- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Info Terkini Agrofuel, DTE Desember 2011
Riset terbaru menunjukkan emisi ILUC sebagai ‘suatu kekhawatiran serius’
Berbagai studi ilmiah terbaru, yang diamanatkan oleh Komisi Eropa tahun ini, memberikan indikasi yang jelas bahwa agrofuel (bahan bakar nabati) bukan merupakan solusi ajaib sebagaimana yang diharapkan oleh para pembuat kebijakan dan ‘ketidakpastian ilmiah’ tidak dapat lagi menjadi dalih yang sah untuk tidak melakukan tindakan.
Isi penelitian ilmiah tersebut menyoroti bahaya agrofuel yang terus meningkat sementara Eropa terus menunda perubahan kebijakan yang mendesak, yang memengaruhi manusia dan planet ini. Studi tersebut – termasuk penelitian yang diamanatkan oleh Uni Eropa (UE) sendiri – selanjutnya melemahkan argumen pemanfaatan agrofuel sebagai cara untuk mengatasi perubahan iklim, dan kebijakan UE yang ada yang mendukung solusi palsu ini.
Dua studi yang dilaksanakan oleh Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) [1] dan Pusat Riset Bersama (JRC) [2] tahun ini, akan memberikan saran penting bagi penilaian dampak ILUC oleh Komisi Eropa mengenai pilihan-pilihan untuk mengatasi ILUC yang rencananya akan diterbitkan pada bulan Januari 2012.
Kedua studi tersebut bertujuan untuk memperkirakan emisi karbon secara keseluruhan dari perubahan penggunaan tanah sesuai dengan Panduan Energi Terbarukan Eropa dan emisi yang terkait dengan peningkatan permintaan agrofuel. Studi-studi ini melanjutkan investigasi-investigasi sebelumnya, yang diamanatkan oleh Komisi Eropa pada tahun 2010, dengan menggunakan sistem pemodelan yang lebih maju untuk mempertimbangkan jangkauan yang lebih luas dari faktor-faktor yang memengaruhi ILUC. Faktor-faktor itu mencakup pertimbangan yang lebih akurat akan perubahan stok karbon tanah dan emisi dari lahan gambut, kompetisi antara pangan dan bahan bakar serta dampak ILUC terhadap hilangnya keanekaragaman hayati. Studi-studi ini juga menganalisis berbagai skenario, termasuk skenario perdagangan (contohnya ‘bisnis seperti biasa’ vs ‘liberalisasi perdagangan’), berbagai persentase campuran biofuel (bahan bakar hayati) dan berbagai penyebaran bioethanol vs biodiesel. Selain itu, terdapat fokus yang lebih kuat mengenai bahan baku Perubahan Penggunaan Tanah (LUC) tertentu.
Kedua model tersebut menjalankan beberapa skenario dengan menggunakan pemisahan bioethanol/diesel yang diperkirakan oleh setiap Negara Anggota UE dalam Rencana Aksi Energi Terbarukan nasional mereka (sehingga memunculkan perkiraan yang lebih realistis) dan diketahui bahwa jalur biodiesel agaknya lebih karbon intensif secara signifikan ketimbang jalur ethanol[3]. Temuan-temuan ini mengkonfirmasi pernyataan bahwa studi IFPRI tahun 2010 menggunakan pemisahan yang tidak realistis antara ethanol dan diesel dalam penghitungannya, yang menghasilkan perkiraan yang terlalu rendah secara signifikan terhadap keseluruhan emisi yang diprediksi.
Saran kebijakan
Studi IFPRI menyatakan bahwa kebijakan dukungan agrofuel saat ini mungkin bisa gagal memberikan manfaat bersih gas rumah kaca apa pun, dengan menyatakan bahwa ‘emisi yang terkait dengan perubahan penggunaan tanah yang didorong oleh kebijakan biofuel merupakan sebuah kekhawatiran yang serius’[4]. Studi IFPRI tersebut mendukung reformasi legislatif untuk meningkatkan ambang batas penghematan langsung GRK, dan secara potensial menurunkan mandat tersebut tetapi tidak merekomendasikan aplikasi faktor-faktor tertentu ILUC[5].
