- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Krisis Sumber Daya Sekitar Pantai
Down to Earth Nr 45 Mei 2000
Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai saat ini dibuat semakin miskin oleh kegiatan penangkapan ikan besar-besaran secara ilegal; Selain itu, di Indonesia sedang terjadi pula perusakan terumbu karang dan pelenyapan hutan rawa dengan cepat. Dengan demikian, sumber daya alam sekitar pantai di Indonesia tengah menghadapi krisis yang teramat buruk. Pertanyaanya adalah, apakah pemerintahan di bawah pimpinan presiden Abdurahman Wahid memiliki suatu komitmen politik untuk menghentikan segala kerusakan yang terjadi.
Masa-masa sepanjang tiga dekade yang lampau telah menjadi beban yang berat bagi sumber daya alam sekitar pantai di Indonesia. Seperti halnya hutan, sumber daya ini telah mengalami kerusakan parah akibat beban eksploitasi komersial yang hanya bertujuan mengejar keuntungan jangka pendek semata. Hal ini jelas menghancurkan dan merusak sistem tradisional pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat dan menjadikan masyarakat nelayan sebagai golongan paling miskin diantara kelompok masyarakat miskin lainnya di Indonesia.
Berbagai studi belakangan ini menunjukkan kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan bom - yaitu suatu penggunaan ilegal bahan peledak untuk menangkap ikan - penggunaan racun asam, penambangan karang dan polusi. Pemutihan terumbu karang - yang disinyalir sebagai akibat meningkatnya suhu air laut - dan gejala alam lainnya seperti gempa bumi turut berperan dalam proses perusakan tersebut. Menurut Pusat Pengembangan dan Studi Oceanology, LIPI, hanya 7% dari batuan karang masih dalam keadaan baik sedangkan 70% rusak parah. Data resmi lainnya menyatakan bahwa dari total luas batuan karang di Indonesia yang mencapai 60.000 meter persegi, hanya 6% dalam keadaan baik.
Penangkapan ikan dengan bom adalah suatu tindak kejahatan dengan sanksi hukuman penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp. 100 juta berdasarkan undang-undang tahun 1985. Namun praktek tersebut telah menjadi gejala umum di Indonesia. Dalam beberapa minggu belakangan ini, berbagai kasus penangkapan ikan dengan bom dilaporkan terjadi di bagian Utara dan Selatan propinsi Aceh, di Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta, di Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Penangkapan ikan dengan bom dan racun biasanya diorganisir oleh para pelaku skala besar yang menjadi peyalur bahan-bahan peledak kepada nelayan.
Oleh karena para nelayan yang dipekerjakan adalah orang-orang yang berasal dari penduduk setempat, seringkali kegiatan tersebut menjadi penyebab perpecahan dan konflik dengan penduduk desa yang masih menggunakan metode-metode tradisional yang berupaya mempertahankan sumber daya kehidupan mereka. Seorang nelayan pribumi asal Bajau, Sulawesi, mengatakan kepada kantor berita Antara pada bulan Februari tentang bagaimana mereka yang menggunakan bahan peledak mengancam melemparkan bom ikan kepada para nelayan tradisional yang bertahan dengan cara mereka sendiri.
Padahal, praktek pemboman ikan sebelumnya juga telah memberikan pengaruh merusak terhadap sejumlah ikan lainnya. Seorang nelayan asal Aceh Selatan menjelaskan bagaimana berkurangnya cadangan ikan di Kepulauan Banyak akibat kerusakan terumbu karang. Ia menuturkan bahwa sepuluh tahun lalu yang lalu, ia bisa menangkap ikan sebanyak 15-20 ton selama tiga hari berlayar. Tetapi, sekarang ini ia menyatakan betapa sulitnya menangkap sebanyak satu ton meskipun ia telah berlayar selama seminggu. Berdasarkan beberapa hasil studi ditunjukkan bahwa setengah kilo bahan peledak dapat membunuh ikan-ikan dalam radius 10 meter dan menghancurkan batu-batu koral dalam radius ledakan seluas tiga meter. Padahal, dibutuhkan waktu sekitar 40-50 tahun bagi terumbu karang tersebut untuk pulih kembali.
