mereka.
Seruan untuk dialog
Pasca Musyawarah Besar pimpinan suku pada awal tahun 2000, warga Papua mengadakan Kongres Papua Kedua pada bulan Mei-Juni 2000 yang dihadiri oleh ribuan orang. Dalam kongres inilah pemimpin Papua untuk pertama kali menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan fasilitator pihak ketiga yang netral. Tetapi pemerintah pusat mengabaikan seruan itu dan tak pernah mengindahkannya sejak itu.
Kongres itu menghasilkan sejumlah keputusan politik. Terbentuk Presidium Dewan Papua dibentuk, yang kemudian membuat kerangka acuan bagi dialog yang diusulkan. Juga dibentuk komisi, yang diharapkan akan memperbaiki sejarah – untuk menyelidiki cara curang yang membuat Papua Barat menjadi bagian Indonesia.
Pada bulan Oktober 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden Indonesia untuk masa jabatannya yang pertama, ia bersama wakil presiden Jusuf Kalla berusaha mencari apa yang mereka harapkan sebagai penyelesaian yang komprehensif untuk Papua Barat. Pada saat pelantikan menjadi presiden, SBY mengatakan:
Pemerintah berkeinginan untuk menyelesaikan masalah Papua dengan cara damai, adil dan bermartabat, dengan menitikberatkan dialog dan persuasi.
Otonomi Khusus
Dalam usaha untuk meredakan ketidakpuasan Papua dan keinginan kuat untuk merdeka, Papua Barat diberi otonomi khusus pada bulan Oktober 2001 sesuai dengan undang-undang yang memberikan hak ekonomi dan politik yang luas bagi warga Papua, dan pembentukan dewan khusus, Majelis Rakyat Papua, yang semua terdiri dari warga Papua.
Pada bulan Desember 2002, Tom Beanal, wakil ketua PDP mencanangkan Papua sebagai ‘Zona Damai’. Beanal mengambil alih kepemimpinan PDP pasca pembunuhan brutal pemimpinnya, Theys Hiyo Eluay, pada tahun 2001 oleh pasukan elit Indonesia. Zona Damai maksudnya adalah Papua Barat menjadi ‘kawasan yang bebas dari kekerasan, penindasan, dan penderitaan’. Konsep tanah damai ini dipegang oleh tokoh agama di Papua dan juga OPM. Pada akhir 2007, para tokoh agama kembali menyatakan bahwa konflik harus diselesaikan dengan damai, sambil menekankan kembali komitmen sebagian besar warga Papua untuk menggunakan cara-cara damai.
Dua tahun kemudian, pastor Katolik Papua, Pastor Neles Tebay menyampaikan prakarsa baru untuk mendorong dialog antara Papua Barat dan pemerintah Indonesia. Pastor Tebay, yang mengabdikan dirinya untuk mengupayakan dialog lebih dari pemimpin Papua lainnya, selalu menekankan bahwa kekerasan tak dapat menyelesaikan konflik. Terlebih lagi, pada saat itu, jelas sekali bahwa Otsus gagal menjamin hak-hak warga Papua seperti yang dijanjikan dalam UU no. 21/2001.
Dengan semakin meningkatnya frustrasi terhadap Otsus, warga Papua mulai menuntut agar Undang-Undang Otsus itu harus “dikembalikan ke pemerintah pusat”. Pada saat yang sama, ribuan rakyat di seluruh penjuru Papua berdemonstrasi dengan damai, mengibarkan lambang tradisional mereka, bendera bintang kejora. Aksi ini ditanggapi dengan tangan besi oleh aparat keamanan; sejumlah warga dipenjarakan atas tuduhan melakukan makar. Tahun 2004, Filep Karma dihukum 15 tahun karena mengibarkan bendera bintang kejora dengan damai. Beberapa orang lainnya dihukum dua sampai tiga tahun hanya karena melakukan protes.
Sebuah kampanye, yang juga didukung oleh TAPOL, sedang berlangsung untuk menghentikan praktik represif yang mendakwa orang yang terlibat kegiatan politik damai dengan pasal kejahatan kriminal seperti makar, yang merupakan hukum warisan jaman penjajahan Belanda.
Konferensi Damai Papua
Seiring dengan protes yang terus meluas, ada prakarsa baru untuk mendorong dialog dan perdamaian. Pada tanggal 7 Juli 2011, Jaringan Damai Papua mengadakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri sekitar 500 orang dari seluruh Papua.
Konferensi ini juga dihadiri oleh tiga pejabat tinggi Indonesia, yang memberikan sambutan: Menko Polkam Djoko Suyanto, Komandan Militer Kodam Cenderawasih/XVII di Papua Barat May.Jen. Erfi Triassunu dan Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, kepala polisi Papua Barat. Djoko Suyanto menggambarkan konflik di Papua Barat ‘multi dimensi’ dan mengakui pentingnya komunikasi dua arah—dengan kata lain, dialog.
Turut hadir dalam konferensi itu adalah gubernur provinsi Papua, Barnabas Suebu, yang menggarisbawahi paradoks di Papua Barat: wilayah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi penuh konflik internal yang mengarah pada disintegrasi sosial. Ia juga menekankan tradisi Papua dalam menyelesaikan perselisihan lokal melalui pembicaraan yang ”bermartabat” sebagai jalan terbaik untuk menghindari hilangnya nyawa.