Pada bulan Juli 2011, hasil sebuah konsultasi pakar mengenai ‘Isu-isu Kritis dalam Memperkirakan Emisi ILUC’ dipublikasikan oleh JRC dalam suatu laporan yang telah lama ditunggu-tunggu. Laporan tersebut menyatakan bahwa “kriteria keberlanjutan dalam Panduan Energi Terbarukan (RED) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar (FQD)…tidak efektif untuk menghindari ILUC, dan karena itu diperlukan langkah-langkah kebijakan tambahan.” [6] Bertolak belakang dengan laporan IFPRI, para pakar menyatakan bahwa suatu peningkatan ambang batas GRK hanya akan memiliki dampak yang terbatas terhadap pengurangan ILUC dan penggunaan suatu faktor yang mengaitkan kuantitas emisi GRK dengan agrofuel dari tanaman tertentu adalah pilihan yang lebih disukai. Selain itu, para pakar menyarankan agar praktik-praktik pertanian yang baik, strategi mitigasi karbon manajemen lahan dan intensifikasi lahan padang rumput harus didorong melalui berbagai insentif kebijakan. [7]
Minyak Sawit “bahan baku biodiesel terburuk bagi emisi ILUC” [8]
Secara keseluruhan, studi-studi ILUC yang baru menunjukkan bahwa emisi dari lahan gambut memiliki dampak yang signifikan terhadap perhitungan emisi total dari agrofuel dan bahwa kebijakan agrofuel saat ini telah didasarkan pada perkiraan yang amat sangat direndahkan terhadap emisi yang dihasilkan oleh produksi minyak sawit[9].
Studi IFPRI 2011 menunjukkan bahwa degradasi gambut bertanggung jawab atas 1/3 dari total emisi (yakni emisi sebesar 55 ton CO2 e/hari/tahun).[10] Ini merupakan peningkatan yang besar dari model IFPRI tahun 2010, yang menganggap remeh emisi lahan gambut hanya sebesar 30% dari total emisi. Studi IFPRI tersebut menyatakan bahwa meskipun lahan gambut dilindungi secara efektif, biodiesel tetap tidak mungkin dapat memenuhi target penurunan karbon hingga 50% netto[11].
Studi-studi lebih lanjut oleh Universitas Leicester (yang diamanatkan oleh Dewan Internasional Transportasi Bersih (ICCT)) menunjukkan bahwa emisi yang bersumber dari lahan gambut yang terdegradasi akibat penanaman kelapa sawit dapat meningkat hingga 106 ton CO2/ha/tahun (saat diaplikasikan pada perhitungan 20 tahun LUC dari RED) [12] – hampir 50% lebih besar ketimbang studi IFPRI terbaru. Kelapa sawit, yang sebagian besar tumbuh di lahan kaya-gambut di Malaysia dan Indonesia, merupakan salah satu pemasok utama permintaan biodiesel tambahan. Tanpa menangani dampak dari produksi biodiesel dan degradasi lahan gambut, mandat agrofuel menghadirkan bahaya yang signifikan terhadap aksi-aksi global untuk melakukan mitigasi perubahan iklim.
‘Ketidakpastian’ bukan lagi alasan untuk tidak beraksi: KE berkewajiban untuk bertindak sekarang!
Dasar-dasar sainsnya sudah jelas dan tidak dapat disangkal; agrofuel bukan merupakan solusi ajaib perubahan iklim sebagaimana awalnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Kebijakan agrofuel saat ini cacat, didasari oleh sains yang naif dan belum cukup diteliti dan dampak-dampak potensialnya berbahaya bagi manusia, keanekaragaman hayati dan planet ini.
Para pembuat kebijakan KE dan UE memiliki kewajiban, berdasarkan prisip pencegahan dini, untuk mendengarkan dan mengakomodasi kekhawatiran ilmiah yang serius dan melakukan tindakan segera untuk mereformasi kebijakan agrofuel yang terlalu menggebu-gebu yang diambil lebih dari lima tahun yang lalu.