Faktor lain yang mendorong terjadinya kerusakan adalah permintaan pasaran internasional terhadap produk-produk karang - serperti ikan akuarium dan karang - yang mendorong meningkatnya eksploitasi batuan karang yang tidak berkelanjutan. Berdasarkan laporan World Conservation Monitoring Centre, Indonesia sekarang ini menjadi pemasok 41% batuan karang untuk ekspor ke pasaran dunia. Sementara itu, Amerika Serikat telah menjadi pengimpor setengah dari seluruh produk dunia.
Hutan-hutan rawa di Indonesia juga menderita kerusakan parah seperti yang dialami oleh terumbu karang. Menurut data yang dikeluarkan pemerintah baru-baru ini, sekitar 1,5 juta hektar hutan rawa telah lenyap sepanjang 18 tahun terakhir ini. Sebagai lahan pembiakan yang sangat penting bagi udang dan ikan, luas hutan rawa telah berkurang dari 4,2 juta hektar pada tahun 1982 dan tinggal 2,7 juta hektar pada tahun ini. Di pantai Sumatra Timur, dilaporkan pula proses melenyapnya 90% wilayah hutan rawa. Termasuk diantara penyebab utama kerusakan-kerusakan tersebut adalah konversi pembiakan udang dan ikan, polusi (khususnya dari industri minyak), penebangan berlebihan untuk kayu dan arang serta konversi lahan untuk pemukiman dan proyek-proyek industri.
Dengan sedikit pengecualian, pejabat pemerintahan lokal mulai memberikan perhatian terhadap perlunya melindungi hutan rawa. Di Kalimantan Timur, belum ada status perlindungan terhadap 150.000 hektar hutan rawa di sekitar delta Mahakam. Sekarang ini hanya sekitar 15.000 hektar lahan yang tersisa sementara yang lainnya telah dirubah menjadi wilayah penambakan udang. Akibatnya, beberapa pulau kecil di sekitar muara sungai tersebut sekarang ini telah terbenam dibawah ketinggian tingkat permukaan laut.
Kelautan: Fakta dan Figur (Sumber: Republika 19&10/Nov/99 Govt. Research & Technology Agency, BPPT, figures; LIPI inBisnis 5/Nov/99; Banjarmasin Pos 17/Nov/99; Suara Pembaruan 15/Feb/00, Indonesian Observer25/Feb/00; Kompas 25/Feb/00)
Sekitar 70% cadangan minyak dan gas di bawah laut. |
Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, perembesan pantai akibat lenyapnya rawa-rawa menjadi ancaman yang akan menelan wilayah pemukiman yang didiami oleh 50.000 jiwa di 28 desa pinggiran pantai selain juga akan menelan jalan raya di pinggiran pantai. Di Kabupaten Bengkalis, Riau, penduduk desa terpaksa harus pindah ke wilayah pedalaman akibat kepungan air laut yang terus-menerus menelan wilayah daratan seluas 5 sampai 15 meter setiap tahunnya. Di Jawa Tengah, rawa-rawa, pantai-pantai dan terumbu karang dekat Cilacap telah mengalami polusi dan kerusakan oleh pengolahan minyak Pertamina dan pabrik-pabrik industri lainnya.
Persoalan utama lainnya adalah penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal-kapal pukat harimau dan jaring lebar di wilayah perairan sekitar pantai. Umum mengetahui bahwa kegiatan ini merupakan suatu praktek berbau kolusi antara pihak angkatan laut dan kepolisian setempat. Pihak pemerintah menyatakan bahwa negara mengalami kerugian sebesar US $ 4,5 juta akibat kegiatan pencurian ikan. Angka tersebut membuat kerdil jumlah pendapatan ekspor perikanan Indonesia setiap tahunnya sebesar US $ 2,2 juta. Selain itu, ditengarai pula sekitar 300 pabrik pengolahan ikan Thailand mendapatkan pasokan dari perairan Indonesia.