Pastor Neles Tebay, koordinator Jaringan Damai Papua, setelah konferensi selesai mengatakan: “Saya ingin menggarisbawahi bahwa (rekomendasi) ini tidak dibuat untuk mencari siapa yang salah, tetapi lebih untuk memusatkan perhatian kita atas masalah sebenarnya yang perlu diatasi untuk menciptakan Papua yang damai.”
Konferensi itu mengusulkan sejumlah indikator untuk tujuan itu:
- Masyarakat adat Papua harus merasa tenang, aman, menikmati standar hidup layak, tinggal di tanah mereka dan dalam hubungan damai dengan satu sama lain, dengan alam, dan dengan Tuhan.
- Masyarakat adat Papua tidak boleh mendapatkan stigma sebagai separatis atau subversif.
- Masyarakat adat Papua harus bebas dari diskriminasi, intimidasi dan marginalisasi.
- Masyarakat adat Papua harus mendapatkan hak untuk berekspresi, menyatakan pendapat, dan berserikat.
- Segala bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan dan anak-anak, harus dihentikan.
- Siapapun yang terlibat dalam tindakan kekerasan negara harus diadili dan dihukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
- Hak masyarakat adat atas tanah ulayat harus diakui secara hukum.
- Eksploitasi sumber daya alam harus mempertimbangkan konservasi sumber daya itu, mengakui kebiasaan setempat, dan sedapat mungkin memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat adat Papua.
- Perusahaan yang menghancurkan lingkungan dan merusak hak kepemilikan tanah adat harus diberi sanksi hukum dan administratif.
- Praktik konversi hutan yang berkontribusi pada pemanasan global harus dihentikan.
Terkait dengan persoalan keamanan, konferensi mengusulkan agar aparat keamanan menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati hak asasi manusia yang mendasar untuk melindungi rasa aman masyarakat adat Papua. Operasi intelijen yang mengintimidasi atau menciptakan rasa tidak aman harus dihentikan. TNI dan Polri harus dilarang terlibat dalam bisnis atau politik, dengan sanksi hukum bagi yang melanggar.
Terkait dengan masalah sosial dan budaya, konferensi mengusulkan agar hak sosial dan budaya masyarakat adat Papua termasuk hak atas tanah adat dan norma-norma adat harus diakui dan dihormati. Pemberian label kepada warga Papua sebagai orang bodoh, suka mabuk-mabukan, pemalas dan primitif harus dihentikan.
Diskriminasi terhadap warga yang menderita HIV dan AIDS harus dihentikan. Segala upaya harus dilakukan untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan anak dalam masyarakat adat Papua dengan bantuan layanan medis profesional. Kebijakan yang mengarah pada pengurangan penduduk dalam masyarakat adat Papua seperti program keluarga berencana harus dihentikan, dan harus diambil langkah-langkah untuk membatasi imigrasi ke Papua Barat.
TNI menentang dialog
Tetapi, kurang dari dua bulan setelah konferensi damai itu, dalam pertemuan dengan anggota DPR pada tanggal 21 Agustus Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan bahwa ”TNI tak akan melakukan negosiasi dengan gerakan separatis, khususnya OPM. Tak ada (negosiasi), dalam bentuk apapun juga.”
Pernyataan itu tampaknya dimaksudkan untuk menentang pandangan yang lebih toleran dari anggota senior TNI yang menghadiri konferensi damai di bulan Juli. Hal itu juga menunjukkan bahwa pendekatan yang toleran terhadap dialog oleh tokoh agama Papua akan terus menghadapi perlawanan di tingkat tertinggi dalam pemerintahan pusat. Jelas bahwa jalan menuju dialog dan damai akan terus dihambat oleh militer di Indonesia yang tak bermaksud mengakhiri konflik, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang telah berlangsung puluhan tahun di Papua Barat.
Seruan berulang kali untuk berdialog tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah Indonesia sehingga mendorong munculnya tuntutan untuk referendum. Pada tanggal 2 Agustus, ketika pertemuan Pengacara Internasional untuk Papua Barat (ILWP) di Inggris sedang berjalan, berlangsung demonstrasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di berbagai bagian Papua Barat. Pasukan keamanan Indonesia dengan senjata lengkap dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi, yang mengungkapkan perlawanan terhadap kekuasaan Indonesia dan menyerukan dialog serta tuntutan agar diadakan referendum sebagai “satu-satunya solusi jangka panjang dan dapat dipercaya untuk menentukan masa depan Papua bagi warga Papua.”
Kebutuhan akan prakarsa politik yang mendesak atas Papua menjadi sorotan secara tragis ketika enam orang tewas dalam penyerbuan brutal terhadap Kongres Rakyat Papua Ketiga yang diadakan pada 17-19 Oktober di Jayapura. Aparat keamanan Indonesia bertindak dengan kekerasan ketika pemimpin masyarakat adat Papua, yang berkumpul untuk membicarakan hak-hak dasar mereka, mengeluarkan deklarasi kemerdekaan. Hal ini membuat perjuangan Papua akan semakin intensif dan menunjukkan perlunya dukungan internasional yang lebih besar bagi resolusi damai atas konflik itu.
Mengulangi seruan damai Pemimpin kampanye damai, Pastor Neles Tebay, meminta Komnas HAM untuk menyelidiki tindakan kekerasan yang terjadi pada akhir Kongres Rakyat Papua Ketiga. Ia mengulangi dukungannya atas seruan bagi dialog antara Jakarta dan Papua untuk mengakhiri kekerasan dan mencegah timbulnya kekerasan di masa mendatang di Tanah Papua. (Sumber: Bintang Papua, 26/Okt/2011). |