- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Kampanye
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Keprihatinan Internasional: surat untuk BP
Down to Earth No 65 Mei 2005
Surat berikut ini, yang agak dipersingkat, telah dikirimkan kepada Lord John Brown, pemimpin perusahaan BP, dan tertanggal 8 Desember 2004.
Sebagai perseorangan dan organisasi di Papua Barat dan internasional yang terus mengikuti secara dekat Proyek LNG Tangguh di Papua Barat, kami menulis untuk menyatakan kegelisahan kami yang menggunung dan memohon keterlibatan anda segera...
Kekhawatiran kami berpusat pada:
Kami yakin bahwa perusahaan seharusnya tidak memberi dukungan untuk menyelesaikan proyek ini sampai adanya tindakan yang berarti untuk mengatasi permasalahan ini. Kredibilitas dari Tangguh Independent Advisory Panel (TIAP) sebagai alat yang efektif juga diragukan.
Permasalahan Hak Asasi Manusia Tangguh
Walaupun kami menyambut baik komitmen baru BP terhadap kewajiban mandatorialnya atas hak asasi manusia dan mencatat adanya beberapa usulan tindakan dalam surat tertanggal (12 November)*, namun dalam kenyataan komitmen yang disahkan oleh undang-undang ini sudah diterbitkan sejak dua tahun lalu sebagai bagian dari persyaratan wajib sosial dan lingkungan proyek. Kami menitikberatkan, dan BP tahu persis, bahwa kewajiban ini sepenuhnya bisa dipenuhi oleh perusahaan, dan tidak tergantung oleh hasil diskusi yang berlangsung dengan pihak keamanan Indonesia. Apa yang sudah dicapai begitu kecilnya dan amat menggelisahkan. Kami mendesak anda untuk menjadikannya prioritas yang amat penting; terutama, kami memohon kehadiran TIAP agar terlibat secara aktif dalam memastikan agar BT memenuhi kewajibannya secara benar dan segera.
Kurangnya Transparansi
Proyek Tangguh sering menyatakan keinginannya menentukan standar baru untuk menjalankan usaha di lingkungan yang teramat sensitif. Transparansi dan keterbukaan dengan para pemangku kepentingan adalah hal yang sangat mendasar untuk tujuan ini. Namun, yang menyedihkan, kenyataan sangatlah jauh dibawah harapan.
Pada surat tertanggal 12 November, BP berjanji akan memberikan 'ringkasan' ketetapan Nota Kesepahaman dengan polisi Papua. Tapi Nota Kesepahaman ini sudah ditandatangani bulan April, lebih dari tujuh bulan lalu, dan perusahaan tidak melakukan tindakan apapun untuk memberitahu isinya sampai ditantang oleh para pemangku kepentingan. Dan mengapa hanya 'ringkasan' yang dikeluarkan dan bukan naskah lengkap? Apa yang disembunyikan? Kami mencatat bahwa proyek BTC baru saja menerbitkan seluruh naskah dari persetujuan keamanan dengan pemerintah Georgia. Pentingnya keterbukaan lebih besar lagi untuk tempat seperti Papua Barat dimana penyalahgunaan hak asasi manusia selama lebih dari 40 tahun oleh militer Indonesia terjadi secara sistimatis dan endemik. (catatan: naskah lengkap dari persetujuan ini diterbitkan beberapa waktu kemudian - lihat www.bp.com)
Kami juga kecewa bahwa pada pada waktu yang akan datang hanya akan dikeluarkan 'ringkasan pendek' dari laporan Gare Smith mengenai pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Tangguh. Tampaknya perusahaan berusaha keras untuk mempertahankan rahasia yang mengikis kredibilitasnya pada tahun 2003 dengan menolak untuk menerbitkan Analisis Mengenai Dampak Hak Asasi Manusia Tangguh yang asli oleh Messr. Smith dan Freeman.
Bukan begitu cara untuk membangun kepercayaan.
Kondisi politik BP dan masyarakat Papua Barat
Surat tertanggal 12 November berpendapat bahwa peristiwa penting yang mengganggu kestabilan seperti pemisahan sewenang-wenang Papua Barat adalah urusan 'pemerintah dan masyarakat sipil'. Gagasan bahwa masyarakat sipil Papua Barat memainkan peran dalam tulisan ini adalah sangat tidak masuk akal ; dan betapa tidak adilnya perusahaan terhadap dirinya sendiri dengan membuat rumusan yang keterlaluan seperti ini.
Tidak ada pemangku kepentingan yang menganggap bahwa BP tidak memenuhi undang-undang, tapi kami berpendapat bahwa perlu adanya tanggung jawab untuk menyampaikan pendapatnya. Komponen penting dari Program Integrasi Sosial Tangguh, termasuk Strategi Keanekaragaman Pengembangan, Pengelolaan Pendapatan dan tentunya kerangka keamanan, disebutkan dalam Papua Barat bersatu. Pembentukan dari apa yang dinamakan Provinsi Irian Jaya Barat, yang statusnya semakin dibingungkan oleh keputusan baru Mahkamah Konstitusi, mempunyai dampak langsung terhadap proyek ini. BP tidak merasa perlu menyesal telah mengajukan pertanyaan tentang pajak, lingkungan dan pengaturan kebijakan pada pemerintah Indonesia. Dengan demikian mengapa memilih untuk diam terhadap hal-hal yang selain mempunyai konsekuensi negatif terhadap masyarakat Papua Barat juga akan meningkatkan berbagai resiko usaha perusahaan dan pemegang sahamnya?