(Sumber: Kompas, 9,23&29/Feb/00; Republika 18& 25/Maret/00; Riau Pos 19/Feb/00; 7/Maret/00; Suara Pembaruan 15 & 27/Feb/00)
Apa Yang Menjadi Keinginan Masyarakat
Masyarakat-masyarakat di wilayah pinggiran pantai yang mata pencahariannya bertumpu pada metode penangkapan ikan tradisional menginginkan suatu tindakan segera terhadap praktek-praktek yang menghancurkan sumber daya alam mereka seperti: pukat harimau; pemboman dan peracunan ikan; konversi hutan rawa. Mereka juga menginginkan diakhirinya kolusi antara pemerintah, pihak keamanan dan pengusaha yang memberikan jaminan dan membiarkan perusahaan-perusahaan melakukan pelanggaran tanpa khawatir terhadap sanksi hukum.
Sejak tersingkirnya mantan presiden Suharto, masyarakat pedesaan menjadi lebih berani dan terbuka dalam membela hak-hak atas sumber daya alam dan tuntutan keadilan terhadap penangkapan ikan secara ilegal. Pada masa Suharto, sudah sering terjadi protes terhadap penangkapan ikan secara berlebihan dan operasi pukat harimau secara ilegal Namun, protes-protes tersebut dibungkam melalui intimidiasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Setelah terbentuknya pemerintahan demokratis, muncul harapan-harapan besar untuk melakukan proses reformasi. Masyarakat nelayan sekarang ini sedang membentuk perkumpulan baru, seperti jaringan anti pukat harimau GRANAT (lihat DTE 43:13), serta bekerja sama dengan pihak LSM untuk memperkuat tuntutan mereka. Penduduk desa juga menuntut agar praktek-praktek ilegal segera dihentikan dan mereka yang bertanggungjawab segera diadili.
Dalam berbagai kasus, tidak adanya tanggapan dari pihak pemerintah telah menyebabkan terjadinya aksi-aksi sepihak - dimana penduduk setempat melakukan penyerbuan terhadap perahu motor penangkapan ikan yang ilegal serta berbagai peristiwa pembakaran perahu. Dalam kasus terkahir di Kumai, Kalimantan Tengah, penduduk desa membakar kapal penangkap ikan milik pengusaha Thailand sebagai protes atas tidak adanya tindakan polisi yang efektif terhadap kegiatan penangkapan ikan ilegal tersebut.
(Kapos, 3/03/00)
Apakah Sarwono dapat membuat Kebijakan Berbeda?
Sarwono Kusumatmaja adalah pejabat yang ditunjuk untuk mengisi posisi baru dalam kabinet sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan. Ia dikenal sebagai seorang politisi cerdas dan memiliki daya tarik publisitas yang tinggi. Meskipun ia pernah bekerja sama dengan rejim Suharto - baik sebagai menteri lingkungan dan juga pernah menjabat sebagai Sekjen Golkar - Ia memiliki kredibilitas yang tinggi diantara organisasi-organisasi lingkungan. Citra tersebut lahir pada saat ia menjabat sebagai menteri lingkungan dimana ia dikenal sangat kritis dan vokal dibandingkan menteri-menteri yang lainnya, khususnya selama terjadi bencana kebakaran hutan 1997-1998.
Meskipun demikian masih belum jelas apa yang akan dilakukannya sebagai menteri - sejauh mana tanggungjawab dan kekuatan yang akan ia tunjukkan kepada menteri-menteri lainnya. Namun, beberapa petunjuk awal menegaskan bahwa tekanan kebijakannya tetap berdasarkan pada asumsi potensi ekonomis sumber daya laut. Eksploitasi perikanan nampaknya akan semakin digiatkan untuk meningkatkan pendapatan negara dalam kondisi ekonomi yang sedang sakit ini. Pada bulan April, Sarwono mengumumkan penghentian sementara pengeluaran lisensi perikanan baru yang menunda deregulasi dalam sektor tersebut - suatu langkah yang sesuai dengan kebijakan "pemulihan" ekonomi a'la IMF.
Satu tugas yang telah dijalankan adalah upaya meningkatkan profil Indonesia sebagai negara maritim. Presiden Wahid sendiri mengatakan bahwa ia ingin Indonesia membangun dirinya dalam budaya maritim dan memanfaatkan laut sebagai sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa. Menurut Sarwono, kebutuhan untuk membangun budaya maritim adalah penting mengingat hal tersebut berkaitan dengan identitas Indonesia sebagai bangsa, sebagaimana halnya dengan "upaya memanfaatkan sumberdaya laut" dan "upaya menyatukan bangsa".