Tahun 2012 merupakan tahun yang kritis untuk membalikkan krisis iklim secara global dan semua mata akan mengarah pada Eropa untuk mengambil keputusan yang tepat bagi energi terbarukan yang sesungguhnya. Penilaian dampak oleh KE yang direncanakan akan diterbitkan pada Tahun Baru harus memastikan diperkenalkannya segera faktor-faktor tertentu bahan baku ILUC dan mengurangi mandat agrofuel – yang didukung oleh rencana internasional yang kuat untuk mendorong energi terbarukan yang sejati seperti angin, matahari dan ombak, serta untuk mengurangi konsumsi energi kita.
[1] International Food Policy Research Institute. Menilai Konsekuensi Perubahan Penggunaan Tanah Akibat Kebijakan Biofuel Eropa. Laporan Akhir. Oktober 2011. David Laborde (IFPRI). Dapat dilihat di: http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/biofuelsreportec2011.pdf
[2] Catatan Teknis Joint Research Centre: Perkiraan emisi GRK dari skenario perubahan penggunaan tanah secara global. Oktober 2011. Dapat dilihat di: http://iet.jrc.ec.europa.eu/sites/default/files/documents/scientific_publications/technical_note_eu24817.pdf
[3] International Food Policy Research Institute. Menilai Konsekuensi Perubahan Penggunaan Tanah Akibat Kebijakan Biofuel Eropa. Laporan Akhir. Oktober 2011. David Laborde (IFPRI). Dapat dilihat di: http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/biofuelsreportec2011.pdf dan Catatan Teknis Joint Research Centre: Perkiraan emisi GRK dari skenario perubahan penggunaan tanah secara global. Oktober 2011. Dapat dilihat di: http://iet.jrc.ec.europa.eu/sites/default/files/documents/scientific_publications/technical_note_eu24817.pdf
[4] International Food Policy Research Institute. Menilai Konsekuensi Perubahan Penggunaan Tanah Akibat Kebijakan Biofuel Eropa. Laporan Akhir. Oktober 2011. David Laborde (IFPRI). Dapat dilihat di: http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/biofuelsreportec2011.pdf
[5] Ibid.
[6] Laporan Teknis dan Ilmiah Joint Research Centre: Isu-isu kritis dalam memperkirakan emisi ILUC. Hasil konsultasi dengan seorang pakar. 9-10 November 2010 (diterbitkan pada bulan Juli 2011). Ispra, Italia. Marelli, L., D. Mulligan dan Edwards, R (JRC). Dapat dilihat di: http://iet.jrc.ec.europa.eu/sites/default/files/documents/scientific_publications/eu_report_24816.pdf
[7] Ibid.
[8] The International Council on Clean Transportation. Pemodelan IFPRI-MIRAGE 2011 terhadap perubahan penggunaan tanah secara tak langsung: Arahan singkat tentang laporan untuk Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa Dr. Chris Malins (ICCT). Dapat dilihat di: http://www.theicct.org/sites/default/files/publications/ICCT_IFPRI-iLUC-briefing_Nov2011-1.pdf
[9] Ross Morrison. 2011. Berita Departemen Geografi, Universitas Leicester. Studi Baru Menyatakan Biofuel Sama Intensifnya dalam hal Karbon seperti Bensin. Dapat dilihat di: http://www2.le.ac.uk/departments/geography/geog-news/november-2011/new-study-suggests-eu-biofuels-are-as-carbon-intensive-as-petrol?searchterm=sue%20page%20biofuels
[10] The International Council on Clean Transportation. Pemodelan IFPRI-MIRAGE 2011 terhadap perubahan penggunaan tanah secara tak langsung: Arahan singkat tentang laporan untuk Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa Dr. Chris Malins (ICCT). Dapat dilihat di: http://www.theicct.org/sites/default/files/publications/ICCT_IFPRI-iLUC-briefing_Nov2011-1.pdf
[11] Ibid.
[12] Berita Departemen Geografi, Universitas Leicester. November 2011. Studi Baru Menyatakan Biofuel Sama Intensifnya dalam hal Karbon seperti Bensin. Dapat dilihat di: http://www2.le.ac.uk/departments/geography/geog-news/november-2011/new-study-suggests-eu-biofuels-are-as-carbon-intensive-as-petrol?searchterm=sue%20page%20biofuels