- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Kawasan
Publikasi
Kampanye
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Kunjungan ke Proyek Tangguh BP, Papua Barat
Down to Earth No 55 November 2002
Laporan ini disusun oleh Katie Wilson, ketua Oxford West Papua Friendship Society, dalam ekspedisi yang dilakukan bersama Universitas Oxford pada awal tahun ini.
Proyek gas alam cair Tangguh di Papua Barat akan membuat BP sebagai penanam modal asing terbesar di Indonesia. Proyek ini jelas berdampak besar terhadap struktur sosial dan lingkungan di Teluk Bintuni, salah satu wilayah pedalaman dan belum tersentuh pembangunan di Papua Barat. Ketika saya dan para mahasiswa Universitas Oxford berkunjung ke lokasi proyek, ternyata tidak lebih dari sekedar sekumpulan gedung-gedung bergaya barat berseberangan dengan hutan hujan dan rawa-rawa. Suatu gambaran yang sangat kontras dibandingkan dengan rumah-rumah panggung masyarakat lokal yang tinggal di sekitar tepi pantai.
Rencana pembangunan wilayah itu dijadwalkan akan dimulai pada tahun depan. Sedangkan pabrik pengolahan BP diharapkan segera berfungsi pada tahun 2006 dengan hasil ekspor gas alam cair sebanyak 7 juta ton setiap tahunnya dan akan meningkat empat kali lipat begitu rencana perluasan dijalankan. Sebagian gas tersebut akan disalurkan ke terminal penerima milik perusahaan minyak lepas pantai Cina, China National Offshore Oil Corp (CNOOC).
Selama dua tahun, BP telah menghabiskan waktu untuk terlibat dalam proses konsultasi bersama masyarakat lokal. BP membayangkan proyek yang mereka jalankan sebagai model atau contoh baik dari perusahaan yang bertanggungjawab. Namun, sesungguhnya banyak bukti yang kita temukan tentang kesulitan-kesulitan yang muncul. Pertama, yaitu berkaitan dengan persoalan praktis berkaitan dengan legitimasi perwakilan: diskusi bersama perusahaan transnasional yang tak diundang yang bertujuan menggali kekayaan alam di bawah tanah yang setiap hari dipijak merupakan pengalaman yang asing bagi suku-suku yang tinggal di sekitar pantai. Proses negosiasi dengan masyarakat-masyarakat yang akan terkena dampak proyek BP banyak diwarnai oleh korupsi, karena para kepala desa dan perantara yang sebenarnya tidak mewakili masyarakat menyelewengkan uang yang ditujukan untuk pembangunan. BP sesungguhnya sadar akan masalah ini. Sekarang ini pihak perusahaan tidak lagi memberikan bantuan dalam bentuk uang, tetapi lebih menggunakan skema pembangunan dimana penduduk desa menentukan proyek yang mereka inginkan dan mengajukan proposal yang disepakati dan diawasi pelaksanaannya oleh BP. Meskipun dalam satu sisi motivasi pelaksanaan strategi semacam ini dapat dipahami, namun ia menghasilkan situasi yang cukup mengganggu dengan sikap paternalistik dan menonjolkan aspek ketimpangan kekuasaan yang laten dalam setiap segi proyek tersebut.
Dalam percakapan kami dengan penduduk desa, terdapat sikap mendua antara optimisme yang ragu dan kekhawatiran yang mendalam. Meskipun BP menyatakan komitmen mereka terhadap transparansi, penduduk desa di Saengga yang tinggal dekat lokasi LNG, mengungkapkan rasa frustasi bahwa BP tidak akan memberikan bukti atau kesepakatan-kesepakatan yang mengikat secara hukum, guna mendukung klaim bahwa mereka tidak keliru. Penduduk merasa khawatir bahwa mereka akan kehilangan hak-hak adat kawasan pantai. Mereka juga takut terhadap pengaruh lingkungan proyek tersebut terhadap perkembangan populasi udang dan ikan di teluk itu. Sementara itu, BP bersikukuh bahwa pengaruh lingkungan akan kecil sekali, tapi mereka hanya memberikan jaminan yang samar. Apabila terdapat kerusakan yang besar, maka perusahaan akan membuat 'program-program' yang diperuntukkan bagi mereka yang kehilangan mata pencaharian.