Sarwono juga mengatakan bahwa kementrian baru tersebut akan bertindak sebagai suatu dewan perencanaan maritim dan akan diberi tugas membentuk pusat informasi tentang sumber daya laut untuk melayani pihak-pihak berkepentingan, termasuk para investor potensial. Selain itu, kementrian ini berencana untuk membuat suatu kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan pada tingkat nasional.
Sampai sekarang ini, tanggungjawab pengelolaan sumberdaya laut dibagi diantara beberapa kementrian seperti: pengelolaan perikanan oleh Departemen Pertanian; hutan rawa di bawah Departemen Kehutanan; serta eksplorasi minyak dan gas lepas pantai dibawah Departemen Pertambangan dan Energi. Pembagian kerja seperti itu akan menimbulkan persoalan besar bila terjadi kurang koordinasi dalam perencanaan sumber daya laut dan pantai. Sarwono digosipkan memiliki keinginan memotong tanggungjawab pengelolaan sumberdaya laut dari kementrian lainnya yang dengan demikian semakin mengokohkan posisi politik yang penting bagi dirinya dalam pemerintahan.
BANTUAN INTERNASIONAL Australia menyatakan akan memberikan bantuan sebesar AUS $ 8,2 juta untuk sebuah proyek pengelolaan dan rehabilitasi batuan karang (COREMAP) selama 3 tahun. Program ini bertujuan untuk mengembangkan suatu pengelolaan berbasis masyarakat, penelitian dan monitoring, penyadaran publik dan penegakan hukum. Suatu proyek pilot akan dimulai di Teluk Kupang, Timor Barat. Hal ini merupakan bagian dari program-program yang lebih luas tentang manajemen batuan karang yang dibiayai bersama-sama antara World Bank, ADB, Japanese International Cooperation Agency (JICA) dan pemerintah Indonesia. Jumlah dana sebesar US $ 30 juta sebagian merupakan hutang dan sebagian lagi hibah. Norwegia juga memberikan dana (hibah) untuk suatu proyek guna menyusun rancangan kerja untuk perlindungan terhadap polusi minyak dari kapal-kapal dan pemboran minyak lepas dan pantai. Proyek ini diselesaikan pada bulan November 1999. (Indonesian Observer, 25/Feb/00; Jakarta Post 10/Nov/99; Suara Pembaruan,22/Feb/00) |
Sarwono secara hati-hati membangun hubungan dengan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi rakyat yangmewakili masyarakat nelayan. Segera setelah ia menduduki jabatannya, ia mengadakan pertemuan dengan beberapa kelompok LSM dan berjanji akan melibatkan mereka dalam proses perencanaan "visi" kementrian baru tersebut. Ia mengatakan pada kalangan LSM tersebut bahwa tugasnya adalah mengurus pembuatan keputusan pada tingkat nasional, mengeluarkan peraturan dan melakukan koordinasi. Sementara itu, pengelolaan sumberdaya laut itu sendiri akan dikelola oleh masyarakat setempat.
Sarwono mengatakan tentang pentingnya dilakukan suatu pemetaan terhadap wilayah pengelolaan laut tradisional atau yang dilakukan berdasarkan adat setempat. Pada bulan Maret lalu, Sarwono mengadakan kunjungan-kunjungan ke wilayah pantai, mengadakan pertemuan dengan delegasi perwakilan masyarakat nelayan dari Sulawesi, Lampung dan Sumatra Utara. Ia menjanjikan pada mereka bahwa ia akan mencari penyelesaian terbaik terhadap permasalahan pemboman ikan dan pukat harimau. Pada bulan yang sama, kementrian yang dipimpinnya menyatakan akan mengeluarkan pinjaman lunak sebesar Rp. 22 milyar untuk mengatasi kemiskinan di kalangan nelayan. Pada bulan April, Sarwono juga mengumumkan bahwa masyarakat nelayan tradisional, petani ikan dan pengusaha perikanan akan diundang dalam suatu pertemuan untuk membantu proses penyusunan kebijakan-kebijakan di sektor tersebut.