Terutama, pembagian Papua Barat berarti pendapatan Tangguh akan banyak mengalir ke Irian Jaya Barat dan bukan propinsi Papua secara keseluruhan, dan akan memperburuk kemungkinan terjadinya konflik horisontal dan ketidakseimbangan perekonomian. Betapapun, saat ini sedang terjadi kekacauan besar dalam pembagian pendapatan yang adil antara kedua propinsi. Undang-undang otonomi khusus, yang seharusnya mengatur masalah ini, mengasumsikan hanya akan ada satu propinsi, Papua, dan Otonomi Khusus belum diberlakukan.
Ada juga kekhawatiran bahwa akan dibentuk TNI baru dan struktur keamanan lainnya yang akan memperkuat intimidasi politik dan korupsi militer serta kekerasan yang sudah berjalan lama, (seperti yang terjadi bulan April tahun ini (2004). Hanya sekitar 20 km dari pangkalan proyek dimana TNI menyerbu desa Meryadi, Kabupaten Vorwata, membunuh 4 rakyat biasa Papua - menurut laporan terakhir pemangku kepentingan pada bulan Mei, yang juga sedang terjadi saat ini di daerah bagian pegunungan tengah Puncak Jaya).
Hal-hal ini mempunyai dampak terhadap BP secara langsung, oleh sebab itu secara mendasar mereka terlibat dalam pelaksanaan hak asasi manusia masyarakat yang terkena dampak terbesar proyek Tangguh. Dalam situasi seperti ini, kami menegaskan agar BP harus dengan hati-hati meninjau kembali keabsahan lingkup pengaruhnya di Papua Barat. Ada kewajiban moral dan komersial untuk melakukannya.
Kesimpulan
Kami bukan pendukung atau lawan dari proyek Tangguh. Masyarakat setempat di Teluk Bintuni dan masyarakat luas Papua Barat perlu menjadi penengah utama walau kami meragukan kemungkinan ini karena situasi penindasan yang terus berlangsung, terlepas dari dedikasi dan komitmen tim lapangan Tangguh yang terdiri dari kaum muda Papua dan yang lainnya. Mereka dan para pemangku kepentingan lainnya berhak bahwa komitmen perusahaan atas hak asasi manusia adalah komitmen yang dihormati secara penuh dan tepat waktu. Saat ini, belum ada pemecahan atas permasalahan yang kami sampaikan walau pada tingkat yang dapat diterima sekalipun. Kami meminta agar BP dan TIAP memberikan prioritas paling utama terhadap perbaikan
Hormat saya,
Carmel Budiardjo, Tapol, Advokasi Hak-hak Asasi Manusia Indonesia, (atas nama 300 penandatangan dari Papua Barat dan seluruh dunia)
Dalam balasannya, BP meyakinkan bahwa surat tersebut telah memberi sumbangan terhadap pemikiran dan diskusi pihak BP 'sambil kami mempersiapkan pelaksanaan proyek'. Untuk peran BP dibidang politik yang lebih meluas, wakil pemimpin grup (Group Vice President) Gary Dirks menulis 'kami tidak ikut serta dalam kegiatan politik, dan memang seharusnya tidak', dan tidak punya mandat untuk menjalankan peran politik.
Hal ini jelas mengabaikan fakta bahwa keputusan BP untuk membangun proyek besar jangka panjang di daerah yang bermasalah sangatlah politis, karena hal ini akan memberikan keuntungan perekonomian yang amat besar bagi pemerintah Indonesia (dan juga keuntungan besar bagi pemegang sahamnya) dan secara mutlak mendukung sejarah penindasan oleh pemerintah yang sudah berlangsung lama dan amat kejam di Papua Barat.
*Surat ini menegaskan kembali komitmen BP terhadap Prinsip Kesukarelaan, termasuk ketentuan-ketentuan dalam mengawasi dan melaporkan dugaan-dugaan atas pelecehan hak asasi manusia dan mendesak pemerintah untuk melaksanakan penyelidikan dan melakukan tindakan. Dikatakan bahwa akan datang ahli hak asasi manusia dan keamanan Gare Smith, untuk 'membantu kami menyusun proses dan prosedur yang sesuai dengan komitmen hak asasi manusia kami'. Surat tersebut tidak memberi rincian mengenai apa proses dan prosedur yang dimaksud. (Surat dari Emma Delaney pada Pemangku Kepentingan Tangguh, 12 November 2004)
Surat lembaga swadaya masyarakat yang merujuk pada surat ini dan sebelumnya dimana BP setuju bahwa ia harus melakukan tindakan nyata atas komitmennya yang diikat secara hukum dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial tahun 2002 untuk melindungi hak asasi manusia.