BP mengharapkan kepercayaan buta dari masyarakat. Proses negosiasi dilakukan dalam bahasa kontrak barat, tapi tidak didukung oleh hukum barat. Berdasarkan kesepakatan tanggal 6 Agustus antara BP dan penduduk desa Saengga: "BP sepakat untuk memperhatikan soal-soal yang memiliki pengaruh negatif tetapi tetap memiliki hak untuk menjalankan bisnis mereka dalam kerangka hukum dan undang-undang pemerintah Republik Indonesia."
Sesungguhnya dampak proyek Tangguh jangkauannya melebihi Teluk Bintuni semata. Di Papua Barat, dimana gerakan kemerdekaan rakyat menantang hak-hak pemerintah Indonesia untuk mengontrol sumber daya alam Papua Barat, dan pihak militer yang korup dan brutal menganggap memiliki kontrak pribadi untuk urusan keamanan dengan perusahaan seperti BP, jelas sekali tidak ada dampak proyek yang terisolasi. BP sejauh ini telah mencoba menolak desakan militer Indonesia, dan mencoba "mengajukan konsep keamanan berbasis masyarakat." Tetapi isolasi semacam ini jelas fiktif. Penyelidik HAM di Papua Barat menegaskan bahwa pembunuhan terhadap lima orang anggota polisi Brimob di Wasior pada bulan lalu, yang beriringan waktunya dengan kunjungan duta besar Inggris ke base-camp BP, ternyata didorong oleh unsur-unsur militer yang berharap mereka mendapat kontrak menjaga keamanan dengan BP. Insiden seperti ini mendorong terjadinya kekerasan dan operasi yang terus berlangsung di kabupaten Wasior di mana orang-orang Papua disiksa dan dibunuh secara sewenang-wenang, desa-desa dibakar, dan ratusan pengungsi pindah ke kota-kota terdekat. Terlepas dari maksud mereka, pembangunan bertanggungjawab di Papua Barat masih merupakan prospek yang sulit.
Update Tangguh (Disusun oleh DTE) AMDAL: Berkaitan dengan segera dimulainya pembangunan proyek Tangguh tahun depan nanti, pemerintah Jakarta telah mengeluarkan persetujuan mereka terhadap Amdal untuk proyek gas alam cair Tangguh. Sebagai prasyarat kesepakatan amdal tersebut, BP setuju untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut bagaimana meminimalkan tingkat emisi karbon dioksida dari pabrik. Pemukiman kembali penduduk Tanah Merah: Perpindahan ke tempat baru untuk penduduk desa yang terkena dampak proyek BP sekarang ini dijadwalkan akan berlangsung pada paruh pertama tahun depan (2003). Proses itu akan memakan waktu kurang lebih selama satu bulan. Kesepakatan yang ditandatangani komunitas Tanah Merah dan BP pada bulan Agustus menyatakan bahwa BP akan mengurus sertifikat tanah bagi orang-orang desa yang berhak dan pindah ke Tanah Merah Baru. Masalah ganti rugi: Pada bulan Agustus, BP menandatangani MoU dengan penduduk desa Saengga (yang melakukan protes pada bulan Mei 2002 - lihat DTE 53/54). Termasuk dalam kesepakatan itu adalah dana sebesar US $ 750.000 yang merupakan trust fund (dana penyantun) untuk suku Wayuri, Sowai dan Simuna sebagai pengakuan terhadap "kebutuhan menyelesaikan masalah-masalah berkaitan dengan kompensasi." LSM setempat melontarkan kritik mereka terhadap cara BP mencapai kesepakatan tersebut. Kontrak LNG: Pada bulan Agustus 2002, BP/Pertamina gagal memenangkan kontrak penjualan gas dengan CNOOC untuk terminal mereka di Guangdong. Kontrak itu bernilai sebesar kurang lebih US $ 13 milyar. Meskipun demikian, BP/Pertamina tetap mendapat tawaran kontrak senilai US $8 milyar untuk memasok 2,6 juta ton LNG selama 25 tahun untuk terminal di propinsi Fujian yang dimulai 2006/7. Selain itu, CNOOC berencana untuk melakukan pembayaran sebesar US $ 275 juta kepada BP untuk saham sebesar 12,5% di Tangguh. HAM/Keamanan: Meskipun ada tekanan yang terus meningkat dari pihak militer untuk mengamankan "proyek vital," BP tetap bersikeras dengan komitmen menjalankan sistem keamanan berbasiskan masyarakat. Tapi sampai sekarang, laporan dampak HAM proyek tersebut yang dilakukan awal tahun ini masih belum dikeluarkan untuk publik. (Sumber: Bloomberg 27/Sep/02; AFX-Asia 25/Oct/02; Update: Tangguh Project and Integrated Social Strategy, Sep/2002) |