Kampanye Terumbu Karang
Pada bulan Februari, presiden Abdurahman Wahid melancarkan kampanye nasional untuk menyelamatkan terumbu karang dengan judul, "Selamatkan Terumbu Karang Sekarang Juga" Kampanye tersebut, yang dilaksanakan seiring dengan program-program Bank Dunia/ADB/JICA dan COREMAP, dimaksudkan untuk mengangkat persoalan yang dialami oleh batuan karang selama setahun ketika Bali menjadi tuan rumah Simposium Batuan Karang Internaisonal ke-9. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran pada tingkat nasional dan lokal terhadap pentingnya perlindungan dan dilakukannya suatu manajemen berkelanjutan. Pilot proyek rencananya akan dilangsungkan di Riau, Sulawesi Selatan dan Papua Barat.
Peningkatan Profil
Peluncuran kampanye koral, ditambah dengan berbagai pertemuan dan kunjungan, berita tentang berbagai inisiatif kebijakan dan gembar-gembor tentang "budaya maritim" semuanya menjadi berita yang dipublikasi oleh press di Indonesia. Semua kegiatan ini merupakan rencana Sarwono untuk meningkatkan profil masalah-masalah kelautan di Indonesia. Persoalannya adalah, bukanlah kemampuan Sarwono membuat publisitas yang patut diragukan, tetapi bagaimana kemampuannya memenuhi harapan-harapan yang telah ia semai.
Terdapat banyak sekali kendala yang harus dihadapinya seperti: korupsi, lemahnya komitmen untuk menegakan hukum, persaingan kekuasaan antar departemen, pengaruh otonomi daerah yang sampai sekarang masih belum diketahui serta pengaruh krisis ekonomi. Kesemuanya ini adalah kendala-kendala yang terbentang dengan gamblang. Selain itu, lemahnya kesepakatan-kesepakatan untuk mencegah penangkapan ikan ilegal di Indonesia masih harus diselesaikan.
Meskipun demikian, dilihat dari segi yang lebih positif, masyarakat pinggiran pantai bersama dengan gerakan-gerakan masyarakat sipil lainnya semakin memperoleh kekuatan dalam menuntut hak-hak demokratis mereka. Desakan untuk melakukan perubahan seperti ini sekarang ini sulit untuk dicegah lagi.
(Sumber : Bisnis 5/Nov/99, 25/Mar/00; hasil-hasil pertemuan LSM dan Sarwono yang diedarkan oleh Walhi pada tanggal 27/Okt/99;Jawa Pos 10/Mar/00; Indonesian Observer 18/Feb/00; Suara Pembaruan 17/April/00; Antara 31/Mar/00, Republika 16/Feb/00; Kompas22/Feb/00).
Otonomi Daerah dan Sumberdaya Alam Sekitar Pantai
Sarwono telah mengkritik undang-undang tahun 1999 tentang otonomi daerah yang memberikan kekuasaan dan tanggungjawab keapda pemerintah daerah tingkat II. Ia mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak mengatur masalah sumberdaya kelautan akibat tidak adanya konsultasi dengan ahli kelautan saat undang-undang tersebut dirancang.
Sarwono ingin menjamin bahwa aturan-aturan tentang sumberdaya laut dimasukan dalam peratuan yang sekarang ini tengah dipersiapkan sebagai upaya mendukung undang-undang yang akan ditetapkan pada akhir bulan Mei nanti. Ia mengatakan setidak-tidaknya peraturan tersebut akan mengurangi potensi konflik yang akan muncul antar wilayah tingkat II terhadap masalah pengelolaan sumber daya kelautan.
Sementara itu, kalangan LSM dan organisasi-organsiais rakyat yang mewakili masyarakat nelayan dan tepian pantai seperti Jaring Pela merasa khawatir terhadap masalah otonomi daerah yang mungkin akan memperkuat kekuasaan elit-elit lokal. Mereka khawatir bahwa komandan-komandan militer di tingkat lokal akan menggunakan otonomi daerah untuk mendapatkan kontrol lebih besar terhadap sumber daya pantai dan mengumpulkan keuntungan lebih dari kerjasama yang telah terjalin baik sebelumnya dengan para pengusaha swasta. Rancangan peraturan tentang perikanan dan otonomi daerah yang diedarkan pada pertengahan tahun 1999 sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan seperti ini.
(Sumber: Indonesian Observer: 10/Nov/99; Kompas, 10 Feb/00)